Keesokan Harinya ....Arumi yang khawatir, jika percakapannya semalam dengan Bu Dahlia tentang kecemasan keduanya pada Pak Rama terjadi, akhirnya memutuskan mengadakan konferensi pers untuk mengamankan posisi mereka. Ruangan konferensi pers dipenuhi wartawan dan kamera. Flash kamera terus menerangi suasana tegang. Di tengah meja, Arumi duduk dengan tenang. Wajahnya terlihat lelah, tetapi sorot matanya mencerminkan ketegaran.Dengan mengenakan kemeja putih sederhana. Di depannya ada, mikrofon berjajar, siap merekam setiap kata demi kata yang akan diucapkannya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Arumi memulai dengan suara pelan, tapi tegas."Selamat siang, teman-teman media dan semua yang hadir di sini. Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih atas kehadiran Anda semua. Saya tahu berita yang viral belakangan ini telah menarik perhatian banyak pihak. Saya ucapkan terima kasih banyak pada seluruh pihak yang sudah mensupport saya, terutama dari segi moril."Suara Arumi kali ini t
Di sebuah ruangan yang mewah, dan hangat, seorang wanita duduk di sofa dengan tatapan tajam terpaku pada layar televisi. Wajahnya menegang, tangannya gemetar memegang remote.Di layar, seorang wanita muda dengan riasan sempurna, mengenakan kemeja warna putih tengah melakukan konferensi pers. Wanita itu berbicara dengan suara lembut, tapi penuh percaya diri, memberikan penjelasan singkat. Namun, seolah menjelaskan jika dirinya lah korban dari kedzaliman yang menimpanya.Wanita itu tampak begitu bijak, dalam bertutur kata, serta memberikan jawaban. Namun, hal tersebut ditanggapi dengan dingin oleh wanita bermanik mata cokelat yang sedang menatap layar televisi tersebut.Dengan nada dingin, dia pun mulai membuka suaranya. "Berani sekali dia bicara seolah menjadi satu-satunya korban. Rumah tanggaku saja berhasil dia hancurkan. Sekarang dia yang minta simpati atas apa yang terjadi. Apa dia nggak punya rasa malu?"Carmen menghela napas panjang, mencoba meredam amarah yang mendidih di dadany
Alan memejamkan mata dengan sebuah pengharapan yang dia panjatkan pada Tuhan. Dia berharap, agar Kanaya bisa segera sadar. "Alan gimana kondisinya sekarang?" Alan menoleh ke sumber suara, ketika dia baru saja keluar dari ruang ICU. Di sana ada Bu Sinta, dan berapa keluarganya. Alan hanya menggeleng. "Dia masih tidur, mungkin Kanaya terlalu lelah. Kata Naya, aku kaya kebo kalo lagi bobo, tapi ternyata dia juga sama. Dia belum juga mau bangun, Ma ...." Alan menjawab sembari tersenyum, diiringi air mata. Mereka pun saling berpandangan, melihat betapa hancurnya Alan sekarang. Alan memang tidak pernah menganggap Kanaya koma. Dia hanya menganggap Kanaya sedang tidur, dan beristirahat sejenak. Bu Sinta mendesah, lalu memegang bahu Alan. "Apa kamu belum istirahat? Makanlah, lalu istirahat sebentar!" pinta Bu Sinta, tapi Alan menggeleng. Memang sejak Kanaya masuk rumah sakit, Alan belum pernah satu langkah pun meninggalkan Kanaya. Kecuali, pada saat menemui Pak Rama. Sedangkan Kenan,
"Keterlaluan katamu? Kalian yang sudah bertindak kriminal memang sudah sepantasnya dilaporkan pada yang berwajib!" bentak Pak Rama, lalu keluar dari kamar tersebut, meninggalkan Arumi, dan Bu Dahlia yang saat ini dirundung kecemasan.Suasana yang biasanya hangat, kini penuh ketegangan di udara. Bu Dahlia yang sudah duduk di atas ranjang, kini duduk berhadapan dengan Arumi, saling menatap dengan ekspresi cemas. Mendengar ancaman dari Pak Rama untuk melaporkan ibunya, Bu Dahlia ke pihak berwajib tentunya Arumi terlihat gelisah.Bu Dahlia menggenggam tangannya erat, disertai raut wajah penuh kecemasan. Sementara Arumi, mencoba menenangkan ibunya meski hatinya sendiri diliputi rasa takut."Arumi, apa yang Mama takutkan akhirnya terjadi. Firasat ini, memang semakin kuat, dan Mama sudah tak sanggup menutupi semua. Tanpa kita tahu, Papa kamu sudah melakukan penyelidikan itu sendiri, Arumi.""Aku yakin, pasti ada yang bantuin Papa, Ma. Papa nggak mungkin bisa dapetin bukti-bukti itu sendiri!
Tanpa sengaja, Kanaya melirik ke arah celah pintu ruang ICU yang sedikit terbuka. Meskipun samar, netra Kanaya menangkap sosok seorang laki-laki yang tengah berdiri mematung sambil memperhatikan dirinya.Kepala Kanaya masih terasa berat, tapi dia dapat mengenali siapa sosok tersebut. Wanita itu pun akhirnya bergumam lirih, "Opa Rama."Alan yang mendengar gumaman lirih itu pun beranjak dari tempat duduk yang ada di samping Kanaya. Lalu, keluar untuk menemui sosok yang Kanaya sebutkan. Meskipun, tadi sosok tersebut begitu marah padanya.Akan tetapi, Alan tak peduli. Bagaimanapun juga, dia tetap ingin bersikap jantan, layaknya seorang laki-laki yang mencintai kekasihnya dengan tulus, tanpa adanya rasa takut mendapat tekanan dari pihak manapun, termasuk orang tua kandungnya."Apa Papa mau masuk?"Pak Rama hanya diam. Netranya terus melihat Kanaya dari celah pintu, memperhatikan putrinya yang masih terbaring lemah tak berdaya, dengan begitu banyak alat medis yang menopangnya."Apa Papa tid
Di saat itulah, siluet seseorang terlihat mendekat dari kegelapan malam, dan Bu Dahlia tahu siapa sosok tersebut."Papa ...?" gumaman lirih dari bibir Bu Dahlia yang terlihat bergetar pun terdengar. Kini, laki-laki itu menatap nyalang pada istrinya."Kau mau melarikan diri, Dahlia? Jangan berani macam-macam denganku! Bukankah sudah kukatakan, aku nggak akan tinggal diam setelah apa yang kau lakukan?"Bu Dahlia tergagap, ingin bersuara. Namun, kerongkongannya seakan tercekat."Bukan Mama, tapi aku, Pa! Aku yang udah ajak Mama melarikan diri, karena aku nggak mau Papa nyakitin Mama!" sahut Arumi dengan begitu ketus.Pak Rama pun terkekeh. "Apa kau bilang? Kamu nggak mau disakiti? Apa kalian nggak sadar kalian sudah menyakiti dua insan nggak berdosa. Bahkan, juga sudah menghilangkan nyawanya!""Ingat Pa, Mama nglakuin itu karena Papa udah nyakitin Mama dengan menikahi Tante Cempaka!""Cih, waktu itu kau masih ingusan, dan belum tahu kehidupan rumah tangga, Arumi. Mamamu, sama seperti dir
"Ah, aw sakit sekali!" pekiknya kembali saat merasakan sakit yang semakin tak tertahankan, apalagi darah yang mengalir kini semakin deras."Hei kenapa kau lambat sekali! Cepat bawa aku ke rumah sakit!" bentak Arumi pada Fabian yang tengah berjalan menuruni tangga."Iya sabar, Nyonya."Fabian lalu bergegas membantu Arumi untuk berdiri, kemudian memapahnya menuju ke mobil yang ada di depan rumah.Pembantu rumah tangga yang mendengar teriakkan Arumi pun ikut bangun, dan menemani Arumi ke rumah sakit.Beberapa saat kemudian, ketika masih dalam perjalanan, tiba-tiba saja, perut Arumi semakin terasa mulas, bahkan rasanya ada sebuah bongkahan yang keluar dari bagian bawah tubuh."Ah, ah ... sakit ... aaaaaaa!""Anda kenapa, Nona?" tanya Fabian, dan pembantu rumah tangga yang menemani.Keduanya tampak cemas melihat keadaan Arumi yang terlihat begitu pucat. Meskipun AC di dalam mobil tersebut, dibilang cukup dingin.Akan tetapi, keringat Arumi kian deras membasahi seluruh tubuh. Sedangkan tang
Alan baru saja keluar dari ruang ICU, ketika tiba-tiba Bu Sinta mendekat padanya dengan raut wajah panik."Nanti siang Kanaya bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah cukup stabil," terang Alan, sebelum Bu Sinta mengucapkan sepatah kata pun."Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu."Alan pun mengangguk, sembari mengamati raut ketegangan di wajah Bu Sinta. Wanita paruh baya itu, tampak sedang ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu."Ada apa, Ma?""Emh Alan ....""Apa lagi yang diperbuat oleh Arumi?" tebak Alan dengan yakin, kecemasan yang diperlihatkan Bu Sinta, pasti ada hubungannya dengan Arumi.Bu Sinta mendesah pelan. "Arumi keguguran, tapi dia justru memanfaatkan kejadian itu untuk semakin memojokkan kalian. Sekarang, caci maki pada kalian, kian kencang di dunia maya. Mama takut, nantinya juga berdampak bagi perusahaan kamu."Alan pun terkekeh, seolah tak peduli citranya hancur. "Alan, kok malah ketawa sih? Foto-foto Arumi yang terlihat frustasi karena diselingkuhi, dan k
Kakek Wang bergegas mengambil ponsel Rain yang menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan Stela."Kakek, Rain bohong, bukti-bukti itu palsu!" seru Stela, mencoba meyakinkan kakeknya. Namun, pria paruh baya itu tak bergeming, dan tetap melihat semua bukti-bukti tersebut.Stela berniat mendekat, untuk mengambil ponsel milik Rain. Namun, buru-buru dicegah oleh dua orang bodyguard Kakek Wang.Sementara itu, bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Beberapa orang mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi, sementara yang lain memilih menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam hitungan menit, suasana kian tegang. Tuan rumah yang semula tersenyum ramah kini terlihat gelisah, keringat dingin membasahi dahinya."Ada apa?" tanya seseorang dengan suara hati-hati.Namun, sebelum ada jawaban, seorang anggota keluarga tuan rumah memberi isyarat agar para tamu segera meninggalkan tempat. Tanpa banyak bertanya, mereka mulai beringsut keluar, beberapa dengan langkah ter
"Kamu baru sembuh, aku nggak mungkin tega mengatakan bagian paling menyakitkan dalam rumah tangga kita.""Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Sepintas, aku masih ingat senyuman hangatmu padaku, tapi sekarang kenapa jadi seperti ini? Siapa yang salah, aku atau kamu?"Alan menghela napas, menatap keluar jendela sejenak sebelum kembali menatap Arumi."Nggak penting siapa yang salah, kita berdua memang sudah tidak satu tujuan. Terlalu banyak ketidakcocokan, dan pola pikir."Arumi mengernyit, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Tapi kenapa tatapanmu begitu dingin padaku? Apa aku yang salah?"Alan menggeleng pelan. "Ini bukan tentang siapa yang salah. Kita memang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, begitu pula kamu. Aku sering kali merasa diabaikan sebagai seorang suami, dan kau berpikir aku ngga pernah mengerti keadaanmu. Kita sering bertengkar, hal-hal kecil jadi besar. Kita lelah, tapi tidak ada yang mau mengalah."Arumi menatap
Di Sisi Lain....Setelah memberi tahu Rain jika dia berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk membawa pulang Arumi, Alan melangkah memasuki ruang perawatan dengan langkah ragu. Keraguan itu, bukan karena dia takut. Namun, lebih pada sosok yang akan dia temui.Di ranjang, seorang wanita duduk bersandar pada bantal, matanya kosong menatap jendela. Arumi, mantan istrinya. Wanita yang pernah dia cintai lebih dari apapun, tapi dulu. Bukan sekarang.Alan mendekat, menarik kursi, lalu duduk di depannya. "Arumi ...."Arumi mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Alan dengan tatapan asing."Maaf, Anda?"Alan merasakan sesuatu yang mencengkeram hatinya. Ini aneh. Perempuan yang dulu dia kenal begitu dalam, kini menatapnya seperti orang asing."Aku Alan, aku temanmu dulu."Arumi mengerutkan kening, seolah mencoba menangkap sesuatu di pikirannya. Nama Alan memang terdengar tak asing. Apalagi, kemarin sosok laki-laki yang menemuinya juga mengatakan jika hari ini Alan akan menemuinya."Ala
Malam itu, rumah besar milik Kakek Wang berubah menjadi pusat kemewahan dan kegembiraan. Dikelilingi taman yang luas dengan lampu-lampu berkelap-kelip, pesta yang diadakan di mansion megah itu bagaikan perayaan para bangsawan. Para tamu berdatangan dalam pakaian terbaik mereka—gaun berkilauan dan setelan jas mahal—sambil membawa gelas sampanye yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal raksasa.Di tengah aula utama yang luas, sebuah orkestra memainkan musik klasik yang lembut, sementara para pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi hidangan mewah: kaviar, lobster, dan anggur terbaik dari seluruh dunia. Taman belakang yang dihiasi air mancur dan patung-patung marmer menjadi tempat bagi mereka yang ingin berbincang lebih santai, dengan suara tawa dan gelak kebahagiaan memenuhi udara.Kakek Wang, seorang miliarder yang dikenal karena kemurahan hatinya, berdiri di balkon lantai dua, mengangkat gelasnya dan menyampaikan pidato singkat. Dengan senyuman bijaksana, dia menyambut
Kanaya berdiri di depan cermin besar, tubuhnya dibalut gaun pengantin berwarna putih gading dengan renda yang halus. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dadanya yang berdebar.Cahaya dari lampu gantung di butik membuat wajahnya tampak lebih lembut, tapi tidak bisa menghilangkan bayangan kegundahan di matanya. Ocha, yang duduk di sofa butik, menatapnya penuh kagum."Ya ampun, Nay. Kamu cantik banget, aku yakin Mas Alan bakalan terpesona liat kamu. Aku foto ya, nanti kamu kirim ke calon suami kamu!" pekik Ocha, dengan sorot mata berbinar, kagum akan kecantikan sahabatnya.Kanaya tersenyum kecil, lalu merapikan bagian lengan gaunnya. "Tapi aku malu.""Ck ngapain malu sih. Aku aja yang cewek terpesona. Apalagi Mas Alan!" sahut Ocha, seraya tertawa kecil.Kanaya ikut tersenyum, tapi hanya sebentar. Matanya kembali menatap pantulan dirinya di cermin, seakan mencari sesuatu yang hilang."Nay, lo kenapa sih kaya sedih gitu? Nggak cocok sama gaunnya?"Kanaya menggeleng pelan. "
Di sebuah ruang perawatan rumah sakit yang diterangi cahaya lembut dari jendela, Rain duduk di tepi ranjang pasien setelah beberapa saat berusaha menenangkan Arumi.Wajah itu, menyimpan kelelahan, tapi sorot matanya penuh harapan saat menatap perempuan yang duduk di depannya. Arumi—atau kini, yang hanya mengenal dirinya sebagai Celine—terlihat ragu. Tatapannya kosong, seolah berusaha mengaitkan kembali kepingan memori yang hilang."Dengarkan aku, kamu bukan Celine, kamu Arumi. Aku tahu ini membingungkan, tapi aku mohon, percayalah padaku.""A-aku nggak ngerti. Semua orang bilang aku Celine. Stela bilang jangan pernah percaya orang lain, kecuali dirinya.""Stela bohong. Namamu Arumi."Rain menggeleng, suaranya tegas tapi terdengar lembut. Arumi kemudian mengerutkan kening, matanya berkabut."Kalau benar, kenapa aku nggak ingat kalo aku Arumi?""Lalu, apa kau juga ingat jati dirimu sebagai Celine?" sahut Rain, kemudian menarik napas dalam, berusaha menahan emosi."Tapi kenapa Stela bila
Di dalam ruang tengah, Rain menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Cahaya dari layar memantul di matanya yang penuh amarah dan kekecewaan. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring gelombang emosi yang meluap di dalam dirinya. Beberapa saat yang lalu, dia menyadap ponsel milik Stela, dan menemukan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.Bukti, percakapan, rencana. Semua tertulis jelas. Stela adalah dalang di balik kecelakaan Arumi.Rain mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri, seakan benda itu bisa membantunya mengendalikan amarah yang hampir meledak. Pikirannya berputar, mengulang-ulang momen saat dia melihat bagaimana mobil tersebut terbakar, bagaimana hancurnya dia saat mengira jika Arumi telah meninggal, dan ternyata semua itu palsu. Semua itu adalah konspirasi semata yang sangat menyakiti hatinya. Rain pikir itu kecelakaan biasa. Takdir buruk yang menimpa tanpa peringatan. Namun, tidak. Itu ulah Stela. Orang yang selama ini ada di dekatnya.Rahangnya mengera
Atmosfer ruang tamu itu terasa panas meskipun AC yang menyala, menunjukkan suhu rendah. Lampu terang yang menyinari membuat bayangan wajah mereka terlihat lebih tegang.Alan duduk di sofa dengan tubuh sedikit condong ke depan, kedua tangannya saling menggenggam erat. Kanaya berdiri di dekat jendela, menggigit bibir bawahnya, sembari mendengar penjelasan Rain di ujung sambungan telepon.Sementara Pak Rama, duduk di kursi berhadapan dengan Alan. Wajahnya kusut, matanya merah dan penuh kecemasan.Di atas meja, secangkir kopi yang disajikan sejak tadi sudah dingin, tak ada yang sempat menyentuhnya. Udara di ruangan itu seperti membeku setelah Alan menyampaikan kabar yang baru saja ia dapatkan.Setelah Kanaya menutup sambungan telepon tersebut, gadis itu tampak menghela napas berat."Aku baru saja mendapat kabar dari Rain. Dia bilang, tadi saat menunggu ibunya yang masuk rumah sakit, Rain melihat seseorang yang mirip Arumi di sebuah rumah sakit tersenyum. Namun, saat Rain mendekat, wanita
Di ruang makan yang luas dan elegan, sebuah meja panjang berhiaskan lilin serta peralatan makan berlapis perak tersusun rapi. Lampu kristal menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Aroma hidangan menguar, memenuhi ruangan dengan keharuman menggoda.Pak Rama meletakkan garpunya dengan tenang, lalu menatap putrinya dengan penuh perhatian."Udah sampe sejauh mana persiapan pernikahan kamu sama Alan?"Kanaya tersenyum malu-malu, meletakkan sendoknya, lalu menatap ayahnya dengan sorot mata berbinar."Hampir 75 persen, Pa. Besok kita mau fitting baju pengantin. Kita nggak undang banyak tamu, karena lebih ke acara private party."Pak Rama mengangguk pelan, ekspresinya tenang, tapi penuh makna. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menghela napas pendek sebelum berbicara."Pernikahan itu bukan sekedar tentang cinta, Kanaya. Tapi juga tentang kesiapan, tanggung jawab, dan kesabaran. Kamu harus ingat itu, dan jangan pernah melakukan kesalahan seperti yang perna