"Ah, aw sakit sekali!" pekiknya kembali saat merasakan sakit yang semakin tak tertahankan, apalagi darah yang mengalir kini semakin deras."Hei kenapa kau lambat sekali! Cepat bawa aku ke rumah sakit!" bentak Arumi pada Fabian yang tengah berjalan menuruni tangga."Iya sabar, Nyonya."Fabian lalu bergegas membantu Arumi untuk berdiri, kemudian memapahnya menuju ke mobil yang ada di depan rumah.Pembantu rumah tangga yang mendengar teriakkan Arumi pun ikut bangun, dan menemani Arumi ke rumah sakit.Beberapa saat kemudian, ketika masih dalam perjalanan, tiba-tiba saja, perut Arumi semakin terasa mulas, bahkan rasanya ada sebuah bongkahan yang keluar dari bagian bawah tubuh."Ah, ah ... sakit ... aaaaaaa!""Anda kenapa, Nona?" tanya Fabian, dan pembantu rumah tangga yang menemani.Keduanya tampak cemas melihat keadaan Arumi yang terlihat begitu pucat. Meskipun AC di dalam mobil tersebut, dibilang cukup dingin.Akan tetapi, keringat Arumi kian deras membasahi seluruh tubuh. Sedangkan tang
Alan baru saja keluar dari ruang ICU, ketika tiba-tiba Bu Sinta mendekat padanya dengan raut wajah panik."Nanti siang Kanaya bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah cukup stabil," terang Alan, sebelum Bu Sinta mengucapkan sepatah kata pun."Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu."Alan pun mengangguk, sembari mengamati raut ketegangan di wajah Bu Sinta. Wanita paruh baya itu, tampak sedang ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu."Ada apa, Ma?""Emh Alan ....""Apa lagi yang diperbuat oleh Arumi?" tebak Alan dengan yakin, kecemasan yang diperlihatkan Bu Sinta, pasti ada hubungannya dengan Arumi.Bu Sinta mendesah pelan. "Arumi keguguran, tapi dia justru memanfaatkan kejadian itu untuk semakin memojokkan kalian. Sekarang, caci maki pada kalian, kian kencang di dunia maya. Mama takut, nantinya juga berdampak bagi perusahaan kamu."Alan pun terkekeh, seolah tak peduli citranya hancur. "Alan, kok malah ketawa sih? Foto-foto Arumi yang terlihat frustasi karena diselingkuhi, dan k
"Ada apa sih, Bob. Jangan bikin orang takut deh!" pekik Arumi panik, saat melihat raut kecemasan di wajah Boby. Laki-laki gemulai itu pun mendekat ke arah Arumi, dan Pak Rama."Arumi gawat ...!" Boby menjawab, sembari menatap penuh ketakutan pada Pak Rama. "Boby ngomong yang jelas dong!" Arumi kian dilanda kepanikan. Sedangkan Boby, kini terlihat ragu. Apalagi Pak Raja menatapnya penuh intimidasi. "Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau takut padaku?"Pak Rama ikut bersuara, dan akhirnya Arumi pun mengerti mengapa Boby terlihat enggan bercerita. Asistennya itu pasti merasa cemas dengan keberadaan Pak Rama.Boby dan Arumi pun akhirnya saling melempar kode. "Ada apa ini, Boby?" tanya Pak Rama kembali yang kini semakin curiga, saat melihat laki-laki itu justru tak mengungkapkan kecemasannya."Nggak ada apa-apa, cuma panik tiba-tiba kondisi Arumi kaya gini."Pak Rama pun mengangguk, lalu menghembuskan napas panjang. "Pa, dari tadi malam Papa di sini temenin Arumi. Sekarang, ud
