Soni masih tidak pergi dari sisi mobil yang belum kunyalakan mesinnya. Aku masih menunggu Mama yang tengah berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon. Entah siapa yang menghubungi Mama, hingga wanita itu terlihat sangat serius. Sedangkan Shanum, putriku sudah duduk manis di jok belakang seraya menonton video di YouTube. "Oh, iya, Son. Gimana kalau aku cari orang buat kerja bantu-bantu di toko? Soalnya, 'kan aku sering pergi mengantar jemput Shanum, rasanya sayang banget kalau ditutup. Yang ada, nanti pelanggan malah kabur karena keseringan tidak buka. Menurut kamu, gimana?" Soni manggut-manggut. Sebelah tangannya berada pintu mobil yang belum ditutup, dan sebelahnya lagi memegang pinggiran jok yang aku duduki. Dia menyetujui usulanku, karena memang paham akan kondisi Shanum yang masih trauma naik motor. "Tapi ... jangan cowoklah, Mbak. Aku gak tenang kalau di rumah ada laki-laki lain, sedangkan aku kerja di sini. Cewe aja, biar aman," celetuk Soni dengan kedua alis yang na
"Tumben datang, Pak?" kataku menutupi rasa malu.Aku sedikit menggeser tubuh, memberikan tempat untuk Bapak duduk di sampingku. Di depan kami, ada Shanum yang masih terlelap. "Iya, ada perlu sama kamu," ujar Bapak seraya menghenyakkan bokong di lantai beralaskan karpet. Tangan Bapak terulur mengusap kepala putriku yang tidak merasa terganggu dengan kehadirannya. Kemudian dia menatap lurus ke depan seraya membuang napas. "Gini, Num, Bapak mau menawarkan seseorang padamu."Keningku langsung berkerut mendengar maksud kedatangan Bapak. Menawarkan seseorang? Terdengar sangat aneh hingga membuatku semakin menajamkan pendengaran untuk menampung kata yang akan diucapkan Bapak selanjutnya. "Sepupu si Adit yang dari kampung, katanya sedang mencari pekerjaan. Maksud kedatangan Bapak ke sini, untuk menawarkan dia pada kamu. Kira-kira, kamu butuh orang buat bantu-bantu di sini, gak?" ujar Bapak membuatku mengerti. Aku manggut-manggut, tapi belum menjawab pertanyaan Bapak. Aku memang butuh or
Shanum mengangguk lemah. Dia mulai menghadap ke arah makanannya, lalu mencicipi masakan yang aku suguhkan. Namun, bukannya ikut makan bersama putriku, aku malah sudah tidak memiliki selera untuk menikmati hidangan yang tersaji. Pikiranku berkelana jauh pada pria yang pernah begitu berarti dalam hidup ini. Pria yang mengenalkan rasa cinta, bahagia, sekaligus nestapa. Jika saat ini Mas Sandi ada di sini, mungkin aku sudah merobek mulut busuknya itu. Tidak punya pikiran, laki-laki itu sudah mati rasa, hingga tega menyuruh putrinya untuk menuruti nafsu dan egonya. "Bunda, kok tidak makan?" Aku melihat pada Shanum, lalu mengangguk kecil. Tangan ini mulai menyedokkan makanan, lalu memasukkannya ke dalam mulut meskipun sedikit. Perutku harus terisi agar otak bisa berpikir jernih menghadapi kenyataan hidup yang penuh drama. Entah harus dengan cara apa lagi agar Mas Sandi berhenti mengusik hidupku. Aku benar-benar sudah lelah terus berurusan dengan dia juga masalah yang diciptakannya.
[Mbak, suamimu harus bertanggung jawab atas perbuatannya.] Aku mengusap wajah, kemudian duduk di lantai dengan punggung bersandar pada pinggiran kasur. Lama aku diam hingg pesan yang masuk dari wanita yang tak lain Nabila, bertambah lagi.[Soni harus menikahiku.]Aku memijit kening. Gambar yang Nabila kirimkan mampu membuat jantungku berdenyut nyeri. Namun, aku tidak ingin mengambil kesimpulan sebelum mendengar penjelasan dari Soni. Di dalam foto yang wanita itu kirim, Soni tengah tidur dengan merangkul pinggang Nabila. Bertelanjang dada, sedangkan Nabila hanya memaki tanktop. Bawahannya aku tidak tahu, dia tidak memotret keseluruhan tubuh, hanya dari perut ke atas saja. Aku ingin percaya pada foto itu, tapi harus berpikir ulang mengingat Nabila memang sedang gencar-gencarnya mencari celah untuk jadi orang ketiga. Untuk tidak percaya pun, sulit. Bagiamana mungkin Soni tidur di tempat kerja, yang memang di sana pasti banyak orang, juga ada teman lainnya yang sedang bekerja. "Alla
Soni melampiaskan amarahnya pada tembok hingga buku-buku tangannya memerah. Aku yang tidak pernah melihat Soni marah, hanya bisa diam menyaksikan sesuatu yang membuat dadaku berdegup kencang. Rasanya campur aduk. Antara takut dengan kemarahan Soni, juga khawatir jika dia akan nekad pergi ke rumah Mas Sandi untuk membalaskan perbuatan kakaknya itu. "Son." Pria yang saat ini berdiri dengan tubuh condong ke arah tembok, tidak meresponku. Tangannya masih terkepal kuat menempel pada dinding yang tadi dipukulinya. "Soni," panggilku lagi dengan tubuh yang gemetar. Aku takut dengan marahnya dia yang terlihat menyeramkan. Dia menoleh, tapi masih di tempat yang sama. Hingga beberapa detik kemudian, dia menghampiriku dan berlutut di depanku. "Aku mohon, percaya padaku, Mbak. Aku tidak melakukan itu, aku tidak mengkhianati kamu, Mbak. Di sini, kata-katamu selalu terngiang." Soni menunjuk kepalanya. Aku bergeming. Merasa tidak pernah mengatakan apa pun pada dia. Aku juga tidak pernah memi
"Apa yang harus aku lakukan, Bu? Rasanya lelah sekali terus menerus menghadapi masalah seperti ini." Ibu mengusap-usap lenganku dengan tidak mengalihkan pandangan. Semuanya telah aku ceritakan pada Ibu. Aku benar-benar sudah tidak sanggup menampung beban ini. Aku manusia yang lemah, wanita cengeng yang sedang berpura-pura kuat. Di depan Ibu, wanita yang telah melahirkanku, aku tumpahkan semuanya. Air mata terus bercucuran dengan bibir yang tak hentinya berucap mengungkapkan isi hati yang sudah merasa lelah dengan kehidupan rumit ini. Sekarang, bebanku sedikit berkurang, tapi hatiku tetap tak tenang. Masih ada yang mengganjal, jika belum menyelesaikan masalah yang ada. Apalagi ketidakadaannya Soni di rumah, membuatku semakin gundah. Takut, jika pria itu berbuat nekad yang akan merugikan dirinya sendiri. "Sekarang, maunya kamu apa, Num?" Aku mengusap kedua mata yang sedari mengeluarkan cairan bening. Kemudian mengadahkan kepala sebentar, lalu kembali menatap Ibu. "Aku ingin perg
Aku tidak menolak. Langsung pergi ke lantai dua untuk mengambil tas dan ponsel Soni yang ada di sana. Setelahnya, kami pun berangkat ke kedai mengunakan mobil. Sedangkan motor, Soni masukkan ke dalam ruko. Hari masih pagi, tapi hati sudah panas dingin. Rasanya tidak sabar untuk segera bertemu dengan Nabila dan melihat wajah itu ketika kebusukannya terbongkar. "Sat, gue lagi di jalan mau ke sana, kedai tutup dulu bentar, ya? Ada yang ingin gue selesaikan dengan kalian."Aku melirik Soni yang sedang berbicara dengan seseorang di sebrang telepon. Jika dari panggilannya, sepertinya Satria yang dia hubungi."Emh ... satu lagi. Jangan kirim pesan apa pun pada Nabila. Baik kamu, maupun Miranda. Biar aku yang akan menyuruh Nabila," tutur Soni lagi masih dengan sebelah tangan memegang ponsel. Setelah selesai bicara, Soni menyimpan ponselnya di dashboard mobil. Kemudian dia melirik ponsel Mas Sandi yang ada di sana. Tanganku langsung mengambil ponsel itu sebelum Soni menyentuhnya. Aku tidak
"Ya Allah, Bila .... Kenapa, lo gak pernah cerita sama gue atau yang lainnya? Terus, masa, lo mau ngasih duit haram buat pengobatan bokap? Durhaka, lo!" "Gue, gak peduli, Mir! Yang penting Papa sembuh, dia bisa sehat lagi kayak dulu! Gue udah gak peduli dengan harga diri, duit halal atau haram, semua untuk Papa, akan gue lakuin! Gue, gak punya siapa-siapa selain dia! Gue, gak mau hidup sebatang kara." Kini tangis Nabila semakin pecah. Dia tergugu dengan menelungkupkan wajah pada lipatan tangan di atas meja. Jadi, itu alasan dia berani menerima tawaran Mas Sandi? Miris. Demi untuk kesembuhan ayahnya, Nabila rela merendahkan dirinya dengan bekerja sama dengan mantan suamiku. Namun, apa pun alasannya, itu tidak dibenarkan. Dia tetap salah, meskipun di hatinya ada kemuliaan untuk kesembuhan sang ayah. "Sudah, jangan ditekan terus. Yang penting sekarang, kita sudah tahu alasannya," ujar Soni menghentikan Miranda yang terus mencecar Nabila dengan berbagai pertanyaan. Dia juga tidak a
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism