"Aku sudah menyerahkan semua uang padamu. Lalu, kemana uang itu? Kamu tahu, bukan? Hubungan kita tidak direstui ibuku, sehingga aku harus banting tulang agar bisa menikahimu. Agar aku bisa buktikan kepada ibuku kalau kita bisa membuat pesta pernikahan tanpa bantuan darinya!"
Seorang pria tampak mencecar dan memaki seorang gadis, di sebuah gubuk yang ada di tepi sawah. Pria yang kerap disapa Kendra itu tidak sanggup menahan emosinya, ketika mengetahui uang yang selama ini dititipkan kepada sang kekasih habis tanpa sisa. Digunakan untuk bermain judi, oleh calon mertuanya sendiri. "Ma-afkan aku, Mas. Aku sungguh tidak memiliki maksud untuk menyerahkan uang itu kepada ayah. Hanya saja aku tidak sanggup menolak keinginan ayah yang ingin meminjam uang itu, hanya sekali. Dan tak tahu kalau kesempatan itu dijadikan Ayah untuk mengambil terus menerus." Gadis bertubuh mungil itu mulai terisak. "Kalau hari itu aku tidak mau, ibu yang akan menjadi sasarannya. Aku tidak mau itu terjadi, Mas." "Ck, benar kata ibuku. Tidak seharusnya aku menikah denganmu!" Kendra memotong perkataan gadis yang telah dipacarinya selama dua tahun belakangan ini. Sungguh ia kecewa dan sakit hati pada gadis bernama Naya Agustin tersebut. "Mas, tolong mengerti. Aku tidak bisa menolak keinginan ayah. Aku sangat menyayangi ibu." "Bukan begitu caranya. Kamu tidak bisa menuruti keinginan ayahmu seperti ini. Kalau sudah habis begini, bagaimana caranya kita menikah? Semua yang yang aku titipkan padamu sudah habis tak bersisa. Sekarang apa? Pakai apa kamu mau bayar wedding organizer yang telah aku booking? Dengan apa? Tubuhmu?" Kendra menatap tajam kepada Naya, yang tampak ketakutan karena suaranya yang begitu tinggi. "Lebih baik batal saja. Daripada harus menanggung malu. Aku sudah terlanjur mengatakan kepada semua warga kampung akan mengadakan acara pernikahan besar-besaran. Tapi nyatanya ini yang kudapat," keluh Kendra, patah semangat. Ia tidak bisa membayangkan betapa malunya jika menikah tanpa pesta, pasca beberapa tahun merantau ke negeri orang. Hanya demi sebuah pesta pernikahan. Sekaligus membuktikan kepada sang ibu, ia sanggup menanggung hidup Naya tanpa bantuan dari harta kedua orang tuanya. Bahkan Kendra sudah membuat sebuah tabungan untuk membuka toko kecil-kecilan setelah menikah nanti. Tapi nyatanya apa? Naya malah lalai sehingga seluruh uang yang di kirim dihabiskan ayahnya untuk berjudi. Kini Kendra pulang hanya untuk mendengar kepahitan. Tubuh Kendra terasa lemah. Ia bersandar pada tiang gubuk yang kini mereka tempati. Tatapannya begitu nanar menatap hamparan sawah yang terbentang luas. "Maafkan aku, Mas. Aku mohon maafkan aku. Aku akan melakukan apa saja asalkan kita tidak batal menikah. Aku sangat mencintaimu. Maafkan kebodohanku yang tidak menjaga amanat darimu." Naya melompat turun dari gubuk dan bersimpuh di hadapan Kendra. Gadis itu benar-benar takut sekarang. Kendra tidak lagi mau menikah dengannya, setelah uang yang ada di rekening habis tanpa sisa. Naya berani bersumpah demi apapun, dia bulan yang lalu masih cukup untuk menggelar pesta pernikahan. Akan tetapi, tadi pagi sudah habis tanpa sisa, setelah ATM nya hilang beberapa hari yang lalu. Anehnya, sang ayah tiba-tiba saja datang dan menyerahkan kartu tersebut. Dengan dalih, ditemukan di dekat kamar mandi. Padahal Naya tidak pernah mengotak-atik kalau bukan untuk memeriksa uang kiriman Kendra. Naya tidak pernah menyangka bisa menjadi seperti ini. Andai saja hari itu ia mendengarkan kata hatinya, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Andai saja hari itu ia pergi ke mesin ATM untuk memeriksa saldo, tentu saja ini tidak akan pernah terjadi. Ia dan Kendra sudah pergi ke wedding organizer untuk mempersiapkan pernikahan mereka. Bukannya duduk di sebuah gubuk yang ada di tepi sawah, membicarakan pembatalan rencana pernikahan mereka. "Tidak. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Kita cukup sampai disini." Kendra mencengkram kuat lengan Naya dan menuntunnya untuk berdiri. "Tapi, aku tidak akan melepaskan kamu begitu saja. Kamu harus tetap tanggung jawab dan mengganti uang itu!" Menyergah tepat di hadapan wajah cantik Naya. Naya menggeleng cepat. "Aku mohon, Mas. Jangan begini, ayah sudah janji akan mengganti uang itu. Katanya dia menang judi." "Tidak, aku tidak lagi ingin menikah denganmu. Aku tidak sudi memiliki istri pembohong dan mertua tukang judi seperti ayahmu!" Kendra mendorong Naya, hingga terduduk di atas lantai papan gubuk. Sebelum gadis itu sempat bangkit, Kendra segera beringsut naik dan menindih tubuh mungilnya. "Apa yang kamu lakukan, Mas?" Naya tersentak. Ketika Kendra lepas kendali dan menuntut harga dirinya untuk direnggut sebagai pengganti uang yang telah hilang. "Aku akan mengambil bayaran atas uang yang telah dihabiskan oleh ayahmu!" Desisnya dengan senyuman tipis yang terukir di bibirnya. Ia lupa diri. Gelap mata dan tak peduli dengan tangisan serta permohonan maaf Nayla. Paksaan demi paksaan di lakukan Kendra, membuat Naya kehilangan pakaiannya. Ia lupa akan rasa cintanya kepada Naya. Namun …. "Apa yang kalian lakukan di gubukku?" Sergah seorang pria paruh baya, yang tiba-tiba saja sudah berada di depan gubuk. Tubuhnya menegang melihat sepasang anak manusia yang ingin melakukan hubungan suami istri, padahal mereka berdua belum sah sama sekali. "Pak Yatno!" Kendra tersentak melihat pria yang kerap disapa Yatno, yang tidak lain adalah ketua pengurus masjid di kampung mereka. "Ini tidak seperti yang Bapak lihat," sambung Kendra seraya memasang celananya dengan benar. Beruntung ia hanya menurunkan celananya hingga lutut, sehingga bisa secepat kilat bisa berkemas. Tapi tidak bagi Naya. Ia harus menebalkan muka untuk meraih roknya yang mengenakannya hingga menutupi tubuhnya.. "Kalian belum menikah. Tapi sudah melakukan ini? Tidak bisa dibiarkan!" sergah Yatno. Mengacungkan sabitnya kepada Naya dan Kendra secara bergantian. "Ini tidak seperti yang Bapak lihat." Kendra mengangkat kedua tangannya. "Naya tidak terima saya putuskan, makanya dia goda saya, Pak. Siapa yang tidak tergoda? Saya rasa jika Bapak di posisi saya juga mau." "Bohong! Dia ingin perkosa saya, Pak. Sebagai balasan atas kelakuan ayah saya yang menggunakan tabungannya untuk main judi." Naya membela diri. "Ck, jangan lagi berbohong kamu. Lihat, tubuhmu polos. Aku tidak!" Kendra tidak mau kalah. "Itu karena kamu yang memaksa. Lihat, ada luka lebam di tubuhku!" memperlihatkan tangannya yang biru karena cengkraman Kendra. "Tidak peduli siapa yang salah, yang jelas kalian harus dinikahkan saat ini juga!" Yatno mengambil keputusan. Dengan ancaman sabit di tangannya, pria paruh baya itu menggiring Kendra dan Naya keluar dari area sawah menuju ke balai desa. Mereka akan dipaksa menikah saat ini juga."Apa Ibu bilang? Wanita ini tidak layak untukmu." Seorang wanita paruh baya menunjuk Naya yang duduk, menunduk di hadapannya. Seakan seperti seorang tersangka, Naya di kelilingi oleh keluarga besar Kendra."Aku pikir dia layak diperjuangkan. Tapi nyatanya dia pula yang membuatku ke kecewa." Kendra melemparkan kopiah yang bertengger di atas kepalanya. "Sekarang terserah Ibu. Ingin menjadikan dia pembantu atau sejenisnya. Aku tidak peduli!" Melangkah pergi meninggalkan Naya seorang diri.Pria bertubuh tinggi tegap itu mengabaikan Naya yang tadi sore baru dinikahi. Tepatnya setelah tertangkap basah oleh Yanto di gubuk. Mau atau tidak, demi menghindari pengusiran Kendra menikahi Naya.Dan kini di sinilah Naya berada. Di depan keluarga besar Kendra yang menatap jijik kepadanya. Terutama Herni, ibu kandung Kendra yang tidak pernah sekalipun merestui hubungan mereka berdua."Kalau memang semuanya diserahkan kepada Ibu, Ibu ingin kamu menerima perjodohan dengan Aira. Minggu depan kalian harus
Satu minggu ini Naya dihadapkan dengan persiapan pernikahan Kendra dan Aira. Ia sibuk membantu agar rencana pernikahan sang suami bisa berjalan dengan lancar.Dengan menahan segala sakit hati, Naya tetap melakukan apapun yang diminta oleh ibu mertuanya. Semua ia lakukan bukan karena takut atau sejenisnya, tapi ia melakukan itu semua agar bisa mendapatkan sedikit uang sebagai upah. Karena Kendra tidak pernah menganggapnya sebagai istri, tentu saja tidak ada nafkah baik secara lahir dan batin untuk Naya.Sedangkan ayah dari Naya sering meminta uang kepadanya untuk berjudi. Belum lagi sang ibu yang kadang datang dan mengatakan tidak ada beras di rumah."Bu, setelah acara pernikahan mas Kendra selesai aku ingin mencari pekerjaan. Aku tidak mungkin seperti ini terus karena biasanya aku yang membiayai ibu di rumah."Kata-kata itu akhirnya keluar juga dari mulut Naya. Setelah enam hari ia tahan dan telan sendiri. Akan tetapi, setelah akad nikah Kendra dan Aira selesai, kalimat itu keluar jug
Naya meremas kuat dress yang ada di tangannya. Seraya melirik Rendi yang ada di sampingnya."Tidak apa-apa. Pakailah, saya akan menghadap ke dinding sana." Rendi segera berbalik ke arah dinding agar Naya bisa segera berganti pakaian.Naya mengangguk. Meski gugup dan malu, tapi ia yakin Rendi akan menepati janjinya untuk tidak melihat. Cepat Ia membuka dasternya yang telah basah.Dress merah maroon yang ada di tangannya, sepertinya cukup aman digunakan meskipun bra-nya sedikit basah.Namun, saat daster Naya terlepas. Ia melihat ada cup di bagian depan dress tersebut. Itu artinya ia bisa melepaskan bra-nya yang basah.Tidak perlu waktu lama bagi Naya untuk berganti pakaian. Dress maroon yang begitu sempit di tubuh mungilnya telah terpasang. Meski resleting bagian belakang belum mampu ditutup dengan baik.Naya mencoba. Terus meraih resleting dan menariknya. Tapi sayangnya terus saja gagal karena ukuran dress yang kurang layak untuknya."Ba-bapak, bisa bantu aku?" Gugup dan berkeringat di
“Naya!!”Seluruh ruangan di periksa Herni. Mencari keberadaan Naya yang tidak lagi terlihat batang hidungnya semenjak dibawa Rendi masuk ke rumah.Rahang wanita itu mengeras. Melampiaskan rasa kesal karena tak kunjung menemukan sosok Naya yang sedari tadi dicari. Padahal tamu undangan semakin ramai dan piring kotor menggunung di belakang.“Kemana dia? Berduaan dengan Rendi, kah? Dasar wanita murahan, mau saja sama tua bangka penyakitan seperti Rendi!” umpatnya. Menendang barang apa saja yang menjadi penghalang baginya dalam berjalan.“Apalagi yang kurang bagimu, Herni!” Rendi menghadang langkah Herni yang ingin menuju ke arah gudang. Ia tidak ingin sang istri mengganggu Naya beristirahat.“Kurang katamu? Banyak!! Tidak perlu aku sebutkan karena kamu sendiri yang akan malu. Jadi lebih baik kamu awas, sebelum aku lepas kendali!” pekik Herni tepat di depan Rendi.“Aku tidak akan membiarkanmu mengganggu dia lagi!”“Oh, begitu? Sudah bisa melarangku demi melindungi wanita murahan itu?” Waj
Kamu pegang ini!” Herni menyerahkan segelas jamu ke tangan Naya. Masih terasa hangat di kulit telapak tangan Naya. “Ini jamu penghilang nyeri untuk Aira. Kamu diam disini dan langsung serahkan begitu mereka selesai!”Menekan pundak Naya agar duduk di sebuah kursi plastik yang ada di depan pintu kamar Kendra.Tubuh Naya berkeringat dingin. Melihat dengan jelas bagaimana situasi kamar pengantin yang ada di hadapannya. Meskipun pintu tidak terbuka secara utuh, tapi tetap saja matanya bisa menangkap bagaimana kini Aira bergelayut manja pada Kendra. Membuka kaos tipis yang dikenakan Kendra dengan gerakan lambat.Agar Naya semakin panas, Aira langsung memagut bibir Kendra dan duduk di pangkuannya. Menuntut Kendra agar menyambut apa yang sedang ia lakukan.Naya memejamkan matanya kuat. Agar tak melihat apa yang dilakukan Kendra bersama Aira di dalam sana. Mau beranjak ia tidak akan sanggup karena Herni sudah memberikan ancaman. Jika nanti Aira selesai dan meminta jamu, habislah dia.Pastinya
“Sa-saya …” Rendi gelagapan. “Saya selesai buang air kecil jadinya dicuci dulu agar bersih.” Tetap mengusap jagoannya yang masih berdiri tegak. Bukannya menyembunyikannya dari Naya.Bukannya Rendi tidak segan ataupun tak tahu malu. Akan tetapi, busa sabun masih membaluti tidak mungkin dimasukkan tanpa dibilas. Dan rasanya ini sudah sampai di ujung ubun-ubun.“Ah, begitu.” Naya mengusap tengkuknya. Mencuri pandang pada jagoan Rendi yang panjang dan kokoh. Kalau tak salah dalam melihat ukuran Rendi melebihi jengkal tangannya. Dengan ukuran yang sangat besar.“Aku balik ke gudang dulu, ya, Pak.”Naya pamit. Tapi tak kunjung melangkah pergi dari ambang pintu. Kakinya terasa terpaku di lantai, tidak sanggup bergerak sama sekali.“Naya … Nay!” Suara Kendra menggema. Tepat saat Rendi ingin membuka mulutnya untuk mempersilahkan Naya untuk kembali ke gudang.Alih-alih menutup pintu kamar mandi dan menemui Kendra, Naya yang tersentak justru masuk ke kamar mandi. Menutup, dan mengunci pintu agar
Disaat Kendra dan Aira duduk berduaan di ruang tamu, menikmati buah apel yang telah dikupas. Didampingi dengan segelas susu coklat hangat, semakin mempertegas bertapa santainya kehidupan mereka berdua.Makan tinggal makan. Minum pun begitu. Mereka cukup menyeru Naya, tidak lama kemudian apa yang mereka berdua inginkan segera datang. Disediakan dengan cepat oleh Naya agar tak dimarahi Herni.“Bu, pekerjaanku sudah selesai semuanya. Aku juga sudah masak untuk nanti siang. Untuk makan malam aku usahakan sudah di rumah sebelum jam lima sore,” terang Naya, kepada Herni yang tengah bersolek di depan cermin meja riasnya.“Ya, sudah. Sana pergi! Ingat, sebelum jam lima kamu sudah di rumah dan memasak untuk makan malam!” Herni menoleh sekilas sebelum kembali sibuk dengan make up yang ada di tangannya. “Oh, ya. Kalau mau pergi, kamu lewat pintu samping saja agar Kendra tidak terganggu karena ulahmu.”Naya hanya mengangguk. Segera beranjak pergi, takut terlambat ke ladang. Karena sebelum berangk
Tidak sanggup membayangkan bagaimana menjadi Naya. Sudahlah punggung penuh dengan luka memar, kini ia harus memertik satu persatu cengkeh yang ada di pohon. Naik turun pohon seraya menahan rasa sakit di punggungnya.Dan rasa sakit itu semakin tak tertahankan ketika Naya mengangkat karung di punggung. Perih dan menusuk ketika luka memar ditindih beban berat. Tapi, itu tak terlalu sakit jika dibandingkan dengan mengingat sang ibu yang kini berada di rumah. Ingin rasanya Naya segera pulang dan membawakan makanan untuknya.“Naya! Ayo makan dulu!” ajak seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari sawah. Menyeru Naya agar turun dari pohon cengkeh.Naya mengangguk. “Ibu duluan saja. Karungku sedikit lagi penuh. Tanggung kalau di tinggal. Jadi nanti sekalian aku bawa ke gubuk saja,” tolaknya secara halus.Meskipun karung yang ada di bawah pohon masih berisi setengah, tapi Naya tetap tidak mau ke gubuk. Ia ingin menunggu sedikit lagi, sampai Aira pergi dari gubuk. Rasanya ia malas jika