Alan pun mendekat pada Bu Sinta. "Ada apa, Ma?""Lihat ini!" Bu Sinta memberikan ponselnya pada Alan, lalu dengan seksama laki-laki itu membaca sebuah postingan yang kini terlihat mulai ramai dengan berbagai komentar miring dari netizen.Alan tertegun sejenak, perasaannya begitu campur aduk, melihat postingan tentang sebuah skandal besar influencer terkenal yang baru saja diungkap, dan infkueencer tersebut adalah Arumi. Foto-foto, dan video Arumi dengan Leo kini tersebar begitu cepat di dunia maya.Wajah yang terpampang di layar sempat membuatnya membeku. Alan juga sempat menggosok matanya, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Beberapa saat yang lalu, dia merasa begitu putus asa, bahkan sempat berniat membawa Kanaya ke luar negeri.Akan tetapi, kondisi sekarang sepertinya mulai berbeda. Alan tahu, hujatan padanya tak lantas surut, tetapi berita yang kini beredar, menandakan jika posisinya, dan Arumi pun seimbang.Alan kemudian menscroll layar ponsel tersebut, dan melihat sebuah aku
Beberapa Saat Sebelumya ....Pak Rama yang sudah berjalan menjauh dari ruang perawatan Arumi, saat menyadari jika sosok Boby telah masuk, dan mendekat pada Arumi, kini berbalik.Dengan hati-hati, laki-laki paruh baya itu, berdiri di depan pintu sembari menempelkan telinganya di pintu tersebut, untuk mendengarkan percakapan Arumi, dan Boby."Bagaimana semua ini bisa terjadi? Siapa yang melakukan ini, Bob? Apa yang harus kita lakukan?""Kita harus memberikan penjelasan yang membuat publik percaya, Arumi.""Tapi, kita juga harus punya bukti kuat untuk membantahnya, Bob. Kalau nggak, mereka nggak bakal percaya.""Aku mereka percaya?""Mereka tunggu penjelasan dari kamu, Arumi."Aku nggak kuat, Bob.""Arumi, kamu harus kuat. Kalau kita nggak tanggapi ini, mereka bakal bikin cerita lebih buruk. Kamu tahu kan gimana media bekerja.""Aku nggak peduli! Semua ini terlalu berat. Orang-orang bakal benci aku.""Arumi, fokus. Kamu influencer terkenal. Kita buat klarifikasi yang jujur, tapi terukur.
"Pak Rama, Alan. Saya permisi pulang dulu. Hari ini, pembantu rumah tangga yang biasa nemenin Kenan lagi sakit. Kasihan Kenan kalo nggak ada yang nemenin.""Oh silahkan, Bu Sinta. Sampaikan salam saya pada Kenan. Kalau situasinya sudah memungkinkan, saya jenguk Kenan di rumah Bu Sinta."Bu Sinta pun mengangguk. "Iya, nanti saya sampaikan pada Kenan. Saya permisi pulang dulu.""Hati-hati, Ma.""Iya, kasih tahu Mama ya kalau Kanaya sudah dipindahkan ke ruang perawatan."Alan pun mengangguk, sembari tersenyum simpul. Hari ini, sebenarnya Kanaya sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, tinggal menunggu saja."Apa yang ingin Papa bicarakan?" tanya Alan, memulai percakapan tersebut.Laki-laki paruh baya itu, duduk di hadapan Alan, dan menatapnya penuh penyesalan."Alan, Papa tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga kalian. Papa tahu bagaimana sikap buruk Arumi, dan setelah kau mengucapkan talak pada Arumi, Papa tahu dia sudah mengkhianatimu. Namun, Papa baru tahu kalau ternyata dia sampa
Dingin malam menusuk tulang, tapi yang lebih menyakitkan adalah rasa penyesalan yang tak kunjung hilang dari benak Bu Dahlia. Dia duduk di sudut ruangan kecil dengan tembok kusam berwarna abu-abu. Bukan ruangan yang layak untuk seorang ibu, tapi ia tak punya pilihan. Penjara ini, kini menjadi tempat tinggalnya.Detik demi detik, Bu Dahlia lalui dengan penuh kebimbangan. Entah mengapa, sejak tadi perasaannya begitu berkecamuk, seperti merasakan sebuah firasat buruk, tapi entah apa.Tanpa sengaja, atensi Bu Dahlia, tertuju pada layar televisi kecil di di dekat sel. Melihat siaran berita di televisi tersebut, seketika mata Bu Dahlia terbelalak lebar.Jantungnya berdetak kencang tak beraturan, seolah akan terlepas dari tempatnya. Berita itu datang seperti pukulan telak di dada. Anak tersayangnya, Arumi, kini menghiasi layar televisi tersebut.Berita di televisi menyebutkan, Arumi terseret dalam skandal perselingkuhan dengan salah satu pimpinan e-commerce.Mata Bu Dahlia masih membelalak l
Alan menatap interaksi Kanaya, dan Pak Rama. Laki-laki itu tersenyum simpul, disertai perasaan haru yang menyeruak di dalam dada.Sejujurnya, Alan pun tak menyangka jika Kanaya, adalah anak kandung dari Pak Rama, sosok yang selama ini Kanaya anggap sebagai kakeknya.Namun, di sela rasa haru itu, tersisip juga kemarahan pada Arumi, yang telah membuat skenario agar mereka mengadopsi Kanaya. Alan benar-benar merasa dipermainkan. Dia pikir, istrinya yang egois, begitu tulus pada Kanaya. Namun, di balik semua itu, mantan istri, dan mertuanya ternyata telah membuat skenario jahat yang begitu keji.Meskipun Alan pun yakin, Arumi melakukan hal tersebut, pasti tak lepas dari permintaan Bu Dahlia. Namun, apapun tujuan awalnya, dalam lubuk hati yang paling dalam, dia pun mengakui, jika Arumi tak mengadopsi Kanaya, mungkin, dia takkan pernah bertemu dengan gadis itu.Tampak terlihat jelas, wajah Pak Rama yang terlihat lelah, tapi matanya dipenuhi harapan. Hatinya berdebar-debar. Setelah bertahun-
Pagi ini, sinar matahari menerobos lembut melalui celah tirai kamar. Udara masih terasa dingin, sisa embun malam yang belum sepenuhnya menguap. Dengan mata yang masih berat, Arumi menggeliat perlahan, mencoba mengumpulkan kesadaran setelah terlelap semalaman.Namun, ketenangan pagi itu buyar seketika saat terdengar suara ketukan di pintu. Arumi ragu-ragu, dan cemas jika sosok yang datang, adalah laki-laki yang semalaman datang dan mengusik ketenangannya. Jantung Arumi berdegup lebih cepat. "Siapa yang datang sepagi ini?"Arumi bergumam lirih. Dengan langkah enggan, dia berjalan menuju pintu, masih dengan kantuk yang menggantung di kelopak matanya.Saat daun pintu terbuka, waktu seakan berhenti. Di hadapannya berdiri sosok yang begitu dikenalnya—ayahnya. Pak Rama saat ini berdiri di depannya. Mata laki-laki paruh baya itu, memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Arumi tahu, ayahnya pasti sangat marah padanya. Namun, dia tampak mencoba mengendalikan perasaannya.Arumi tercekat, bib
Beberapa Saat Sebelumnya ....Pak Rama duduk di dalam mobil, sembari menatap sebuah rumah kecil. Beberapa saat yang lalu, anak buahnya memberi tahu tentang keberadaan Arumi yang saat ini tinggal di alamat yang saat ini dia tuju.Sebenarnya Pak Rama ingin turun. Namun, dari sudut pandangnya, Pak Rama melihat anak perempuannya, Arumi, sedang berbincang dengan seorang laki-laki di depan rumah kecil tersebut.Pak Rama sebenarnya sudah mulai memperhatikan saat laki-laki itu memeluk, tapi dilepas begitu saja oleh Arumi.Jujur saja Pak Rama terkejut dengan interaksi keduanya, yang boleh dibilang cukup intim. Namun, yang menjadi tanda tanya besar dalam benak Pak Rama adalah, sosok yang saat ini cukup dekat dengan Arumi itu, sosok yang berbeda dengan laki-laki yang fotonya tersebar di media sosial.Pak Rama mencoba kembali mengingat, dan wajah lelaki itu, bukan wajah yang akrab baginya.Pak Rama merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Antara perasaan bingung, cemas, dan kesal, karena ternyata
Wajah Arumi terlihat kaku, matanya penuh bara. menatap Rain yang saat ini memeluknya sembari berkata dengan nada bicara, dan ekspresi memohon, seperti pria yang tak tahu kapan harus menyerah."Apa kau bilang, jangan pernah bermimpi! Aku sama sekali nggak pernah tertarik padamu! Dulu, aku mau melakukan semua yang kau minta karena terpaksa!" bentak Arumi, sembari melepaskan dekapan hangat Rain.Tak hanya itu, Arumi juga mendorong tubuh laki-laki yang masih dipenuhi luka lebam akibat pukulan Alan tadi pagi."Arumi, kumohon dengarkan aku. Aku kembali dengan ketulusan. Aku datang bukan untuk membuatmu marah, tapi karena aku mencintaimu. Aku tahu, pernikahanmu sudah selesai dengan Alan, dan dia juga ternyata berselingkuh di belakangmu, 'kan? Jadi, lebih baik lupakan masa lalumu, dan mulailah kehidupan yang baru denganku.""Cinta? Itu yang selalu kau katakan, Rain. Tapi kau tak pernah peduli pada perasaanku! Kau hanya bisa memaksa, padahal berulang kali aku bilang aku tidak pernah mencintaim
Kanaya hanya memperhatikan Alan dengan cermat, menyadari betapa redupnya tatapan Alan. Dia pun bisa merasakan, bagaimana sakitnya Alan saat ini.Perlahan, Kanaya menggenggam jemari Alan, berharap menciptakan suasana hati yang lebih nyaman. "Mas, apapun hasilnya, Kenan tetap anak kamu. Kita akan rawat Kenan bersama." Suara lembut Kanaya, terdengar penuh perhatian.Alan menarik napas dalam-dalam, seolah sedang menyalami bagaimana sakitnya nanti jika kemungkinan buruk yang harus dia hadapi.Alan masih terdiam. Namun, Kanaya tak ingin mendesak untuk menanggapi perkataannya. Dia terus menunggu dengan sabar, sampai Alan benar-benar tenang."Hal ini benar-benar di luar dugaanku, Naya. Aku nggak nyangka semua ini akan terjadi. Rasanya semua semakin berat ...."Kanaya mengangguk, menandakan bahwa dia benar-benar mendengarkan. Kanaya tidak buru-buru memberi nasihat atau menyela, hanya membiarkan Alan mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya.Ketika akhirnya Alan menunduk, Kanaya tahu, Alan s
Alan sebenarnya curiga jika Kanaya sudah tahu tentang apa yang dilakukan oleh Arumi. Hal tersebut, terbukti dengan foto, dan video yang tersimpan pada email, bukan pada galeri di ponsel Kenan.Rasanya mustahil Kenan yang melakukannya. Anak seusia Kenan, tak mungkin memiliki pemikiran untuk menyembunyikan file tersebut, dan menyimpannya ke tempat aman yang baru bisa dipikirkan oleh orang-orang dewasa."Kanaya, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang Kenan? Tolong jangan ada yang ditutupi lagi, Naya. Please ...."Alan menatap Kanaya dengan sorot mata penuh pengharapan. "Kanaya ...!"Kanaya menggeleng sembari tersenyum getir. Seketika, dia baru menyadari kesalahannya, yang tak bisa mengontrol emosi, hingga mungkin membuat Alan curiga. Rasanya dia belum mampu, Kanaya belum sanggup membuka rahasia ini. Kanaya terlalu takut jika Alan terluka."Naya, kenapa kamu masih saja merahasiakan sesuatu dariku? Memangnya kamu anggap, aku ini apa?" timpal Alan kembali, seolah sedang mengintimidas
Di sebuah ruang perawatan yang tenang, Kanaya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak damai, meskipun ada beberapa jejak luka di wajah cantik itu. Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, bergerak pelan seiring napasnya yang teratur.Di sisi ranjang, ada infus yang menggantung di tiang besi, menyalurkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui selang tipis yang menempel di punggung tangannya.Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi halus mesin pemantau.Sedangkan di atas sofa, seorang perawat khusus yang diminta pihak keluarga untuk menjaga pasien itu, tampak sibuk dengan ponsel di tangan.Di luar jendela, langit senja mulai meredup, membiarkan cahaya lampu rumah sakit menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang.Seorang perawat masuk dengan langkah hati-hati, memeriksa kondisinya tanpa mengganggu tidur pasien. Setelah itu, dia mendekat pada rekannya yang sedang mengamati perawat jaga tersebut
Alan menatap Kenan lekat, matanya mencari jejak dirinya dalam wajah mungil di hadapannya. Garis rahang, lengkung alis, bahkan lekukan kecil di dagu, semuanya dia telaah dengan saksama, berharap menemukan secuil kemiripan yang bisa meredakan gemuruh di dadanya.Anak itu, dengan polosnya, hanya tersenyum, tak menyadari betapa tatapan ayahnya kini dipenuhi keraguan. Ada sesuatu yang mengusik dalam benak pria itu, sesuatu yang selama ini dia tepis, tetapi kini tumbuh semakin nyata.Bayangan masa lalu berkelebat. Waktu itu, hubungannya dengan Arumi memang sempat menjauh, ada hari-hari di mana mereka tak saling bicara. Lalu, hampanya hubungan itu pecah tatkala Arumi hamil.Saat itu, Alan begitu bahagia. Kehamilan Arumi, menghangatkan hubungan mereka yang sempat dingin, dan terpaut jarak karena ego masing-masing. Namun, kejadian itu kini menjelma menjadi bayangan yang mengintai setiap kali dia menatap mata anaknya, mata yang terasa asing, bukan seperti cerminan dirinya sendiri.Namun, bagai
Mendengar sebuah suara yang cukup dikenali, spontan Arumi, dan Rain pun menghentikan perdebatan mereka."Bagus sekali, akhirnya aku bisa bertemu sepasang manusia munafik seperti kalian! Kalian memang sangat cocok!""Mas, ini nggak seperti yang kamu duga!""Jaga bicara Anda, Tuan Alan!""Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku?"Alan kemudian menunjuk Rain dengan jari telunjuknya. "Kau pikir, aku tak tahu kau siapa? Kau yang datang secara diam-diam ke rumahku. Bahkan, tidur di atas ranjang kamarku, bukan?"Alan kemudian menoleh, dan menatap sengit pada Arumi. "Karena itulah, aku nggak pernah sudi tidur di kamar itu. Apalagi menyentuhmu, Arumi. Aku jijik padamu yang sudah berulang kali disentuh oleh laki-laki lain!""Dan kau salah satu manusia yang berhasil kita tipu selama bertahun-tahun, karena Kenan sebenarnya bukan anak kandungmu!" sahut Rain sinis.Langit yang tadinya terlihat tenang, seolah berubah mendung setelah perkataan itu terlontar dari mulut Rain.Arumi memejamkan mata,
Malam ini, langit mendung, seolah menyuarakan hati Alan yang kacau balau. Di ruang perawatan Kanaya yang penuh dengan keheningan mencekam, Alan mondar-mandir. Wajahnya kusut, tangannya mengepal kuat, dan matanya memerah. Setelah menutup sambungan telepon dari Arumi, Alan begitu kesal padanya. Bu Sinta yang baru saja datang, tepat ketika Alan sedang menelepon Arumi, mencoba menenangkan putranya."Kenan nggak pantas dijadikan alat, Arumi benar-benar keterlaluan!" gerutu Alan."Mama tahu ini berat, tapi kamu harus tenang. Kalau kamu kehilangan kendali, itu nggak akan menyelesaikan apa-apa."Bu Sinta menyahut, dengan suara tenang. Sedangkan Kanaya, kini sudah terlelap. Setelah meminum obat, tak lama mata Kanaya terpejam. Mungkin, obat yang dikonsumsi Kanaya, mengandung obat tidur, agar Kanaya bisa beristirahat."Tenang? Aku nggak bisa, Ma. Aku yakin, besok pasti Arumi akan membuat penawaran, dan aku nggak suka caranya yang licik kaya gini dengan menggunakan Kenan!""Bagaimana kalau kita