Aroma kopi menguar memenuhi indera penciuman. Semilir angin berembus membelai kulit wajah serta rambutku. Langit mulai menghitam tanda air akan turun dari sana. Aku memejamkan mata menikmati udara sejuk yang menenangkan pikiranku ini. "Mbak."Mataku terbuka. Menoleh pada pria yang menggenggam gelas cup berisikan kopi hitam miliknya. "Hem." Aku bergumam. "Aku merasa ganjal dengan kecelakaan yang menimpa Cahaya. Menurut Mbak, ini real kecelakaan, atau dicelakai?"Aku diam mencerna ucapan Soni yang terdengar menuduh. Jika dicelakai, hanya ada satu orang tersangka yang terlibat. Mawar. Mungkinkah dia tega melakukan kejahatan pada putrinya sendiri? "Di mana letak kesengajaan itu, Son?" tanyaku akhirnya. "Tadi aku pergi ke rumah Mas Sandi untuk melihat tempat yang katanya Cahaya tergeletak tidak sadarkan diri di sana. Entahlah, coba Mbak lihat sendiri gambar ini." Soni menyodorkan ponselnya padaku. Dia memperlihatkan foto-foto yang dia ambil di rumah kakaknya. Masih ada noda minyak
Kami saling diam kembali. Soni fokus pada kopinya, dan aku masih fokus pada CCTV di rumah Mas Sandi. Saat ini aku masih berada di rumah sakit. Setelah melihat Cahaya, aku pergi ke taman rumah sakit untuk memenangkan hati yang tersayat melihat kondisi anak itu. Soni datang, dia ikut duduk bersamaku hingga sekarang. "Terus, jawabanmu gimana, Mbak?" Aku kembali menoleh ke arahnya dengan kening yang berkerut. "Jawaban apa?" tanyaku tidak mengerti. "Tentang ini." Dia menunjuk dadanya. Aku tersenyum kecil. Menggelengkan kepala, lalu mengambil kunci motornya yang tergeletak di bangku. Aku menekankannya pada paha dia yang berbalut celana jeans. "Sekolah aja gak kelar-kelar, sudah berani ngomongin perasaan. Kerja, pun enggak," ujarku membuatnya tertawa terbahak. "Aku dipecat juga karenamu, Mbak. Yuk, cari kerja lagi. Di mana, ya?" "Mana aku tahu. Cari aja sendiri," ujarku seraya berdiri. Aku meninggalkan Soni dan masuk ke dalam rumah sakit. Sebelum pulang, aku ingin melihat Cahaya la
"Kamu menuduh aku mencelakai putriku sendiri?" ujar Mawar menunjuk dadanya. "Apa aku ada bicara seperti itu? Tidak, bukan?""Tapi kata-katamu mengarah ke sana. Kamu tidak percaya dengan penjelasanku, malah mengatakan asumsi-asumsi yang tidak benar. Sepertinya kamu memang dendam padaku, ya Ranum!" Aku menggelengkan kepala seraya tertawa sumbang. Aku hanya mengeluarkan isi pikiranku saja, dia sudah kepanasan. Aku hanya menduga-duga, dia sudah ketakutan. "Sudah, cukup. Hentikan semuanya," ujar Mas Sandi seraya menyugar rambutnya. Wajahnya begitu frustrasi penuh dengan tekanan. "Mantan istrimu yang mulai, Mas. Lagian untuk apa, sih kamu di sini, Ranum? Kamu bukan siapa-siapa kami, bukan siapa-siapa Cahaya. Kamu hanya orang lain yang mencari perhatian dengan pura-pura bersedih. Caper.""Aku gak caper—""Ranum, hentikan! Sudah hentikan! Sebaiknya kamu pulang saja, tidak ada gunanya saling debat saling menyalahkan. Bagiamanapun mula kejadiannya, semua tidak akan bisa diulang lagi. Semua
Aku menundukkan pandangan tidak berani menatap mata Ibu yang menyorotku tajam. Aku tahu, jika Ibu menginginkan aku lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan mengurusi Cahaya yang jelas-jelas masih memiliki keluarga. Namun, tekadku sudah bulat untuk membongkar siapa dalang dibalik komanya anak istimewa itu. Jikapun ibunya sendiri, dia harus mendapatkan hukuman atas perbuatannya. "Ranum, dengarkan Ibu, kali ini saja. Sudahi kebodohanmu. Lupakan Cahaya. Dia punya orang tua, punya keluarga yang utuh. Yang harusnya kamu urusin itu, Shanum. Belum tentu ayahnya akan selalu membiayai hidupnya hingga dewasa. Maka dari itu, kamu sebagai ibunya harus pandai bekerja, mendapatkan uang untuk masa depan dia. Sekolahnya dia. Yang sakit mah biarkan saja di rumah sakit. Biar dirawat oleh dokter," ujar Ibu panjang lebar. "Ini bukan masalah sakitnya, Bu. Tapi, penyebab dia sakit. Aku menduga ada unsur kesengajaan yang membuat Cahaya koma." "Maksudmu, anak itu dicelakai ibu bapaknya?" tanya Ibu d
"Bu, Ibu lihat hape, Ranum yang ada di laci, gak?" tanyaku malam ini. Setelah mengobrak-abrik seluruh isi kamar, aku tidak sama sekali menemukan ponsel itu. Dan satu-satunya cara, ialah menanyakannya pada Ibu. Mata Ibu melirik sebentar ke arah Bapak yang tengah menikmati secangkir teh manis seraya duduk di sofa menonton televisi. Di bawahnya, Shanum sedang mewarnai gambar princess kesukaannya seraya duduk lesehan. "Iya, Ibu yang ambil." "Ya Allah, Ibu .... Kapan?" tanyaku tidak percaya. "Tadi. Saat kamu dan Bapak ke rukonya Haji Darmin, Ibu pulang dengan ojek." "Sekarang, mana ponselnya? Kembalikan padaku." Aku mengadahkan tangan meminta barangku kembali. Namun, Ibu menggelengkan kepalanya menolak memberikan ponsel yang menyimpan jawaban atas pertanyaan yang bersarang di otakku. "Ibu, tidak akan memberikannya padamu.""Kenapa, Bu? Ayolah, jangan seperti ini?" Kembali Ibu menggelengkan kepala. Tangannya sibuk melipat pakaian, tanpa menatapku yang mengiba. "Dengarkan Ibu, Ranu
"Bunda, hari ini aku mau bekal roti isi selai cokelat, ya?" pinta Shanum saat aku tengah menyisir rambutnya. "Siap, Sayang. Minumnya mau apa? Susu kotak, atau susu yang hangat?" "Emh ... susu kotak saja, Bunda. Kalau susu hangat, aku jadi ingat pada kakak. Bunda, hari ini mau jenguk kakak, gak? Kalau jenguk, bilang pada kakak, ya, kalau Shanum sedang rindu pada dia."Aku tersenyum dibalik punggung putri kecilku yang semakin hari semakin pintar. Ucapannya aku jawab dengan gumama saja. Mendengar nama Cahaya, ingatanku kembali pada Ibu. Hati dia masih keras. Jangankan untuk meminta balik ponselku, sudah menyinggungnya saja Ibu tidak memberikan respon sama sekali. "Sudah, Sayang. Sekarang, Shanum tunggu di ruang tengah dulu, ya? Bunda mau buatkan bekal untuk Shanum." "Iya, Bunda." Kami sama-sama keluar dari kamar. Shanum pergi ke ruang tengah, dan aku pergi ke ruang makan yang di sana sudah ada Ibu dan Bapak. "Shanum mana?" tanya Ibu. "Lagi nungguin aku buat bekal, Bu.""Tidak mau
"Kamu nguping, Ranum?" tanya Mawar semakin panik. "Enggak. Orang aku baru dateng, kok. Aku mau minta ijin buat masuk ke kamar Cahaya, mau jenguk dia sebentar," kataku seraya mengeluarkan tangan dari dalam tas. Aku menatap Mawar yang juga menatapku penuh ketakutan. "Yakin, kamu gak nguping?" ujarnya lagi. "Enggaklah. Emang kamu ngomongin apa, sih sampai ketakutan kayak gitu? Merencanakan kejahatan, ya?" "Jangan nuduh kamu! Bukan urusanmu aku bicara apa, dengan siapa. Kalau mau masuk, masuk saja. Gak usah ijin-ijin segala. Ganggu orang aja." Mawar menggerutu. Dia berjalan melewatiku, lalu duduk di bangku panjang dekat pintu kamar Cahaya. Dan aku hanya tersenyum puas melihat dia salah tingkah. Tanpa bicara lagi, aku pun masuk melihat Cahaya yang masih sama seperti hari kemarin. Tidur tanpa bergerak. "Selamat pagi, Kakak. Bunda datang lagi, nih buat bangunin Kakak. Yuk, bangun. Emang gak pegel, tidur terus?" Aku mengusap lengan dia dengan lembut. Tanganku beralih mengusap keningn
Kulangkahkan lebih cepat karena harus bertemu dengan seseorang. Hari ini, aku sudah buat janji dengan Devano. Aku butuh dia dalam menyelesaikan masalah yang tengah aku hadapi sekarang dengan bukti yang aku punya. Kafe Magnolia menjadi tempat kami membuat janji. Masih pagi, pengunjung di sini pun masih sedikit. Di depanku sudah ada cokelat panas dengan aroma yang khas. Juga kopi susu untuk Devano. "Hay, Num! Sudah lama?" Aku mendongak melihat pada pria yang baru saja datang. Devano menyimpan kunci mobilnya di meja, lalu duduk berhadap-hadapan denganku. "Tidak, baru beberapa menit saja. Aku sudah pesankan kopi untukmu. Silahkan diminum, mumpung masih hangat," ujarku menggeser sedikit gelas ke depan Devano. "Wah, baik sekali klien yang satu ini. Terima kasih banyak, Bu Ranum," kelakarnya membuatku ikut tertawa. Beberapa saat kami saling diam menikmati minuman kami masing-masing. Aku memperbaiki letak duduk agar semakin nyaman dalam berbicara. "Van, kamu tahu kenapa aku meminta b
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism