Pandanganku dan Soni bertemu saat mendengar suara seorang wanita yang berteriak dari dalam rumah. Disusul oleh teriakan Mama yang memanggil nama putranya. Aku dan Soni buru-buru masuk ke dalam rumah untuk melihat apa yang terjadi. Sungguh mengagetkan, Mas Sandi tergeletak di lantai dengan kedua wanita bersusah payah untuk membangunkan pria itu. "Mas Sandi kenapa, Mah?" tanya Soni membuat wanita paruh baya itu menoleh ke arah kami. "Jatuh, Soni. Tolong batu Mama bawa dia ke kamar." Mama menggeser tubuhnya agar Soni bisa menghampiri Mas Sandi yang terlihat begitu lemah. Beberapa hari tidak berjumpa dengannya, kulihat ada perubahan pada tubuh pria itu. Dia semakin kurus dan pucat. Sakit darah tinggi yang dia derita, terlihat sangat menyiksanya. Bagiamana tidak, dia tidak mau minum obat dan berobat seperti yang pernah dikatakan Mama padaku. "Ayo, bantu naikan ke punggungku," ujar Soni. Suamiku menggendong Mas Sandi yang terkulai di punggungnya. Dia membawa pria itu ke kamar bawah
"Maaf, Son, aku terlalu lelah dengan masalah hidupku, jadi ... agak ngawur.""Ya, gak apa-apa, aku ngerti, kok."Soni melepaskan genggaman tangannya, lalu menghentikan taksi. Dia membukakan pintu, menyuruhku masuk terlebih dahulu. "Kalau kita membahas dua pilihan tadi, aku memilih pergi daripada harus melihat Mas Sandi mati. Maaf, bukannya aku membela dia karena kami saudara, tapi ... umur seseorang tidak ada di tangan kita, bukan?" Aku menoleh ke arah pria yang memiliki hidung bangir itu, kemudian mengangguk seraya tersenyum tipis."Terus, kalau kita akan pergi, pergi ke mana, ya kira-kira?" tanyanya lagi. "Belum tahu. Bisa, gak kalau ke sekolah Shanum dulu? Ini sudah waktunya dia pulang."Soni mengiyakan. Dia menyuruh supir taksi untuk pergi ke sekolah putriku. Tidak lama kami menunggu, Shanum keluar dari kelas dan kami langsung pulang. Sepanjang perjalanan, Soni dan Shanum bercengkrama sangat akrab. Sedangkan aku, memilih diam dengan menyandarkan kepala pada jok mobil. "Mbak,
Niat hati ingin istirahat, aku urungkan saat melihat Soni kerepotan dengan pembeli. Aku pun menghampiri dia, membantunya mengambil barang yang diinginkan para pelanggan. "Loh, kok ke sini? Bukannya mau istirahat?" tanya Soni saat aku berdiri di samping dia yang tengah menulis nota belanjaan. "Mana bisa, Soni. Istri macam apa aku ini, yang malah tidur saat suami sibuk?"Soni menoleh sejenak, lalu tangan memegang ponsel mencolek pinggangku. Aku melotot ke arah dia, mencubit pundaknya lumayan keras.Satu sampai tiga jam berjalan, pelanggan datang semakin banyak. Tangan dan kaki sudah pegal, apalagi perut yang mulai memberikan isyarat minta di isi. "Perutmu demo, Mbak. Makan dulu, gih?" ujar Soni. Aku menggelengkan kepala. Sekarang, ganti posisi. Aku yang mencatat nota belanjaan, dan Soni yang mengambil dan mengemas barang yang dibeli dalam jumlah banyak. Jika hanya sekedar beberapa barang saja, biasanya aku menyuruh pembeli mengemasnya sendiri. "Mbak, mau ambil belanjaan punya Mama
"Rambutmu sudah panjang, Son. Potong, gih biar rapi.""Enggak, ah sayang," ujar Soni seraya menyusupkan wajah ke cengkuk leherku. "Kok, sayang?" tanyaku dengan tangan mengusap-usap surai lebat milik pria itu. "Iya, kalau pendek, nanti Mbak pegangannya ke mana, coba? Jadi mendingan panjang, biar dielus-elus terus."Aku berdecak kesal. Menjauhkan diri dari tubuh pria itu, lalu membalikkan badan memunggunginya. Seperti yang tidak ingin jauh dariku, Soni melingkarkan tangan di perut, menarikku agar semakin rapat dengannya. Baik aku atau dia, tidak ada yang bicara lagi. Kami sama-sama diam hingga akhirnya mata saling terpejam. Malam ini tidurku teramat nyenyak. Tubuh dan pikiran yang lelah, membuatku enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, suara benda jatuh dari lantai bawah membuatku membuka mata. Aku beringsut duduk seraya menarik selimut sampai batas dada. Kulirik ke samping, sudah tidak ada Soni di sana. Aku semakin yakin, jika suara yang tadi aku dengar, berasal dari pria itu.
Aku membiarkan dia mengeluarkan apa yang ingin diungkapkan. Biarlah, aku hanya jadi pendengar dan menilai apa yang akan dia sampaikan. "Maafkan aku, Ranum. Aku salah, aku benar-benar salah. Semua yang terjadi pada Soni dan Nabila, adalah salahku. Aku yang menyuruh anak itu untuk membuat kamu dan Soni bertengkar."Aku mengambil bantal dan memangkunya. Volume ponsel aku besarkan, lalu menyimpan benda pipih itu di atas bantal. Punggung kusandarkan dengan melipat tangan di perut. "Aku lelah, Ranum. Lelah mengejarmu yang tak lagi sudi kembali padaku. Tubuhku pun sudah rapuh, tidak sekuat dulu. Maka dari itu, sebelum waktuku habis, aku ingin meminta maaf padamu. Memang, aku belum ikhlas kamu menikah dengan adiku, tapi ... aku sedang belajar untuk itu. Mengikhlaskanmu dengan kehidupan yang baru."Sekelebat bayangan tentang aku dan dia menari di pelupuk mata. Indahnya rumah tangga pernah aku rasakan dengannya. Sayangnya, badai itu teramat besar mengguncang jiwa. Hati yang rapuh tak kuat lag
"Benar kata orang tua, Mbak. Modal cinta doang gak akan enak. Pait," ujar Soni seraya mencubit ayam goreng yang gosong sebagian. Aku tidak bicara, hanya tersenyum kikuk seraya menyeruput teh manis yang tadi aku buat. Mata kami saling bertemu, kemudian tertawa mengingat apa yang baru saja terjadi. Entah siapa yang patut disalahkan di sini, karena aku dan dia sama-sama menikmati momen itu. "Mbak, hari ini orang yang mau kerja sama kita jadi datang?" Aku mengangkat kepala melihat pada lawan bicara."Katanya, sih iya. Kita lihat saja, kalau dia datang, berarti jadi.""Sebelum dia datang, kita jemput dulu Shanum, yuk. Rumah sepi banget gak ada dia," ujar Soni lagi seraya mengangkat gelas berisikan kopi. "Bukannya kalau gak ada Shanum, kamu bisa bebas melakukan apa pun padaku, Son? Kok, sekarang minta jemput dia."Soni mengangkat sebelah alisnya, lalu terkekeh. Tangan itu mengambil satu kue pukis, kemudian menggigitnya separuh. Soni mengulurkan tangan ke arahku, memberikan kue itu untu
"Bunda ... kok, di dapur ada daging gosong? Kenapa?" Aku mengalihkan pandangan dari depan sana, pada putriku yang kini berdiri di sampingku. Tangannya mencorat-coret kertas kosong yang ada di atas meja. "Oh, itu tadi Bunda kelupaan, Sha. Shanum mau makan?" Shanum menggelengkan kepala menjawab pertanyaanku. "Shanum mau jajan.""Jajan apa?" Soni datang langsung bertanya pada putriku. "Mau jajan kue Umi Marwah, Om .... Yang rasa strawberry itu, loh. Boleh, ya Bunda ...." Shanum menarik-narik dress-ku, merengek ingin dituruti maunya. Soni yang tidak mau melihat keponakan sekaligus anak tirinya itu menangis, langsung mengiyakan maunya. Dia pun membawa Shanum dan berjalan ke arah toko kue Umi Marwah. Kini pandanganku kembali mengarah pada Mas Sandi yang masih berada di depan sana. Entah apa yang dia inginkan, tapi rasanya aku tidak nyaman dimata-matai seperti itu. Risih dan takut. Khawatir dia akan melakukan kejahatan kepada keluargaku. "Desi." Aku memanggil gadis yang tengah membe
"Apa?" "Eh, ini Mbak Ranum, ya? Bisa, panggilkan Soni, gak, Mbak? Ini penting!" Laki-laki yang tak lain Satria memintaku memanggil Soni. Aku segera keluar dari tempat dudukku, lalu menghampiri Soni yang tengah menata barang di belakang. "Son, ini Satria telpon, katanya kedai kebanjiran.""Hah, apa?!" "Kedai kebanjiran," kataku mengulang kata yang mengagetkan. Soni menegakkan tubuh, mengambil ponsel dari tanganku, lalu menempelkannya ke telinga. "Apanya yang banjir, Sat? Mesin kopi?" Soni berucap panik seraya sebelah tangan di pinggang. Aku yang melihat kepanikan Soni, tidak ingin beranjak. Memilih diam di tempat mendengarkan apa yang terjadi dengan tempat usaha suamiku itu. Beberapa saat Soni berbicara lewat telepon, dia memutuskan untuk pergi ke kedai kopi. Rasa was-was menghampiri, takut terjadi sesuatu dengan Soni yang pergi dalam keadaan panik. Hati ini berbisik, meminta pada sang Khalik untuk keselamatan suamiku dalam perjalanan, maupun masalah yang menimpa agar cepat te
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism