"Fotografer itu bernama Rain."Perkataan Leo terus terngiang di telinga Alan, hingga membuatnya malam ini sangat sulit untuk memejamkan mata.Perlahan, Alan bangkit dari atas ranjang. Lalu berjalan ke arah balkon, dan mengambil sebatang rokok.Tepat ketika Alan menghembuskan asap putih dari mulutnya, tiba-tiba seseorang memeluknya dari arah belakang."Papa pulang jam berapa? Kenapa sekarang belum tidur?""Jam sebelas malam. Tadi kamu udah bobo jadi Papa nggak bangunin kamu."Alan kemudian membalikkan tubuh, menghadap pada Kanaya."Kenapa kamu malah bangun?""Aku mau nemenin Papa, sekaligus mau cerita satu hal.""Cerita apa?" sahut Alan penasaran."Tadi Mama telepon aku, terus tanya alamat Tante Chyntia.""Terus kamu kasih tahu?"Kanaya mengangguk ragu, takut jika keputusannya membuat Alan marah."Papa marah kalo aku kasih tau Mama?"Alan menggelengkan kepala, seraya berkata, "Nggak, biarkan saja, itu jadi urusan mereka. ""Apa Mama mendatangi Tante Chyntia, karena ada hubungannya sama
Arumi menyesap latte yang baru saja dia pesan, setelah beberapa kali melihat arloji di tangan. Beberapa saat yang lalu, ketika Kanaya mengatakan jika dirinya sedikit terlambat, karena sedang mengurus Alan, dan Kenan terlebih dulu, Arumi memutuskan untuk memindah tempat pertemuannya dengan Kanaya, yang awalnya di taman ke sebuah cafe."Ma, maaf aku telat."Ketika Arumi baru saja meletakkan cangkirnya, Kanaya kini sudah berdiri di samping, sembari tersenyum getir, seolah menyiratkan penyesalan telah membuat Arumi terlalu lama menunggu."Nggak apa-apa, sini duduk!"Arumi menepuk sofa di sampingnya, menyuruh Kanaya untuk duduk."Kamu mau pesen apa?""Sama kaya Mama aja."Arumi pun memberi kode pada salah seorang pelayan untuk mendekat, dan memesankan minuman untuk Kanaya."Gimana kabar rumah?" tanya Arumi, beberapa saat kemudian."Baik, Ma. Papa lagi nganter Kenan ke rumah Oma Sinta. Oma sama Opa ngajak Kenan ke kebun binatang."Jawaban Kanaya, sebenarnya membuat Arumi sedikit kesal, kare
"Jadi, kamu udah talak Arumi, dan kembalikan dia ke rumah orang tuanya?" tanya Bu Sinta pada Alan, saat baru saja mengantar Kenan ke rumahnya. "Ya, aku juga sudah menghubungi pengacaraku untuk mengurus perceraian kami."Bu Sinta pun mengangguk. "Mama mendukung apapun keputusan kamu. Lakukan saja yang menurut kamu baik, dan tentang Kenan, kamu nggak perlu khawatir, dia pasti nggak akan kekurangan kasih sayang sedikitpun. Kami semua sayang sama Kenan.""Makasih Ma. Kenan juga nggak terlalu dekat sama Arumi. Dia justru lebih nyaman bersama Kanaya.""Mama tahu itu. Lalu, apa rencana kamu kedepan? Kamu masih muda, Alan."Alan mengernyitkan kening, tak mengerti dengan perkataan ibunya. "Maksud Mama?""Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Kamu bisa memilih wanita manapun yang kamu mau. Mama, sama adik kamu punya banyak teman ....""Ma, Mama mau jodohin aku lagi?" sahut Alan, sebelum Bu Sinta menyelesaikan perkataannya. Wanita paruh baya itu pun mengangguk."Ma, apa Mama nggak lia
"Ck, dasar tukang adu domba, lo pikir gue nggak tau lo siapa, Naomi? Lo pasti ngadu kaya gini buat adu domba, dan bikin gue kesel, 'kan?" gerutu Arumi, sembari menutup pesan tersebut, sama sekali tak ingin membalas pesan dari Naomi.Setelah itu, Arumi bangkit dari atas ranjang, lalu turun ke bawah, untuk meminta pembantunya membuatkan makanan.Di kehamilan Arumi yang sekarang, dia tak merasakan nyidam apapun. Mungkin, akibat terlalu banyak masalah yang dia pikirkan, sampai kehamilannya terabaikan. Untung saja, kandungan itu kuat."Bi, tolong bikinin salad buah ya!" pinta Arumi pada pembantu rumah tangganya."Iya Non."Setelah itu, Arumi berjalan ke sebuah sofa di samping jendela, menatap hujan yang turun di luar sana.Tak berapa lama, sebuah pesan dari Naomi kembali masuk. Kali ini ternyata dia mengirimkan foto-foto Alan, dan Kanaya yang sedang berbelanja kebutuhan di supermarket. "Ih apaan sih ini orang, reseh banget!" gerutu Arumi kembali, tetap mengabaikan pesan tersebut. Karena b
"Kamu mau kita ke Bandung?" sahut Alan. Lalu, dijawab anggukan kepala oleh Kanaya. "Ya udah kita ke apartemen sekarang, istirahat sebentar terus nanti sore kita berangkat ke sana." "Makasih ya, Pa. Nanti Naya kasih tahu Bi Asih di rumah kalo kita nggak pulang, jadi mereka nggak nungguin kita. "Oke ...." Kanaya pun mengecup pipi Alan, hingga membuat laki-laki dewasa itu tersenyum. Lalu, tangan kirinya menggenggam jemari Kanaya, yang dia taruh di atas pahanya. Kanaya pun mengangkat wajah, lalu menatap Alan lekat. "Naya cinta sama Papa." Alan pun terkekeh. "Papa juga cinta sama Naya. Kamu nggak terpaksa 'kan jalani hubungan sama Papa?" "Kok Papa ngomong gitu sih?" sahut Kanaya, sembari terus menatap Alan yang fokus mengendarai mobil. "Kamu masih muda, baru masuk dunia kuliah. Di luar sana, banyak laki-laki tampan yang seumuran sama kamu. Misalnya, kaya tadi yang kita temui di cafe. Memangnya kamu nggak tertarik sama mereka?" Kanaya tertawa terbahak-bahak. "Kalo Kanaya te
"Cempaka Lestari. Aku sengaja panggil kamu dengan nama Tari, agar Dahlia nggak curiga kalau kamu adalah istri keduaku. Meskipun, aku yakin kalau dia udah tahu yang sebenarnya. Namun, dia menutupi semua ini."Pak Rama yang saat ini sedang duduk di ruang kerjanya, tampak mengusap sebuah foto usang di tangan. Air mata, tampak menetes dari kedua sudut matanya."Sebenarnya, aku ingin mencari kalian. Namun, saat ini, aku udah tua. Tenaga, dan kekuasaan yang kumiliki udah nggak kaya dulu lagi." Pak Rama menghembuskan napas panjang, mencoba melepaskan penat yang seolah mencengkram dadanya. "Aku benar-benar bingung, sampai harus minta tolong pada siapa. Pada Arumi? Nggak mungkin, begitu pula dengan Rio yang nggak pernah ada di rumah. Sampai akhirnya, saat melihat Kanaya hatiku tergerak, untuk meminta tolong padanya."Pak Rama kini menghapus air mata di wajah keriputnya."Namun, aku nggak berani cerita yang sebenarnya pada Kanaya. Aku cuma bilang, kalau kamu pergi setelah anak kita lahir. Aku
"Siapa yang telepon, Sayang?" tanya Alan, ketika Kanaya baru saja menutup panggilan di ponselnya. "Opa Rama, dia minta bertemu. Jadi, aku bilang pada Opa, biar kita ketemu di apartemen saja."Alan pun mengangguk setuju. "Selain karena lebih dekat dari rumah Opa, nggak tau kenapa, feelingku nggak enak kalo kit bicara di rumah. Meskipun, aku juga nggak tahu yang akan dibicarakan Opa."Kanaya kini menatap lekat pada Alan, seolah merasakan hal yang sama. "Ada dua kemungkinan, tentang Arumi dan juga ....""Anak kandung Opa?" potong Kanaya, yang baru mengingat janjinya pada laki-laki paruh baya itu."That's right, kamu benar, Sayang.""Astaga, aku sampe lupa pernah janji bantuin Opa buat cari anak kandungnya."Alan pun mengelus lengan Kanaya. "Nggak apa, kamu juga lagi sibuk."Kanaya mengangguk tenang. Namun, di dalam hatinya, dia tetap berkeinginan untuk membantu kekeknya tersebut. Tak berapa lama, mereka pun sudah sampai di apartemen milik Alan.Kanaya yang sudah cukup lapar, bergegas m
"Ma, Mama nggak usah panik gitu deh. Asal Kanaya masih dalam genggaman aku, nggak ada yang perlu dicemaskan. Kanaya nggak akan curiga apapun tentang jati dirinya. Apalagi, dia juga tahu, kalau dia cuma gelandangan."Arumi tampak menenangkan Bu Dahlia yang saat ini duduk di samping saat mereka, saat sedang berada di dalam mobil milik Arumi. Kedua jemari wanita paruh baya itu tampak saling meremas, disertai raut wajah cemas.Beberapa saat kemudian, mobil yang dikendarai oleh Arumi akhirnya sampai di tempat tujuan mereka.Keduanya bergegas turun dari mobil, lalu berjalan ke arah pintu, dan memencet bel di samping pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu rumah itu pun terbuka."Nyonya Arumi, Nyonya Dahlia. Silahkan masuk, tapi di rumah cuma ada kami, mereka semua lagi pada pergi.""Oh mungkin sebentar lagi pulang. Aku cuma mau ketemu sama Kanaya, Bi.""Tapi Non Naya, sama Tuan Alan bilang, hari ini mereka nggak pulang. Sedangkan Tuan Kenan, sedang menginap di rumah Nyonya Sinta.
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan