Wanita itu duduk di sudut kamar, cahaya remang-remang dari lampu meja menyoroti wajahnya yang lelah. Matanya sembab, penuh jejak air mata yang seakan tak lagi bisa ditahan.Janji-janji manis yang dulu membuatnya terbang kini terasa seperti belati yang menusuk perlahan. Kata-kata penuh harapan berubah menjadi kebohongan yang membakar kepercayaannya. Ia terjebak dalam pusaran pikiran yang terus mengulang, “Mengapa aku percaya? Mengapa aku begitu bodoh?”"Kenapa aku bisa kehilangan uang sebanyak itu?"Kesunyian malam menjadi saksi bisu dari kekacauan yang bergejolak di dalam dirinya. Dia ingin berteriak, ingin melarikan diri dari rasa sakit ini, tetapi kakinya terasa lumpuh. Frustrasi itu menelannya hidup-hidup, membuatnya merasa kecil, rapuh, dan tak berdaya. Di balik amarah dan kecewa, ada luka dalam yang tak bisa ia sembuhkan seorang diri.Di tengah rasa sakit, dan hancur yang melanda dirinya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Wanita itu tak menyahut, tapi detik berikutnya, pintu kama
Keesokan Harinya ....Di depan sebuah sekolah yang ramai. Seorang pria, berusia hampir40-an, mengenakan kemeja rapi yang terlihat sederhana, berdiri di samping seorang perempuan muda, berusia 18 tahunan, dengan rambut diikat dan mengenakan pakaian casual, tapi anggun. Mereka sedang menunggu di dekat gerbang sekolah.Tak berapa lama, seorang anak laki-laki keluar dari kerumunan siswa, dengan ransel besar di punggungnya, dan tersenyum lebar ketika melihat kedua sosok yang menunggu."Papa ... Kak Naya ...!" Pria itu merendahkan tubuhnya untuk menyambut sang anak, lalu mengacak-acak rambutnya dengan kasih sayang. Begitu pula, perempuan di sampingnya yang juga memberikan senyuman hangat."Seneng banget deh, bisa dijemput Kak Naya sama Papa.""Kita makan siang bareng ya, kebetulan jam kuliah Kak Naya hari ini kosong, diganti hari yang lain.""Hore ... makan siangnya, Kenan yang pilih ya!" pekik bocah tersebut.Alan, dan Kanaya pun mengangguk. Mereka bertiga kemudian berjalan ke arah mobil,
Malam itu, hujan turun rintik-rintik, menambah keheningan yang mencekam di dalam sebuah kamar.Arumi berdiri, di jendela tepi balkon kamar. Tangannya yang menggenggam ponsel, tampak bergetar. Matanya terpaku pada pemandangan di layar ponsel, di mana Alan, pria yang selama ini dia yakini sangat mencintainya, saling menindih dengan wanita yang sudah dia angkat sebagai putrinya sendiri.Detik itu, dia melihat bagaimana tangan Alan menyentuh wajah Kanaya dengan lembut. Lalu, tanpa ragu, pria itu mendekat dan mencium wanita tersebut. Ciuman yang penuh kehangatan, ciuman yang dulu hanya dia miliki.Dunia seakan runtuh di hadapannya. Jantungnya berdegup kencang. Namun, entah mengapa tubuhnya terasa beku, tak mampu bergerak. Matanya panas, air mata mendesak keluar, tetapi ia menahannya sekuat tenaga. Ia tak ingin membuat suara, tak ingin merusak momen itu.Perasaan sakit menyeruak, seperti ribuan jarum menusuk hatinya. Dia ingin berteriak, meluapkan emosi yang membuncah. Namun, yang keluar ha
Di dalam kamar tidur yang gelap dengan hanya sedikit cahaya bulan yang masuk melalui jendela.Suasana tampak hening, tapi penuh ketegangan. Suara jam berdetak menjadi latar belakang yang menambah kesan sunyi.Pak Rama, masih duduk di tepi tempat tidur, matanya terbuka lebar meskipun malam sudah larut. Dia tampak memikirkan sesuatu, alisnya berkerut, dan tatapannya kosong, tetapi sesekali melirik istrinya yang sedang tidur gelisah di sampingnya.Tiba-tiba, Bu Dahlia berteriak keras dalam tidurnya. "Tidak! Jangan ... aku tidak bermaksud ...!"Bu Dahlia terbangun dengan napas terengah-engah. Wajahnya berkeringat, matanya membelalak, jelas sekali ia baru saja mengalami mimpi buruk. Dia kemudian duduk di tepi ranjang, mengusap wajah dengan kedua tangannya, mencoba menenangkan diri.Pak Rama menoleh cepat, tetapi dia tetap duduk diam, memerhatikan istrinya dengan pandangan curiga.Pak Rama mulai membuka suara dengan nada tenang, tetapi penuh intimidasi. "Apa yang kamu mimpikan, Dahlia? Kede
"Naya, sebenarnya Mama cuma mau minta tolong satu hal."Kening Kanaya mengernyit, ada rasa cemas yang merambat ke dalam hatinya, jika Arumi meminta hal yang ada hubungannya dengan Alan."Tentang Papa?" Kanaya berusaha menebak terlebih dulu. Namun Arumi menggeleng, dan hal tersebut, tentunya membuat Kanaya merasa lega.Arumi kemudian menggenggam jemari Kanaya, sembari menatapnya dengan sorot mata sayu."Naya, tahu kan, kamu satu-satunya orang yang Mama percaya."Kanaya pun mengangguk. "Naya, setelah kamu tahu semua tentang rahasia Mama, apa kamu pernah kasih tau ke Papa?"Kanaya kini mulai mengerti, maksud perkataan Arumi beberapa saat yang lalu. Kanaya yakin, pasti Arumi merasa khawatir jika Kanaya menceritakan rahasianya pada Alan. Jadi, dia seolah mengungkit kebaikannya di masa lalu, agar Kanaya setidaknya tahu balas budi."Naya nggak pernah kasih tahu siapapun, Ma. Mama udah banyak berjasa buat hidup Naya, jadi Naya tahu hal-hal mana saja yang dirahasiakan, dan mana yang harus dice
Semua berawal dari sebuah unggahan anonim yang tiba-tiba viral di media sosial. Unggahan itu memuat bukti foto dan video yang sangat sensitif. Dalam waktu satu jam, konten tersebut pun sudah dilihat ribuan viewer. Komentar demi komentar buruk pun menyerbu, merajalela menuduh dua insan manusia itu seolah tanpa memiliki moral."Naya, apa benar kamu simpanan Papa angkat kamu?" Ocha kembali mengulang pertanyaannya saat Kanaya tak menjawab.Kanaya yang tak tahu apa yang terjadi di luar sana, tak bisa menjawab. Hanya ada berbagai tanda tanya yang memenuhi isi kepalanya."Cha, kenapa lo tanya gitu?""Naya sekarang lo buka akun medsos. Lo lihat sendiri, skandalnya sudah tersebar di mana-mana!"Tubuh Kanaya seketika menegang, sekarang dia baru tahu mengapa Ocha begitu panik. "Gue belum liat beritanya, Cha."Helaan napas berat pun terdengar di ujung sambungan telepon. "Nay, lo sekarang jadi bahan pembicaraan netizen. Semua hujat lo, kalo berita itu nggak bener, lo buruan kasih klarifikasi de
Malam ini terasa begitu hening. Napas Bu Dahlia tercekat, berusaha tetap tenang meski detak jantungnya menggema di telinganya.Langit yang tadinya cerah kini tertutup mendung kelabu, seakan menyatu dengan rasa gelisah yang menggantung di dadanya. Jemarinya gemetar, menggenggam ponsel yang layar kacanya memperlihatkan pesan terakhir yang baru saja diterima."Aku di sini, dan aku melihatmu."Matanya terbelalak, menoleh cepat ke sekeliling. Tak ada siapa pun. Hanya suara angin yang mendesir pelan di antara dedaunan, namun rasanya seperti berbisik ancaman di telinganya. Bu Dahlia melangkah mundur, perlahan, takut suara langkahnya mengundang sesuatu yang tak diinginkan. Namun, di balik keheningan itu, ia mendengar suara lain, tawa seorang wanita yang terdengar begitu kencang.Suara itu semakin keras. Bu Dahlia menahan napas, tubuhnya kaku seperti membatu. Di dadanya, rasa takut bertumpuk hingga membuatnya hampir menangis."TIDAK ...!""Dahlia, kamu kenapa?"Bahu Bu Dahlia terguncang. "Bagu
Tubuh Pak Rama membeku, dia tak tahu maksud dari perkataan Alan yang memintanya untuk menyelamatkan anak kandungnya. Namun, dia justru menyebut nama Kanaya. "Kanaya itu cucuku, Alan."Kanaya adalah putri Anda, dengan Cempaka Lestari. Dia anak kandung yang selama ini Anda cari ...!"Tubuh Pak Rama bergetar hebat, kakinya melemas seakan tak sanggup menahan tubuhnya. Sungguh, semua di luar ekspektasinya. Bahkan, Pak Rama hampir saja ambruk.Akan tetapi, Alan dengan gerakkan cepat menahan tubuh pria paruh baya itu, dan meminta masuk ke mobilnya."Cepat, Pa! Kita udah nggak punya banyak waktu!"Pak Rama pun mengangguk, lalu mengikuti Alan masuk ke mobil, dan duduk di samping Alan dengan segala rasa yang bergumul di dada. Hancur, marah, dan kecewa pada dirinya sendiri.Kanaya, gadis yang selama ini dia anggap, dan sayangi sebagai cucunya, ternyata adalah anak kandungnya dengan Cempaka. Di sisi lain, hatinya pun bertanya-tanya, apakah Arumi, dan Dahlia tahu hal ini? Ataukah mereka memang se
Kakek Wang bergegas mengambil ponsel Rain yang menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan Stela."Kakek, Rain bohong, bukti-bukti itu palsu!" seru Stela, mencoba meyakinkan kakeknya. Namun, pria paruh baya itu tak bergeming, dan tetap melihat semua bukti-bukti tersebut.Stela berniat mendekat, untuk mengambil ponsel milik Rain. Namun, buru-buru dicegah oleh dua orang bodyguard Kakek Wang.Sementara itu, bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Beberapa orang mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi, sementara yang lain memilih menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam hitungan menit, suasana kian tegang. Tuan rumah yang semula tersenyum ramah kini terlihat gelisah, keringat dingin membasahi dahinya."Ada apa?" tanya seseorang dengan suara hati-hati.Namun, sebelum ada jawaban, seorang anggota keluarga tuan rumah memberi isyarat agar para tamu segera meninggalkan tempat. Tanpa banyak bertanya, mereka mulai beringsut keluar, beberapa dengan langkah ter
"Kamu baru sembuh, aku nggak mungkin tega mengatakan bagian paling menyakitkan dalam rumah tangga kita.""Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Sepintas, aku masih ingat senyuman hangatmu padaku, tapi sekarang kenapa jadi seperti ini? Siapa yang salah, aku atau kamu?"Alan menghela napas, menatap keluar jendela sejenak sebelum kembali menatap Arumi."Nggak penting siapa yang salah, kita berdua memang sudah tidak satu tujuan. Terlalu banyak ketidakcocokan, dan pola pikir."Arumi mengernyit, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Tapi kenapa tatapanmu begitu dingin padaku? Apa aku yang salah?"Alan menggeleng pelan. "Ini bukan tentang siapa yang salah. Kita memang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, begitu pula kamu. Aku sering kali merasa diabaikan sebagai seorang suami, dan kau berpikir aku ngga pernah mengerti keadaanmu. Kita sering bertengkar, hal-hal kecil jadi besar. Kita lelah, tapi tidak ada yang mau mengalah."Arumi menatap
Di Sisi Lain....Setelah memberi tahu Rain jika dia berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk membawa pulang Arumi, Alan melangkah memasuki ruang perawatan dengan langkah ragu. Keraguan itu, bukan karena dia takut. Namun, lebih pada sosok yang akan dia temui.Di ranjang, seorang wanita duduk bersandar pada bantal, matanya kosong menatap jendela. Arumi, mantan istrinya. Wanita yang pernah dia cintai lebih dari apapun, tapi dulu. Bukan sekarang.Alan mendekat, menarik kursi, lalu duduk di depannya. "Arumi ...."Arumi mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Alan dengan tatapan asing."Maaf, Anda?"Alan merasakan sesuatu yang mencengkeram hatinya. Ini aneh. Perempuan yang dulu dia kenal begitu dalam, kini menatapnya seperti orang asing."Aku Alan, aku temanmu dulu."Arumi mengerutkan kening, seolah mencoba menangkap sesuatu di pikirannya. Nama Alan memang terdengar tak asing. Apalagi, kemarin sosok laki-laki yang menemuinya juga mengatakan jika hari ini Alan akan menemuinya."Ala
Malam itu, rumah besar milik Kakek Wang berubah menjadi pusat kemewahan dan kegembiraan. Dikelilingi taman yang luas dengan lampu-lampu berkelap-kelip, pesta yang diadakan di mansion megah itu bagaikan perayaan para bangsawan. Para tamu berdatangan dalam pakaian terbaik mereka—gaun berkilauan dan setelan jas mahal—sambil membawa gelas sampanye yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal raksasa.Di tengah aula utama yang luas, sebuah orkestra memainkan musik klasik yang lembut, sementara para pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi hidangan mewah: kaviar, lobster, dan anggur terbaik dari seluruh dunia. Taman belakang yang dihiasi air mancur dan patung-patung marmer menjadi tempat bagi mereka yang ingin berbincang lebih santai, dengan suara tawa dan gelak kebahagiaan memenuhi udara.Kakek Wang, seorang miliarder yang dikenal karena kemurahan hatinya, berdiri di balkon lantai dua, mengangkat gelasnya dan menyampaikan pidato singkat. Dengan senyuman bijaksana, dia menyambut
Kanaya berdiri di depan cermin besar, tubuhnya dibalut gaun pengantin berwarna putih gading dengan renda yang halus. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dadanya yang berdebar.Cahaya dari lampu gantung di butik membuat wajahnya tampak lebih lembut, tapi tidak bisa menghilangkan bayangan kegundahan di matanya. Ocha, yang duduk di sofa butik, menatapnya penuh kagum."Ya ampun, Nay. Kamu cantik banget, aku yakin Mas Alan bakalan terpesona liat kamu. Aku foto ya, nanti kamu kirim ke calon suami kamu!" pekik Ocha, dengan sorot mata berbinar, kagum akan kecantikan sahabatnya.Kanaya tersenyum kecil, lalu merapikan bagian lengan gaunnya. "Tapi aku malu.""Ck ngapain malu sih. Aku aja yang cewek terpesona. Apalagi Mas Alan!" sahut Ocha, seraya tertawa kecil.Kanaya ikut tersenyum, tapi hanya sebentar. Matanya kembali menatap pantulan dirinya di cermin, seakan mencari sesuatu yang hilang."Nay, lo kenapa sih kaya sedih gitu? Nggak cocok sama gaunnya?"Kanaya menggeleng pelan. "
Di sebuah ruang perawatan rumah sakit yang diterangi cahaya lembut dari jendela, Rain duduk di tepi ranjang pasien setelah beberapa saat berusaha menenangkan Arumi.Wajah itu, menyimpan kelelahan, tapi sorot matanya penuh harapan saat menatap perempuan yang duduk di depannya. Arumi—atau kini, yang hanya mengenal dirinya sebagai Celine—terlihat ragu. Tatapannya kosong, seolah berusaha mengaitkan kembali kepingan memori yang hilang."Dengarkan aku, kamu bukan Celine, kamu Arumi. Aku tahu ini membingungkan, tapi aku mohon, percayalah padaku.""A-aku nggak ngerti. Semua orang bilang aku Celine. Stela bilang jangan pernah percaya orang lain, kecuali dirinya.""Stela bohong. Namamu Arumi."Rain menggeleng, suaranya tegas tapi terdengar lembut. Arumi kemudian mengerutkan kening, matanya berkabut."Kalau benar, kenapa aku nggak ingat kalo aku Arumi?""Lalu, apa kau juga ingat jati dirimu sebagai Celine?" sahut Rain, kemudian menarik napas dalam, berusaha menahan emosi."Tapi kenapa Stela bila
