"Apa Ibu bilang? Wanita ini tidak layak untukmu." Seorang wanita paruh baya menunjuk Naya yang duduk, menunduk di hadapannya. Seakan seperti seorang tersangka, Naya di kelilingi oleh keluarga besar Kendra.
"Aku pikir dia layak diperjuangkan. Tapi nyatanya dia pula yang membuatku ke kecewa." Kendra melemparkan kopiah yang bertengger di atas kepalanya. "Sekarang terserah Ibu. Ingin menjadikan dia pembantu atau sejenisnya. Aku tidak peduli!" Melangkah pergi meninggalkan Naya seorang diri. Pria bertubuh tinggi tegap itu mengabaikan Naya yang tadi sore baru dinikahi. Tepatnya setelah tertangkap basah oleh Yanto di gubuk. Mau atau tidak, demi menghindari pengusiran Kendra menikahi Naya. Dan kini di sinilah Naya berada. Di depan keluarga besar Kendra yang menatap jijik kepadanya. Terutama Herni, ibu kandung Kendra yang tidak pernah sekalipun merestui hubungan mereka berdua. "Kalau memang semuanya diserahkan kepada Ibu, Ibu ingin kamu menerima perjodohan dengan Aira. Minggu depan kalian harus menikah dan Ibu akan mengadakan pesta pernikahan tujuh hari tujuh malam sebagai kado pernikahan untuk kalian. Bagaimana?" tawar Herni. Kendra yang ingin melangkahkan kaki menuju kamar, terdiam. Menoleh kepada sang Ibu yang kini tersenyum padanya. "Atur saja, Bu. Aku sudah tidak peduli lagi dengan hidupku." Brakk!! Suara pintu tertutup pun terdengar nyaring dan memekakkan telinga. Sebagai pelampiasan sakit hati Kendra kepada Naya yang telah membohongi dirinya. Jauh di dalam lubuk hatinya Kendra masih mencintai Naya, hanya saja amarah masih menguasai sehingga laki-laki itu tidak sanggup membedakan mana yang baik dan buruk. "Kau dengar, Naya. Anakku sudah menyerahkan hidupmu padaku. Sekarang semuanya aku yang mengatur dan kau tidak boleh menolak!" Herni bangkit. "Sekarang kau bawa semua barang-barangmu ke belakang. Di dekat kamar mandi, itu kamarmu. Jangan coba-coba, menginjak ruang tamu atau ruangan lain tanpa seizinku karena tempatmu hanya dapur dan kamar mandi. Mengerti,?!" Naya yang sudah pasrah dengan hidupnya hanya mengangguk. Bangkit dari lantai karena diseret oleh Herni menuju ke belakang. "Disini kau tidur dan tinggal. Ingat apa yang aku katakan dan jangan membantah!" Setelah memastikan Naya masuk ke dalam gudang yang selalu selama ini digunakan sang suami untuk menyimpan beberapa stok toko, Herni melangkah pergi. Waktunya ia mengurus pernikahan Kendra dengan wanita pilihannya. *** "Maaf, saya pikir tidak ada orang!" Rendi, ayah dari Kendra, ingin meletakkan beberapa set laptop di gudang miliknya, tiba-tiba saja terkejut ketika membuka pintu gudang. Bertepatan dengan Naya yang sedang membuka kebayanya. "Ma-maaf, Pak. Aku … aku tidak tahu kalau," "Cepat kenakan pakaianmu. Saya ingin meletakkan beberapa laptop di sini." Rendi segera menutup pintu gudang. Agar Naya bisa sesegera mungkin mengenakan pakaiannya dengan baik. Rasanya tidak enak saat ia tidak sengaja melihat tubuh mungil nan ramping Naya, yang nyaris saja polos. Beruntung masih ada bra dan celana dalam yang menutupinya. Dengan tangan bergetar Naya meraih daster bergambar hello Kitty yang tidak jauh dari jangkauannya. Mengenakan dengan cepat sebelum beranjak dan membuka pintu. "Sudah, Pak," ucapnya gugup. Berusaha keras membuang rasa malunya untuk menatap Rendi, yang kini berada tepat di hadapannya. "Kamu bantu Bapak angkat ini ke dalam. Tata di dekat loudspeaker yang kecil, ya," ungkap Rendi seraya menunjuk lima buah laptop yang masih terbungkus box. Sama dengan Naya. Pria berusia empat puluh lima tahun itu berusaha setenang mungkin agar Naya tidak melihat betapa dirinya gugup dan salah tingkah. "Siapa yang memintamu untuk tinggal disini?" Kedua alis Rendi bertaut. Ketika melihat gudang penyimpanannya sudah ditempati Naya. Itu terlihat dari sudut ruangan, yang sudah ada sebuah kasur santai terbentang di sana. Sebuah selimut tipis dan bantal. Satu dus pakaian yang diyakini milik Naya. "Istriku?" Rendi menoleh kepada Naya, yang sedang membantunya mengangkat laptop. Naya mengangguk. "Jadi kamu dan Kendra beneran sudah menikah?" Lagi-lagi Naya mengangguk. Tapi tidak berani menatap Rendi. "Semoga kamu betah disini. Kalau ada ucapan ibu yang tidak pada tempatnya, kamu jangan ambil pusing. Tetaplah baik, agar dia tahu selama ini telah salah mengenalmu." Tidak tahu dorongan dari mana, Rendi tiba-tiba saja memiliki keberanian untuk menyentuh dan mengusap pucuk kepala Naya. Wajah Naya terangkat. "Bapak ke depan dulu. Mau ganti pakaian, gerah." Rendi menarik sudut bibirnya. Sebelum berpamitan kepada Naya yang tidak mengerti harus melakukan apa atas sikap manis Rendi padanya. *** "Lah, di belakang ada Naya. Katanya dia dan Kendra sudah menikah. Lalu ini apa, Bu?" Belum hilang keterkejutan Rendi dengan keberadaan Naya, kini ia sudah dikejutkan dengan kedatangan satu mobil pick up pengangkut tenda untuk pelaminan. "Oh, aku tahu. Akhirnya kamu mau merestui hubungan Naya dan Kendra. Makanya kamu pesan pelaminan? Wah, pelaminan mahal pula." Rendi berdecak kagum. Melihat merek pelaminan yang tertera di sana. Pelaminan yang paling mahal di kampung mereka. "Bukan, enak saja ini semua untuk Naya setelah apa yang dia lakukan kepada Kendra." Cibir Herni, seraya melengos masuk ke dalam kamar. "Kalau bukan untuk mereka, lalu untuk siapa?" Rendi menyusul Herni ke kamar. "Untuk pernikahan Kendra lah, Yah. Tapi bukan bersama Naya, melainkan Aira. Anak juragan beras dari desa tetangga." "Apa?" Rendi terperanjat. "Kamu sudah gila? Kasihan anak orang. Baru tadi menikah secara sembunyi-sembunyi, kini malah kamu suruh Kendra menikah lagi! Keterlaluan kamu!" "Terserah aku, Yah. Mau menikahkan Kendra lagi atau bagaimana? Yang jelas aku ingin Kendra memiliki istri yang sepadan dengannya. Bukan seperti Naya, sudah miskin tidak tahu diri pula. Dan untuk Ayah, aku tidak ingin Ayah mengacau. Atau ini." Meremas Rendi tepat di pangkal pahanya. "Ibu tidak akan berikan dia servis apapun lagi. Ayah mau?" Rendi terdiam. Herni yang tahu kelemahannya, tentu saja membuat ia tak mampu melawan. Tidak dapat jatah dari Herni, itu sama saja membunuhnya secara perlahan. Sekarang saja ia ingin menindih Herni dan menghujam hingga Herni tidak mampu bernafas. Tidak tahu kenapa, sejak menikah Rendi tidak bisa menemukan kepuasan dalam urusan ranjang. Meski ia dan Herni melakukannya setiap hari, tanpa ada jeda kecuali Herni datang bulan. Tapi rasanya Rendi tidak bisa mencapai titik pelepasan yang sempurna. "Sudah, Yah?" tanya Herni, ketika merasakan miliknya hangat karena semburan Rendi. Rendi hanya mengangguk. Merapikan kembali celana bahan yang ia kenakan dan menutupi bokong Herni yang tengah menungging dengan dasternya. "Sudah, Bu. Tapi rasanya kok belum puas, ya. Baru dua kali tusukan sudah lepas," keluhnya. Mendudukkan diri di tepi ranjang. "Itu karena Ayah lemah. Baru bersentuhan saja sudah hidup. Baru dua kali sentak sudah lepas. Ih, Ibu saja belum puas. Kalau gini terus, Ibu mau cari brondong saja untuk memuaskan Ibu." Herni mengomel seraya merapikan daster yang ia kenakan dan keluar begitu saja dari kamar. Ia ingin memeriksa keadaan di luar agar pelaminan bisa terpasang dengan baik. . Tanpa disadari Herni, Rendi duduk tertegun di tepi ranjang. Menghela nafas berat dan merutuki dirinya yang lemah. Selalu saja begitu, setiap kali selesai berhubungan dengan Herni. Rasanya yang hampa dan hanya licin hangat semata, membuat Rendi tak pernah menemukan nikmatnya percintaan mereka.Satu minggu ini Naya dihadapkan dengan persiapan pernikahan Kendra dan Aira. Ia sibuk membantu agar rencana pernikahan sang suami bisa berjalan dengan lancar.Dengan menahan segala sakit hati, Naya tetap melakukan apapun yang diminta oleh ibu mertuanya. Semua ia lakukan bukan karena takut atau sejenisnya, tapi ia melakukan itu semua agar bisa mendapatkan sedikit uang sebagai upah. Karena Kendra tidak pernah menganggapnya sebagai istri, tentu saja tidak ada nafkah baik secara lahir dan batin untuk Naya.Sedangkan ayah dari Naya sering meminta uang kepadanya untuk berjudi. Belum lagi sang ibu yang kadang datang dan mengatakan tidak ada beras di rumah."Bu, setelah acara pernikahan mas Kendra selesai aku ingin mencari pekerjaan. Aku tidak mungkin seperti ini terus karena biasanya aku yang membiayai ibu di rumah."Kata-kata itu akhirnya keluar juga dari mulut Naya. Setelah enam hari ia tahan dan telan sendiri. Akan tetapi, setelah akad nikah Kendra dan Aira selesai, kalimat itu keluar jug
Naya meremas kuat dress yang ada di tangannya. Seraya melirik Rendi yang ada di sampingnya."Tidak apa-apa. Pakailah, saya akan menghadap ke dinding sana." Rendi segera berbalik ke arah dinding agar Naya bisa segera berganti pakaian.Naya mengangguk. Meski gugup dan malu, tapi ia yakin Rendi akan menepati janjinya untuk tidak melihat. Cepat Ia membuka dasternya yang telah basah.Dress merah maroon yang ada di tangannya, sepertinya cukup aman digunakan meskipun bra-nya sedikit basah.Namun, saat daster Naya terlepas. Ia melihat ada cup di bagian depan dress tersebut. Itu artinya ia bisa melepaskan bra-nya yang basah.Tidak perlu waktu lama bagi Naya untuk berganti pakaian. Dress maroon yang begitu sempit di tubuh mungilnya telah terpasang. Meski resleting bagian belakang belum mampu ditutup dengan baik.Naya mencoba. Terus meraih resleting dan menariknya. Tapi sayangnya terus saja gagal karena ukuran dress yang kurang layak untuknya."Ba-bapak, bisa bantu aku?" Gugup dan berkeringat di
“Naya!!”Seluruh ruangan di periksa Herni. Mencari keberadaan Naya yang tidak lagi terlihat batang hidungnya semenjak dibawa Rendi masuk ke rumah.Rahang wanita itu mengeras. Melampiaskan rasa kesal karena tak kunjung menemukan sosok Naya yang sedari tadi dicari. Padahal tamu undangan semakin ramai dan piring kotor menggunung di belakang.“Kemana dia? Berduaan dengan Rendi, kah? Dasar wanita murahan, mau saja sama tua bangka penyakitan seperti Rendi!” umpatnya. Menendang barang apa saja yang menjadi penghalang baginya dalam berjalan.“Apalagi yang kurang bagimu, Herni!” Rendi menghadang langkah Herni yang ingin menuju ke arah gudang. Ia tidak ingin sang istri mengganggu Naya beristirahat.“Kurang katamu? Banyak!! Tidak perlu aku sebutkan karena kamu sendiri yang akan malu. Jadi lebih baik kamu awas, sebelum aku lepas kendali!” pekik Herni tepat di depan Rendi.“Aku tidak akan membiarkanmu mengganggu dia lagi!”“Oh, begitu? Sudah bisa melarangku demi melindungi wanita murahan itu?” Waj
