Dadaku bergetar mendengarnya, ia mengakui bahwa kecelakaan itu sebuah rekayasa. Itu artinya pernikahanku dengan Mas Firman juga karena terpaksa."Maksud kamu bagaimana, Mas?" tanya Mbak Giska.Yang aku tahu Airin memang masa lalu Mas Firman, bahkan ia menganggap Mbak Giska lah perebut calon suaminya. Namun aku tidak mengetahui bahwa kecelakaan yang membuat Mbak Giska bisu dan lumpuh adalah sebuah rekayasa."Kamu yang membuat Mbak Giska celaka, Mas?" tanyaku kesal. Darahku mendidih ketika mendengar pengakuannya barusan."Bukan aku tapi Airin, hanya saja aku menyetujui hal ini. Tadinya berpikir setelah mencelakai Giska, maka kami berdua bisa menikah. Namun kenyataannya, Giska malah menjodohkan ku dengan kamu, Nurma," jelas Mas Firman dengan menatapku penuh.Sekarang dia sudah mengaku dan ini sangat jelas. Namun aku tidak tahu bagaimana caranya Airin bisa mencelakai Mbak Giska.Wanita berhijab yang ada di dekatku terdiam. Matanya berair ketika mendengar penjelasan dan pengakuan Mas Firma
"Bebaskan aja, kami mau kembali ke Jakarta," ucap Mbak Giska tanpa senyum sedikit pun. Benar dugaanku, ia sudah tutup buku terhadap Mas Firman dan Airin. Jadi yang berurusan dengan keduanya sudah ia tak hiraukan lagi.Eric tercengang mendengar penuturan Mbak Giska, sebab tadi kakak maduku itu sangat penasaran dengan laki-laki yang mencurigakan."Kok gini? Aku udah capek loh ngejar-ngejar. Kenapa dibebaskan gitu aja, dia udah ngaku tadi memang ngikutin kalian," ungkap Eric.Badan Mbak Giska berputar iya menghadap ke arah di mana Eric berdiri."Kamu nggak ikhlas menolong aku? Kalau nolong jangan ada kata penyesalan dong," timpal Mbak Giska.Tanda Soraya menghela napas, kali ini aku pun merasa terhibur dengan perdebatan mereka. Padahal suasana tadi sempat haru, Mbak Giska juga tadi menangis pilu, sekarang malah berubah jadi galak lagi.Apa kondisi suasana hati Mbak Giska belum stabil? Masih sering berubah-ubah seperti sekarang ini. Aku pun hanya bisa menyimak sambil memperhatikan sikapny
Kami semua menyimak ucapan suster. Namun tidak dengan Mbak Giska, ia sendirian yang cuek seraya tak ingin tahu kabar ini."Pasien sudah siuman, Dokter di dalam tengah memeriksa kondisinya, apakah harus pindah ke ruang rawat inap atau masih memerlukan perawatan intensif." Aku bernapas lega atas berita ini. Mbak Giska pun ikut menunjukkan perasaan lega atas apa yang diberitakan suster tadi.Aku menatapnya sambil tersenyum, orang baik seperti Mbak Giska tidaklah mungkin tega, ia pasti masih mengharapkan kesembuhan Airin."Kenapa liatin aku seperti itu?" Mbak Giska sadar bahwa aku tengah memperhatikan dirinya."Udah, jangan terpancing emosi dengan hal sepele," pesan Tante Soraya.Mungkin saat ini Mbak Giska masih sensitif, jadi hal apapun dibuat besar olehnya."Iya aku juga heran, Giska ini kenapa sih? Dari tadi bawaannya sewot aja," sambar Eric.Mbak Giska menoleh ke arah Eric berdiri. Ia berkacak pinggang dan membuka matanya lebar."Aku sudah bilang sama kamu, Eric, jangan urusi urusan
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya Airin katakan, yang jelas kini jarinya memegang pulpen untuk menulis sesuatu."Tuti ke mana?" Tulisan itu ditulis Airin dengan jelek sekali. Sepertinya jarinya belum cukup tenaga untuk banyak bergerak. Menulis saja kelihatan seperti ceker bebek. Airin bertanya dengan singkat memakan waktu satu menit lebih."Tuti meninggal dunia saat kejadian, Airin," jawabku sangat pelan, hal ini membuat Airin mengernyitkan dahi. Aku pikir ia dengar dengan apa yang kukatakan ternyata tidak dengar. Ia menulis kembali di buku tersebut."Yang keras suaranya," jawab Airin.Aku menghela napas, baru ingat jika bicara dengan orang bisu harus keras karena bisa jadi pendengarannya pun terganggu. Apa mungkin karena suaraku memang terlalu kecil, sebab masih mikir ini ruangan ICU khawatir suster melarang untuk bicara keras-keras.Dikarenakan tidak mau mengeluarkan suara keras, akhirnya aku pun meraih pulpennya dan menuliskan jawaban tentang apa yang ia tanyakan.Aku menuliskan d
Kemudian ia meminta buku itu kembali, tangannya yang masih lemas menulis apa yang ingin ia katakan.Aku menyerahkannya dan membantu Airin memegang buku itu. Dia mulai menuliskan sesuatu dengan tangan gemetar. Airin berusaha mengungkapkan semua yang ingin Ia katakan.Mbak Giska menoleh ke arahku, iya memandang dengan mendongakkan dagu. Aku yang melihatnya langsung mengangguk. Ya aku paham betul bahasa isyarat itu. Mbak Giska seakan bertanya Ada apa dengan Airin? Aku pun menjawab mengangguk sambil mengedipkan mata seraya menjawab dan meminta Mbak Giska untuk tetap menunggu.Jarinya bergerak terus menulis huruf demi huruf. Dengan susah payah huruf-huruf tersebut digabung menjadi satu kata, kemudian kata-kata tersebut sudah menjadi satu kalimat. Aku melihatnya hingga berubah menjadi satu paragraf."Aku minta maaf dulu pada kalian. Aku juga ingin mengakui kesalahan yang telah kulakukan padamu, Giska. Aku yang sudah membuatmu jadi lumpuh dan bisu," terang Airin dalam tulisannya yang ia cata
"Polisi mau ke hotel ini dan membawa surat penangkapan untukku," ucap Mbak Giska membuatku tercengang.Ini benar-benar di luar kepala. Aneh saja, kenapa jadi Mbak Giska yang jadi tersangka?Aku dan Tante Soraya mendekati Mbak Gista. Kami benar-benar kaget dan tidak menyangka ini semua bisa terjadi."Terus polisi akan tangkap Mbak Giska?" tanyaku lagi."Aku belum bilang alamat hotel kita menginap," jawab Mbak Giska.Ternyata telepon belum dimatikan oleh Mbak Giska masih ada suara polisi tersebut menyapanya."Halo," ucap Mbak Giska. Ia mengangkat kembali sambungan teleponnya setelah suasana hatinya sudah tenang. "Saya akan ke kantor polisi sekarang Pak, jadi Bapak nggak usah ke sini." Mbak Giska ingin menyerahkan dirinya, padahal Ia tidak bersalah.Kemudian telepon pun terputus setelah Mbak Giska berjanji akan datang."Kita kantor polisi sekarang atau kalian nggak perlu ikut juga nggak apa-apa." Mbak Giska merapikan kerudungnya dan meraih tas kemudian menaruh ponsel ke dalamnya."Mbak,
Kami bergegas ke ruangan ICU di mana tempat Airin dirawat semalam. Aku dan Tante Soraya mengayunkan kaki setengah berlari. Ini semua supaya bisa cepat-cepat membebaskan Mbak Giska. Aku yakin semuanya ada di tangan Airin. Ia yang tahu semuanya karena sempat bilang bahwa ada yang menyuruh preman itu."Bukankah Airin akan dipindah setelah 2 jam observasi?" Tante Soraya ingat itu, ucapan dokter yang semalam menemui kami."Kita coba dulu ke ruangan ICU nanti suster pasti akan memberikan keterangan lebih lanjut," jawabku.Setelah tiba di depan ruangan ICU. Aku melihat dari kaca, suster yang tengah merapikan tempat tidur pasien bekas Airin."Udah nggak ada, Tante," ucapku."Astaga ini pasti Udah dipindahin sama Helen," ucap Tante Soraya.Aku dan Tante Soraya terdiam sambil memegang pelipis. Kami bingung harus mencari ke mana Airin.Kemudian aku berinisiatif untuk bertanya pada suster jaga."Sus, maaf, boleh tahu pasien yang bernama Airin dipindah ke mana?" tanyaku padanya."Oh bu Airin. Maaf
Suasana semakin mencekam, Mbak Giska selalu disudutkan oleh Helen. Sedangkan tante Soraya dan aku juga ikutan tersulut emosi mendengar tiap kata-kata yang diucapkan Helen.Hingga satpam rumah sakit ada yang menghampiri kami bertiga. Lalu mengusir kami untuk menyelesaikan masalah di luar rumah sakit."Masalah kita belum selesai ya, Helen," ancaman Tante Soraya."Anda yang cari masalah bukan saya, ya!" Jari telunjuk Helen menunjuk ke arah Tante Soraya. "Ingat saya bukan orang sembarangan, yang seenaknya bisa diancam!" Aku membuang muka dari tempat Helen berdiri."Cukup, kalian selesaikan di luar, saya bilang selesaikan di luar!" tegas seorang sekuriti.Kemudian kami sama-sama keluar rumah sakit. Sementara Helen, ia langsung masuk ke mobilnya yang sudah terparkir di depan. Ia pergi begitu saja, tanpa menjelaskan di mana keberadaan Airin."Percuma ngomong sama Helen, Iya nggak bakal ngaku. Maling tidak akan mengakui kesalahannya sampai terbukti bersalah," tuturku pada Tante Soraya."Iya,
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya