Alan mulai membuka tali bathrobe yang dikenakan oleh Kanaya, perlahan disertai segenap kecamuk di dada. Meskipun anggukan kepala Kanaya beberapa saat yang lalu, bisa menjelaskan jika gadis itu tak keberatan dengan permintaan Alan. Namun, tetap saja ada ketakutan, dan rasa cemas tersendiri yang dirasakan oleh Alan. Ada perang batin yang sangat sulit dia redam. Bagaimanapun juga, Kanaya adalah gadis kecil yang sedari dulu sudah dia anggap sebagai anak kandungnya sendiri, dan sekarang haruskah dirinya yang merenggut kesuciannya?Akan tetapi, saat melihat Kanaya yang tampak sedang memejamkan mata, disertai raut wajah sensual. Lagi-lagi Alan menyerah pada gairah, dan kegilaannya. Alan bahkan kini tak mau banyak membuang waktu.Dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan salah satu bukit kenyal itu, lalu mulai melumat dan mengisapnya. Sedangkan salah satu tangannya meremas bukit kembar yang lain.Saat ini, Kanaya hanya bisa pasrah dengan kelakuan Alan. Nalarnya sudah entah ada di mana, hati, da
Mata Arumi perlahan terbuka, dan mendapati sebuah tangan yang melingkar di perutnya. Arumi menghembuskan napas panjang, seolah ingin melepaskan kekesalan di dada.Entah bagaimana kehidupan yang akan dia jalani kedepan, Arumi tak dapat menerka, yang jelas, tak akan seindah, dan sebebas dulu. Hidupnya kini benar-benar terkekang, dan dia benci itu.Akan tetapi, Arumi tak punya pilihan. Lebih tepatnya, dia tak bisa memilih, dan hanya mengikuti keinginan laki-laki yang saat ini sedang tertidur, dalam keadaan telanjang di sampingnya. Ya, Arumi mau tak mau harus menuruti permintaan Rain, jika ingin aman.Arumi menoleh, dan melihat Rain saat ini masih terlelap. Mungkin, dia kelelahan karena permainan mereka hari ini. Entah berapa kali, Arumi pun tak tahu. Rasanya dia juga enggan untuk mengingat semua itu.'Menyebalkan sekali, sampai kapan aku harus berpura-pura baik di depannya seperti ini,' batin Arumi sembari menatap kesal pada Rain. Bercinta dengan Alan saja, terkadang Arumi enggan melakuk
"Maaf Nyonya, maksud saya begini, Tuan memang suruh saya pulang, untuk mengantar Chyntia, sekretaris Tuan yang sakit."Raut cemas di wajah Arumi akibat tekanan dari Bu Dahlia, pun seketika memudar."Oh ya udah kalo gitu, sekarang Mang Udin istirahat aja.""Baik, Nyonya. Saya permisi dulu." Mang Udin pun meninggalkan ibu dan anak itu. Kini giliran Arumi menoleh pada Bu Dahlia."Tuh, 'kan, Mama aja yang overthinking. Mas Alan sampe nyuruh sekretarisnya pulang. Itu tandanya dia emang ga ada niatan macem-macem sama cewek lain, termasuk sekretaris itu.""Arumi, Mama nggak overthinking, tapi cuma peringatin biar lebih berhati-hati jaga suami kamu. Mama pengen kamu sadar sebelum semuanya terlambat. Apa kamu nggak bisa ambil pelajaran dari kejadian yang menimpa Mama?""Itu mah udah jadi sifat dasarnya Papa aja yang nggak setia, Ma. Papa aja yang keganjenan liat cewek cakep. Padahal, kurang apa Mama coba?"Bu Dahlia menghembuskan napas panjang. "Mama memang salah, Arumi. Saat itu, Mama lebih s
BEBERAPA HARI KEMUDIAN ....Selama berada di Bandung, Alan dan Kanaya begitu menikmati kebersamaan mereka. Hubungan keduanya, kian dekat. Semua tampak normal di depan orang-orang yang mengenal keduanya, tanpa ada yang curiga sama sekali, Alan dan Kanaya memiliki hubungan lebih.Setiap hari, selama di Bandung, Kanaya melayani dan mempersiapkan segala kebutuhan Alan. Bahkan, dia juga ikut membantu pekerjaan Alan, yang seharusnya dikerjakan oleh Chyntia. Semuanya terasa begitu indah. Keduanya menikmati momen ini, layaknya sepasang suami istri.Kanaya tentunya merasa begitu bahagia. Mimpi yang selama ini dia pikir sebatas angan-angan semata. Kini benar-benar menjadi nyata. Sepertinya halnya Kanaya, hal yang sama pun juga dirasakan oleh Alan.Alan juga merasa begitu bahagia. Sesuatu hal yang tidak pernah dia dapatkan dari Arumi sebagai seorang suami, bisa dia dapatkan dari Kanaya. Gadis muda itu benar-benar telah melayaninya dengan begitu baik. Selain itu, Kanaya juga mau mendengarkan, dan
"Dua hari lagi, aku harus berangkat ke Shanghai, Mas. Aku memang diminta ikut datang, karena aku brand ambassadornya, dan juga sekaligus untuk pemotretan di sana.""Oh jadi kamu mau ke Shanghai? Bagus, aku ikut. Kita bisa bulan madu di sana, sekaligus kasih adik buat Kenan." Alan memang sengaja menantang Arumi."Mas ...!" pekik Arumi, sontak membuat kening Alan berkerut."Ada apa? Kenapa malah teriak gitu?""Mas harusnya kamu ngerti dong, ini masalah kerjaan. Kamu nggak bisa ikut gitu aja. Di sana aku sibuk. Bisa-bisa nanti aku dicap nggak profesional pake bawa-bawa suami.""Berapa nilai kontrak kamu?" sahut Alan datar."Mas ngomong apa sih?""Berapa nilai kontrak kamu? Aku bisa bayar nilai kontrak kamu, dan batalkan kontraknya. Setelah itu, kembalilah jadi ibu, dan istri yang seutuhnya.""Mas, kamu nglantur ya! Nggak usah ngaco deh!" Nada bicara Arumi yang lembut, kini berubah. Alan sebenarnya kecewa dengan jawaban Arumi. Tantangan seriusnya terlihat hanya sebatas gurauan di mata ist
Kanaya yang baru saja keluar dari kamar mandi begitu terkejut melihat Alan yang saat ini sudah ada di dalam kamarnya. Laki-laki itu, duduk di atas ranjang, disertai raut wajah yang terlihat sendu. Penampilannya juga cukup berantakan. Padahal, beberapa saat yang lalu, Alan masih terlihat sangat ceria.Tanpa penjelasan dari Alan, Kanaya paham, sesuatu pasti telah terjadi di antara Alan, dan Arumi. Perlahan, Kanaya pun berjalan mendekat."Jangan usir Papa, ya. Ijinin Papa di sini."Kanaya yang saat itu masih menggunakan bathrobe, menggelengkan kepala, kemudian duduk di atas tempat tidurnya. Dia tahu, saat ini pasti Arumi sudah pergi hingga Alan berani masuk ke dalam kamarnya.Setelah Kanaya duduk, Alan justru merebahkan tubuh, di atas tempat tidur, kemudian meletakkan kepalanya di atas paha Kanaya. Hal yang sudah sering kali Alan lakukan.Seperti biasanya, dia kemudian menyembunyikan wajahnya di perut Kanaya, dan lagi-lagi menghirup dalam aroma tubuh Kanaya yang baru saja selesai mandi.
Kelap-kelip remang lampu disco diiringi house music, tak membuat seorang wanita bergeming. Dia tetap duduk sembari menikmati minuman beralkohol yang ada di tangannya.Beberapa orang laki-laki hidung belang yang mendekat, diusir olehnya, yang terlihat cukup galak saat menghadapi mereka. Hingga tiba-tiba, seorang pemuda, duduk di sampingnya dengan tenang."Mba Arumi, kamu masih sama kaya dulu. Nggak berubah, kalo ada masalah, pasti larinya ke alkohol."Laki-laki itu mengambil gelas yang ada di tangan Arumi, lalu menaruhnya di atas meja. "Kamu lagi! Kenapa kamu seneng banget sih ikut campur masalahku. Kamu itu nambahin beban hidupku tau nggak!" bentak Arumi, dengan kilatan amarah pada sorot matanya. Meskipun saat ini Arumi dalam keadaan mabuk, dia cukup mengenali siapa laki-laki yang sedang duduk di sampingnya."Apa kamu kaya gini gara-gara aku?"Arumi pun mengangguk cepat. "Ya, kamu udah bikin hidupku kacau! Kamu udah bikin hidupku berantakan, dan juga dipenuhi ketakutan!""Kalau gitu,
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tapi Alan belum juga bisa tidur. Kini, dia dan Kanaya berada di dalam kamar Kenan. Mereka tak tega meninggalkan Kenan sendiri di kamar tersebut.Alan yang awalnya sedang mengutak-atik laptop, kini mengangkat kepala. Lalu menatap Kenan yang sudah terlelap di samping Kanaya. Bocah itu, kini terlihat tidur dengan tenang. Suhu tubuh Kenan sudah menurun, tak setinggi beberapa saat yang lalu. Alan kemudian bangkit dari sofa di kamar tersebut, lalu mendekat, dan duduk di sisi tempat tidur Kenan.Melihat wajah polos Kenan. Perasaan Alan begitu campur aduk. Pernikahannya dengan Arumi begitu rumit, dan sialnya kini dia justru main hati dengan seorang gadis yang merupakan anak angkatnya sendiri.Tangan Alan kemudian mengusap wajah cantik Kanaya dengan lembut. Kini, pikiran Alan, bahkan sudah melayang jauh, tentang hubungannya dengan Kanaya.Alan menyadari jika dia salah, telah menyakiti dua orang wanita terdekatnya. Namun, entah mengapa dia sama seka
Alan sebenarnya curiga jika Kanaya sudah tahu tentang apa yang dilakukan oleh Arumi. Hal tersebut, terbukti dengan foto, dan video yang tersimpan pada email, bukan pada galeri di ponsel Kenan.Rasanya mustahil Kenan yang melakukannya. Anak seusia Kenan, tak mungkin memiliki pemikiran untuk menyembunyikan file tersebut, dan menyimpannya ke tempat aman yang baru bisa dipikirkan oleh orang-orang dewasa."Kanaya, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang Kenan? Tolong jangan ada yang ditutupi lagi, Naya. Please ...."Alan menatap Kanaya dengan sorot mata penuh pengharapan. "Kanaya ...!"Kanaya menggeleng sembari tersenyum getir. Seketika, dia baru menyadari kesalahannya, yang tak bisa mengontrol emosi, hingga mungkin membuat Alan curiga. Rasanya dia belum mampu, Kanaya belum sanggup membuka rahasia ini. Kanaya terlalu takut jika Alan terluka."Naya, kenapa kamu masih saja merahasiakan sesuatu dariku? Memangnya kamu anggap, aku ini apa?" timpal Alan kembali, seolah sedang mengintimidas
Di sebuah ruang perawatan yang tenang, Kanaya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak damai, meskipun ada beberapa jejak luka di wajah cantik itu. Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, bergerak pelan seiring napasnya yang teratur.Di sisi ranjang, ada infus yang menggantung di tiang besi, menyalurkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui selang tipis yang menempel di punggung tangannya.Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi halus mesin pemantau.Sedangkan di atas sofa, seorang perawat khusus yang diminta pihak keluarga untuk menjaga pasien itu, tampak sibuk dengan ponsel di tangan.Di luar jendela, langit senja mulai meredup, membiarkan cahaya lampu rumah sakit menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang.Seorang perawat masuk dengan langkah hati-hati, memeriksa kondisinya tanpa mengganggu tidur pasien. Setelah itu, dia mendekat pada rekannya yang sedang mengamati perawat jaga tersebut
Alan menatap Kenan lekat, matanya mencari jejak dirinya dalam wajah mungil di hadapannya. Garis rahang, lengkung alis, bahkan lekukan kecil di dagu, semuanya dia telaah dengan saksama, berharap menemukan secuil kemiripan yang bisa meredakan gemuruh di dadanya.Anak itu, dengan polosnya, hanya tersenyum, tak menyadari betapa tatapan ayahnya kini dipenuhi keraguan. Ada sesuatu yang mengusik dalam benak pria itu, sesuatu yang selama ini dia tepis, tetapi kini tumbuh semakin nyata.Bayangan masa lalu berkelebat. Waktu itu, hubungannya dengan Arumi memang sempat menjauh, ada hari-hari di mana mereka tak saling bicara. Lalu, hampanya hubungan itu pecah tatkala Arumi hamil.Saat itu, Alan begitu bahagia. Kehamilan Arumi, menghangatkan hubungan mereka yang sempat dingin, dan terpaut jarak karena ego masing-masing. Namun, kejadian itu kini menjelma menjadi bayangan yang mengintai setiap kali dia menatap mata anaknya, mata yang terasa asing, bukan seperti cerminan dirinya sendiri.Namun, bagai
Mendengar sebuah suara yang cukup dikenali, spontan Arumi, dan Rain pun menghentikan perdebatan mereka."Bagus sekali, akhirnya aku bisa bertemu sepasang manusia munafik seperti kalian! Kalian memang sangat cocok!""Mas, ini nggak seperti yang kamu duga!""Jaga bicara Anda, Tuan Alan!""Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku?"Alan kemudian menunjuk Rain dengan jari telunjuknya. "Kau pikir, aku tak tahu kau siapa? Kau yang datang secara diam-diam ke rumahku. Bahkan, tidur di atas ranjang kamarku, bukan?"Alan kemudian menoleh, dan menatap sengit pada Arumi. "Karena itulah, aku nggak pernah sudi tidur di kamar itu. Apalagi menyentuhmu, Arumi. Aku jijik padamu yang sudah berulang kali disentuh oleh laki-laki lain!""Dan kau salah satu manusia yang berhasil kita tipu selama bertahun-tahun, karena Kenan sebenarnya bukan anak kandungmu!" sahut Rain sinis.Langit yang tadinya terlihat tenang, seolah berubah mendung setelah perkataan itu terlontar dari mulut Rain.Arumi memejamkan mata,
Malam ini, langit mendung, seolah menyuarakan hati Alan yang kacau balau. Di ruang perawatan Kanaya yang penuh dengan keheningan mencekam, Alan mondar-mandir. Wajahnya kusut, tangannya mengepal kuat, dan matanya memerah. Setelah menutup sambungan telepon dari Arumi, Alan begitu kesal padanya. Bu Sinta yang baru saja datang, tepat ketika Alan sedang menelepon Arumi, mencoba menenangkan putranya."Kenan nggak pantas dijadikan alat, Arumi benar-benar keterlaluan!" gerutu Alan."Mama tahu ini berat, tapi kamu harus tenang. Kalau kamu kehilangan kendali, itu nggak akan menyelesaikan apa-apa."Bu Sinta menyahut, dengan suara tenang. Sedangkan Kanaya, kini sudah terlelap. Setelah meminum obat, tak lama mata Kanaya terpejam. Mungkin, obat yang dikonsumsi Kanaya, mengandung obat tidur, agar Kanaya bisa beristirahat."Tenang? Aku nggak bisa, Ma. Aku yakin, besok pasti Arumi akan membuat penawaran, dan aku nggak suka caranya yang licik kaya gini dengan menggunakan Kenan!""Bagaimana kalau kita
"Aku mau ketemu Papa sama Kak Naya."Tangisan Kenan, terus terdengar, menggema di seluruh sudut kamar. Matanya sudah basah oleh air mata. Arumi yang duduk di dekatnya, masih berusaha mencoba menenangkan.Akan tetapi, tangisan Kenan justru kian kencang, bahkan teriakan pun mulai terdengar. Arumi yang melihatnya kian dihinggapi frustasi."Aku mau ketemu Papa! Aku mau Papa sekarang juga! Aku nggak mau di sini.""Sayang, Papa lagi nggak bisa ke sini sekarang. Papa lagi jaga Kak Naya di rumah sakit. Kamu sama Mama aja ya," sahut Arumi, dengan suara lembut, tapi terdengar bergetar.Akan tetapi, berapa kali Arumi membujuk, Kenan justru menangis lebih keras, bahkan juga memukul-mukul lantai."Aku mau sama Papa! Mama suka boong. Oma Dahlia itu nggak sakit, 'kan?"Tubuh Arumi seketika menegang. Dia kemudian mencoba meraih tangan Kenan. "Kamu nggak bisa pergi ke sana sekarang. Papa lagi sibuk jagain Kak Naya. Kita cari waktu yang tepat ya biar bisa ketemu Papa."Kenan menatap Arumi penuh amarah
Pak Rama duduk di sofa dengan raut wajah penuh kelelahan, setelah dua hari kemarin, sibuk mengurus Arumi, dan Bu Dahlia.Hari ini, dia ingin bersantai di rumah saja. Pak Rama sudah merasa cukup lega, dan tenang, saat tadi malam diberi tahu oleh Arumi jika hari ini, dia akan pulang dari rumah sakit bersama Boby. Namun, ketenangan itu seketika berubah ketika pintu rumah diketuk dengan keras.Di depan pintu, Alan berdiri dengan napas tersengal-sengal dan wajah penuh kecemasan. Pak Rama yang baru saja membuka pintu, tentunya terkejut saat melihatnya."Papa, kenapa Papa nggak angkat telepon dari aku dan rumah sakit, tempat Arumi dirawat?"Kening Pak Rama pun seketika mengernyit. "Maaf, tadi malam Papa anter Mamanya Arumi ke rumah sakit, dan mengurusnya di sana sampai dini hari. Papa bangun kesiangan, dan lupa belum mengaktifkan ponsel. Memangnya ada apa, Alan?""Pa, apa Arumi sempat pulang ke rumah?"Jantung Pak Rama, kian berdegup kencang mendengar pertanyaan Alan. "Arumi? Arumi belum pul
"Kenapa Mama di sini?" tanya Kenan, dengan nada cukup ketus "Kenan ...." Suara Arumi terdengar bergetar, lembut, tapi penuh desakan, "Kenan ayo ikut Mama sekarang." Kenan mendongak, sembari menatap Arumi dengan tatapan tak bersahabat. "Aku nggak mau pulang sama Mama, Kenan maunya sama Papa. Mama jahat!" Arumi kemudian berlutut, sembari terisak dan menggenggam tangan Kenan dengan erat. "Kenan, Oma Dahlia sakit, Nak ... Oma sakit. Kenan jenguk Oma sekarang ya!" Mata Kenan melebar, bibirnya gemetar. "Oma sakit? Sakit apa, Ma?" tanyanya dengan nada cemas. Arumi menarik napas panjang, berusaha menahan air matanya kembali. "Mama juga belum tahu pasti. Oma masih dalam pemeriksaan dokter. Sejak Oma sakit, Oma nanyain Kenan terus. Oma pengen ketemu sama Kenan. Kenan mau kan ikut sama Mama?" Kenan terdiam sejenak, melihat wajah Arumi yang dipenuhi kecemasan, Kenan merasa bimbang. Apalagi, ada kaitannya dengan neneknya. "Kenan jangan takut, Mama udah bilang sama Oma Sinta, dan
Setelah melihat keadaan Bu Dahlia yang kian tak memungkinkan jika harus menjalani proses hukum, akhirnya malam ini juga, Pak Rama, beserta pihak kepolisian membawa Bu Dahlia ke rumah sakit jiwa.Pak Rama saat ini tampak melewati pintu rumah sakit jiwa dengan istrinya, Bu Dahlia. Lalu, seorang polosi berjalan di belakang mereka.Pak Rama sebenarnya sudah menyadari jika akhir-akhir ini, mental Bu Dahlia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, dia sudah memiliki firasat jika kejahatannya akan terkuak, hingga membuat wanita paruh baya itu tampak bingung dan tak terkendali.Bahkan, sejak satu minggu terakhir, dia sering kali berteriak ketakutan tanpa sebab, dan berbicara sendiri. Pak Rama juga pernah memergoki Bu Dahlia melukai dirinya sendiri dengan memukul-mukul kepalanya seraya menangis terisak saat dia sedang bercermin. Mungkin, bayang-bayang adik tirinya yang telah dia bunuh, terus menghantui dalam benaknya.Meskipun masih diselimuti amarah. Namun, Pak Rama tak tega membiarkan istrinya