Kamu pegang ini!” Herni menyerahkan segelas jamu ke tangan Naya. Masih terasa hangat di kulit telapak tangan Naya. “Ini jamu penghilang nyeri untuk Aira. Kamu diam disini dan langsung serahkan begitu mereka selesai!”Menekan pundak Naya agar duduk di sebuah kursi plastik yang ada di depan pintu kamar Kendra.Tubuh Naya berkeringat dingin. Melihat dengan jelas bagaimana situasi kamar pengantin yang ada di hadapannya. Meskipun pintu tidak terbuka secara utuh, tapi tetap saja matanya bisa menangkap bagaimana kini Aira bergelayut manja pada Kendra. Membuka kaos tipis yang dikenakan Kendra dengan gerakan lambat.Agar Naya semakin panas, Aira langsung memagut bibir Kendra dan duduk di pangkuannya. Menuntut Kendra agar menyambut apa yang sedang ia lakukan.Naya memejamkan matanya kuat. Agar tak melihat apa yang dilakukan Kendra bersama Aira di dalam sana. Mau beranjak ia tidak akan sanggup karena Herni sudah memberikan ancaman. Jika nanti Aira selesai dan meminta jamu, habislah dia.Pastinya
“Sa-saya …” Rendi gelagapan. “Saya selesai buang air kecil jadinya dicuci dulu agar bersih.” Tetap mengusap jagoannya yang masih berdiri tegak. Bukannya menyembunyikannya dari Naya.Bukannya Rendi tidak segan ataupun tak tahu malu. Akan tetapi, busa sabun masih membaluti tidak mungkin dimasukkan tanpa dibilas. Dan rasanya ini sudah sampai di ujung ubun-ubun.“Ah, begitu.” Naya mengusap tengkuknya. Mencuri pandang pada jagoan Rendi yang panjang dan kokoh. Kalau tak salah dalam melihat ukuran Rendi melebihi jengkal tangannya. Dengan ukuran yang sangat besar.“Aku balik ke gudang dulu, ya, Pak.”Naya pamit. Tapi tak kunjung melangkah pergi dari ambang pintu. Kakinya terasa terpaku di lantai, tidak sanggup bergerak sama sekali.“Naya … Nay!” Suara Kendra menggema. Tepat saat Rendi ingin membuka mulutnya untuk mempersilahkan Naya untuk kembali ke gudang.Alih-alih menutup pintu kamar mandi dan menemui Kendra, Naya yang tersentak justru masuk ke kamar mandi. Menutup, dan mengunci pintu agar
Disaat Kendra dan Aira duduk berduaan di ruang tamu, menikmati buah apel yang telah dikupas. Didampingi dengan segelas susu coklat hangat, semakin mempertegas bertapa santainya kehidupan mereka berdua.Makan tinggal makan. Minum pun begitu. Mereka cukup menyeru Naya, tidak lama kemudian apa yang mereka berdua inginkan segera datang. Disediakan dengan cepat oleh Naya agar tak dimarahi Herni.“Bu, pekerjaanku sudah selesai semuanya. Aku juga sudah masak untuk nanti siang. Untuk makan malam aku usahakan sudah di rumah sebelum jam lima sore,” terang Naya, kepada Herni yang tengah bersolek di depan cermin meja riasnya.“Ya, sudah. Sana pergi! Ingat, sebelum jam lima kamu sudah di rumah dan memasak untuk makan malam!” Herni menoleh sekilas sebelum kembali sibuk dengan make up yang ada di tangannya. “Oh, ya. Kalau mau pergi, kamu lewat pintu samping saja agar Kendra tidak terganggu karena ulahmu.”Naya hanya mengangguk. Segera beranjak pergi, takut terlambat ke ladang. Karena sebelum berangk
Tidak sanggup membayangkan bagaimana menjadi Naya. Sudahlah punggung penuh dengan luka memar, kini ia harus memertik satu persatu cengkeh yang ada di pohon. Naik turun pohon seraya menahan rasa sakit di punggungnya.Dan rasa sakit itu semakin tak tertahankan ketika Naya mengangkat karung di punggung. Perih dan menusuk ketika luka memar ditindih beban berat. Tapi, itu tak terlalu sakit jika dibandingkan dengan mengingat sang ibu yang kini berada di rumah. Ingin rasanya Naya segera pulang dan membawakan makanan untuknya.“Naya! Ayo makan dulu!” ajak seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari sawah. Menyeru Naya agar turun dari pohon cengkeh.Naya mengangguk. “Ibu duluan saja. Karungku sedikit lagi penuh. Tanggung kalau di tinggal. Jadi nanti sekalian aku bawa ke gubuk saja,” tolaknya secara halus.Meskipun karung yang ada di bawah pohon masih berisi setengah, tapi Naya tetap tidak mau ke gubuk. Ia ingin menunggu sedikit lagi, sampai Aira pergi dari gubuk. Rasanya ia malas jika
“Sa-sakit, Pak …,” desah Naya, seraya menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa sakit dan perih ketika Rendi mulai menekan dan mengusap.“Tahan sebentar, ini tidak akan lama,” bisik Rendi. Agar tak ada yang mendengar kini ia tengah berada di kamar Naya.“Pak, aku nggak sanggup. Sakit,” lirih Naya. Menahan pergelangan tangan Rendi yang sibuk menyapukan alkohol di lukanya.“Kalau nggak kamu tahan, kapan luka ini akan diobati? Kamu mau ini semua infeksi?” ketus Rendi. Tidak ingin Naya terus-menerus melarangnya untuk mengobati luka di punggung dan memarnya. Padahal Rendi sudah susah payah menahan diri agar tak kelewat batas terhadap Naya yang kini membelakanginya.Setengah polos, seraya memeluk selimut, Naya membelakangi Rendi yang sedari tadi mengobatinya. Di mata Naya Rendi hanya sebatas mengobati tanpa tahu bagaimana sakit menjadi dirinya. Padahal Rendi jauh lebih menderita daripada Naya. Kepala atas bawahnya terasa berdenyut harus berhadapan dengan punggung Naya.“Nah, sudah. Kalau kamu
Kakeknya Ratna mengangkat satu tangannya, meminta Ratna dan Doni untuk diam. Menyerahkan semuanya kepada dirinya sebagai bentuk bukti bahwasanya dia mampu dan sanggup menerima Doni sebagai suaminya Ratna dan mengakhiri segala penderitaan yang selama ini telah dirasakannya."Kami memiliki rumah yang tak jauh dari sini. Jika berkenan silahkan mampir untuk bersilaturahmi. Dan asal kamu tahu, cucuku ini tinggal di sini bukan karena rumah ini merupakan tempat satu-satunya yang bisa mereka tinggali. Namun Ratna memilih angkat kaki dari rumah karena aku tidak merestui hubungannya dengan Doni yang lumpuh.Karena besarnya cinta yang dimiliki Ratna dia rela membuangku dan meninggalkan rumah mewahnya hanya membawa beberapa barang serta kendaraan saja untuk mengangkut seluruh keluarganya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Ratna keras dengan keputusannya dan tidak bisa diganggu gugat sama sekali. Seharusnya sebagai orang yang memiliki tahta yang lebih tinggi daripada kalian akulah yang melaran
"Kesempatan kedua, apakah tadi kamu bertemu dengan kakek?" Doni menoleh ke arah Ratna yang kini duduk di sampingnya.Ratna menganggukan kepalanya. "Tepat di depan gang rumah kakek menghadang jalanku dan memohon agar memberitahu di mana kita tinggal. Aku rasa itu hanya bualan kakek semata, aku tidak yakin dia tidak mengetahui di mana kita. Jika kakek sudah sampai di sana itu artinya dia sudah mengetahui kalau di sinilah kita tinggal untuk sementara waktu.""Kenapa kamu tidak mau memberi kesempatan kepada kakek sedangkan dia melakukan ini semua demi kebaikan kamu? Wajar jika kakek ingin memberikan hal yang sempurna padamu dan memintaku menjauh semua semata-mata beliau lakukan pasti karena menyayangi kamu dan tidak ingin kamu susah di masa depan nanti.""Aku tahu itu tapi, rasanya aku belum bisa menerima hal tersebut karena aku tidak pernah menuntut kamu untuk menjaga laki-laki sempurna ketika mendampingiku. Kakek seharusnya mengetahui bahwasanya aku ini sangat mencintaimu jadi sangatlah
"Hai apa kabar saudara kembarku?" sapa Danis mendekati Doni. Dia tidak tahan tidak mencari tahu siapa sosok dua anak kecil yang kini berada di depan saudara kembarnya itu.Doni yang sedang sibuk memperhatikan kedua anaknya menoleh ke arah pintu masuk. bBetapa dia terkejut mendapati keberadaan Danis di sana. Dia tidak menemukan kata untuk membalas sapaan Danis karena benar-benar tidak menyangka Danis bisa menemukan keberadaannya hanya dalam kurun waktu satu malam saja.Danis semakin mendekat dan berkacak pinggang tepat di samping Doni."Aku tidak perlu bertanya siapa mereka karena dari wajah dan semua yang ada pada mereka sangatlah mirip dengan kita berdua. Aku curiga mereka merupakan anakku bukan anakmu karena …""Jangan coba-coba mengacaukan rumah tanggaku dan Ratna. Karena istriku berbeda dengan Ajeng. Dia tidak mudah melakukan hubungan dengan pria manapun, buktinya hingga detik ini, meskipun aku sudah lama menghilang dia masih sendiri . Mencari keberadaanku, tidak ada sedikitpun n
Ratna bersimpuh di hadapan Doni dan menatap kedua anaknya secara bergantian. "Terkadang bukan hanya kesempurnaan yang merupakan sebuah kebahagiaan melainkan kebersamaan. Apapun kekuranganmu asalkan kita selalu berkumpul bersama rasanya itu bukanlah sebuah masalah dan aku yakin keberadaan kami bisa mendorongmu untuk sembuh. Tidak ada penyakit di dunia ini yang tidak bisa disembuhkan aku yakin Tuhan bisa memberikan itu semua untukmu. Asalkan kita mau berusaha dan berdoa lebih kuat lagi," tuturnya menenangkan hati Doni yang sempat ingin mundur.Memiliki istri yang begitu cantik dan sempurna tentu saja menghadirkan rasa rendah diri di hati Doni, terlebih lagi kedua buah hatinya yang begitu cantik dan tampan, sangat menggemaskan.Doni hanya mengangguk pelan menerima semangat dari sang istri dia berharap Tuhan menjabah doa Ratna agar dia bisa bekerja seperti dulu menafkahi istri dan anak-anaknya."Kamu tahu Mas, diantara barang-barang ini masih ada barang-barangmu. Aku tidak pernah mengusik
Risa juga tidak mengenal siapa sosok Ajeng yang dipertanyakan Danis kepadanya. Sebagai orang yang belum pernah bertemu dengan Ajeng tentu saja Danis mempercayai segala perkataan Risa, dia juga tidak mungkin mengatakan bahwasanya Ajeng itu merupakan selingkuhan Yandi yang baru sehingga dia menyerah dan berhenti mencari keberadaan istri dari adiknya tersebut padahal dia sudah sangat merindukan sang buah hati.Meskipun kini Danis sudah menikah dengan asisten rumah tangganya sendiri dan sudah memiliki buah hati yang baru tetap saja dia masih membutuhkan Rafki. Dia masih merindukan sosok anak yang lebih dahulu dia miliki bersama Ajeng, meskipun Rafki terlahir karena hubungan di luar nikah tetap saja Rafki itu merupakan darah dagingnya sendiri."Jadi sekarang kamu ingin menuntut balasan atas semua yang Mama berikan kepadamu? Kamu menuntut kasih sayang begitu?" Ibunya Doni tertawa. "Kalau memang itu yang kamu inginkan tolong kembalikan segala fasilitas yang telah kamu nikmati selama ini, tol
"Kamu yakin dengan ini semua?" Doni menahan pergelangan tangan Ratna, mencegah istrinya itu untuk turun dari mobil. Meskipun Ratna sudah kokoh dengan pendiriannya, tapi tetap saja Doni merasa rendah diri. Takut sang kakek malah berpikir bahwasanya dia berusaha kembali mendekat dan meracuni pikiran Ratna agar bisa menampung hidupnya yang kini tak lagi sempurna.Ratna menarik kedua sudut bibirnya, menganggukan kepala. Hatinya telah mantap untuk melangkah, membawa Doni menuju masa depan yang lebih baik. Dia tidak peduli dengan siapapun nantinya. Entah itu sang kakek atau bahkan semua orang di dunia ini mencegah mereka untuk menjadi pasangan suami istri kembali..Ratna tidak peduli karena di matanya Doni merupakan satu-satunya tumpuan hidup untuk mendampinginya dalam membesarkan kedua buah hati mereka."Aku tidak akan pernah peduli lagi dengan mereka semua. Sama seperti mereka yang tidak peduli dengan perasaan kita. Jadi kamu tidak perlu khawatir, Mas. Semuanya akan baik-baik saja dan per
Egois. Begitulah penilaian Ratna terhadap keluarganya maupun keluarga Doni. Jadi untuk apa lagi mereka memiliki keluarga jika seperti itu kenyataannya. Sumpah demi apapun, Ratna tidak bisa memaafkan sang kakek..Ini kali kedua menorehkan luka di hatinya hanya karena Doni tidak bisa berjalan. Sang kakek mengatakan bahwasanya sampai detik ini belum memiliki informasi apapun tentang keberadaan Doni. Nyatanya sang kakek sudah meminta Doni untuk menjauhinya dan tidak mencoba untuk mencari keberadaannya lagi. Seperti inikah cara manusia berpikir? Sang kakek meminta Doni menjauh karena dia sudah lumpuh. Kedua orang tua Doni memintanya menjauh karena merasa dia hanyalah seorang gadis desa yang tidak memiliki apa-apa, sungguh kenyataan yang begitu miris tapi, begitulah adanya."Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, Mas. Apa yang akan kamu lakukan dan apa yang harus aku lakukan untuk rumah tangga kita? Jika meminta berpisah maaf aku tidak bisa," tutur Ratna pada Doni yang tengah memeluk Alya. G
"Tidak, ini tadi Mami kelilipan nyamuk makanya seperti ini.""Ooo." bibir mungil Alya membulat sempurna, dia juga menganggukan kepalanya hingga rambutnya yang sedang berdiri, di kepang dua ikut bergerak.Ratna mengusap pipi Alya. "Kamu benar-benar anak yang manis dan perhatian," ucapnya memaksakan senyuman agar Alya tak khawatir padanya. "Kamu persis seperti ayahmu. Pria yang begitu baik dan lembut. Tuhan bolehkah aku menuntutMu sekarang, mempertemukan kami dengannya?" sambung Ratna dalam hati.Tujuan mereka datang ke lapangan bola tersebut untuk melihat wahana permainan tapi, nyatanya malah membuat kedua buah hatinya merasa iri melihat anak-anak yang lain didampingi kedua orang tuanya. Ingin rasanya Ratna berteriak menuntut keadilan untuk dirinya dan kedua buah hatinya agar mereka juga bisa merasakan kebahagiaan yang begitu sempurna."Mami mau itu!" seru Bima tanpa menunggu Ratna terlebih dahulu, dia langsung berlari menuju ke arah penjual mainan. Bocah laki-laki tersebut sangat tert
“Itu tuduhan!” Bantah Yandi, meskipun benar apa yang istrinya itu katakan tapi, dia tidak ingin mengakui secara jujur bahwasanya tuduhan yang diajukan Risa merupakan sebuah kenyataan.“Percuma kamu mengatakan patahan seperti itu tapi, di mataku kamu itu sudah menghianati pernikahan kita. Sakit, namun karena aku dulu juga menyakiti hati Ratna jadi aku anggap ini semua sebagai karma atas perbuatanku di masa lalu.”Risa melanjutkan langkahnya menuju kamar, jika perdebatan dengan Yandi diteruskan yang ada dia akan bersedih lagi gara-gara merasa bersalah kembali atas dosa yang dia lakukan di masa lalu.Jujur saja saat ini dia menyesal merebut Yandi dari Ratna. Andai saja hari itu dia mendengarkan hati kecilnya untuk berhenti dan tidak melanjutkan hubungan dengan suami orang, Risa yakin ini tidak akan pernha terjadi padanya.Dulu Risa tidak takut hal ini terjadi ,tapi sekarang dia sangat ingin memutar waktu dan tidak mau memulai hubungan apapun dengan Yandi.***Yandi hanya bisa menembus ke