Di dalam ruang tengah, Rain menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Cahaya dari layar memantul di matanya yang penuh amarah dan kekecewaan. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring gelombang emosi yang meluap di dalam dirinya. Beberapa saat yang lalu, dia menyadap ponsel milik Stela, dan menemukan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.Bukti, percakapan, rencana. Semua tertulis jelas. Stela adalah dalang di balik kecelakaan Arumi.Rain mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri, seakan benda itu bisa membantunya mengendalikan amarah yang hampir meledak. Pikirannya berputar, mengulang-ulang momen saat dia melihat bagaimana mobil tersebut terbakar, bagaimana hancurnya dia saat mengira jika Arumi telah meninggal, dan ternyata semua itu palsu. Semua itu adalah konspirasi semata yang sangat menyakiti hatinya. Rain pikir itu kecelakaan biasa. Takdir buruk yang menimpa tanpa peringatan. Namun, tidak. Itu ulah Stela. Orang yang selama ini ada di dekatnya.Rahangnya mengera
Atmosfer ruang tamu itu terasa panas meskipun AC yang menyala, menunjukkan suhu rendah. Lampu terang yang menyinari membuat bayangan wajah mereka terlihat lebih tegang.Alan duduk di sofa dengan tubuh sedikit condong ke depan, kedua tangannya saling menggenggam erat. Kanaya berdiri di dekat jendela, menggigit bibir bawahnya, sembari mendengar penjelasan Rain di ujung sambungan telepon.Sementara Pak Rama, duduk di kursi berhadapan dengan Alan. Wajahnya kusut, matanya merah dan penuh kecemasan.Di atas meja, secangkir kopi yang disajikan sejak tadi sudah dingin, tak ada yang sempat menyentuhnya. Udara di ruangan itu seperti membeku setelah Alan menyampaikan kabar yang baru saja ia dapatkan.Setelah Kanaya menutup sambungan telepon tersebut, gadis itu tampak menghela napas berat."Aku baru saja mendapat kabar dari Rain. Dia bilang, tadi saat menunggu ibunya yang masuk rumah sakit, Rain melihat seseorang yang mirip Arumi di sebuah rumah sakit tersenyum. Namun, saat Rain mendekat, wanita
Di ruang makan yang luas dan elegan, sebuah meja panjang berhiaskan lilin serta peralatan makan berlapis perak tersusun rapi. Lampu kristal menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Aroma hidangan menguar, memenuhi ruangan dengan keharuman menggoda.Pak Rama meletakkan garpunya dengan tenang, lalu menatap putrinya dengan penuh perhatian."Udah sampe sejauh mana persiapan pernikahan kamu sama Alan?"Kanaya tersenyum malu-malu, meletakkan sendoknya, lalu menatap ayahnya dengan sorot mata berbinar."Hampir 75 persen, Pa. Besok kita mau fitting baju pengantin. Kita nggak undang banyak tamu, karena lebih ke acara private party."Pak Rama mengangguk pelan, ekspresinya tenang, tapi penuh makna. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menghela napas pendek sebelum berbicara."Pernikahan itu bukan sekedar tentang cinta, Kanaya. Tapi juga tentang kesiapan, tanggung jawab, dan kesabaran. Kamu harus ingat itu, dan jangan pernah melakukan kesalahan seperti yang perna