Kenapa Helen jadi berpihak pada Mas Firman? Ia menuduh kami segala aku jadi tambah curiga padanya."Dari awal Tante sudah tidak setuju kamu berhubungan dengan wanita ini, Giska, ternyata feeling Tante tepat. Helen tak sebaik yang kita kira," cetus Tante Soraya.Helen terkekeh, sedangkan aku dan Mbak Giska saling beradu pandang."Apakah ini wajah asli Helen yang sebenarnya?" Mbak Giska bertanya padanya langsung.Namun, wajah Helen berubah kembali. Ia tersenyum sambil menghadap ke arah Mas Firman.Kini Helen berdiri di hadapan kami, kemudian tangannya tiba-tiba merangkul Mbak Giska."Aku kenal betul siapa Giska dan Nurma, jadi aku yakin bukan mereka, Firman. Yang namanya kecelakaan, mana bisa disabotase," jelas Helen. Kini raut wajahnya kembali baik. Binar matanya memperlihatkan kebaikan, tidak seperti tadi yang tampak bagai iblis.Aku terdiam, kenapa Helen melakukan hal ini? Mau menakuti kami, kah?"Maaf, Helen. Jangan main-main dengan pernyataan kamu, ucapan yang tadi bisa membuat ora
"Baiklah, kamu cepat pergi dari sini, jangan sampai kelihatan orang, terutama Nurma." Aku mendengar Helen bicara seperti itu.Entah apa yang ia rahasiakan dariku, sepertinya ini bukan hal yang main-main, aku mendengar pesannya begitu serius.Helen balik badan setelah pria yang diajak bicara pergi meninggalkannya, aku belum sempat melihat wajah lelaki itu, tetapi sudah disuruh pergi oleh wanita yang baru kukenal beberapa hari ini.Wajah Helen sedikit terkejut ketika melihat aku berada di hadapannya. Matanya ia alihkan ke sembarang tempat sambil mengukir senyuman."Ka-mu da-ri tadi di belakangku?" Helen bertanya dengan nada gugup. Sebab Ia bicara agak terbata-bata.Aku tidak langsung menjawab, sebab ingin mengetahui sampai di mana ia merasa panik.Helen menggigit bibirnya, aku dapat membaca mimik wajah yang ia tunjukkan. Ini bukan kali pertamanya aku memergoki orang lain yang kerap menyimpan kebohongan. Salah satu contoh adalah mas Firman dan sedikit demi sedikit kebohongannya pun terbo
Aku semakin serius menanggapi obrolan Tante Soraya, tapi aku pun harus hati-hati terhadap Helen. Sesekali mata ini melirik ke arahnya yang berada di belakangku, tubuh ini sengaja aku belokkan sedikit supaya bisa memantau wanita itu.'Aman,' gumamku dalam hati. Ternyata Helen juga tengah bicara dengan seseorang melalui sambungan telepon, ia tidak memperhatikanku."Orangnya tinggi, kurus, terus pakai sweater hitam. Wajahnya agak menyeramkan gitu ya Tante?" Aku menebaknya, sebab menurut feelingku, orang yang Tante Soraya lihat adalah lelaki yang bersama Helen tadi."Bener banget ciri-cirinya seperti itu. Kamu tahu?" Nanti Soraya membenarkan ciri-ciri yang aku berikan."Tadi Helen ngobrol dengan orang itu, aku dengar sedikit percakapannya, ia menyuruh lelaki tersebut hati-hati terutama padaku," terangku."Kamu dengar seperti itu. Helen tahu nggak ada kamu yang dengerin pembicaraan mereka?" tanya Tante Soraya."Tadi sempat aku tanya tapi karena jawabnya ia tidak jujur jadi aku tidak melanj
"Maksudnya gimana, Dok? Bukankah operasi sudah selesai?" tanya Helen menyusul."Iya, maksud saya setelah melakukan operasi tadi, kami tim medis tidak bisa memastikan apakah pasien akan kembali seperti sedia kala," ungkap dokter.Kali ini aku sangat penasaran. Apa maksud dokter ada masalah dengan kakinya Airin hingga tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa lagi?"Kakinya patah kah, Dok?" tanyaku dengan menebak saja. "Bukan, kondisi kaki pasien memang ada benturan akibat mobil yang menabrak, tapi tidak sampai patah tulang kok," jawab dokter."Lantas apa, Dok?" Helen pun sama sepertiku, ia penasaran dibuat dokter yang berada di hadapan kami."Melihat saat operasi di lehernya tadi, ada kerusakan di pita suara pasien." Aku terbelalak mendengar ucapan dokter barusan. Apa yang ia maksud adalah bisu?"Maksud Dokter, Airin itu akan bisu?" tanya Helen. "Menurut penglihatan kami sebagai dokter seperti itu. Makanya tadi operasi agak lama, kami memanggil Dokter THT secara mendadak, dipastik
Kami menulis secara bersamaan ternyata Eric yang datang. Mbak Siska kelihatan sangat kesal melihat kedatangan laki-laki yang sudah tunangan itu."Kok kamu bisa ada di sini?" tanya Mbak Giska."Tadi sepupunya Yunna yang bilang kalian ada di sini, jadi aku susul aja," ucap Eric.Mbak Giska menyunggingkan senyuman terpaksa. Ia seperti tidak menyukai kedatangan Eric."Ketemu Helen di mana memangnya?" tanyaku ikutan ngobrol."Tadi dia ke rehabilitasi, tempat di mana kakaknya menjalani perawatan," terang Eric.Ternyata Helen pamit pulang menemui kakaknya, aku pikir ada rencana lain di otak dia, entah kenapa aku jadi berprasangka buruk terus pada Helen.Aku menanyakan keberadaan calon istri Eric, yang tidak lain adalah temanku di kampung. Heran dengan lelaki yang satu ini, kenapa setiap bertemu dengan Mbak Giska ia tidak membawa Yunna?Eric pun bercerita pada kami semua bahwa Yunna masih berada di rehabilitasi. Helen tidak mengizinkan Yunna ikut pergi dengannya."Aku baru tahu kalau Helen it
Namun, ketika kami menghampiri, ternyata sudah tidak ada orang."Itu bukan?" tanya Eric.Aku menoleh ke arah seberangnya ternyata orang itu sudah lari. Kemudian Mbak Giska meminta Eric untuk mengejar orang tersebut."Tolong kejar orang itu Eric, jangan sampai lepas. Dia sengaja mengikuti kita tolong introgasi!" Tanpa menunggu waktu untuk berpikir, Eric langsung berlari sekencang mungkin.Kini aku dan Mbak Giska menuju ruangan Mas Firman, untuk memberikan kabar kondisi Airin. Sementara Eric, kami biarkan untuk mengejar, lelaki yang mencurigakan itu. Dimana orang itu sempat berbicara dengan Helen.Setibanya di kamar inap, aku dan Mbak Giska langsung ke tempat Mas Firman bersandar."Bagaimana perkembangan Airin?" Mas Firman sudah langsung menanyakan kabarnya."Operasi sudah selesai, Mas, dan lancar," sahut Mbak Giska."Alhamdulillah kalau gitu, terima kasih ya, maaf aku ngerepotin kalian." Mas Firman menatap wajah kami lirih.Aku menatap Mbak Giska, ingin bertanya siapa yang harus menga
Dadaku bergetar mendengarnya, ia mengakui bahwa kecelakaan itu sebuah rekayasa. Itu artinya pernikahanku dengan Mas Firman juga karena terpaksa."Maksud kamu bagaimana, Mas?" tanya Mbak Giska.Yang aku tahu Airin memang masa lalu Mas Firman, bahkan ia menganggap Mbak Giska lah perebut calon suaminya. Namun aku tidak mengetahui bahwa kecelakaan yang membuat Mbak Giska bisu dan lumpuh adalah sebuah rekayasa."Kamu yang membuat Mbak Giska celaka, Mas?" tanyaku kesal. Darahku mendidih ketika mendengar pengakuannya barusan."Bukan aku tapi Airin, hanya saja aku menyetujui hal ini. Tadinya berpikir setelah mencelakai Giska, maka kami berdua bisa menikah. Namun kenyataannya, Giska malah menjodohkan ku dengan kamu, Nurma," jelas Mas Firman dengan menatapku penuh.Sekarang dia sudah mengaku dan ini sangat jelas. Namun aku tidak tahu bagaimana caranya Airin bisa mencelakai Mbak Giska.Wanita berhijab yang ada di dekatku terdiam. Matanya berair ketika mendengar penjelasan dan pengakuan Mas Firma
"Bebaskan aja, kami mau kembali ke Jakarta," ucap Mbak Giska tanpa senyum sedikit pun. Benar dugaanku, ia sudah tutup buku terhadap Mas Firman dan Airin. Jadi yang berurusan dengan keduanya sudah ia tak hiraukan lagi.Eric tercengang mendengar penuturan Mbak Giska, sebab tadi kakak maduku itu sangat penasaran dengan laki-laki yang mencurigakan."Kok gini? Aku udah capek loh ngejar-ngejar. Kenapa dibebaskan gitu aja, dia udah ngaku tadi memang ngikutin kalian," ungkap Eric.Badan Mbak Giska berputar iya menghadap ke arah di mana Eric berdiri."Kamu nggak ikhlas menolong aku? Kalau nolong jangan ada kata penyesalan dong," timpal Mbak Giska.Tanda Soraya menghela napas, kali ini aku pun merasa terhibur dengan perdebatan mereka. Padahal suasana tadi sempat haru, Mbak Giska juga tadi menangis pilu, sekarang malah berubah jadi galak lagi.Apa kondisi suasana hati Mbak Giska belum stabil? Masih sering berubah-ubah seperti sekarang ini. Aku pun hanya bisa menyimak sambil memperhatikan sikapny
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya