Semenjak tidak diizinkan kuliah dan mengajar oleh Bapaknya, Yana memilih bekerja sebagai pelayan restoran di sebuah rumah makan di kota Jambi. Yana hanya mampu bertahan selama 3 bulan. Karena terkadang, di restoran tersebut, Yana bukan hanya mengerjakan tugasnya, tapi juga pekerjaan lain kalau pengunjung sedang ramainya.
Akhirnya, Yana memutuskan untuk balik kampung, tinggal bersama mbahnya di tanah Jawa. Karena tinggal di desa bersama Bapak dan ibunya, Yana juga tidak betah. Entah mengapa, bapaknya suka menjelek-jelekkan orang-orang yang Yana kagumi di desa. Menurut Bapaknya, orang-orang itu cuma sok, sok baik dan sok segalanya.
Hari itu, Yana membulatkan tekadnya untuk kembali ke tanah kelahirannya. Tanah Jawa.
"Kamu baik-baik di sana. Bantu mbahmu menggarap sawah. Paling tidak, kamu bantu masak." Pesan kedua orang tua Yana ketika melepas kepergian Yana kembali ke tanah Jawa.
"Nggeh, Pak … Buk!" Yana menyalami kedua orang tuanya.
Perjalanan menuju rumah Mbah Yana memakan waktu selama 3 hari 2 malam.
Sesampai di halaman rumah Si Mbah, Yana disambut sosok dua orang yang sudah tua, namun masih terlihat segar.
"Cucuku, kamu sudah besar, Nduk." Si Mbah memeluk Yana dengan penuh kasih sayang.
"Mbah, Yana boleh tinggal di sini, kan?" tanya Yana menatap wajah keriput Mbahnya.
"Tentu, Sayang. Sejak dulu kamu memang Mbah suruh tinggal di sini, toh?" Si Mbah menuntun Yana masuk kedalam rumah.
Sehari-hari Yana membantu Mbahnya menjual sayur mayur dari kebun ke pasar. Yana merasa hidupnya jauh lebih baik berada di dekat si Mbah, dari pada bersama Bapaknya yang selalu melarang ini dan itu.
Suatu hari Yana yang sedang membawa sayur mayur ke pasar, dijambret kawanan pencopet. Yana berteriak meminta tolong, hingga seorang lelaki menolong Yana dan berkelahi hebat dengan pencopet tersebut.
Laki-laki itu berhasil menyelamatkan dompet Yana, walaupun badannya memar-memar dan luka-luka.
"Mas, kamu tidak apa-apa?" Yana membantu lelaki itu berdiri.
"Tidak apa-apa, Dek," ujar lelaki itu sembari berusaha berdiri sendiri.
Yana memapah lelaki tersebut, dan mengobati lukanya didepan sebuah warung.
"Makasih ya, Mas … sudah menolong saya," ujar Yana sambil membersihkan luka di lengan lelaki itu.
"Tidak perlu berterima kasih. Saya tidak bisa, melihat kejahatan ada di depan mata saya." Lelaki itu menatap lekat wajah Yana.
"Hmm, siapa namamu?" Lelaki itu bertanya dengan senyuman.
"Saya, Elyana Nabilatul Izza. Panggil saja Yana," jawab Yana tersipu malu.
"Nama yang bagus, perkenalkan, saya Arifin Pratama," ujar lelaki itu seraya mengulurkan tangannya.
Yana menerima ukuran tangan tersebut, dan mereka berjabat tangan.
"Makasih, Mas …."
"Arif, panggil saya Mas Arif, saja."
Sejak saat itu. Yana dan Arif menjadi dekat, dan menjalin hubungan asmara. Hingga akhirnya Arif memutuskan untuk menikahi Yana.
"Apa mas nggak malu beristrikan aku, aku tidak cantik, dan juga tidak kaya." Tanya Yana saat Arif mengutarakan niatnya.
"Mas mencintaimu, mas tidak peduli bagaimana rupamu. Di mata mas, kamu cantik, sangat cantik." Arif membelai rambut Yana dengan lembut.
"Kalau memang mas mau melamarku, sebaiknya, mas melamar melalui bapak saja," ujar Yana.
"Tapi, bapakmu di Jambi, kan? Bagaimana mas mau minta izin?" Tanya Arif bingung.
"Nanti akan kubicarakan dengan bapak lewat telepon," ujar Yana tersenyum bahagia.
Yana merasa perempuan paling beruntung, menikah dengan Arif, lelaki yang memiliki wajah tampan dan berasal dari keluarga berada. Selain itu, Arif juga sudah memiliki pekerjaan yang mapan.
Arif bekerja di sebuah perusahaan sepatu. dan memiliki gaji yang tetap.
Flashback off
"Mama … mama … "
Yana tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara Dila. Yana mengambil Dila dan menggendongnya ke luar kamar.
"Papa … papa …" Dila merengek memanggil papanya.
Yana membawa Dila ke ruang keluarga, dan melihat ibu mertuanya sedang berselonjor kaki di depan televisi.
"Bu, apa ibu melihat mas Arif?" tanya Yana pada mertuanya.
"Gak tau tuh, tadi pergi sambil ngomel-ngomel. Punya istri kok gak bisa nyenangin suami." Bu Wongso menatap Yana dengan sinis.
"Kamu itu, ya! Kalau Arif pulang itu, jangan biki dia kesal! Kayak gini jadinya, kan. Arif pergi. Nggak tau kemana!" ucap Bu Wongso melanjutkan omelannya.
Yana tidak menggubris omongan mertuanya, Yana lalu melangkahkan kakinya ke luar rumah. Yana harus mencari Arif, karena tangisan Dila semakin menjadi, mencari ayahnya.
Yana terus melangkahkan kakinya dengan Dila berada digendongannya, mencari Arif ke tempat biasa nongkrong bersama teman-temannya.
Sampai di Pos Ronda, Yana melihat Arif sedang asyik berbincang dengan teman-temannya.
"Rif, kamu itu betah banget, ya … punya istri kucel, jelek lagi!" seorang teman Arif, yang bernama Andi menepuk pundak Arif disertai anggukan temannya yang lain.
"Yah … mau gimana lagi? Yana itu istri aku, ibunya Dila, betah tidak betah, aku harus tetap bertahan bersama dia." sahut Arif santai.
"Zaman sekarang, anak yang kamu pikirin. Kalau kamu pisah sama Yana, kamu bisa ngurus hak asuh, kan? Andi kembali berbicara.
"Iya, tapi Dila itu masih kecil, mana bisa pisah sama ibunya!" sahut Arif mendelik ke arah Andi.
"Ya udah, kalau gitu biarin aja, Dila ikut sama Yana! Iya nggak, Bro?" Andi mengedarkan pandangan kepada teman-temannya yang lain, disertai anggukan oleh mereka.
"Nggak, Bro! Aku gak mau pisah sama Dila, aku sayang banget sama Dila. Lagipula, tidak ada salahnya, aku bertahan sampai Dila besar." Arif menatap ke arah Andi.
"Jadi, kamu mau terus bertahan pergi kemana-mana sendiri? Tiap ditanyain orang, bilangnya istrimu sibuklah, apalah?" Andi menganggkat satu alisnya.
Arif terdiam, mungkin membenarkan apa yang dikatakan oleh Andi. Sampai kapan dia harus bertahan dengan Yana yang menurutnya malu untuk diajak pergi ke acara penting kantor atau undangan temannya.
Dari kejauhan, Yana meneteskan air matanya. Dila yang tadi menangis, telah tertidur dalam gendongannya.
Yana mengusap air matanya, lalu menjauh meninggalkan tempat tersebut. Yana menahan air matanya agar tidak jatuh, disepanjang perjalanan pulang menuju rumah mertuanya.
Yana menuju kamarnya, namun ibu mertuanya memanggil dengan teriakan.
"Heh, Yana! Dari mana saja kamu? Enak saja pergi begitu lama, Ibu lapar! Sana, masak!" Bu Wongso berdiri dengan berkacak pinggang.
"Sebentar, Bu … Yana baringkan Dila di kamar dulu," ujar Yana berlalu membawa Dila ke kamarnya.
Yana membaringkan Dila di atas ranjang, ketika hendak melangkah ke dapur, Dila kembali merengek, sehingga Yana kembali berbaring dan menidurkan Dila.
Yana kembali larut dalam lamunannya. Ia teringat kembali pada kenangan sebelum menikah dengan Arif.
"Gimana? Bapakmu bilang apa?" tanya Arif dengan bersemangat, malam itu.
"Bapak yang akan ke sini, Mas. Keluargaku akan datang kesini 2 Minggu lagi. Tapi …" Yana tertunduk membisu
"Tapi apa?" Tanya Arif penasaran.
"Bapak maunya kita langsung menikah, Mas … supaya keluargaku nggak bolak-balik lamaran dan nikahan," jawab Yana ragu-ragu."Ya, bagus dong! Berarti kita secepatnya bisa Halal!" Arif menggenggam tangan Yana dengan senyum terkembang."Tapi, aku belum mengenal orang tuamu, Mas. Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?" Yana kembali menundukkan kepalanya."Sayang, aku tidak perduli bagaimana tanggapan orang tuaku, yang penting, kita bisa menikah!" Arif mengangkat dagu Yana dan meyakinkannya.Hari yang ditunggu pun tiba, Arif membawa Ibunya ke rumah Si Mbah untuk melamar Yana.Ibunya Arif, Bu Wongso, turun dari mobil, dan memandang rumah Mbah Yana yang sederhana."Rif, kamu gak salah, bawa ibu kesini?" Bu Wongso menyikut lengan Arif."Nggak salah, Bu. Ini rumah Mbah Marijan, mbahnya Yana. Calon istriku," ucap Arif tersenyum kepada ibunya."Kamu itu, ya, ibu pikir kamu bakalan nikah sama anak ningrat atau anak pejabat, eh … taunya sama orang susah, rumahnya aja jelek begini," Bu Wongso cemb
"Terima kasih, Pak! " Jawab Arif tersenyum bangga.Di perjalanan pulang kerja, Arif membeli buah tangan untuk Istrinya.Arif bersiul bahagia dikarenakan, di kantor sedang ada kenaikan jabatan bagi karyawan yang disiplin, rajin, dan bisa menyelesaikan laporan dengan baik."Assalamualaikum." Arif mengucap salam."Wassalamu'alaikum, Mas … sudah pulang?" Yana menyambut Arif di depan pintu. Lalu mengambil tas kerja Arif dan mencium punggung tangan suaminya dengan takzim."Aku mau cerita sesuatu," ujar Arif menuntun Yana ke dalam kamar."Ada apa, Mas?" Yana tampak bingung dengan sikap Arif."Kamu tau, Sayang? Laporan yang kamu kerjakan, diterima bos. Dan katanya laporan mas sangat rapi. Besok adalah penetapan karyawan yang akan di naikkan jabatannya di kantor. Mas berharap, mas bisa naik jabatan." ujar Arif tersenyum dan memeluk istrinya."Benarkah, Mas? Aamiin … semoga mas naik jabatan," ujar Yana antusias "Mas belikan ini, buat kamu!" Arif memberikan sebuah paper bag kepada Yana."Apa in
"Bu, aku istrinya Mas Arif, lalu apa permasalahannya jika Arif berbuat baik padaku? Bukankah memang kewajiban suami berbuat baik pada Istrinya?" tanya Yana menatap mertuanya. "Tapi, aku ini ibunya! Aku yang melahirkan dia, membesarkan dia, dan menyekolahkan dia sampai sukses seperti itu. Kamu hanya orang asing, yang datang dengan seenaknya merebut Arif dariku!" ujar Bu Wongso. "Aku tidak pernah merebut Mas Arif dari Ibu! Kalau memang pemikiran ibu seperti itu, lalu mengapa ibu mengizinkan Mas Arif untuk menikahi ku?" Yana sudah tidak tahan, Yana mengurungkan niatnya untuk masuk kamar dan berdiri menatap mertuanya. "Itu karena Arif memohon padaku. Tapi yang harus kamu tau, aku tidak pernah merestui pernikahan kalian!" Bu Wongso berlalu begitu saja meninggalkan Yana. Yana masuk ke dalam kamar. Dila sepertinya mengantuk karena terlalu lama menangis. "Kamu yang sabar ya, Sayang … semoga nenekmu cepat mendapat hidayah," gumam Yana di dalam hati. Yana membelai wajah mungil Dila. Hanya
Fitnah lagi Yana kembali menekuni jualan Onlinenya, kali ini dengan cara yang berbeda. Yana meminta kurir untuk tidak lagi mengantar paket Yana Ke rumah mertuanya, karena Yana sendiri yang akan menjemput ke kantor Jasa pengiriman. [Mas, mulai sekarang, jangan antar paket kerumah lagi, ya. Saya akan menjemput paketnya ke kantor sendiri,] [Kenapa, Mbak? pelayanan kami kurang bagus, ya?] [Bagus kok, saya cuma pengen jemput ke kantor aja] [Oke deh, kalau ada paket Mbak Yana, akan saya chat,] Yana bernapas lega. Ibu mertuanya tidak akan bisa lagi mengusik bisnisnya. Disisi lain, Bu Wongso merasa heran karena tidak ada lagi tamu yang datang kerumah untuk mengambil paket. "Sukurin tuh Yana, bangkrut juga akhirnya." gumam Bu Wongso di dalam hati. Sore itu, Bu Wongso menghadiri acara arisan RT tempat tinggalnya. Bu Wongso melihat ibu-ibu tetangganya berwajah glowing. "Wah, ibu-ibu wajahnya udah pada glowing aja, perawatan mahal, ya?" tanya Bu Wongso kepada ibu-ibu yang hadir di sana.
Pulang kerumah Mbah Yana meminta tukang ojek untuk mengantarkannya ke terminal kota, Yana Naik Bis menuju Kota Pati. Sepanjang perjalanan, Yana larut dalam lamunan. Tidak menyangka sama sekali, Arif kembali berbuat kasar, setelah kemaren meminta maaf padanya. Yana sampai di halaman rumah yang sederhana dan asri, Yana tercenung sesaat. Sudah 2 tahun Yana tidak kemari, tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Yana melangkahkan mendekati rumah tersebut. "Assalamualaikum," ucap Yana memberi salam. "Walaaikumsalam," jawaban dari dalam rumah yang sudah bisa Yana tebak, siapa pemilik suara itu. Terdengar langkah tertatih dari dalam, membuka daun pintu, dan terkejut melihat kehadiran Yana. "Yana, Cucuku ...." Si Mbah menjatuhkan sayuran yang berada ditangannya. "Mbah ...." Yana memeluk Si Mbah dengan deraian air mata. "Ya Allah Gusti, bagaimana kabarmu, Nduk?" Si Mbah mencium pipi Yana berkali-kali. "Alhamdulillah, Baik, Mbah." Yana mengusap air matanya yang jatuh. Dila terbangun
DijemputPagi itu, Yana membantu Si Mbah menyusun keranjang sayuran. Sejujurnya, Yana merasa sedih, karena tidak bisa membalas Budi kebaikan Si Mbah selama Yana tinggal di sana sebelum menikah."Nduk, biar Mbah aja yang nyusun sayurannya. Kamu temani Dila main aja." Ujar Si Mbah mengelus punggung Yana."Nggak apa-apa, Mbah. Yana rindu dengan pekerjaan ini," ujar Yana sembari tangannya terus menyusun sayuran.Terdengar suara pintu di ketuk."Assalamualaikum,""Waalaikumsalam," jawab Yana dan Si Mbah berbarengan. Yana membuka pintu, dan sangat kaget, karena Arif telah berdiri di depan pintu dengan wajah lelah."Alhamdulillah, kamu ada di sini, Dek!" ujar Arif sembari memeluk Yana dengan erat. Yana hanya tercenung. Tidak merespon pelukan Arif."Papa ... Papa ... " Dila berjalan menyongsong Arif dengan sumringah."Anak papa, Sayang ... Papa kangen," ujar Arif memeluk dan mencium Dila bertubi-tubi."Dek, pulang yuk, maafkan Mas, Mas khilaf. Mas janji, nggak akan mengulanginya lagi," ujar A
Akal bulusYana menatap wajah gusar Arif. Arif mendekati Yana dengan tubuh lemas."Dek, Ibu sakit, Sekarang di rawat dirumah sakit." Ujar Arif dengan suara yang bergetar. Kekhawatiran tergambar jelas dari raut wajahnya."Lalu?" Yana mendengkus kesal. Yana yakin, kalau itu hanyalah akal-akalan ibu mertuanya agar Arif segera pulang."Lalu? Kamu kok malah nanya gitu sih, Dek?" Arif membelalakkan matanya."Trus, Yana harus bilang apa, Mas?" Ujar Yana masih menampakkan wajah kesalnya."Kita pulang sekarang, ya … kasian ibu, nggak ada yang menjaganya di rumah sakit." Arif meraih tangan Yana agar turun dari dipan."Nggak, Mas! Kamu aja yang pulang. Aku tetap di sini," Yana menepis kasar tangan Arif."Dek, tidak bisakah kamu mengesampingkan egomu?" Arif menatap Yana dengan tajam."Suasana sedang tidak tepat untuk mendengarkan pembelaan darimu!" Lanjut Arif. Masih dengan tatapan tajam."Pembelaan?" Yana mencebikkan bibirnya, lalu kembali memunggungi Arif.Arif megusap wajahnya dengan kasar. Ba
Bermain sandiwara pagi-pagi sekali Yana sudah memasak di dapur. Arif melangkah ke dapur untuk melihat Yana memasak. "Dek, kamu lagi masak apa?" tanya Arif melongok kedalam panci yang terus di aduk-aduk oleh Yana. "Masak bubur, Mas. Kan ibu lagi sakit, jadi harus makan bubur dulu." ujar Yana sembari terus mengaduk-aduk bubur di dalam panci. "Makasih ya, Dek." Arif tersenyum, lalu kembali ke ruang tengah untuk mengecek kondisi Ibunya. "Gimana, Bu? udah enakan?" tanya Arif sembari duduk di samping Ibunya. "Badan ibu rasanya pegal-pegal Rif. Tolong pijitin ya, Nak." Bu Wongso meringis dan menggerakkan kakinya. Arif langsung bergerak memijit ibunya. "Ibu kok bisa sakit kayak gini, sih?" tanya Arif sambil terus memijit kaki ibunya. "Kata dokter kemaren, ibu terlalu capek, Rif." Bu Wongso menekuk wajahnya. "Kok bisa capek sih, Bu? kan ada Yana yang masak." Arif berhenti memijit dan menatap wajah ibunya. "Yana kan sibuk ngider, mana sempat dia masak," ujar Bu Wongso sengaja membuat
Bab 158*****Burhan segera menyalami Fikri dan menceritakan kepada Yana tentang keadaan Bu Wongso yang saat ini tengah sakit dan dirawat oleh warga."Mas mohon kepadamu untuk bersedia menemui Bu Wongso. Kasihan dia," ujar Burhan dengan penuh penekanan.Yana menoleh kearah Fikri untuk meminta persetujuan. Laki-laki Itu tampak berpikir sejenak lalu membuka percakapan."Abang izinkan kamu untuk berangkat ke Pati dengan syarat Abang, ibu, dan Dila ikut menemani kamu ke sana," sahut Fikri.Yana tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Fikri. Mereka pun segera berkemas karena hari itu kebetulan Fikri sedang libur dinas selama dua hari.Sesampai di Pati Yana terkejut melihat keadaan Bu Wongso yang kurus kering tinggal tulang. Perempuan yang dulu bermata tajam dan selalu menyakiti hatinya saat ini menatapnya dengan sendu dan penuh dengan uraian air mata.Yana meraih tangan Bu Wongso lalu menciumnya dengan takzim. Tidak ada kebencian di hati Yana terhadap mantan mertuanya itu. Yana masih
Bab 157*****Bu Lidya pun menyodorkan video yang berada di dalam ponsel Yana ke hadapan Bu Linda. Mata Bu Linda membulat sempurna melihat video perbuatannya berada di dalam ponsel milik Yana."Maaf Bu Linda, saya tidak bisa membiarkan Anda menghancurkan reputasi saya. Jadi saya harus melakukan ini." Yana mengambil ponsel yang berada di hadapan Bu Linda dan segera memasukkannya ke dalam saku blazer nya.Akhirnya dengan penuh malu Bu Linda membereskan semua perangkat pengajarnya dan meninggalkan sekolah elit tersebut.Para majelis Guru yang melihat kejadian itu terheran-heran karena seharusnya Yana yang dipecat bukan Bu Indah.Bu Lidya selaku kepala sekolah segera menjelaskan kepada majelis Guru tentang kebenaran dari peristiwa pencurian tersebut."Wah Bu Yana hebat, ya, punya kamera tersembunyi," puji Bu Maya kepada Yana seluruh.Majelis Guru pun sependapat kalau Yana adalah perempuan yang cerdas.Yana mengulum senyum. Semua berkat bantuan Cinta karena Cinta yang telah meminjamkan kam
Bab 156Kebahagiaan yang sempurna*******Pagi itu sekolah dihebohkan dengan siswa yang kehilangan sebuah jam tangan mahal. Jam tangan pintar seharga lima juta itu lenyap di dalam tas siswa yang bernama Nico. Bocah berumur enam tahun tersebut meletakkan jam tangan pintarnya di dalam tas ketika dia hendak mencuci tangan di wastafel. Wali kelas yang mengajar saat itu adalah Yana dan Bu Linda."Saya yakin banget, Bu, pasti Yana yang telah mengambil jam tangan milik Nico. Secara, kan, Bu Yana baru kali ini melihat jam tangan pintar yang keren seperti milik Nico." Bu Linda menemui kepala Sekolah di ruangannyaBu Lidya selaku kepala sekolah terdiam sesaat. Perempuan berhijab lebar tersebut tidak yakin kalau Yana yang mengambil jam tangan pintar milik Nico. Yana memang berasal dari desa. Namun saat ini Yana berstatus istri seorang dokter terkenal. Tidak mungkin jika dia mengambil jam tangan pintar milik Nico.Linda pun menyarankan kepada kepala sekolah untuk menggeledah tas Yana agar mendapa
Bab 155*****Yana yang melihat Fikri tetap bergeming, memutuskan untuk keluar dari kamar"Loh, Kamu kemana, Yan?" tanya Fikri melihat Yana membawa sebuah bantal keluar kamar."Kalau abang mau Reka juga tidur di sini. Lebih baik Yana keluar dari kamar dan tidur di kamar Dila. Terserah Abang mau ngapain. Mau balikan sama Reka juga nggak apa-apa," sahut Yana dengan wajah sinis."Yan, Tunggu dulu." Fikri menahan pergerakan Yana lalu menoleh kearah Reka yang sedang menenangkan bayinya."Sekarang kamu lihat, kan. Farhan itu tidak merasa nyaman berada di dekatku. Lalu untuk apa kalian tinggal disini? Bukankah lebih baik kalian pergi dari rumah ini karena tidak ada untungnya keberadaan kalian di rumah ini," ujar Fikri menoleh mereka dengan tajam.Reka yang mendengar perkataan Fikri tercekat. Dia tidak menyangka kalau Fikri mengambil kesimpulan seperti itu."Farhan tidak nyaman tidur dengan abang di sini karena kehadiran Yana, Bang. Kalau abang tidurnya sama Aku, Farhan pasti merasa nyaman,"
Bab 154Reka diusir dari rumah Fikri*******Matahari bersinar dengan cerah, sisa-sisa embun masih terasa menyejukkan kulit. Yana membuka tirai jendela lalu menatap jalan raya di bawah sana. Beberapa kendaraan sudah berlalu lalang melintasi perumahan elit tersebut. Ada juga beberapa orang lansia yang sedang berjalan-jalan pagi untuk menjaga kesehatannya.Yana menarik nafas berat, dia belum bisa melupakan perlakuan Bu Wongso kepada dirinya. Perempuan yang dulu sangat dihormatinya itu tidak pernah melupakan Yana sebagai orang yang paling dibencinya. Yana pikir setelah kematian Arif, dan pernikahannya dengan Fikri, Bu Wongso tidak akan lagi mengganggu kehidupannya, tapi ternyata Yana salah. Bu Wongso masih terus meneror bahkan mendatangi kediaman Fikri untuk menuntut harta yang sudah diberikan Arif kepada Dila.Fikri berdiri di belakang Yana, menatap sosok yang sudah beberapa bulan menjadi istrinya. Laki-laki bertubuh tegap itu seakan menyadari kalau istrinya sedang dilema. Fikri membiar
Bab 153*******"Bu Wongso disiksa oleh Bik Yem dan Bik Yem mengambil semua barang Bu Wongso?" ujar Burhan ketika warga tersebut menjemputnya."Benar Mas Burhan, kondisi Bu Wongso saat ini sangat memprihatinkan. Dia kami bawa ke rumah sakit. Bu Wongso meminta kami untuk menjemput Mas Burhan. Kami tidak tahu tujuannya apa tapi sepertinya sangat penting." warga tersebut menyahut.Tanpa banyak bicara, Burhan segera bersiap untuk menemui Bu Wongso di rumah sakit.Mendiang Arif adalah sahabat terbaiknya. Burhan tidak ingin Bu Wongso menderita setelah kepergian Arif karena biar bagaimanapun, Bu Wongso pernah begitu baik kepada dirinya semasa Burhan dan Arif bersahabat dengan baik.Sesampai di rumah sakit, Burhan menangis melihat keadaan Bu Wongso.Perempuan yang dahulu berbadan gemuk itu saat ini kurus kering tinggal tulang. Kondisinya sangat memprihatinkan."Maafkan Burhan, Bu. Maaf karena Burhan telah salah dalam mempercayai orang untuk merawat ibu," ujar Burhan mencium tangan Bu Wongso.
Bab 152**********Malam itu tetangga Bu Wongso yang bernama Bu Nani melirik ke arah rumah Bu Wongso. Rumah itu dalam keadaan gelap dari luar bahkan sampai ke dalam. Bu Nani mengernyitkan keningnya karena setahu dia Bu Wongso tidak bisa kemana-mana."Pak, kenapa ya, rumah Bu Wongso gelap gulita?" tanya Bu Nani kepada suaminya.Suami Bu Nani meletakkan koran yang dibacanya, lalu melirik ke arah rumah Bu Wongso yang memang gelap gulita. Sepasang suami itu saling pandang."Ibu udah dua minggu nggak besuk Bu Wongso. Apa malam ini kita lihat ke sana, ya, pak? Mungkin listriknya mati," ujar Bu Nani kepada suaminya."Tapi, kan, Bu Wongso dirawat sama Bik Yem, dan keuangan Bu Wongso juga dipegang oleh Bik Yem? Masa bisa listrik enggak dibayar," sahut suami Bu Nani dengan heran.Akhirnya sepasang suami istri itu memutuskan untuk mendatangi rumah Bu Wongso.Mereka terkejut ketika berada di depan pintu rumah Bu Wongso karena pintu tersebut dikunci dari luar dan kuncinya masih berada di pintu ter
Bab 151Karma untuk Bu Wongso***Bu Wongso membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa teramat sangat sakit, begitupun dengan seluruh anggota tubuhnya. Bibirnya kelu. Tatapan matanya kosong. Bu Wongso menoleh ke samping, istri Burhan tampak sedang terkantuk-kantuk duduk di samping brangkar Bu Wongso.Dia memanggil istri Burhan, tapi suaranya tidak tembus. Bu Wongso berkali-kali mencoba menggerakkan lidahnya. Namun tetap kelu. Begitupun dengan tangan dan kakinya, begitu kaku sehingga tidak bisa digerakkan.Bu Wongso terus memanggil istri Burhan sehingga menimbulkan suara gagu yang tidak menentu. Istri Burhan membuka matanya dan tersenyum kearah Bu Wongso. Perempuan berwajah sendu itu memegang tangan Bu Wongso dan menanyakan bagaimana keadaan Bu Wongso. Namun, perempuan tua itu hanya menjawab dengan suara gagu, dan tidak jelas apa yang dikatakannya.Burhan masuk ke dalam ruangan dan segera menghampiri Bu Wongso."Ibu sudah sadar?" tanya Burhan bahagia.Bu Wongso menjawab, tapi suaranya
Bab 150*****Bu Wongso melanjutkan perjalanannya pulang ke Pati. Sedangkan Reka kembali ke rumah Fikri dengan senyum seringainya. Reka merasa puas karena hari ini melihat Yana terluka.Sesampai di rumah Fikri, Reka melihat sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa panas. Di sofa ruang tamu, terlihat Fikri sedang membelai wajah Yana yang memerah karena tamparan Bu Wongso."Enggak nyangka, ya, ternyata perempuan kampung bisa juga berotak licik," ujar Reka seraya duduk di seberang sofa Yana dan Fikri."Apa maksud kamu?" tanya Fikri dengan wajah merah padam."Aku hanya nggak nyangka aja, ternyata Yana itu munafik. Diam-diam dia menyimpan harta warisan dari mantan suaminya seolah-olah bang Fikri tidak mampu membiayai hidupnya." Reka bersidekap di depan dada.Fikri menoleh ke arah Reka. "Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, tutup mulutmu dengan rapat, atau aku akan menendangmu dan memisahkanmu dari Farhan," sahut Fikri geram.Reka terkejut mendengar perkataan Fikri. Perempuan itu t