"Nggak, enak saja!" Kardi menepis tangan Herni yang memintanya untuk lanjut. Rasanya tidak rela jagoannya harus masuk sekali lagi ke dalam tubuh Herni. Meski suka asal main, Kardi tetap memilih dalam menentukan tempat jagoannya bersarang."Kalau kamu tidak mau aku akan berteriak agar suami dan anakku bangun. Kalau sudah begitu, kamu tahu kan apa yang akan terjadi?" Herni menahan tangan Kardi yang ingin mengenakan celananya.Dengan berat hati Kardi mengangguk. Mengikuti keinginan Herni, meski dalam hati ia mengumpat Aira yang telah menjebaknya sehingga Herni lah teman mainnya malam ini. Padahal Aira menjanjikan Naya sebagai penghuni kamar belakang."Sialan!" umpat Kardi. Mendorong Herni ke ranjang dan memintanya untuk sedikit mengangkat pinggulnya agar ia bisa masuk tanpa melihat wajah Herni. Meski longgar dan tak ada rasa, tak apa, yang jelas ia bisa keluar dari sana tanpa ketahuan Rendi ataupun Kendra.Herni yang telah lama tak dapat nafkah batin benar-benar gelap mata rela menerima
Tidak sanggup lagi membujuk Kendra, Herni menemui Rendi yang masih ada di kamar bersama Naya. Berharap pria itu mau membantunya untuk berbicara dengan Kendra agar berhenti mengemasi barang-barang dan membatalkan niatnya untuk pergi."Mas, aku mohon buka dulu pintunya. Aku ingin bicara dan meminta tolong padamu, Mas. Memang kamu bukan ayah kandungnya Kendra, tapi kamu adalah pamannya. Aku mohon padamu buka pintunya!" teriak Herni di depan pintu kamar. Ia benar-benar butuh bantuan Rendi untuk menahan kepergian Kendra.Kalau Kendra turut pergi seperti yang dilakukan Lilly, Herni tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk menghadapi hidup seorang diri di rumah tersebut. Ia yakin tidak akan sanggup jika tanpa anaknya."Mas?!" Herni masih mengetuk pintu kamar dan menyeru agar Rendi mendengar suaranya."Ada apa?"Rendi membuka pintu. "Jangan lagi membuatku sibuk mengurus urusanmu, Her. Karena selama ini kamu telah mengajarkan aku untuk hidup tanpa ikut campur tangan darimu. Maka dari itu, aku m
"Mas," panggil Naya, seraya mendekati Rendi yang tengah berdiri di balkon toko. Menatap lapangan desa, yang kini dipenuhi banyak orang. Melakukan banyak persiapan untuk pasar malam yang akan digelar beberapa hari lagi.Disana Rendi tampak termenung, sendirian. Tatapannya begitu kosong, seakan nyawanya kini terbang entah kemana."Mas, kamu melamun?" tanya Naya, sembari memeluk sang Rendi dari belakang. Menyandarkan kepala di punggungnya Rendi. "Kalau boleh, aku ingin kamu membaginya denganku agar semua beban yang ada di pundakmu berkurang. Meskipun aku tidak bisa menghapus semua beban itu, setidaknya aku bisa ikut menampung semua luka itu."Mata Rendi terpejam. "Sungguh aku tidak pernah menyangka hidupku bisa berantakan seperti sekarang. Semua kebaikan yang aku lakukan telah dibalas dengan segala luka dan keburukan. Beruntung, kamu datang dan menjadi penerang bagi hidupku. Sehingga aku masih bisa hidup dengan baik hingga detik ini.""Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika k
Sekitar satu Minggu lebih berlalu semenjak kejadian Herni yang dikerjai dua orang tukang yang bekerja di rumahnya. Pagi-pagi sekali ia dikejutkan dengan kedatangan Kendra, yang datang dalam keadaan emosi. Pria itu mengetuk pintu tanpa jeda, tidak sabar bertemu dengan sang ibu."Ken, bisa tidak kamu sopan sedikit? Katanya tidak lagi ingin kembali ke rumah ini, tapi kamu malah datang dan membuat keributan seperti ini. Di mana otakmu?!" sergah Herni, dengan mata yang membulat. Ia terganggu dengan Kendra yang tiba-tiba saja membuat kegaduhan, sedangkan dirinya sedang tidak enak badan.Alih-alih menjawab, Kendra malah nyelonong masuk. Terus menuju kamar belakang yang kini ditempati Herni. Dengan cekatan Kendra memasukan pakaian Herni yang ada di lemari ke dalam sebuah koper yang ada di atas lemari."Eh, ini apa-apaan? Kamu ngapain masukin barang-barang Ibu kesini, Ken? Kamu sudah gila?"Herni menyergah. Memukul lengan Kendra dan menarik-narik bajunya agar berhenti memasukkan barangnya ke d
Herni masih diam. Duduk melipat kedua tangannya di depan dada, memandangi Kendra yang mulai membersihkan debu di toko, sebelum menyambut kedatangan pembeli. Sangat bersih dan tertata rapi, meski tak ada karyawan lain yang membantu Kendra di toko."Ibu mau sarapan apa? Biar aku belikan, sekalian membeli cairan pembersih lantai di depan pasar." Kendra menyapa Herni, yang kini masih duduk di meja kasir. Bibirnya masih mengerucut, tidak suka dikekang Kendra seperti sekarang.Herni yang biasa hidup lepas tanpa aturan sama sekali tentu saja pusing tujuh keliling diawasi seperti sekarang. Sehingga ia tidak ingin membuka mulutnya sampai Kendra mau mengikuti apa yang ia inginkan."Bu, coba buang semua egonya. Agar aku pun bisa menjadi anak yang berbakti kepada Ibu dan menuntun pada jalan yang baik. Aku kasihan sama Ibu hidup tanpa arah seperti sekarang. Apa Ibu ingin, terus menerus hidup tanpa arah, tanpa kebahagiaan dan selalu menemukan kesialan."Kendra bersimpuh di depan Herni. Menggenggam
Sumpah demi apapun, Naya sudah memberikan izin kepada Rendi untuk pergi ke Puskesmas. Agar suaminya itu pergi membesuk Herni. Meski agak berat, tapi Naya tetap memberi izin karena ia percaya Rendi tidak akan pernah macam-macam.Naya percaya, Rendi tidak akan mengingkari janji yang telah dibuat.Alih-alih pergi, Rendi malah bergelung di bawah selimut. Menggigil kedinginan karena terlalu lama bermain air di bathub. Alhasil ia tak sanggup meninggalkan selimut untuk beberapa jam ke depan.Naya yang melihat Rendi terlelap tak ingin menganggu. Ia beranjak ke dapur untuk membuat bubur seperti yang Rendi inginkan. Beruntung, masih ada bahan yang bisa ia manfaatkan. Untuk pewarna dan perasa, Naya menggunakan daun pandan yang tumbuh di belakang rumah.Cukup lama juga Naya berkutat dengan alat-alat dapur, dan ketika bubur siap disajikan ia mendengar seseorang menyeru dari luar rumah. Segera Naya melihat siapa tamu yang datang berkunjung ke rumahnya."Selamat pagi, Bu Naya. Pak Rendi ada?" sapa k
"Karena Bu Naya sedang hamil, jadi saya sarankan jangan melakukan donor darah." Perawat tersebut menuliskan sesuatu di sebuah kertas. "Silahkan temui dokter Andrean untuk pemeriksaan lebih lanjut. Bu Naya juga bisa melakukan USG, karena Puskesmas kita sudah lengkap layaknya seperti rumah sakit. Jadi …""Kami ke batas saja, Mbak. Sekalian membeli sesuatu," potong Naya cepat. Mengusap tengkuknya, merinding melihat tatapan tajam Rendi yang begitu horor. "Terima kasih atas semuanya." Tangannya terulur untuk menjabat tangan wanita paruh baya tersebut."Emm, kalau boleh saya tahu, kenapa malah ke batas ya, Bu? Bukankah disini sudah lengkap? Kita juga memiliki alat yang canggih, hasil donasi dari perantau yang ada di kota.""Tidak kenapa-kenapa, Mbak. Saya hanya ingin melakukan pemeriksaan sekalian jalan-jalan," terang Naya sedikit tidak jujur, karena ia tidak ingin membuat Rendi tidak nyaman dengan Andrean.Lihat saja, baru saja pria itu bahagia karena Naya dinyatakan hamil, kini ia sudah t
Aku tahu, kami berdua bersatu bukan karena cinta, tapi berawal dari sebuah dendam yang dicampur dengan sebuah ambisi untuk melampiaskan amarah dan sakit hati.Namun, aku berani bersumpah demi almarhumah ibuku, aku, tidak pernah membunuh istriku, Yasmin. Akan tetapi, aku tak pernah memiliki daya untuk mengungkap itu semua karena nyawa anakku sendiri sedang terancam.Anak? Ya, Naya, putriku. Dia dijadikan alasan bagi dua orang laki-laki bejat, untuk menekanku agar tak membuka suara tentang pemerkosaan itu. Pemerkosaan yang terjadi karena aku tidak sanggup membayar hutang karena kalah berjudi, tabiat buruk yang tidak pernah mampu aku tinggalkan semenjak ibuku meninggal dunia karena sakit.Maksud hati bertaruh di meja judi untuk mendapatkan uang lebih, tapi nyatanya malah kalah dan berujung pada kematian ibuku. Begitu besar penyesalan yang aku rasakan, tapi tak membuatku berubah tapi malah terus menjalaninya.Dasar bodoh, begitulah penilaian orang banyak padaku setelah mendengar cerita te