"Siapa yang telepon, Sayang?" tanya Alan, ketika Kanaya baru saja menutup panggilan di ponselnya. "Opa Rama, dia minta bertemu. Jadi, aku bilang pada Opa, biar kita ketemu di apartemen saja."Alan pun mengangguk setuju. "Selain karena lebih dekat dari rumah Opa, nggak tau kenapa, feelingku nggak enak kalo kit bicara di rumah. Meskipun, aku juga nggak tahu yang akan dibicarakan Opa."Kanaya kini menatap lekat pada Alan, seolah merasakan hal yang sama. "Ada dua kemungkinan, tentang Arumi dan juga ....""Anak kandung Opa?" potong Kanaya, yang baru mengingat janjinya pada laki-laki paruh baya itu."That's right, kamu benar, Sayang.""Astaga, aku sampe lupa pernah janji bantuin Opa buat cari anak kandungnya."Alan pun mengelus lengan Kanaya. "Nggak apa, kamu juga lagi sibuk."Kanaya mengangguk tenang. Namun, di dalam hatinya, dia tetap berkeinginan untuk membantu kekeknya tersebut. Tak berapa lama, mereka pun sudah sampai di apartemen milik Alan.Kanaya yang sudah cukup lapar, bergegas m
"Ma, Mama nggak usah panik gitu deh. Asal Kanaya masih dalam genggaman aku, nggak ada yang perlu dicemaskan. Kanaya nggak akan curiga apapun tentang jati dirinya. Apalagi, dia juga tahu, kalau dia cuma gelandangan."Arumi tampak menenangkan Bu Dahlia yang saat ini duduk di samping saat mereka, saat sedang berada di dalam mobil milik Arumi. Kedua jemari wanita paruh baya itu tampak saling meremas, disertai raut wajah cemas.Beberapa saat kemudian, mobil yang dikendarai oleh Arumi akhirnya sampai di tempat tujuan mereka.Keduanya bergegas turun dari mobil, lalu berjalan ke arah pintu, dan memencet bel di samping pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu rumah itu pun terbuka."Nyonya Arumi, Nyonya Dahlia. Silahkan masuk, tapi di rumah cuma ada kami, mereka semua lagi pada pergi.""Oh mungkin sebentar lagi pulang. Aku cuma mau ketemu sama Kanaya, Bi.""Tapi Non Naya, sama Tuan Alan bilang, hari ini mereka nggak pulang. Sedangkan Tuan Kenan, sedang menginap di rumah Nyonya Sinta.
Malamnya ...."Habis telepon siapa, Pa?" tanya Kanaya pada Alan yang baru saja menelepon anak buahnya.Malam ini, mereka memang sudah berada di Bandung. Setelah Pak Rama pulang, keduanya tak mau membuang banyak waktu, dan segera berkemas menuju ke Bandung. Apalagi, saat dalam perjalanan, tiba-tiba Pak Rama menghubungi, dan mengatakan jika Arumi, dan Bu Dahlia juga besok akan melakukan perjalanan menuju ke Bandung. Keduanya kian dirundung penasaran, tentang apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh Arumi, dan juga Bu Dahlia."Anak buahku. Tadi Papa kasih tahu kalo Mama sama Oma kamu mau berangkat pukul tujuh pagi. Jadi kusuruh anak buahku buat stay di depan rumah mereka, setengah jam sebelum mereka berangkat."Kanaya pun mengangguk. "Semoga ada petunjuk mengenai kepergian mereka ke Bandung.""Iya, nanti kalau mereka sudah memasuki kawasan Bandung, anak buahku akan memberi tahu arah tujuan mereka.""Padahal, mereka juga tahu kalau kita lagi ada di Bandung loh!" timpal Kanaya, sontak penu
"Jadi, Mama masih ragu sama Kanaya? Mama takut kalau kisah masa lalu juga kembali terulang?" sahut Arumi, saat melihat Bu Dahlia masih saja terlihat ragu, dan cemas. Bu Dahlia tak menjawab, hanya memejamkan mata, sembari menahan gemuruh di dada. Perasaannya begitu berkecamuk. Padahal biasanya dia tak seperti ini.Ada begitu banyak ketakutan yang tak pernah Bu Dahlia rasakan sebelumnya, kini justru memenuhi isi otak, dan hatinya. Setelah puluhan tahun hidupnya merasa tenang, tanpa harus mencemaskan apapun. Namun, hal tersebut tak lagi dirasakannya sekarang. Sebenarnya, semua kekhawatiran ini bermula setelah melihat gelagat Arumi dalam berumah tangga. Sejak itulah, Bu Dahlia sudah merasakan firasat yang buruk. Hari demi hari Bu Dahlia lalui sembari menahan kecemasan. Dia benar-benar takut, apa yang menimpa dirinya juga terjadi pada rumah tangga Arumi, dan benar saja, tak berselang lama setelah firasat buruk itu selalu menghantuinya, Alan pun menceraikan Arumi.Meskipun sebenarnya Bu
Seorang bocah kecil, berjinjit keluar dari kamar mandi. Setelah masuk ke kamarnya, bocah kecil itu membuka lemari, melihat-lihat pakaian di dalam lemari tersebut yang jumlahnya tidak terlalu banyak."Kanaya mau pake baju apa ya?" Bocah itu kemudian menutup lemari tersebut, lalu memandang dirinya di cermin."Kaca ajaib, bagusnya Naya hari ini pake baju apa ya?" tanya bocah tersebut. Keningnya berkerut dengan ekpresi lucu, seolah sedang bertanya pada cermin ajaib yang ada di depannya untuk memilih pakaian yang ada.Padahal Kanaya tahu, dia tidak memiliki baju yang banyak. Apalagi baju bagus. Memang bisa dikatakan, Kanaya sangat jarang membeli pakaian. Kalaupun ada pakaian bagus yang dikenakannya, bisa dipastikan pakaian itu adalah pemberian dari tetangga. Namun, Kanaya selalu senang memakainya dan tidak pernah mengeluh."Baik cermin ajaib, aku ngerti kok. Kamu pasti suruh aku pake baju itu lagi, aku ngerti kok kalo pake baju itu, aku kaya princes."Kanaya terkekeh, kemudian membuka le
"Ma, kita nginep semalam dulu di sini ya. Mama tenangkan diri Mama, biar rileks. Jangan sampe kita pulang dalam keadaan kaya gini, bisa-bisa nanti Papa curiga," ujar Arumi, saat mobil yang mereka naiki, sampai di sebuah hotel. Bu Dahlia, hanya terdiam, seolah pasrah dengan keinginan Arumi. Karena dia pun sebenarnya tahu, menenangkan diri hanyalah salah satu alasan Arumi.Sedangkan alasan yang sebenarnya dia memilih untuk menginap adalah untuk berjalan-jalan, sekaligus belanja."Di hotel ini juga ada fasilitas spa, kalau Mama mau, nanti aku temani.""Mama, mau istirahat di kamar aja, Arumi. Mama lagi nggak pengen ke mana-mana. Kalau kamu mau keluar, kamu bisa sendiri, 'kan?""Beneran Mama nggak apa-apa sendirian?" timpal Arumi cemas. Sebenarnya ada rasa tidak tega meninggalkan Bu Dahlia dalam keadaan seperti ini sendiri. Bu Dahlia pun menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa. Mungkin, Mama juga butuh waktu buat sendiri." "Ya udah, nanti aku keluar sendiri aja. Kita sekarang check in dul
"Pa, Oma."Belum sempat Kanaya melanjutkan perkataannya, Alan menarik tangan Kanaya bergegas pergi. Setelah sebelumnya, mengucapkan terima kasih terlebih dulu pada petugas hotel yang masih berdiri di depannya."Terima kasih.""Sama-sama, Tuan.""Kenapa Pa?""Cepat berkemas, kita pulang sekarang, Naya." Sementara itu, di dalam sebuah kamar hotel,tangan Bu Dahlia tampak gemetar, memeluk lututnya seakan berusaha menahan rasa sakit yang menghimpit dadanya.Napasnya pendek dan terputus-putus, sesekali disertai isakan yang teredam. Wajahnya pucat, mencerminkan kelelahan emosional yang tak terkatakan. Pikirannya berputar-putar, mengulang kata-kata yang baru saja melukai hatinya.Dia berusaha berdiri, tapi lututnya lemah. Dunia di sekitarnya terasa hampa dan sepi. Semua kenangan yang dulu membuatnya bahagia kini terasa seperti belati yang menusuk tanpa ampun. Dalam keheningan, suara tangisnya menjadi satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup, meskipun hatinya telah hancur berkeping-keping
Di saat itulah ponsel Arumi berbunyi. Lamunan Arumi pun tersentak, dia bergegas menghapus air mata yang mulai membasahi wajah, lalu mengangkat panggilan telepon tersebut.[Ya, halo.][Bu Arumi, Anda di mana? Ibu Anda ....][Oh iya sebentar, saya sudah sampai di hotel. Sebentar lagi saya ke atas.]Sebenarnya Arumi masih sangat penasaran dengan gerak-gerik Alan, dan Kanaya. Namun, untuk saat ini situasinya benar-benar tidak memungkinkan. Ada hal lebih penting yang harus dia lakukan.Arumi pun bergegas keluar dari restoran tersebut, menuju ke kamarnya, dan ketika dia baru saja membuka pintu kamar itu, Arumi melihat sosok ibunya kini sedang duduk di sofa dengan kepala tertunduk.Bahunya berguncang pelan, tanda ia sedang berusaha menahan tangis. Suara hujan di luar rumah menambah sunyi suasana.Sedangkan salah seorang pelayan hotel berdiri di sampingnya, memperhatikan Bu Dahlia dengan tatapan khawatir. Perlahan, Arumi mendekat dan duduk di samping sang ibu."Kamu boleh pergi, terima kasih
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan