BEBERAPA HARI KEMUDIAN ....Selama berada di Bandung, Alan dan Kanaya begitu menikmati kebersamaan mereka. Hubungan keduanya, kian dekat. Semua tampak normal di depan orang-orang yang mengenal keduanya, tanpa ada yang curiga sama sekali, Alan dan Kanaya memiliki hubungan lebih.Setiap hari, selama di Bandung, Kanaya melayani dan mempersiapkan segala kebutuhan Alan. Bahkan, dia juga ikut membantu pekerjaan Alan, yang seharusnya dikerjakan oleh Chyntia. Semuanya terasa begitu indah. Keduanya menikmati momen ini, layaknya sepasang suami istri.Kanaya tentunya merasa begitu bahagia. Mimpi yang selama ini dia pikir sebatas angan-angan semata. Kini benar-benar menjadi nyata. Sepertinya halnya Kanaya, hal yang sama pun juga dirasakan oleh Alan.Alan juga merasa begitu bahagia. Sesuatu hal yang tidak pernah dia dapatkan dari Arumi sebagai seorang suami, bisa dia dapatkan dari Kanaya. Gadis muda itu benar-benar telah melayaninya dengan begitu baik. Selain itu, Kanaya juga mau mendengarkan, dan
"Dua hari lagi, aku harus berangkat ke Shanghai, Mas. Aku memang diminta ikut datang, karena aku brand ambassadornya, dan juga sekaligus untuk pemotretan di sana.""Oh jadi kamu mau ke Shanghai? Bagus, aku ikut. Kita bisa bulan madu di sana, sekaligus kasih adik buat Kenan." Alan memang sengaja menantang Arumi."Mas ...!" pekik Arumi, sontak membuat kening Alan berkerut."Ada apa? Kenapa malah teriak gitu?""Mas harusnya kamu ngerti dong, ini masalah kerjaan. Kamu nggak bisa ikut gitu aja. Di sana aku sibuk. Bisa-bisa nanti aku dicap nggak profesional pake bawa-bawa suami.""Berapa nilai kontrak kamu?" sahut Alan datar."Mas ngomong apa sih?""Berapa nilai kontrak kamu? Aku bisa bayar nilai kontrak kamu, dan batalkan kontraknya. Setelah itu, kembalilah jadi ibu, dan istri yang seutuhnya.""Mas, kamu nglantur ya! Nggak usah ngaco deh!" Nada bicara Arumi yang lembut, kini berubah. Alan sebenarnya kecewa dengan jawaban Arumi. Tantangan seriusnya terlihat hanya sebatas gurauan di mata ist
Kanaya yang baru saja keluar dari kamar mandi begitu terkejut melihat Alan yang saat ini sudah ada di dalam kamarnya. Laki-laki itu, duduk di atas ranjang, disertai raut wajah yang terlihat sendu. Penampilannya juga cukup berantakan. Padahal, beberapa saat yang lalu, Alan masih terlihat sangat ceria.Tanpa penjelasan dari Alan, Kanaya paham, sesuatu pasti telah terjadi di antara Alan, dan Arumi. Perlahan, Kanaya pun berjalan mendekat."Jangan usir Papa, ya. Ijinin Papa di sini."Kanaya yang saat itu masih menggunakan bathrobe, menggelengkan kepala, kemudian duduk di atas tempat tidurnya. Dia tahu, saat ini pasti Arumi sudah pergi hingga Alan berani masuk ke dalam kamarnya.Setelah Kanaya duduk, Alan justru merebahkan tubuh, di atas tempat tidur, kemudian meletakkan kepalanya di atas paha Kanaya. Hal yang sudah sering kali Alan lakukan.Seperti biasanya, dia kemudian menyembunyikan wajahnya di perut Kanaya, dan lagi-lagi menghirup dalam aroma tubuh Kanaya yang baru saja selesai mandi.
Kelap-kelip remang lampu disco diiringi house music, tak membuat seorang wanita bergeming. Dia tetap duduk sembari menikmati minuman beralkohol yang ada di tangannya.Beberapa orang laki-laki hidung belang yang mendekat, diusir olehnya, yang terlihat cukup galak saat menghadapi mereka. Hingga tiba-tiba, seorang pemuda, duduk di sampingnya dengan tenang."Mba Arumi, kamu masih sama kaya dulu. Nggak berubah, kalo ada masalah, pasti larinya ke alkohol."Laki-laki itu mengambil gelas yang ada di tangan Arumi, lalu menaruhnya di atas meja. "Kamu lagi! Kenapa kamu seneng banget sih ikut campur masalahku. Kamu itu nambahin beban hidupku tau nggak!" bentak Arumi, dengan kilatan amarah pada sorot matanya. Meskipun saat ini Arumi dalam keadaan mabuk, dia cukup mengenali siapa laki-laki yang sedang duduk di sampingnya."Apa kamu kaya gini gara-gara aku?"Arumi pun mengangguk cepat. "Ya, kamu udah bikin hidupku kacau! Kamu udah bikin hidupku berantakan, dan juga dipenuhi ketakutan!""Kalau gitu,
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tapi Alan belum juga bisa tidur. Kini, dia dan Kanaya berada di dalam kamar Kenan. Mereka tak tega meninggalkan Kenan sendiri di kamar tersebut.Alan yang awalnya sedang mengutak-atik laptop, kini mengangkat kepala. Lalu menatap Kenan yang sudah terlelap di samping Kanaya. Bocah itu, kini terlihat tidur dengan tenang. Suhu tubuh Kenan sudah menurun, tak setinggi beberapa saat yang lalu. Alan kemudian bangkit dari sofa di kamar tersebut, lalu mendekat, dan duduk di sisi tempat tidur Kenan.Melihat wajah polos Kenan. Perasaan Alan begitu campur aduk. Pernikahannya dengan Arumi begitu rumit, dan sialnya kini dia justru main hati dengan seorang gadis yang merupakan anak angkatnya sendiri.Tangan Alan kemudian mengusap wajah cantik Kanaya dengan lembut. Kini, pikiran Alan, bahkan sudah melayang jauh, tentang hubungannya dengan Kanaya.Alan menyadari jika dia salah, telah menyakiti dua orang wanita terdekatnya. Namun, entah mengapa dia sama seka
"A-apa? Kenan sakit?"Alan tak menjawab, hanya mengembuskan napas berat. Sorot matanya masih menatap Arumi dengan tatapan tidak bersahabat. Namun, Arumi tak peduli dengan kemarahan Alan. "Sekarang di mana, Kenan?" sahut Arumi kembali, dengan enteng, seolah tak merasa bersalah, dan meminta maaf terlebih dulu, setelah apa yang dia lakukan tadi malam. Alan yang masih kesal, masih belum membuka suara, hanya menunjuk ke arah kamar Kenan. Lalu, Arumi bergegas menuju ke kamar putranya. Tanpa menghiraukan bagaimana perasaan Alan, yang masih kesal padanya.Alan yang melihat tingkah Arumi hanya menatap nyalang pada wanita itu. Entah mengapa, hati Alan kian jengah melihat tingkah Arumi. Bahkan, ketika Arumi memanggil namanya, Alan berpura-pura menulikan telinga, dan memilih pergi dari rumah tersebut untuk mencari Kanaya. Meskipun sebenarnya dia juga ingin melihat keadaan Kenan.Akan tetapi, Alan sedang tidak ingin berdekatan dengan Arumi. Melihat wanita itu, membuat mood Alan memburuk, setelah
Kanaya mengangkat wajah, dan melihat seorang pemuda yang kira-kira berusia 20 tahunan berdiri di depannya. Namun, belum sempat Kanaya memperbolehkan duduk, laki-laki itu sudah terlebih dulu duduk di depannya.Melihat sikap lancang lelaki itu, Kanaya menatapnya dengan tatapan tidak suka, dan dia justru tersenyum, seolah tak peduli dengan sorot mata tak bersahabat Kanaya. Bahkan, kini dia mengulurkan tangannya pada Kanaya."Kenalkan, namaku Gara. Nama kamu siapa?" Kanaya tak membalas uluran tangan itu, hanya menatapnya sembari tersenyum kecut. Namun, setelah detik demi detik berlalu, lelaki itu masih mengulurkan tangan.Kanaya yang merasa kasihan, akhirnya membalas uluran tangan itu. Meskipun terlihat malas."Kanaya.""Nama yang cantik, seperti orangnya.""Makasih," jawab Kanaya singkat, lalu mengutak-atik ponselnya kembali, masih mencari kost, atau kontrakan yang cocok. Apalagi, hari sudah beranjak siang. Kanaya tak ingin banyak membuang waktu. Kanaya tak peduli sosok yang saat ini d
Kanaya berusaha melepaskan ciuman itu, sembari mendorong dada Alan. "Udah cukup, Pa. Aku nggak mau lanjutin hubungan ini lagi!""Kalau gitu aku juga mau ikut ke manapun kamu pergi!"Kanaya menghela napas panjang, melihat tingkah Alan yang saat ini terlihat kekanak-kanakan sekali. Kanaya kesal, tapi entah kenapa dia justru kian merasa gemas dengan tingkah Alan."Pa, jangan kekanak-kanakan gitu deh! Papa harus mikirin gimana perasaan Mama sama Kenan. Aku nggak mau Kenan juga jadi korban."Alan kemudian menggenggam jemari Kanaya. "Kanaya, tolong beri Papa waktu buat menyelesaikan semuanya. Kamu mau 'kan nunggu Papa?""Nggak ada yang harus diselesaikan, Pa. Papa harus mempertahankan hubungan Papa sama Mama, dan akhiri hubungan ini!""Sekarang, Papa tanya sama kamu. Bagaimana sebenarnya perasaan kamu sama Papa?"Kanaya pun terdiam, hanya menundukkan wajah, diiringi tetes demi tetes butiran bening yang keluar dari sudut matanya. Sejujurnya, dia tak tahu harus menjawab apa. Bohong jika dia t
Kakek Wang bergegas mengambil ponsel Rain yang menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan Stela."Kakek, Rain bohong, bukti-bukti itu palsu!" seru Stela, mencoba meyakinkan kakeknya. Namun, pria paruh baya itu tak bergeming, dan tetap melihat semua bukti-bukti tersebut.Stela berniat mendekat, untuk mengambil ponsel milik Rain. Namun, buru-buru dicegah oleh dua orang bodyguard Kakek Wang.Sementara itu, bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Beberapa orang mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi, sementara yang lain memilih menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam hitungan menit, suasana kian tegang. Tuan rumah yang semula tersenyum ramah kini terlihat gelisah, keringat dingin membasahi dahinya."Ada apa?" tanya seseorang dengan suara hati-hati.Namun, sebelum ada jawaban, seorang anggota keluarga tuan rumah memberi isyarat agar para tamu segera meninggalkan tempat. Tanpa banyak bertanya, mereka mulai beringsut keluar, beberapa dengan langkah ter
"Kamu baru sembuh, aku nggak mungkin tega mengatakan bagian paling menyakitkan dalam rumah tangga kita.""Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Sepintas, aku masih ingat senyuman hangatmu padaku, tapi sekarang kenapa jadi seperti ini? Siapa yang salah, aku atau kamu?"Alan menghela napas, menatap keluar jendela sejenak sebelum kembali menatap Arumi."Nggak penting siapa yang salah, kita berdua memang sudah tidak satu tujuan. Terlalu banyak ketidakcocokan, dan pola pikir."Arumi mengernyit, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Tapi kenapa tatapanmu begitu dingin padaku? Apa aku yang salah?"Alan menggeleng pelan. "Ini bukan tentang siapa yang salah. Kita memang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, begitu pula kamu. Aku sering kali merasa diabaikan sebagai seorang suami, dan kau berpikir aku ngga pernah mengerti keadaanmu. Kita sering bertengkar, hal-hal kecil jadi besar. Kita lelah, tapi tidak ada yang mau mengalah."Arumi menatap
Di Sisi Lain....Setelah memberi tahu Rain jika dia berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk membawa pulang Arumi, Alan melangkah memasuki ruang perawatan dengan langkah ragu. Keraguan itu, bukan karena dia takut. Namun, lebih pada sosok yang akan dia temui.Di ranjang, seorang wanita duduk bersandar pada bantal, matanya kosong menatap jendela. Arumi, mantan istrinya. Wanita yang pernah dia cintai lebih dari apapun, tapi dulu. Bukan sekarang.Alan mendekat, menarik kursi, lalu duduk di depannya. "Arumi ...."Arumi mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Alan dengan tatapan asing."Maaf, Anda?"Alan merasakan sesuatu yang mencengkeram hatinya. Ini aneh. Perempuan yang dulu dia kenal begitu dalam, kini menatapnya seperti orang asing."Aku Alan, aku temanmu dulu."Arumi mengerutkan kening, seolah mencoba menangkap sesuatu di pikirannya. Nama Alan memang terdengar tak asing. Apalagi, kemarin sosok laki-laki yang menemuinya juga mengatakan jika hari ini Alan akan menemuinya."Ala
Malam itu, rumah besar milik Kakek Wang berubah menjadi pusat kemewahan dan kegembiraan. Dikelilingi taman yang luas dengan lampu-lampu berkelap-kelip, pesta yang diadakan di mansion megah itu bagaikan perayaan para bangsawan. Para tamu berdatangan dalam pakaian terbaik mereka—gaun berkilauan dan setelan jas mahal—sambil membawa gelas sampanye yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal raksasa.Di tengah aula utama yang luas, sebuah orkestra memainkan musik klasik yang lembut, sementara para pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi hidangan mewah: kaviar, lobster, dan anggur terbaik dari seluruh dunia. Taman belakang yang dihiasi air mancur dan patung-patung marmer menjadi tempat bagi mereka yang ingin berbincang lebih santai, dengan suara tawa dan gelak kebahagiaan memenuhi udara.Kakek Wang, seorang miliarder yang dikenal karena kemurahan hatinya, berdiri di balkon lantai dua, mengangkat gelasnya dan menyampaikan pidato singkat. Dengan senyuman bijaksana, dia menyambut
Kanaya berdiri di depan cermin besar, tubuhnya dibalut gaun pengantin berwarna putih gading dengan renda yang halus. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dadanya yang berdebar.Cahaya dari lampu gantung di butik membuat wajahnya tampak lebih lembut, tapi tidak bisa menghilangkan bayangan kegundahan di matanya. Ocha, yang duduk di sofa butik, menatapnya penuh kagum."Ya ampun, Nay. Kamu cantik banget, aku yakin Mas Alan bakalan terpesona liat kamu. Aku foto ya, nanti kamu kirim ke calon suami kamu!" pekik Ocha, dengan sorot mata berbinar, kagum akan kecantikan sahabatnya.Kanaya tersenyum kecil, lalu merapikan bagian lengan gaunnya. "Tapi aku malu.""Ck ngapain malu sih. Aku aja yang cewek terpesona. Apalagi Mas Alan!" sahut Ocha, seraya tertawa kecil.Kanaya ikut tersenyum, tapi hanya sebentar. Matanya kembali menatap pantulan dirinya di cermin, seakan mencari sesuatu yang hilang."Nay, lo kenapa sih kaya sedih gitu? Nggak cocok sama gaunnya?"Kanaya menggeleng pelan. "
Di sebuah ruang perawatan rumah sakit yang diterangi cahaya lembut dari jendela, Rain duduk di tepi ranjang pasien setelah beberapa saat berusaha menenangkan Arumi.Wajah itu, menyimpan kelelahan, tapi sorot matanya penuh harapan saat menatap perempuan yang duduk di depannya. Arumi—atau kini, yang hanya mengenal dirinya sebagai Celine—terlihat ragu. Tatapannya kosong, seolah berusaha mengaitkan kembali kepingan memori yang hilang."Dengarkan aku, kamu bukan Celine, kamu Arumi. Aku tahu ini membingungkan, tapi aku mohon, percayalah padaku.""A-aku nggak ngerti. Semua orang bilang aku Celine. Stela bilang jangan pernah percaya orang lain, kecuali dirinya.""Stela bohong. Namamu Arumi."Rain menggeleng, suaranya tegas tapi terdengar lembut. Arumi kemudian mengerutkan kening, matanya berkabut."Kalau benar, kenapa aku nggak ingat kalo aku Arumi?""Lalu, apa kau juga ingat jati dirimu sebagai Celine?" sahut Rain, kemudian menarik napas dalam, berusaha menahan emosi."Tapi kenapa Stela bila
Di dalam ruang tengah, Rain menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Cahaya dari layar memantul di matanya yang penuh amarah dan kekecewaan. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring gelombang emosi yang meluap di dalam dirinya. Beberapa saat yang lalu, dia menyadap ponsel milik Stela, dan menemukan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.Bukti, percakapan, rencana. Semua tertulis jelas. Stela adalah dalang di balik kecelakaan Arumi.Rain mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri, seakan benda itu bisa membantunya mengendalikan amarah yang hampir meledak. Pikirannya berputar, mengulang-ulang momen saat dia melihat bagaimana mobil tersebut terbakar, bagaimana hancurnya dia saat mengira jika Arumi telah meninggal, dan ternyata semua itu palsu. Semua itu adalah konspirasi semata yang sangat menyakiti hatinya. Rain pikir itu kecelakaan biasa. Takdir buruk yang menimpa tanpa peringatan. Namun, tidak. Itu ulah Stela. Orang yang selama ini ada di dekatnya.Rahangnya mengera
Atmosfer ruang tamu itu terasa panas meskipun AC yang menyala, menunjukkan suhu rendah. Lampu terang yang menyinari membuat bayangan wajah mereka terlihat lebih tegang.Alan duduk di sofa dengan tubuh sedikit condong ke depan, kedua tangannya saling menggenggam erat. Kanaya berdiri di dekat jendela, menggigit bibir bawahnya, sembari mendengar penjelasan Rain di ujung sambungan telepon.Sementara Pak Rama, duduk di kursi berhadapan dengan Alan. Wajahnya kusut, matanya merah dan penuh kecemasan.Di atas meja, secangkir kopi yang disajikan sejak tadi sudah dingin, tak ada yang sempat menyentuhnya. Udara di ruangan itu seperti membeku setelah Alan menyampaikan kabar yang baru saja ia dapatkan.Setelah Kanaya menutup sambungan telepon tersebut, gadis itu tampak menghela napas berat."Aku baru saja mendapat kabar dari Rain. Dia bilang, tadi saat menunggu ibunya yang masuk rumah sakit, Rain melihat seseorang yang mirip Arumi di sebuah rumah sakit tersenyum. Namun, saat Rain mendekat, wanita
Di ruang makan yang luas dan elegan, sebuah meja panjang berhiaskan lilin serta peralatan makan berlapis perak tersusun rapi. Lampu kristal menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Aroma hidangan menguar, memenuhi ruangan dengan keharuman menggoda.Pak Rama meletakkan garpunya dengan tenang, lalu menatap putrinya dengan penuh perhatian."Udah sampe sejauh mana persiapan pernikahan kamu sama Alan?"Kanaya tersenyum malu-malu, meletakkan sendoknya, lalu menatap ayahnya dengan sorot mata berbinar."Hampir 75 persen, Pa. Besok kita mau fitting baju pengantin. Kita nggak undang banyak tamu, karena lebih ke acara private party."Pak Rama mengangguk pelan, ekspresinya tenang, tapi penuh makna. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menghela napas pendek sebelum berbicara."Pernikahan itu bukan sekedar tentang cinta, Kanaya. Tapi juga tentang kesiapan, tanggung jawab, dan kesabaran. Kamu harus ingat itu, dan jangan pernah melakukan kesalahan seperti yang perna