Semua berawal dari sebuah unggahan anonim yang tiba-tiba viral di media sosial. Unggahan itu memuat bukti foto dan video yang sangat sensitif. Dalam waktu satu jam, konten tersebut pun sudah dilihat ribuan viewer. Komentar demi komentar buruk pun menyerbu, merajalela menuduh dua insan manusia itu seolah tanpa memiliki moral."Naya, apa benar kamu simpanan Papa angkat kamu?" Ocha kembali mengulang pertanyaannya saat Kanaya tak menjawab.Kanaya yang tak tahu apa yang terjadi di luar sana, tak bisa menjawab. Hanya ada berbagai tanda tanya yang memenuhi isi kepalanya."Cha, kenapa lo tanya gitu?""Naya sekarang lo buka akun medsos. Lo lihat sendiri, skandalnya sudah tersebar di mana-mana!"Tubuh Kanaya seketika menegang, sekarang dia baru tahu mengapa Ocha begitu panik. "Gue belum liat beritanya, Cha."Helaan napas berat pun terdengar di ujung sambungan telepon. "Nay, lo sekarang jadi bahan pembicaraan netizen. Semua hujat lo, kalo berita itu nggak bener, lo buruan kasih klarifikasi de
Malam ini terasa begitu hening. Napas Bu Dahlia tercekat, berusaha tetap tenang meski detak jantungnya menggema di telinganya.Langit yang tadinya cerah kini tertutup mendung kelabu, seakan menyatu dengan rasa gelisah yang menggantung di dadanya. Jemarinya gemetar, menggenggam ponsel yang layar kacanya memperlihatkan pesan terakhir yang baru saja diterima."Aku di sini, dan aku melihatmu."Matanya terbelalak, menoleh cepat ke sekeliling. Tak ada siapa pun. Hanya suara angin yang mendesir pelan di antara dedaunan, namun rasanya seperti berbisik ancaman di telinganya. Bu Dahlia melangkah mundur, perlahan, takut suara langkahnya mengundang sesuatu yang tak diinginkan. Namun, di balik keheningan itu, ia mendengar suara lain, tawa seorang wanita yang terdengar begitu kencang.Suara itu semakin keras. Bu Dahlia menahan napas, tubuhnya kaku seperti membatu. Di dadanya, rasa takut bertumpuk hingga membuatnya hampir menangis."TIDAK ...!""Dahlia, kamu kenapa?"Bahu Bu Dahlia terguncang. "Bagu
Tubuh Pak Rama membeku, dia tak tahu maksud dari perkataan Alan yang memintanya untuk menyelamatkan anak kandungnya. Namun, dia justru menyebut nama Kanaya. "Kanaya itu cucuku, Alan."Kanaya adalah putri Anda, dengan Cempaka Lestari. Dia anak kandung yang selama ini Anda cari ...!"Tubuh Pak Rama bergetar hebat, kakinya melemas seakan tak sanggup menahan tubuhnya. Sungguh, semua di luar ekspektasinya. Bahkan, Pak Rama hampir saja ambruk.Akan tetapi, Alan dengan gerakkan cepat menahan tubuh pria paruh baya itu, dan meminta masuk ke mobilnya."Cepat, Pa! Kita udah nggak punya banyak waktu!"Pak Rama pun mengangguk, lalu mengikuti Alan masuk ke mobil, dan duduk di samping Alan dengan segala rasa yang bergumul di dada. Hancur, marah, dan kecewa pada dirinya sendiri.Kanaya, gadis yang selama ini dia anggap, dan sayangi sebagai cucunya, ternyata adalah anak kandungnya dengan Cempaka. Di sisi lain, hatinya pun bertanya-tanya, apakah Arumi, dan Dahlia tahu hal ini? Ataukah mereka memang se
Keesokan Harinya ....Arumi yang khawatir, jika percakapannya semalam dengan Bu Dahlia tentang kecemasan keduanya pada Pak Rama terjadi, akhirnya memutuskan mengadakan konferensi pers untuk mengamankan posisi mereka. Ruangan konferensi pers dipenuhi wartawan dan kamera. Flash kamera terus menerangi suasana tegang. Di tengah meja, Arumi duduk dengan tenang. Wajahnya terlihat lelah, tetapi sorot matanya mencerminkan ketegaran.Dengan mengenakan kemeja putih sederhana. Di depannya ada, mikrofon berjajar, siap merekam setiap kata demi kata yang akan diucapkannya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Arumi memulai dengan suara pelan, tapi tegas."Selamat siang, teman-teman media dan semua yang hadir di sini. Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih atas kehadiran Anda semua. Saya tahu berita yang viral belakangan ini telah menarik perhatian banyak pihak. Saya ucapkan terima kasih banyak pada seluruh pihak yang sudah mensupport saya, terutama dari segi moril."Suara Arumi kali ini t
