"Mas," panggil Naya, seraya mendekati Rendi yang tengah berdiri di balkon toko. Menatap lapangan desa, yang kini dipenuhi banyak orang. Melakukan banyak persiapan untuk pasar malam yang akan digelar beberapa hari lagi.Disana Rendi tampak termenung, sendirian. Tatapannya begitu kosong, seakan nyawanya kini terbang entah kemana."Mas, kamu melamun?" tanya Naya, sembari memeluk sang Rendi dari belakang. Menyandarkan kepala di punggungnya Rendi. "Kalau boleh, aku ingin kamu membaginya denganku agar semua beban yang ada di pundakmu berkurang. Meskipun aku tidak bisa menghapus semua beban itu, setidaknya aku bisa ikut menampung semua luka itu."Mata Rendi terpejam. "Sungguh aku tidak pernah menyangka hidupku bisa berantakan seperti sekarang. Semua kebaikan yang aku lakukan telah dibalas dengan segala luka dan keburukan. Beruntung, kamu datang dan menjadi penerang bagi hidupku. Sehingga aku masih bisa hidup dengan baik hingga detik ini.""Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika k
Sekitar satu Minggu lebih berlalu semenjak kejadian Herni yang dikerjai dua orang tukang yang bekerja di rumahnya. Pagi-pagi sekali ia dikejutkan dengan kedatangan Kendra, yang datang dalam keadaan emosi. Pria itu mengetuk pintu tanpa jeda, tidak sabar bertemu dengan sang ibu."Ken, bisa tidak kamu sopan sedikit? Katanya tidak lagi ingin kembali ke rumah ini, tapi kamu malah datang dan membuat keributan seperti ini. Di mana otakmu?!" sergah Herni, dengan mata yang membulat. Ia terganggu dengan Kendra yang tiba-tiba saja membuat kegaduhan, sedangkan dirinya sedang tidak enak badan.Alih-alih menjawab, Kendra malah nyelonong masuk. Terus menuju kamar belakang yang kini ditempati Herni. Dengan cekatan Kendra memasukan pakaian Herni yang ada di lemari ke dalam sebuah koper yang ada di atas lemari."Eh, ini apa-apaan? Kamu ngapain masukin barang-barang Ibu kesini, Ken? Kamu sudah gila?"Herni menyergah. Memukul lengan Kendra dan menarik-narik bajunya agar berhenti memasukkan barangnya ke d
Herni masih diam. Duduk melipat kedua tangannya di depan dada, memandangi Kendra yang mulai membersihkan debu di toko, sebelum menyambut kedatangan pembeli. Sangat bersih dan tertata rapi, meski tak ada karyawan lain yang membantu Kendra di toko."Ibu mau sarapan apa? Biar aku belikan, sekalian membeli cairan pembersih lantai di depan pasar." Kendra menyapa Herni, yang kini masih duduk di meja kasir. Bibirnya masih mengerucut, tidak suka dikekang Kendra seperti sekarang.Herni yang biasa hidup lepas tanpa aturan sama sekali tentu saja pusing tujuh keliling diawasi seperti sekarang. Sehingga ia tidak ingin membuka mulutnya sampai Kendra mau mengikuti apa yang ia inginkan."Bu, coba buang semua egonya. Agar aku pun bisa menjadi anak yang berbakti kepada Ibu dan menuntun pada jalan yang baik. Aku kasihan sama Ibu hidup tanpa arah seperti sekarang. Apa Ibu ingin, terus menerus hidup tanpa arah, tanpa kebahagiaan dan selalu menemukan kesialan."Kendra bersimpuh di depan Herni. Menggenggam
Sumpah demi apapun, Naya sudah memberikan izin kepada Rendi untuk pergi ke Puskesmas. Agar suaminya itu pergi membesuk Herni. Meski agak berat, tapi Naya tetap memberi izin karena ia percaya Rendi tidak akan pernah macam-macam.Naya percaya, Rendi tidak akan mengingkari janji yang telah dibuat.Alih-alih pergi, Rendi malah bergelung di bawah selimut. Menggigil kedinginan karena terlalu lama bermain air di bathub. Alhasil ia tak sanggup meninggalkan selimut untuk beberapa jam ke depan.Naya yang melihat Rendi terlelap tak ingin menganggu. Ia beranjak ke dapur untuk membuat bubur seperti yang Rendi inginkan. Beruntung, masih ada bahan yang bisa ia manfaatkan. Untuk pewarna dan perasa, Naya menggunakan daun pandan yang tumbuh di belakang rumah.Cukup lama juga Naya berkutat dengan alat-alat dapur, dan ketika bubur siap disajikan ia mendengar seseorang menyeru dari luar rumah. Segera Naya melihat siapa tamu yang datang berkunjung ke rumahnya."Selamat pagi, Bu Naya. Pak Rendi ada?" sapa k
"Karena Bu Naya sedang hamil, jadi saya sarankan jangan melakukan donor darah." Perawat tersebut menuliskan sesuatu di sebuah kertas. "Silahkan temui dokter Andrean untuk pemeriksaan lebih lanjut. Bu Naya juga bisa melakukan USG, karena Puskesmas kita sudah lengkap layaknya seperti rumah sakit. Jadi …""Kami ke batas saja, Mbak. Sekalian membeli sesuatu," potong Naya cepat. Mengusap tengkuknya, merinding melihat tatapan tajam Rendi yang begitu horor. "Terima kasih atas semuanya." Tangannya terulur untuk menjabat tangan wanita paruh baya tersebut."Emm, kalau boleh saya tahu, kenapa malah ke batas ya, Bu? Bukankah disini sudah lengkap? Kita juga memiliki alat yang canggih, hasil donasi dari perantau yang ada di kota.""Tidak kenapa-kenapa, Mbak. Saya hanya ingin melakukan pemeriksaan sekalian jalan-jalan," terang Naya sedikit tidak jujur, karena ia tidak ingin membuat Rendi tidak nyaman dengan Andrean.Lihat saja, baru saja pria itu bahagia karena Naya dinyatakan hamil, kini ia sudah t
Aku tahu, kami berdua bersatu bukan karena cinta, tapi berawal dari sebuah dendam yang dicampur dengan sebuah ambisi untuk melampiaskan amarah dan sakit hati.Namun, aku berani bersumpah demi almarhumah ibuku, aku, tidak pernah membunuh istriku, Yasmin. Akan tetapi, aku tak pernah memiliki daya untuk mengungkap itu semua karena nyawa anakku sendiri sedang terancam.Anak? Ya, Naya, putriku. Dia dijadikan alasan bagi dua orang laki-laki bejat, untuk menekanku agar tak membuka suara tentang pemerkosaan itu. Pemerkosaan yang terjadi karena aku tidak sanggup membayar hutang karena kalah berjudi, tabiat buruk yang tidak pernah mampu aku tinggalkan semenjak ibuku meninggal dunia karena sakit.Maksud hati bertaruh di meja judi untuk mendapatkan uang lebih, tapi nyatanya malah kalah dan berujung pada kematian ibuku. Begitu besar penyesalan yang aku rasakan, tapi tak membuatku berubah tapi malah terus menjalaninya.Dasar bodoh, begitulah penilaian orang banyak padaku setelah mendengar cerita te
"Hei, yang benar saja?" Aira tersentak, begitu melihat Kardi datang bersama seorang wanita. Kalau tak salah menerka, wanita itu tampak beberapa tahun lebih tua daripada dirinya."Ayolah, berdua lebih baik karena aku tidak ingin ada yang menganggur." Kardi duduk di tepi ranjang yang ada di gubuk. Menepuk pahanya agar Aira mendekat. "Dan kamu tak perlu khawatir karena hari ini adalah hari terakhir melayani aku, karena setelah ini wanita ini yang akan melayaniku. Dia masih baru dan segelan.""Gayamu, sudah sering kamu mengatakan itu, tapi tetap saja aku yang dicari. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya agar kamu melepaskan aku, Kardi." Meski malas, Aira tetap saja membuka seluruh pakaiannya dan duduk di pangkuan Kardi. "Cepatlah! Aku sedang tak enak badan, jadi tidak bisa berlama-lama seperti ini.""Tidak enak badan?" Kardi menyentuh dahi Aira dengan punggung tangannya. "Tidak panas. Kamu jangan coba-coba berbohong, atau tugasmu akan aku perpanjang.""Demam tak selalu panas," dengus Air
"Bu, makan dulu, ya!" Kendra duduk di samping Herni. Di tangannya ada sebuah mangkuk yang berisi bubur. Sejak tadi pagi Herni belum makan apapun, sehingga dokter mengharuskannya untuk makan sesuatu. Apa saja, asalkan bertekstur lunak.Dan Kendra memilih bubur ditambah segelas susu, untuk pengganjal perut sang ibu. Sungguh besar harapan Kendra, ibunya mau makan agar kondisinya bisa lebih baik lagi.Namun, semua harapan Kendra tak seperti yang pria itu harapkan. Herni justru mendorong bubur yang ada di tangannya, sehingga bubur berserakan di lantai, dengan mangkuk yang terbelah menjadi dua bagian.Kendra menarik napas. "Kenapa, Bu? Apakah Ibu tak ingin sembuh?""Ya, jangankan sembuh. Untuk hidup pun aku tidak mau," dengus Herni, menatap sinis kepada Kendra. Entah kenapa, ia sangat membenci Kendra yang kini terlihat lebih membela Naya dibandingkan dirinya."Bu,""Aku bukan ibumu. Melihat dari caramu memperlakukan aku, sudah jelas bagiku kamu lebih memihak kepada wanita itu. Jadi kepadany