Ivanka dibawa kembali ke Jakarta, dokter mengatakan hanya keajaiban yang dapat menyelamatkannya. Kanker sudah menjalar dan dipastikan kemo hanya untuk mengulur waktu saja untuk sebuah jawaban yang menyakitkan bagi keluarga Ivanka.Tapi Naka yakin keluarga Ivanka tidak ada yang peduli dengan wanita itu, bahkan mereka menyebut Ivanka anak penyakitan. Jujur, Naka sakit hati mendengarnya. Walau tidak ada rasa cinta, namun rasa empati sesama manusia cukup jelas dihatinya.“Aku kembali lagi,” kata Ivanka, kembali berbaring di ranjang rumah sakit.Naka tersenyum lebar. “Yes, kembali kesini bersama aku,” kekehnya.Ivanka bahkan sampai terkejut mendengar kekehan Naka yang belum pernah terjadi itu. Suaminya sangat dingin, pada siapa saja bahkan dirinya sebagai istri. Melihat Naka yang tertawa begitu, perasaan Ivanka pun menghangat.“Aku suka ketawamu,” kekeh Ivanka.“Maka aku akan terus tertawa.”“Tapi tidak di hari kepergianku. Karena mungkin hanya kamu saja yang menangisiku,” lirih Ivanka, di
Ivanka terbaring lemah di ranjang yang telah menjadi temannya selama berbulan-bulan ini, tubuhnya yang kurus kian hari semakin tak berdaya melawan kanker yang menggerogoti setiap sel. Nafasnya tersengal-sengal, namun ada hal yang lebih menyakitkan daripada sakitnya itu sendiri, yaitu pengkhianatan. Matanya yang sayu menatap Naka, suaminya, dengan tatapan yang penuh kekecewaan dan rasa sakit hati.Mungkin sama seperti yang kini dirasa Naka, ketika mengetahui jika istrinya tahu pengkhianatan yang telah ia lakukan. Apa Naka berkhianat disaat dia bertanggung jawab akan kesalaan yang ia lakukan pada Lika. Mereka tidak sengaja melakukan itu, Naka tidak mau membela diri. Dia akui dia bersalah, dan jalan satu-satunya adalah dengan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.Tapi, ketika Ivanka tahu. Ada rasa perih di hati Naka. Selain dia berkhianat dia juga mencintai Anulika."Aku sakit, aku tahu kamu butuh wanita lain," suaranya parau, nyaris tidak terdengar. Sentuhan tangannya yang dingin
Melihat siapa tamu yang datang, Nyra Gasendra langsung berdecak, malas. Dia lagi, bosan Nyra didatangi terus dengan permintaan konyol teman lamanya itu.“Hai besan, senang berjumpa denganmu,” sapa Adela masuk kedalam dengan gaya anggunnya.Nyra melengos, “Tapi aku tidak!” ketusnya menjawab.Adela terkekeh, “Jangan begitu, selain besan kita juga teman lama, bukan?”“Tidak ada teman yang memanfaatkan teman, Adela. Jadi berhenti menyebutku temanku!” sentak Nyra, dia memang Nyonya yang galak dan tegas. Sayangnya, dia merasa lemah jika berhadapan dengan teman lamanya ini.“Kau masih suka bercanda Nyra!” kekeh Adela tajam.Nyra merasa jantungnya berdebar kencang saat Adela menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ruang tamu yang seharusnya nyaman itu terasa seperti medan perang."Berhenti mendesakku, Adela," pekik Nyra, suaranya bergema di dinding-dinding yang dipenuhi foto keluarga. Belum diungkapkan kedatangannya, tapi Nyra tahu tujuan wanita ini menemuinya."Kenapa kau tidak bisa meminta
Anulika merasakan jantungnya berdebar kencang saat menginjakkan kaki di rumah megah milik Naka Gasendra, suaminya sendiri bersama istri pertamanya. Lika sepertinya menyesali keputusannya untuk datang, ketika Naka mengatakan Ivanka sudah mengetahui semuanya dan ingin bertemu dengannya.Mau apa? Lika juga tidak tahu, begitu pun Naka. Namun pria itu terus menenangkannya jika semua akan baik-baik saja. Sedikit memaksa Lika, seolah ini adalah permintaan terakhir dari Ivanka.Di sampingnya, Naka yang berbisik lembut, "Tenang saja ada aku," seolah memberi kekuatan, namun rasa bersalah masih menggelayuti hatinya. Setiap langkah yang mereka ambil menuju kamar Ivanka terasa berat. Lika menggenggam erat tangan Naka, mencari dukungan dalam ketidakpastian.Rumah ini begitu luas dan megah, wajar saja Naka adalah seorang bos besar. bahkan apartemen yang ia tempati juga semewah ini, rasanya adil sekali Naka memperlakukan mereka berdua.“Mas,” desah Lika. Naka menoleh dan tersenyum hangat, “Mas disini
Sebelumnya, di dalam kamar yang mewah, dindingnya dilapisi wallpaper berpola elegan dan perabotan kayu mahoni yang mengilap, suasana yang semestinya hangat dan menyenangkan itu kini terselip ironi. Ivanka berbaring di ranjang besar yang dipenuhi bantal-bantal empuk berbalut kain satin, matanya menatap lemah ke arah pintu yang terbuka.Suaranya yang membisu, hanya tersisa senyum tipis yang muncul di bibirnya saat suaminya, dengan langkah mantap, memasuki ruangan bersama Lika. Lika, gadis muda berparas polos yang tengah mengandung anak suaminya, tampak kikuk dan gugup berdiri di ambang pintu, tangan gemetar sedikit memainkan ujung gaunnya.Lantai parket mengilap memantulkan cahaya lampu kristal yang tergantung di atas, menambah kemilau pada suasana yang sejatinya pahit. Di sudut kamar, sebuah kursi empuk tampak kesepian, menjadi saksi bisu atas segala pergolakan yang terjadi di ruangan tersebut. Di atas meja rias, bingkai foto pernikahan Ivanka dan suaminya masih berdiri kokoh, seolah m
Karena hari sudah larut, Lika mau pulang. namun Ivanka menahannya, untuk bermalam dirumahnya. Tentu saja Lika menolaknya. “Kenapa, ini akan jadi rumahmu juga.” Kata Ivanka.“Tolong jangan bicara begitu, sungguh aku jadi tidak nyaman.” Ucap Lika mendesah.“Maaf,” cicit Ivanka. “Tidak apa.. Aku pulang, nanti aku main lagi.”“Kapan?” desak Ivanka, dia seperti menyukai Lika. Ivanka dulu menyayangi Sarah, adiknya. Tapi ketika besar malah Sarah terlihat membencinya. Ivanka butuh teman mengobrol, hal yang tidak dia dapat dari teman dan keluarganya.Lika seperti sedang berpikir. “Humm.. Nanti kalau aku libur bekerja.”“Kamu masih kerja. Resign Lika, kasihan kandunganmu.” Ivanka tulus mengatakannya.“Iya, Mas Naka juga bilang begitu. Tapi aku.. Humm, masih mau kerja hihihi,” kikiknya, Lika memang masih muda. Dia gadis yang ceria dan pemberani, sejak sama Naka saja dia berubah jadi pendiam, seolah menyimpan banyak masalah.Teringat dulu dia mengejar Naka untuk dimintai tanggung jawab, tadi Iva
Anulika menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri di tengah gosip yang berkembang di kantor. Mulai gencar Lika yang sedang isi, mengingat gadis itu belum pernah menikah. Mencoba abai, tapi tetap saja kabar miring itu sampai ke telinganya.Hari itu, ia memakai blus longgar berwarna pastel dan rok hitam yang sedikit longgar, sengaja dipilih untuk menyembunyikan perubahan tubuhnya yang masih belum terlalu terlihat. Sebenarnya dia enggan menyembunyikan kabar itu, namun apa daya tidak mungkin dia mengatakan hamil anak bosnya, bisa heboh satu kampung ini.“Kayanya sih iya yah..” ujar salah seorang karyawan disana. padahal Ceceu Kim sudah tidak ada, tapi ternyata masih banyak yang julid juga.Seorang karyawan bagian keuangan memindai tubuh Lika, dari atas sampai bawah. “Hamil neng,” candanya, tapi lebih tepatnya menyindir Lika. "Benar aku curiga kamu hamil, Lika," ucap salah seorang rekan kerjanya dengan nada ingin tahu. Lika memandangnya tajam, namun tentu saja Lika tidak akan diam s
“Ada apa?” tanya Naka dengan tegas, begitu melihat Ivanka yang menangis dikamarnya. Wanita itu menggeleng, menghapus air matanya dengan tissue.Tadi suster yang merawatnya mengabarkan, Ivanka menangis usai dijenguk mama Adela, mama tiri Ivanka. Hal itu tentu membuat Naka berang, pasalnya Adela adalah mama Ivanka, terlepas mama tiri atau kandung tapi mengapa selalu menyiksa Ivanka.“Babe..” lirih Ivanka.“Katakan padaku, Ivanka. Jangan membuatku marah,” teriak Naka, sudah dalam puncak emosinya.Anulika yang berada diluar terkejut mendengar suara teriakan Naka, dia dibawa Naka karena pria itu tidak mau membiarkan Lika sendirian di apartemennya.“Jawab!” teriakan Naka menguar hingga keluar.Lika tanpa sadar menegurnya, “Mas,” tegurnya, tanpa mau ikut campur.Namun melihat Ivanka yang menangis sesenggukan, Lika tidak tega dan memeluknya. “Tenang kak,” ucapnya, kini memanggil Ivanka dengan sebutan ‘kak’.Naka tahu apa yang dikatakan Adela, karena suster menceritakan. Namun dia ingin menden
Dug!Dug!Huaaaaaaa… “Mamiiiii…” jerit Galaxy saat galen menggetuk kepalanya dengan mainan.Lika menghela napas penuh kesabaran, si kembar berantem lagi. Namanya anak laki-laki, bermainnya selalu adu fisik memang.Merasa jantungnya berhenti sejenak melihat Gala dan Galen, anak kembarnya yang berusia dua tahun, saling dorong dan terjatuh bersamaan. Dari kejauhan, tangis mereka menggema, memecah kesunyian sore itu. Mama Nyra, yang baru tiba langsung mendengar keributan itu. Dari pintu masuk ia bergegas mencari sumber suara."Kenapa ini?" tanya Mama Nyra seraya memisahkan kedua cucunya yang masih saling tarik.Gala, dengan mata berkaca-kaca, menunjuk ke arah mainan truk kecil yang tergeletak di antara mereka. "Galen ambil mainan Gala, Oma!" ujarnya dengan suara terisak.Sementara Galen, yang juga tidak kalah sedihnya, menggenggam erat mainan itu. "Tapi Gala yang mulai, dia yang dorong Galen dulu!" sahutnya, mencoba membela diri.Mama Nyra menghela napas, hatinya terasa berat melihat cucu
Degh!Lika menggenggam lengan kemeja Naka dengan erat, matanya menyala seakan bisa membakar apa saja yang dilihatnya. Noda lipstik merah di kain putih itu seperti bukti pengkhianatan yang tidak bisa dipungkiri.“Mas…!” teriaknya memanggil sang suami yang sudah merebahkan diri di ranjang. Habis pulang bekerja, main dengan anak lalu masuk kamar.Naka kaget, ia kira istrinya jatuh di kamar mandi. Dengan berlari Naka menemui sang istri yang ternyata sudah ada di hadapannya.“Kenapa sayang, kamu kenapa?” desah Naka khawatir.Lika manyun, kesal sekali hati ini."Mas selingkuh ya? Siapa ini? Kenapa ada lipstik di kemeja kamu?" suaranya meninggi, penuh tuduhan.Naka terpaku, kebingungan menyelimuti wajahnya. Dia memandangi kemeja yang ditunjuk Lika, sama terkejutnya.Hah!Kenapa ada noda merah di bagian lengan kemejanya.“i-ini..”“Nggak ngaku? Tega kamu, mas!” pekik Lika.Naka menarik kemeja itu, melihat dengan seksama. "Sayang, aku nggak tahu noda ini darimana," katanya, suaranya mencoba me
Naka melingkarkan tangannya di pinggang sang istri, kemudian mengecupi leher jenjang Lika yang terekpose sempurna. Karena wanita itu hanya mengenakan dress hamil model kemben.“Senang kan?” tanya Naka memeluk istrinya dari belakang.Lika yang sedang mengeluarkan pakaian dari koper hanya bisa mengangguk dan melenguh dengan mesra.“Mandu dulu sana,” kata Lika lembut.Namun Naka menolak, dia hanya mau mandi Bersama istrinya. “Mandinya sama kamu,” bisiknya dan mengulum daun telinga Lika dengan penuh perasaan.“Mas ih, katanya dinas. Kok malah mesum sama aku sih,” ketus Lika berpura-pura. Naka tertawa, dia memang sengaja mengajak istrinya ke Bandung menemaninya dinas.Lika akan di dalam hotel, sedangkan Naka dengan pekerjaannya. Tidak begitu sibuk, makanya dia bisa mengajak Lika. Naka diminta jadi pembicara di sebuah seminar dan Naka juga akan melakukan pertemuan dengan klien bisnis di Bandung.“Mesum sama istri sendiri boleh banget,” kata Naka lagi, dekat sekali sampai Lika bisa merasakan
Ternyata wanita kalau sedang cemburu, terus saja cemberut. Dari Bali sampai Jakarta, rasa cemburu itu tetap dibawa Anulika. Meski Naka sudah berulang kali menjelaskan siapa Martha.Naka mencoba menggenggam tangan Lika yang terlipat di atas meja makan, namun Lika segera menariknya kembali. Wajahnya masih memendam amarah, bibirnya menggigit erat tanpa berkata-kata. "Sayang, cemburu itu wajar, tapi kita harus berbicara," ucap Naka dengan lembut, mencoba mencairkan suasana.“Habis klien kamu cantik,” ketus Lika.Naka menghela napasnya, namun terselip senyum tipis di bibirnya. Dicemburui, artinya kita dicintai. Dan Naka menyukai itu, ia selalu suka ketika Lika cemburu padanya. Menandakan bukan hanya dia yang cinta, tapi istrinya juga.“Tetap saja, tidak ada yang mengalahkan istri aku,” puji Naka.Dipuji malah makin manyun, “Kenapa lagi?”“Kalau kamu tergoda gimana, mas?” Suaranya bergetar, rasa cemburu dan ketakutan bercampur menjadi satu. Naka menghela napas, menatap istrinya yang sedang
Lika membuka pintu kamarnya yang mengarah ke balkon cottage, ia hendak keluar untuk makan pagi. Namun, ia menjadi kaget melihat sekian banyak bunga yang menghiasi. Sisi kiri kanan dihias bung-bunga indah yang hidup, aromanya terasa menyegarkan di hidung Lika.Lika memindai kesegala arah, kenapa jadi sepi. Kemarin banyak pelayan, karena ia tahu mama mertuanya tidak bisa hidup tanpa pelayan.Deg!Lika menunduk, dia melihat banyaknya kelopak bunga mawar merah di lantai, seperti tertarah ke suatu tempat.‘Ini ada apa sih?’ tanya hatinya, sedikit cemas.Lika terus berjalan, tujuannya malah pintu keluar. “Halo,” panggilnya pada siapa pun yang ada di dalam cottage.Jantungnya berdegup kencang, bertanya-tanya siapa yang mungkin melakukan ini. Dia berjalan menuju ruang tamu, dan napasnya tertahan. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma mawar putih, bunga kesukaannya, dan banner besar bertuliskan "Selamat Ulang Tahun, Istriku.. Anulia!" tergantung di dinding.Lika mengusap matanya, tidak percaya den
Lika bimbang, dia diajak pergi mertu ke Bali. Senang sekali, memang maunya jalan-jalan. Tapi Naka tidak bisa ikut, kata Mama Nyra, Naka akan ada pekerjaan di luar kota.“Tidak apa, sayang. Nanti kalau sudah selesai aku bisa nyusul,” kata Naka meredakan ketegangan antara mereka.“Kalau nggak bisa?” tanya balik Lika.“Yaa, kita ketemu di rumah,” kekehnya merasa geli dengan pertanyaan Lika.“Aku di Bali palingan tiga hari, mas. Masa enggak bisa nyusul sih?”Naka menghela napasnya, istri sudah mulai merajuk minta jalan-jalan. Naka tahu ini keinginan si baby. Karena baby ketiga ini, sering kali membuat maminya menjadi absurd.“Kamu tahu aku ingin sekali. Bersenang-senanglah sayang, ada mama dan si kembar.”Lika manyun, Naka tertawa geli dan menarik istrinya ke dalam pelukannya. “Jangan begini, belum pisah aja aku udah rindu,” kekeh Naka.“Aku maunya sama mas Naka.” Naka suka lemah kalau istrinya sudah merajuk manja seperti ini. Berasa sang istri tidak bisa berpisah jauh dengannya saja.Nak
Bumil ngidam maunya jalan-jalan terus, tapi bagaimana. Naka sedang sibuk-sibuknya di kantor, banyak pekerjaan. Apalagi beberapa bulan lalu, Naka sempat On-Off bekerjanya. Maklum sedang sindrom kehamilan, jadi selalu mual yang membuatnya tidak nyaman.Kalau meeting dengan beberapa klien yang menggunakan parfum segala rupa, makin-makin terasa mual perutnya. Daripada tidak enak, yang berujung sikap tidak sopan. Naka memutuskan cuti dua minggu, digantikan oleh Papa Ben yang merengut karena harus kembali bekerja.Tapi ketika Naka menjanjikan jika si kembar boleh diajak ke Belanda, Papa Ben langsung semangat. Mau mengenalkan beberapa Sejarah keluarga pada si kembar, Papa Ben. Tapi belum dapat izin dari putranya, karena merasa Gala dan Galen masih terlalu kecil untuk terbang jauh.“Mas kerja lagi?” tanya Lika dengan wajah sendunya.“Iya sayang, banyak banget lagi meetingnya.”“Kapan jalan-jalannya?”“Bukannya kemarin sudah jalan sama Mama Nyra ke mall?” Lika memang izin jalan sama Naka, tapi
Hari itu, ruangan klinik kandungan dipenuhi dengan rasa harap dan cemas. Naka memegang tangan Lika dengan erat saat mereka menunggu hasil USG. Cahaya lembut dari layar monitor memantulkan bayangan kecil yang bergerak-gerak, sebuah tanda kehidupan baru yang sedang tumbuh. Mata Lika berbinar, senyumnya merekah saat dokter mengonfirmasi bahwa ia hamil empat minggu."Kembar lagi tidak, Dok?" tanya Naka penuh harap, mengingat kenangan manis saat mereka dikaruniai anak kembar sebelumnya.Sayangnya, dokter menggeleng, "Untuk saat ini hanya satu, Pak Naka."Kekecewaan sejenak terlukis di wajah Naka, namun segera digantikan oleh senyum tulus. Satu atau dua, setiap kehadiran anak adalah berkah yang tak terhingga.Namun, ada hal lain yang mengusik Naka. Belakangan ini, ia sering merasa mual dan bahkan muntah. Ia mencurahkan perasaannya pada dokter yang memeriksanya dengan seksama."Ah, ini wajar, Pak Naka. Anda terkena sindrom kehamilan, sering terjadi pada suami yang sangat mencemaskan istrinya
Lika memegang tangan Naka yang tampak pucat di atas ranjang sederhana mereka. suaminya sudah pulang dari rumah sakit, tidak dilakukan rawat inap. Dokter menyatakan suaminya kelelahan saja, lambung semua organ tubuh sudah dilakukan pengecekan dan aman.Keningnya berkerut ketika melihat suaminya itu muntah lagi. Naka hanya bisa meringis, mencoba menahan rasa mual yang tak kunjung reda. Ruangan itu seketika dipenuhi aroma parfum si kembar yang bermain di sudut kamar, membuat Naka mengerang pelan.“Nyengat banget sih Yang, si kembar parfumnya,” desis Naka."Mas, sakit apa sih?" Lika mengusap punggung Naka perlahan, suaranya terdengar bergetar karena kekhawatiran.Naka mencoba tersenyum lemah, "Aku nggak tahu,sayang. Tapi aku merasa lebih baik kalau kamu di sampingku." Ucapannya terhenti ketika mual datang lagi, memaksanya untuk menutup mulut dengan tangan.Lika semakin frustasi, matanya berkaca-kaca melihat suaminya yang tak kunjung membaik. Si kembar, yang sejak tadi asyik dengan permain