Beberapa Saat Sebelumya ....Pak Rama yang sudah berjalan menjauh dari ruang perawatan Arumi, saat menyadari jika sosok Boby telah masuk, dan mendekat pada Arumi, kini berbalik.Dengan hati-hati, laki-laki paruh baya itu, berdiri di depan pintu sembari menempelkan telinganya di pintu tersebut, untuk mendengarkan percakapan Arumi, dan Boby."Bagaimana semua ini bisa terjadi? Siapa yang melakukan ini, Bob? Apa yang harus kita lakukan?""Kita harus memberikan penjelasan yang membuat publik percaya, Arumi.""Tapi, kita juga harus punya bukti kuat untuk membantahnya, Bob. Kalau nggak, mereka nggak bakal percaya.""Aku mereka percaya?""Mereka tunggu penjelasan dari kamu, Arumi."Aku nggak kuat, Bob.""Arumi, kamu harus kuat. Kalau kita nggak tanggapi ini, mereka bakal bikin cerita lebih buruk. Kamu tahu kan gimana media bekerja.""Aku nggak peduli! Semua ini terlalu berat. Orang-orang bakal benci aku.""Arumi, fokus. Kamu influencer terkenal. Kita buat klarifikasi yang jujur, tapi terukur.
"Pak Rama, Alan. Saya permisi pulang dulu. Hari ini, pembantu rumah tangga yang biasa nemenin Kenan lagi sakit. Kasihan Kenan kalo nggak ada yang nemenin.""Oh silahkan, Bu Sinta. Sampaikan salam saya pada Kenan. Kalau situasinya sudah memungkinkan, saya jenguk Kenan di rumah Bu Sinta."Bu Sinta pun mengangguk. "Iya, nanti saya sampaikan pada Kenan. Saya permisi pulang dulu.""Hati-hati, Ma.""Iya, kasih tahu Mama ya kalau Kanaya sudah dipindahkan ke ruang perawatan."Alan pun mengangguk, sembari tersenyum simpul. Hari ini, sebenarnya Kanaya sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, tinggal menunggu saja."Apa yang ingin Papa bicarakan?" tanya Alan, memulai percakapan tersebut.Laki-laki paruh baya itu, duduk di hadapan Alan, dan menatapnya penuh penyesalan."Alan, Papa tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga kalian. Papa tahu bagaimana sikap buruk Arumi, dan setelah kau mengucapkan talak pada Arumi, Papa tahu dia sudah mengkhianatimu. Namun, Papa baru tahu kalau ternyata dia sampa
Dingin malam menusuk tulang, tapi yang lebih menyakitkan adalah rasa penyesalan yang tak kunjung hilang dari benak Bu Dahlia. Dia duduk di sudut ruangan kecil dengan tembok kusam berwarna abu-abu. Bukan ruangan yang layak untuk seorang ibu, tapi ia tak punya pilihan. Penjara ini, kini menjadi tempat tinggalnya.Detik demi detik, Bu Dahlia lalui dengan penuh kebimbangan. Entah mengapa, sejak tadi perasaannya begitu berkecamuk, seperti merasakan sebuah firasat buruk, tapi entah apa.Tanpa sengaja, atensi Bu Dahlia, tertuju pada layar televisi kecil di di dekat sel. Melihat siaran berita di televisi tersebut, seketika mata Bu Dahlia terbelalak lebar.Jantungnya berdetak kencang tak beraturan, seolah akan terlepas dari tempatnya. Berita itu datang seperti pukulan telak di dada. Anak tersayangnya, Arumi, kini menghiasi layar televisi tersebut.Berita di televisi menyebutkan, Arumi terseret dalam skandal perselingkuhan dengan salah satu pimpinan e-commerce.Mata Bu Dahlia masih membelalak l
Alan menatap interaksi Kanaya, dan Pak Rama. Laki-laki itu tersenyum simpul, disertai perasaan haru yang menyeruak di dalam dada.Sejujurnya, Alan pun tak menyangka jika Kanaya, adalah anak kandung dari Pak Rama, sosok yang selama ini Kanaya anggap sebagai kakeknya.Namun, di sela rasa haru itu, tersisip juga kemarahan pada Arumi, yang telah membuat skenario agar mereka mengadopsi Kanaya. Alan benar-benar merasa dipermainkan. Dia pikir, istrinya yang egois, begitu tulus pada Kanaya. Namun, di balik semua itu, mantan istri, dan mertuanya ternyata telah membuat skenario jahat yang begitu keji.Meskipun Alan pun yakin, Arumi melakukan hal tersebut, pasti tak lepas dari permintaan Bu Dahlia. Namun, apapun tujuan awalnya, dalam lubuk hati yang paling dalam, dia pun mengakui, jika Arumi tak mengadopsi Kanaya, mungkin, dia takkan pernah bertemu dengan gadis itu.Tampak terlihat jelas, wajah Pak Rama yang terlihat lelah, tapi matanya dipenuhi harapan. Hatinya berdebar-debar. Setelah bertahun-
Di Ruang Perawatan ...."Kalian menikah saja! Bukannya Papa mau menghentikan langkah Kanaya, tapi sepertinya hubungan kalian sudah cukup jauh," sambung Pak Rama, yang mengetahui video Alan, dan Kanaya yang tersebar.Sebagai laki-laki dewasa dia cukup paham, sejauh mana hubungan Kanaya, dan Alan. Apalagi, Alan juga sudah berumah tangga. Pak Rama yakin, hubungan putrinya, dan Alan pasti tidaklah hanya pada sebatas berpegangan tangan.Alan, dan Kanaya pun saling berpandangan. Lalu, Alan mulai membuka suaranya, "Saya akan bertanggung jawab atas hubungan ini, Pa. Saya memang serius dengan Kanaya. Meskipun Kanaya masih muda, tapi untuk saat ini Kanaya masih duduk di bangku kuliah. Saya takut Kanaya keberatan, dan tidak mau menghambat masa depan Kanaya.""Setelah kejadian ini, memangnya kamu masih ingin melanjutkan kuliah kamu, Naya?" sahut Pak Rama, cemas jika Kanaya akan mendapat perundungan jika di luar sana.Bahkan, laki-laki paruh baya pun rasanya belum ingin membiarkan Kanaya pergi seo
Di Ruang Perawatan Arumi ....Boby menatap Arumi yang kini terlihat begitu sendu. "Arumi, lo mau makan nggak? Gue suapin ya!"Arumi tak menjawab. Dia terlihat begitu asyik dalam pemikirannya sendiri, seolah sedang mengolok keadaannya yang sudah hancur.Karir, rumah tanggal, dan citra yang dia bangun selama bertahun-tahun kini hancur. Arumi bahkan tak tahu, dan belum memiliki rencana apapun setelah kejadian ini. Karirnya cemerlang, kini semua itu hanya ilusi yang sekarang telah tercerai-berai.Skandal itu datang seperti badai di musim kemarau—tidak terduga, dan menghancurkan segalanya dalam sekejap. Kolega yang dulu mengaguminya kini memalingkan muka. Dunia kerja yang dulu menjadi tempat ia bersinar berubah menjadi ruang penuh bisik-bisik dan penghakiman.Namun, penderitaannya tak berhenti di sana. Karena rumah tangganya pun kini juga hancur.Arumi duduk, sembari bergumam lirih, "Mengapa ini terjadi? Apa salahku? Bagaimana aku bisa memperbaiki semuanya?"Akan tetapi, sebanyak apapun pe
Arumi tampak begitu kesal, saat mendengar Pak Rama menyuruhnya pergi ke luar negeri. Wanita itu, kini hanya terdiam. Lalu, menoleh ke jendela yang menghadap ke taman dengan wajah yang tegang dan napas berat. Dia membelakangi Pak Rama yang kini duduk di sampingnya, sambil memandang Arumi, dengan tatapan dingin bercampur khawatir, akan masa depan putrinya.Tak dapat dipungkiri, perkataan Pak Rama, membuat dadanya bergemuruh. Kata-kata ayahnya bergema di pikirannya, seperti palu yang memukul bertubi-tubi."Kenapa diam? Percayalah, ini jalan terbaik untuk meredam semua berita buruk tentangmu. Setelah situasinya lebih terkendali, kau bisa pulang lagi ke tanah air. Kau juga bebas memilih negara, di mana kau akan tinggal, Arumi."Arumi membalikkan wajah yang kini terlihat memerah, menahan amarah."Jadi ini solusi Papa? Mengirimku pergi ke luar negeri seperti barang yang harus disembunyikan? Papa mau buang aku karena udah nemuin anak kesayangan Papa, 'kan?"Pak Rama tetap terlihat tenang, ta
Malam ini, suasana rumah sakit lengang. Hanya terdengar bunyi mesin EKG dari beberapa ruangan dan langkah kaki perawat yang sesekali melintas di koridor.Lampu-lampu redup di lorong menciptakan bayangan panjang yang menari di dinding. Di salah satu kamar rawat inap, seorang wanita duduk di tepi tempat tidurnya dengan napas tertahan.Tangannya gemetar, rasa cemas dan takut sebenarnya begitu menghantui. Namun, Arumi yang sudah bertekad untuk pergi, menghalau rasa cemas tersebut.Akan tetapi, saat ini Arumi sendiri. Boby memang bersedia mengambil kunci itu, tapi enggan menemani Arumi saat melarikan diri dari rumah sakit. Lelaki gemulai itu, tak memiliki keberanian untuk melakukannya.Arumi melirik ke arah pintu. Suara langkah kaki perawat mendekat, lalu menjauh. Ini adalah kesempatannya. Dengan hati-hati, ia mencopot selang infus dari tangannya, menahan nyeri yang menusuk. Darah kecil mengalir, tetapi ia tak peduli.Arumi bergumam pada dirinya sendiri, "Aku nggak bisa tinggal di sini leb
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan