Share

Bab 49

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-23 20:35:27

Kulangkahkan lebih cepat karena harus bertemu dengan seseorang.

Hari ini, aku sudah buat janji dengan Devano. Aku butuh dia dalam menyelesaikan masalah yang tengah aku hadapi sekarang dengan bukti yang aku punya.

Kafe Magnolia menjadi tempat kami membuat janji. Masih pagi, pengunjung di sini pun masih sedikit. Di depanku sudah ada cokelat panas dengan aroma yang khas. Juga kopi susu untuk Devano.

"Hay, Num! Sudah lama?"

Aku mendongak melihat pada pria yang baru saja datang.

Devano menyimpan kunci mobilnya di meja, lalu duduk berhadap-hadapan denganku.

"Tidak, baru beberapa menit saja. Aku sudah pesankan kopi untukmu. Silahkan diminum, mumpung masih hangat," ujarku menggeser sedikit gelas ke depan Devano.

"Wah, baik sekali klien yang satu ini. Terima kasih banyak, Bu Ranum," kelakarnya membuatku ikut tertawa.

Beberapa saat kami saling diam menikmati minuman kami masing-masing. Aku memperbaiki letak duduk agar semakin nyaman dalam berbicara.

"Van, kamu tahu kenapa aku meminta b
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
siapa yg mengguyur ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 50

    Baju serta tubuhku basah kuyup dari atas hingga bawah. Bukan satu gelas air, melainkan satu ember yang sengaja ditumpahkan wanita itu padaku. Wanita asing yang baru aku lihat sekarang. "Kamu ini siapa, punya dendam apa hingga membuatku seperti ini?" ujarku seraya berdiri dengan tatapan ke arahnya. Wanita cantik bertubuh ramping itu bersidekap dada melihatku tanpa iba. Bibirnya mencebik, mengejek merendahkanku."Woi, kalau ditanya, tuh jawab!" ujar Soni kembali berteriak. "Kalian mau tahu siapa saya? Kamu mau tahu kenapa aku melakukan itu padamu, wahai Wanita Ganjen!" Aku sedikit tersentak dengan panggilannya padaku. Ganjen. Aku ganjen? Pada siapa? "Apa maksudmu?" tanyaku lagi masih tidak mengerti. "Harus kamu tahu, aku ini istri dari pria yang tadi duduk bersamamu. Oh, jadi ini rupa wanita yang selalu mengajak suamiku berjumpa? Wajah-wajah lugu tapi penuh dengan tipu daya."Laki-laki yang bersamaku? "Kamu istrinya Devano?" ujarku bertanya. "Iya. Aku istrinya Devano. Berhent

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-23
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 51

    Aku mengedikkan bahu. Jika Safira mengatakan Devano belum menikah, itu artinya wanita tadi hanya mengaku-ngaku saja untuk memperlakukanku? "Bentar-bentar, ini bukan wanitanya?" ujar Safira memperlihatkannya foto wanita yang sama persis dengan wajah perempuan yang melabrakku tadi. "He'em, dia orangnya," ucapku yakin. "Wah, parah. Dia ini, emang pernah dikenalkan Devano pada keluarga sebagai pacarnya, tapi tidak mendapatkan restu dari ibunya Devano. Kok, berani banget ngaku-ngaku?" ujar Safira lagi. "Kenapa tidak restui?" Pembahasan kami semakin menarik. Apalagi sumber pembahasan adalah Devano dan wanita yang tadi telah melabrakku. "Mana aku tahu, Num. Mungkin gak sreg aja sama wanita itu.""Apa jangan-jangan, mereka sudah nikah tapi diam-diam, ya, Fir?" ujarku lagi mengatakan kemungkinan. Karena tidak mungkin wanita tadi akan seberani itu, jika hanya sebagai kekasih. Kemungkinannya hanya ada dua. Dia memang istrinya, atau dia disuruh seseorang. Dalam artian, dibayar untuk mempe

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-23
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 52

    "Innalillahi ...!!""Astaghfirullahaladzim! Apa-apaan kalian ini, hah?!" Sayup-sayup kudengar suara orang berteriak, tapi mataku masih teramat berat. "Ranum! Soni! Bangun!!"Ibu, itu suara Ibu yang berteriak lantang. Aku mendengar suara-suara itu, tapi tidak dapat membuka mata. "Bangun! Bangun kalian!!" Aku sedikit menggeliat dengan berusaha membuka mata. Perlahan, mataku mulai bisa dibuka dan akhirnya semua nampak jelas di depanku. Ibu, Bapak, juga orang-orang tengah berdiri melihatku dengan ekspresi yang tidak biasa. Wajah-wajah itu seperti marah dan ...."Soni!" Aku menjerit kencang ketika melihat Soni tergeletak di sampingku dengan tubuh yang polos. Dadaku bertalu-talu dengan pikiran yang berkelana. Apalagi setelah melihat kondisiku yang ternyata sama-sama tidak memakai busana. Soni mengerjapkan mata, kemudian tersentak setelah melihat kondisi kami yang hanya memakai dalaman berselimutkan kain tipis. Bugh! Bugh!Bapak memukul wajah Soni setelah menyadari pria itu bangun

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 53

    "Pak, bagaimana ini?" ujar Ibu menoleh pada Bapak. Bapak menganggukkan kepala seraya menghampiriku yang tersedu di pelukan Ibu. "Ranum, pasrah saja dulu, daripada nanti kamu diarak keliling pasar. Bukan hanya kamu yang malu, tapi kami juga. Ingat, anakmu akan mendengar cerita ini dari orang-orang jika besar nanti. Ikhlas, Nak. Bapak akan menikahkan kalian."Aku semakin terisak menolak ucapan Bapak, tapi tidak memilki kuasa untuk menyela. Pasrah, adalah satu-satunya cara untuk meredam amarah warga. Beberapa saat saling bicara satu sama lain antara Bapak dan Soni, akhirnya pria dengan status waliku itu menjabat tangan Soni dan pernikahan pun terjadi. Dua saksi yang tak lain Pak Haji Darmin dan satu rekan Bapak, mengatakan sah atas ijab qobul yang diucapkan Soni. Semua orang bersorak seperti mendapatkan hadiah atas pernikahan dadakan ini. Sedangkan aku, aku semakin tergugu dengan nasib diri yang selalu diliputi kesedihan ini. "Yuk, bubar-bubar! Sekarang waktunya makan-makan!" ujar

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 54

    Wanita yang masih memakai piyama satin di atas lutut masuk ke dapur, lalu berkacak pinggang dengan bibir bergerak. Mungkin dia tengah memarahi gadis yang tak lain putrinya sendiri. Mawar. Dia mengambil mie instan dari bufet atas, lalu merebusnya. Satu mangkuk mie dia sajikan di depan Cahaya yang tengah kelaparan. "Kakak, gak boleh makan mie," kataku ingin menghentikan waktu. Di sana, Cahaya diam. Dia bersidekap dada seraya menggelengkan kepala menolak makanan yang disajikan ibunya. Namun ... tanganku terkepal kuat ketika Mawar memaksa anak itu untuk makan. Dia mencengkram kedua pipi Cahaya dengan sebelah tangan menyuapkan mie instan dengan kasar. Gagal. Cahaya menutup mulutnya rapat-rapat, dan itu membuat si ibu naik darah. "Ya Allah ...!" Aku menutup mulut melihat Mawar menekan kepala Cahaya pada mangkuk berisikan mie yang aku yakini masih panas. Cahaya berontak. Dia melawan ibunya dengan tangan yang bergerak tidak beraturan. Namun, Mawar pun tidak tinggal diam. Manusia seteng

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 55

    Setengah berlari aku masuk menyusuri koridor rumah sakit dengan senyum tak lepas dari bibir. Lelah tak kurasa, yang ada bahagia dengan bayangan wajah Cahaya di pelupuk mata. Semakin dekat dengan ruangan di mana Cahaya berada, dadaku semakin berdegup kencang. Apalagi, setelah mata ini melihat Mama yang tengah duduk di depan kamar Cahaya. "Mah, mana Aya?" tanyaku seraya mengatur napas.Mama berdiri, melangkah mendekatiku dan ....Plak!Aku bergeming. Tidak mengerti kenapa tiba-tiba Mama menamparku dengan air matanya yang menganak sungai. "Mah—""Ke mana saja, kamu? Kenapa baru datang sekarang? Katanya kamu sayang pada Cahaya, katanya kamu menganggap dia anakmu sendiri, tapi kenapa baru datang?!" jerit Mama, kemudian tubuh itu kembali duduk dengan kedua tangan menutupi wajah tuanya. Aku masih diam di tempat tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Mulutku tertutup rapat tidak sama sekali bisa berkata-kata saat Mama kembali berucap. "Tadi, Cahaya bangun, Ranum. Dia mencarimu. Dia memi

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 56

    "Cahaya! Kenapa secepat ini kamu pergi, Nak?" "Bangun, Sayang. Ini Nenek datang untukmu, huhuhu ...!"Aku tersenyum masam melihat aktris-aktris yang tengah beradu akting di sana. Pantas saja Mawar pandai sekali bersandiwara, karena ibunya pun sama. Di depan semua orang yang datang memberikan ucapan belasungkawa, mereka menangis seolah-olah merasa sangat kehilangan. Di sini, aku hanya jadi penonton mereka seraya duduk bersandar pada tembok. Air mataku sudah hilang. Kering dan tak lagi turun seperti di rumah sakit tadi. Bukan karena aku sudah tidak sedih, tapi diri ini sedang berdamai dengan takdir. Belajar merelakan meskipun teramat berat. "Bunda ...."Aku menoleh ke samping di mana Shanum duduk di pangkuan ayahnya. Sejak datang bersama Ibu dan Bapak, anak itu tak mau jauh dari Mas Sandi. Sesekali dia mengusap kepala kakaknya yang tertutup kain kafan. "Apa, Nak?" tanyaku. "Kakak, kok tidak bangun-bangun, ya Bunda ...." Aku memaksakan tersenyum, tapi enggan untuk menjawab. Tub

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 57

    Aku bangun dari dudukku, menghampiri dia dan langsung menghadiahkan tamparan di pipi kanannya. Mama tersentak kaget dengan apa yang aku lakukan ini. Begitu pun dengan Mawar. Dia langsung berteriak memanggil suaminya seraya memegangi pipinya yang sudah memerah. "Ranum, apa-apaan kamu? Kenapa menampar Mawar?" tanya Mas Sandi tidak terima. "Ajarkan istrimu untuk lebih sopan lagi. Kalau perlu, bawa ke pesantren untuk belajar adab dan tatakrama. Menurutmu, apa pantas masuk tanpa ketuk pintu, sedangkan di dalam sini ada orang tua yang tengah bicara serius dengan anaknya? Silahkan kamu tampar aku jika ucapanku salah. Silahkan, Mas." Aku menepuk pipi sebelah kiriku. Dan Mas Sandi hanya bergeming tidak melakukan apa-apa. "Mas, tampar, dong. Dia sudah nampar aku, tadi. Masa, kamu diam saja istrinya ditampar?" ujar Mawar menggoyangkan lengan suaminya. Namun, pria itu hanya diam saja, lalu menarik tangan Mawar keluar dari kamar di mana ada Mama yang masih menanti sebuah penjelasan. Aku me

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27

Bab terbaru

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 145

    "Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 144

    "Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 143

    "Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 142

    Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 141

    Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 140

    "Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 139

    "Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 138

    "Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 137

    Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status