Share

Pengawal Malam Pertama

“Naya!!”

Seluruh ruangan di periksa Herni. Mencari keberadaan Naya yang tidak lagi terlihat batang hidungnya semenjak dibawa Rendi masuk ke rumah.

Rahang wanita itu mengeras. Melampiaskan rasa kesal karena tak kunjung menemukan sosok Naya yang sedari tadi dicari. Padahal tamu undangan semakin ramai dan piring kotor menggunung di belakang.

“Kemana dia? Berduaan dengan Rendi, kah? Dasar wanita murahan, mau saja sama tua bangka penyakitan seperti Rendi!” umpatnya. Menendang barang apa saja yang menjadi penghalang baginya dalam berjalan.

“Apalagi yang kurang bagimu, Herni!” Rendi menghadang langkah Herni yang ingin menuju ke arah gudang. Ia tidak ingin sang istri mengganggu Naya beristirahat.

“Kurang katamu? Banyak!! Tidak perlu aku sebutkan karena kamu sendiri yang akan malu. Jadi lebih baik kamu awas, sebelum aku lepas kendali!” pekik Herni tepat di depan Rendi.

“Aku tidak akan membiarkanmu mengganggu dia lagi!”

“Oh, begitu? Sudah bisa melarangku demi melindungi wanita murahan itu?” Wajah Herni terangkat. “Apa saja yang telah diberikannya padamu sampai-sampai melindungi dia seperti ini?”

“Tutup mulutmu, kalau tidak ingin acara ini aku bubarkan!!”

Keras Herni, Rendi lebih keras lagi. Membentak istri yang selama ini sama sekali tidak pernah ia sakiti. Rendi terlalu memuja Herni, yang dianggap sebagai satu-satunya wanita yang sanggup mencintai meskipun Ia memiliki kekurangan. Yang katanya, tidak mampu kuat di ranjang, dan kekurangan tersebut tidak akan mampu diterima oleh wanita mana pun.

Sehingga Herni percaya diri Rendi tidak akan pernah berani marah apalagi menceraikannya. Tapi sekarang?

“Aku ingin gugat kamu ke pengadilan. Aku ingin bercerai!!”

Rendi tertegun. Tatapannya nanar kepada Herni yang sudah beranjak pergi. Dengan emosi yang meletup di rongga dadanya.

Mata Rendi terpejam. Merasakan sakit yang amat dalam atas ucapan Herni. Mengancam akan menggugat cerai atas kelakuannya yang membela Naya.

Namun, anehnya Rendi tidak terlalu merasakan sakit. Sangat jauh dibandingkan dengan yang biasanya. Rasanya ia tidak mempermasalahkan segala ucapan yang keluar dari mulut Herni.

Tidak seperti biasanya, Rendi merasa ada yang hilang dari hidupnya jika Herni sampai marah seperti sekarang. Ia juga takut ditinggal pergi karena kekurangan yang dimiliki.

Niat Naya untuk istirahat sejenak, nyatanya kebablasan. Ia malah ketiduran hingga malam menjelang. Saking lamanya Naya tidur, pesta pernikahan Kendra sudah selesai dilangsungkan. Para tamu tinggal beberapa orang saja, dan Kendra sendiri sudah masuk ke kamar. Meninggalkan Aira di pelaminan. Sendirian. Menyambut kedatangan tamu yang datang untuk sekedar memberikan kata selamat.

Takut Herni marah padanya, Naya segera keluar dari gudang. Awalnya dia terkejut melihat pintu yang terkunci. Tapi, itu tidak lama. Ia melihat anak kunci yang tergeletak tidak jauh dari pintu.

Seulas senyum terbit di bibirnya, melihat betapa perhatiannya Rendi kepadanya. Dan rasa itu semakin tidak mampu dikendalikan disaat Naya melihat Rendi yang tengah mencuci banyak piring seorang diri.

Membersihkan area dapur tanpa bantuan siapapun, agar Herni tidak memarahi Naya.

Naya tertegun. Melihat baju batik yang dikenakan Rendi sudah digulung hingga siku. Celana bahannya sudah di gulung lutut. Pria itu menyiram dan membersihkan, menata piring di satu tempat. Tidak peduli dengan tubuhnya yang lelah dan basah ia tetap mengerjakan sebagai bayaran karena mengizinkan Naya beristirahat.

“Bapak, boleh aku bantu?”

Rendi menoleh. Mengulas senyum ke arah Naya. “Tidak ada, Nay. Kamu temui ibu saja di luar. Tanya apa yang harus dikerjakan. Disini sudah selesai semua kok,” sahutnya.

“Bapak yakin?”

Alih-alih menemui Herni, Naya justru mendekati Rendi. Membantu pria itu memindahkan dan menata piring yang sudah bersih.

“Ya, sana kamu ke depan!”

Naya mengangguk. “Pak, terima kasih sudah mau lindungi aku. Padahal aku belum pernah melakukan apapun untuk Bapak.”

Entah darimana datangnya kata-kata tersebut. Tiba-tiba saja meluncur bebas dari mulut Naya. Seakan Rendi adalah sahabat lamanya, bukan ayah mertua.

“Tidak perlu melakukan apapun untuk membalas, saya sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang mertua kepada menantunya.”

Sangat sederhana kalimat yang keluar dari mulut Rendi demi rasa gugupnya bertemu dengan Naya. Ia sangat takut Naya tahu apa yang tadi siang ia lakukan. Meremas dan menyentuh Naya, akan sangat memalukan jika gadis itu tahu.

“Bapak benar. Kalau begitu aku ke depan dulu. Mau lihat ibu.”

Naya segera beranjak pergi. Tidak ingin berlama-lama berada di dekat Rendi. Ia harus menjauh agar rasa nyaman saat bersama Rendi semakin menjalar jauh. Menggerogoti hatinya dan membuang posisi Kendra. Sedangkan hubungan mereka menantu dan mertua yang tidak boleh melebihi batas wajar. Dan Rendi sudah menegaskan itu semua di depan Naya.

Namun, hal yang dilakukan Rendi tadi siang padanya tentu saja masih membekas kuat di pikiran Naya. Bahkan rasa hangat di bibirnya masih terasa sangat jelas.

“Kalau sebatas menantu dan mertua, kenapa bapak berani menyentuhku?” tanya Naya dalam hati.

Mengabaikan Rendi yang kini mengulas senyum padanya. Bersikap biasa, seakan tidak ada apapun yang terjadi diantara mereka.

“Kamu kemana saja? Bisa-bisanya bersembunyi saat tamu undangan berdatangan. Aku rasa bukan Cuma harga diri saja yang tidak kamu miliki. Tapi kini kini tidak ada!” ketus Herni, begitu Naya datang menghampirinya.

Padahal Naya belum mengatakan apa-apa, tapi Herni sudah menyerangnya dengan kata-kata pedas.

“Maaf, Bu. Aku …”.

“Tidak perlu minta maaf.” Tangan Herni terangkat. “Kamu beruntung suamiku menggantikanmu untuk mencuci piring. Dan mertua Kendra ada di ruang tamu. Kalau tidak, sudah habis kamu.” Menggertak Naya dengan melayangkan tangannya.

Naya menunduk takut. Tangan Herni benar-benar sampai di pipinya.

“Sekarang kamu masuk ke kamar Kendra dan Aira. Bantu Aira berganti pakaian. Sekalian, nanti ketika mereka akan melakukan malam pertama kamu harus siaga di depan pintu kamar mereka. Takut-takut Aira kesakitan saat Kendra melakukannya. Kamu harus di sana untuk memberikan jamu untuk Aira agar kuat menjalani malam pertama. Paham?”

“A-apa, Bu? Aku di depan pintu?”

“Ya, jangan membantah. Kalau tidak kamu harus bercerai dari Kendra dan kembalikan seluruh uangnya yang digunakan ayahmu untuk berjudi. Bagaimana?”

Naya tergugu. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Disaat Herni memintanya untuk menunggui Kendra dan Aira yang sedang melakukan malam pertama. Di mana hati Herni? Melihat Kendra dan Aira menikah saja sakit hati Naya sudah sulit diungkapkan.

“Aku tidak akan sanggup.” Gumamnya dalam hati. Ketika kakinya mulai melangkah, mendekati kamar Kendra yang tidak jauh dari dapur.

Kamar yang paling luas itu sudah dihias sedemikian rupa. Khas kamar pengantin yang menjadi impian Naya. Mulai dari warna dan bentuk dekorasinya.

Namun, semuanya kini hanya angan semata. Semuanya sudah digantikan oleh Aira.

“Mas Kendra,” panggil Naya pelan. Ketika ia masuk tapi, didahului oleh Aira yang langsung memeluk Kendra dari belakang.

“Mas, aku mandi sebentar. Setelah itu, kita langsung malam pertama, ya. Itu Naya sudah datang buat jagain kita dan membuat jamu untukku.”

“Ya, terserah padamu,” sahut Kendra acuh. Meskipun untuk memanasi Naya, tetap saja ia tidak mampu bermesraan dengan Aira. Karena cintanya masih tertaut dengan Naya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status