Di sebuah ruangan yang mewah, dan hangat, seorang wanita duduk di sofa dengan tatapan tajam terpaku pada layar televisi. Wajahnya menegang, tangannya gemetar memegang remote.Di layar, seorang wanita muda dengan riasan sempurna, mengenakan kemeja warna putih tengah melakukan konferensi pers. Wanita itu berbicara dengan suara lembut, tapi penuh percaya diri, memberikan penjelasan singkat. Namun, seolah menjelaskan jika dirinya lah korban dari kedzaliman yang menimpanya.Wanita itu tampak begitu bijak, dalam bertutur kata, serta memberikan jawaban. Namun, hal tersebut ditanggapi dengan dingin oleh wanita bermanik mata cokelat yang sedang menatap layar televisi tersebut.Dengan nada dingin, dia pun mulai membuka suaranya. "Berani sekali dia bicara seolah menjadi satu-satunya korban. Rumah tanggaku saja berhasil dia hancurkan. Sekarang dia yang minta simpati atas apa yang terjadi. Apa dia nggak punya rasa malu?"Carmen menghela napas panjang, mencoba meredam amarah yang mendidih di dadany
Alan memejamkan mata dengan sebuah pengharapan yang dia panjatkan pada Tuhan. Dia berharap, agar Kanaya bisa segera sadar. "Alan gimana kondisinya sekarang?" Alan menoleh ke sumber suara, ketika dia baru saja keluar dari ruang ICU. Di sana ada Bu Sinta, dan berapa keluarganya. Alan hanya menggeleng. "Dia masih tidur, mungkin Kanaya terlalu lelah. Kata Naya, aku kaya kebo kalo lagi bobo, tapi ternyata dia juga sama. Dia belum juga mau bangun, Ma ...." Alan menjawab sembari tersenyum, diiringi air mata. Mereka pun saling berpandangan, melihat betapa hancurnya Alan sekarang. Alan memang tidak pernah menganggap Kanaya koma. Dia hanya menganggap Kanaya sedang tidur, dan beristirahat sejenak. Bu Sinta mendesah, lalu memegang bahu Alan. "Apa kamu belum istirahat? Makanlah, lalu istirahat sebentar!" pinta Bu Sinta, tapi Alan menggeleng. Memang sejak Kanaya masuk rumah sakit, Alan belum pernah satu langkah pun meninggalkan Kanaya. Kecuali, pada saat menemui Pak Rama. Sedangkan Kenan,
"Keterlaluan katamu? Kalian yang sudah bertindak kriminal memang sudah sepantasnya dilaporkan pada yang berwajib!" bentak Pak Rama, lalu keluar dari kamar tersebut, meninggalkan Arumi, dan Bu Dahlia yang saat ini dirundung kecemasan.Suasana yang biasanya hangat, kini penuh ketegangan di udara. Bu Dahlia yang sudah duduk di atas ranjang, kini duduk berhadapan dengan Arumi, saling menatap dengan ekspresi cemas. Mendengar ancaman dari Pak Rama untuk melaporkan ibunya, Bu Dahlia ke pihak berwajib tentunya Arumi terlihat gelisah.Bu Dahlia menggenggam tangannya erat, disertai raut wajah penuh kecemasan. Sementara Arumi, mencoba menenangkan ibunya meski hatinya sendiri diliputi rasa takut."Arumi, apa yang Mama takutkan akhirnya terjadi. Firasat ini, memang semakin kuat, dan Mama sudah tak sanggup menutupi semua. Tanpa kita tahu, Papa kamu sudah melakukan penyelidikan itu sendiri, Arumi.""Aku yakin, pasti ada yang bantuin Papa, Ma. Papa nggak mungkin bisa dapetin bukti-bukti itu sendiri!
Tanpa sengaja, Kanaya melirik ke arah celah pintu ruang ICU yang sedikit terbuka. Meskipun samar, netra Kanaya menangkap sosok seorang laki-laki yang tengah berdiri mematung sambil memperhatikan dirinya.Kepala Kanaya masih terasa berat, tapi dia dapat mengenali siapa sosok tersebut. Wanita itu pun akhirnya bergumam lirih, "Opa Rama."Alan yang mendengar gumaman lirih itu pun beranjak dari tempat duduk yang ada di samping Kanaya. Lalu, keluar untuk menemui sosok yang Kanaya sebutkan. Meskipun, tadi sosok tersebut begitu marah padanya.Akan tetapi, Alan tak peduli. Bagaimanapun juga, dia tetap ingin bersikap jantan, layaknya seorang laki-laki yang mencintai kekasihnya dengan tulus, tanpa adanya rasa takut mendapat tekanan dari pihak manapun, termasuk orang tua kandungnya."Apa Papa mau masuk?"Pak Rama hanya diam. Netranya terus melihat Kanaya dari celah pintu, memperhatikan putrinya yang masih terbaring lemah tak berdaya, dengan begitu banyak alat medis yang menopangnya."Apa Papa tid
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan