Malamnya ...."Habis telepon siapa, Pa?" tanya Kanaya pada Alan yang baru saja menelepon anak buahnya.Malam ini, mereka memang sudah berada di Bandung. Setelah Pak Rama pulang, keduanya tak mau membuang banyak waktu, dan segera berkemas menuju ke Bandung. Apalagi, saat dalam perjalanan, tiba-tiba Pak Rama menghubungi, dan mengatakan jika Arumi, dan Bu Dahlia juga besok akan melakukan perjalanan menuju ke Bandung. Keduanya kian dirundung penasaran, tentang apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh Arumi, dan juga Bu Dahlia."Anak buahku. Tadi Papa kasih tahu kalo Mama sama Oma kamu mau berangkat pukul tujuh pagi. Jadi kusuruh anak buahku buat stay di depan rumah mereka, setengah jam sebelum mereka berangkat."Kanaya pun mengangguk. "Semoga ada petunjuk mengenai kepergian mereka ke Bandung.""Iya, nanti kalau mereka sudah memasuki kawasan Bandung, anak buahku akan memberi tahu arah tujuan mereka.""Padahal, mereka juga tahu kalau kita lagi ada di Bandung loh!" timpal Kanaya, sontak penu
"Jadi, Mama masih ragu sama Kanaya? Mama takut kalau kisah masa lalu juga kembali terulang?" sahut Arumi, saat melihat Bu Dahlia masih saja terlihat ragu, dan cemas. Bu Dahlia tak menjawab, hanya memejamkan mata, sembari menahan gemuruh di dada. Perasaannya begitu berkecamuk. Padahal biasanya dia tak seperti ini.Ada begitu banyak ketakutan yang tak pernah Bu Dahlia rasakan sebelumnya, kini justru memenuhi isi otak, dan hatinya. Setelah puluhan tahun hidupnya merasa tenang, tanpa harus mencemaskan apapun. Namun, hal tersebut tak lagi dirasakannya sekarang. Sebenarnya, semua kekhawatiran ini bermula setelah melihat gelagat Arumi dalam berumah tangga. Sejak itulah, Bu Dahlia sudah merasakan firasat yang buruk. Hari demi hari Bu Dahlia lalui sembari menahan kecemasan. Dia benar-benar takut, apa yang menimpa dirinya juga terjadi pada rumah tangga Arumi, dan benar saja, tak berselang lama setelah firasat buruk itu selalu menghantuinya, Alan pun menceraikan Arumi.Meskipun sebenarnya Bu
Seorang bocah kecil, berjinjit keluar dari kamar mandi. Setelah masuk ke kamarnya, bocah kecil itu membuka lemari, melihat-lihat pakaian di dalam lemari tersebut yang jumlahnya tidak terlalu banyak."Kanaya mau pake baju apa ya?" Bocah itu kemudian menutup lemari tersebut, lalu memandang dirinya di cermin."Kaca ajaib, bagusnya Naya hari ini pake baju apa ya?" tanya bocah tersebut. Keningnya berkerut dengan ekpresi lucu, seolah sedang bertanya pada cermin ajaib yang ada di depannya untuk memilih pakaian yang ada.Padahal Kanaya tahu, dia tidak memiliki baju yang banyak. Apalagi baju bagus. Memang bisa dikatakan, Kanaya sangat jarang membeli pakaian. Kalaupun ada pakaian bagus yang dikenakannya, bisa dipastikan pakaian itu adalah pemberian dari tetangga. Namun, Kanaya selalu senang memakainya dan tidak pernah mengeluh."Baik cermin ajaib, aku ngerti kok. Kamu pasti suruh aku pake baju itu lagi, aku ngerti kok kalo pake baju itu, aku kaya princes."Kanaya terkekeh, kemudian membuka le
Kanaya .... Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali. Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil. Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini. Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan. Aku pun menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata. Akhirnya aku pun menangis ka
Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan. Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku. Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka. Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga. Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku. Keluarga hangat itu, seperti t
Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h
Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
Seorang bocah kecil, berjinjit keluar dari kamar mandi. Setelah masuk ke kamarnya, bocah kecil itu membuka lemari, melihat-lihat pakaian di dalam lemari tersebut yang jumlahnya tidak terlalu banyak."Kanaya mau pake baju apa ya?" Bocah itu kemudian menutup lemari tersebut, lalu memandang dirinya di cermin."Kaca ajaib, bagusnya Naya hari ini pake baju apa ya?" tanya bocah tersebut. Keningnya berkerut dengan ekpresi lucu, seolah sedang bertanya pada cermin ajaib yang ada di depannya untuk memilih pakaian yang ada.Padahal Kanaya tahu, dia tidak memiliki baju yang banyak. Apalagi baju bagus. Memang bisa dikatakan, Kanaya sangat jarang membeli pakaian. Kalaupun ada pakaian bagus yang dikenakannya, bisa dipastikan pakaian itu adalah pemberian dari tetangga. Namun, Kanaya selalu senang memakainya dan tidak pernah mengeluh."Baik cermin ajaib, aku ngerti kok. Kamu pasti suruh aku pake baju itu lagi, aku ngerti kok kalo pake baju itu, aku kaya princes."Kanaya terkekeh, kemudian membuka le
"Jadi, Mama masih ragu sama Kanaya? Mama takut kalau kisah masa lalu juga kembali terulang?" sahut Arumi, saat melihat Bu Dahlia masih saja terlihat ragu, dan cemas. Bu Dahlia tak menjawab, hanya memejamkan mata, sembari menahan gemuruh di dada. Perasaannya begitu berkecamuk. Padahal biasanya dia tak seperti ini.Ada begitu banyak ketakutan yang tak pernah Bu Dahlia rasakan sebelumnya, kini justru memenuhi isi otak, dan hatinya. Setelah puluhan tahun hidupnya merasa tenang, tanpa harus mencemaskan apapun. Namun, hal tersebut tak lagi dirasakannya sekarang. Sebenarnya, semua kekhawatiran ini bermula setelah melihat gelagat Arumi dalam berumah tangga. Sejak itulah, Bu Dahlia sudah merasakan firasat yang buruk. Hari demi hari Bu Dahlia lalui sembari menahan kecemasan. Dia benar-benar takut, apa yang menimpa dirinya juga terjadi pada rumah tangga Arumi, dan benar saja, tak berselang lama setelah firasat buruk itu selalu menghantuinya, Alan pun menceraikan Arumi.Meskipun sebenarnya Bu
Malamnya ...."Habis telepon siapa, Pa?" tanya Kanaya pada Alan yang baru saja menelepon anak buahnya.Malam ini, mereka memang sudah berada di Bandung. Setelah Pak Rama pulang, keduanya tak mau membuang banyak waktu, dan segera berkemas menuju ke Bandung. Apalagi, saat dalam perjalanan, tiba-tiba Pak Rama menghubungi, dan mengatakan jika Arumi, dan Bu Dahlia juga besok akan melakukan perjalanan menuju ke Bandung. Keduanya kian dirundung penasaran, tentang apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh Arumi, dan juga Bu Dahlia."Anak buahku. Tadi Papa kasih tahu kalo Mama sama Oma kamu mau berangkat pukul tujuh pagi. Jadi kusuruh anak buahku buat stay di depan rumah mereka, setengah jam sebelum mereka berangkat."Kanaya pun mengangguk. "Semoga ada petunjuk mengenai kepergian mereka ke Bandung.""Iya, nanti kalau mereka sudah memasuki kawasan Bandung, anak buahku akan memberi tahu arah tujuan mereka.""Padahal, mereka juga tahu kalau kita lagi ada di Bandung loh!" timpal Kanaya, sontak penu
"Ma, Mama nggak usah panik gitu deh. Asal Kanaya masih dalam genggaman aku, nggak ada yang perlu dicemaskan. Kanaya nggak akan curiga apapun tentang jati dirinya. Apalagi, dia juga tahu, kalau dia cuma gelandangan."Arumi tampak menenangkan Bu Dahlia yang saat ini duduk di samping saat mereka, saat sedang berada di dalam mobil milik Arumi. Kedua jemari wanita paruh baya itu tampak saling meremas, disertai raut wajah cemas.Beberapa saat kemudian, mobil yang dikendarai oleh Arumi akhirnya sampai di tempat tujuan mereka.Keduanya bergegas turun dari mobil, lalu berjalan ke arah pintu, dan memencet bel di samping pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu rumah itu pun terbuka."Nyonya Arumi, Nyonya Dahlia. Silahkan masuk, tapi di rumah cuma ada kami, mereka semua lagi pada pergi.""Oh mungkin sebentar lagi pulang. Aku cuma mau ketemu sama Kanaya, Bi.""Tapi Non Naya, sama Tuan Alan bilang, hari ini mereka nggak pulang. Sedangkan Tuan Kenan, sedang menginap di rumah Nyonya Sinta.
"Siapa yang telepon, Sayang?" tanya Alan, ketika Kanaya baru saja menutup panggilan di ponselnya. "Opa Rama, dia minta bertemu. Jadi, aku bilang pada Opa, biar kita ketemu di apartemen saja."Alan pun mengangguk setuju. "Selain karena lebih dekat dari rumah Opa, nggak tau kenapa, feelingku nggak enak kalo kit bicara di rumah. Meskipun, aku juga nggak tahu yang akan dibicarakan Opa."Kanaya kini menatap lekat pada Alan, seolah merasakan hal yang sama. "Ada dua kemungkinan, tentang Arumi dan juga ....""Anak kandung Opa?" potong Kanaya, yang baru mengingat janjinya pada laki-laki paruh baya itu."That's right, kamu benar, Sayang.""Astaga, aku sampe lupa pernah janji bantuin Opa buat cari anak kandungnya."Alan pun mengelus lengan Kanaya. "Nggak apa, kamu juga lagi sibuk."Kanaya mengangguk tenang. Namun, di dalam hatinya, dia tetap berkeinginan untuk membantu kekeknya tersebut. Tak berapa lama, mereka pun sudah sampai di apartemen milik Alan.Kanaya yang sudah cukup lapar, bergegas m
"Cempaka Lestari. Aku sengaja panggil kamu dengan nama Tari, agar Dahlia nggak curiga kalau kamu adalah istri keduaku. Meskipun, aku yakin kalau dia udah tahu yang sebenarnya. Namun, dia menutupi semua ini."Pak Rama yang saat ini sedang duduk di ruang kerjanya, tampak mengusap sebuah foto usang di tangan. Air mata, tampak menetes dari kedua sudut matanya."Sebenarnya, aku ingin mencari kalian. Namun, saat ini, aku udah tua. Tenaga, dan kekuasaan yang kumiliki udah nggak kaya dulu lagi." Pak Rama menghembuskan napas panjang, mencoba melepaskan penat yang seolah mencengkram dadanya. "Aku benar-benar bingung, sampai harus minta tolong pada siapa. Pada Arumi? Nggak mungkin, begitu pula dengan Rio yang nggak pernah ada di rumah. Sampai akhirnya, saat melihat Kanaya hatiku tergerak, untuk meminta tolong padanya."Pak Rama kini menghapus air mata di wajah keriputnya."Namun, aku nggak berani cerita yang sebenarnya pada Kanaya. Aku cuma bilang, kalau kamu pergi setelah anak kita lahir. Aku
"Kamu mau kita ke Bandung?" sahut Alan. Lalu, dijawab anggukan kepala oleh Kanaya. "Ya udah kita ke apartemen sekarang, istirahat sebentar terus nanti sore kita berangkat ke sana." "Makasih ya, Pa. Nanti Naya kasih tahu Bi Asih di rumah kalo kita nggak pulang, jadi mereka nggak nungguin kita. "Oke ...." Kanaya pun mengecup pipi Alan, hingga membuat laki-laki dewasa itu tersenyum. Lalu, tangan kirinya menggenggam jemari Kanaya, yang dia taruh di atas pahanya. Kanaya pun mengangkat wajah, lalu menatap Alan lekat. "Naya cinta sama Papa." Alan pun terkekeh. "Papa juga cinta sama Naya. Kamu nggak terpaksa 'kan jalani hubungan sama Papa?" "Kok Papa ngomong gitu sih?" sahut Kanaya, sembari terus menatap Alan yang fokus mengendarai mobil. "Kamu masih muda, baru masuk dunia kuliah. Di luar sana, banyak laki-laki tampan yang seumuran sama kamu. Misalnya, kaya tadi yang kita temui di cafe. Memangnya kamu nggak tertarik sama mereka?" Kanaya tertawa terbahak-bahak. "Kalo Kanaya te
"Ck, dasar tukang adu domba, lo pikir gue nggak tau lo siapa, Naomi? Lo pasti ngadu kaya gini buat adu domba, dan bikin gue kesel, 'kan?" gerutu Arumi, sembari menutup pesan tersebut, sama sekali tak ingin membalas pesan dari Naomi.Setelah itu, Arumi bangkit dari atas ranjang, lalu turun ke bawah, untuk meminta pembantunya membuatkan makanan.Di kehamilan Arumi yang sekarang, dia tak merasakan nyidam apapun. Mungkin, akibat terlalu banyak masalah yang dia pikirkan, sampai kehamilannya terabaikan. Untung saja, kandungan itu kuat."Bi, tolong bikinin salad buah ya!" pinta Arumi pada pembantu rumah tangganya."Iya Non."Setelah itu, Arumi berjalan ke sebuah sofa di samping jendela, menatap hujan yang turun di luar sana.Tak berapa lama, sebuah pesan dari Naomi kembali masuk. Kali ini ternyata dia mengirimkan foto-foto Alan, dan Kanaya yang sedang berbelanja kebutuhan di supermarket. "Ih apaan sih ini orang, reseh banget!" gerutu Arumi kembali, tetap mengabaikan pesan tersebut. Karena b
"Jadi, kamu udah talak Arumi, dan kembalikan dia ke rumah orang tuanya?" tanya Bu Sinta pada Alan, saat baru saja mengantar Kenan ke rumahnya. "Ya, aku juga sudah menghubungi pengacaraku untuk mengurus perceraian kami."Bu Sinta pun mengangguk. "Mama mendukung apapun keputusan kamu. Lakukan saja yang menurut kamu baik, dan tentang Kenan, kamu nggak perlu khawatir, dia pasti nggak akan kekurangan kasih sayang sedikitpun. Kami semua sayang sama Kenan.""Makasih Ma. Kenan juga nggak terlalu dekat sama Arumi. Dia justru lebih nyaman bersama Kanaya.""Mama tahu itu. Lalu, apa rencana kamu kedepan? Kamu masih muda, Alan."Alan mengernyitkan kening, tak mengerti dengan perkataan ibunya. "Maksud Mama?""Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Kamu bisa memilih wanita manapun yang kamu mau. Mama, sama adik kamu punya banyak teman ....""Ma, Mama mau jodohin aku lagi?" sahut Alan, sebelum Bu Sinta menyelesaikan perkataannya. Wanita paruh baya itu pun mengangguk."Ma, apa Mama nggak lia