Ini sudah hari keempat, demam Aisyah tak kunjung menurun. Bahkan kali ini tubuhnya lebih lemas dari kemarin. Ilyas yang merasa khawatir melihat istrinya tak berdaya, langsung membopongnya ke dalam mobil. Ia membawa Aisyah menuju rumah sakit terdekat untuk diperiksa kondisinya.
Sesampainya di RS, Ilyas menunggu antrian untuk pemeriksaan. Ia menggenggam tangan Aisyah dengan erat. Perempuan cantik itu tidak sampai hilang kesadaran, tubuhnya hanya terasa begitu lemas dan tak bertenaga. Setelah tiba giliran Aisyah diperiksa, dokter menanyakan gejala aa saja yang Aisyah rasakan."Hm, mohon maaf, Ibu, Bapak, bagaimana jika ibu dicek lab dulu? Untuk memastikan sakit beliau dengan gejala yang sudah disebutkan tadi.."Aisyah dan Ilyas saling berpandangan, "Gimana, Ais?""Ais takut mas...""Hanya cek darah saja kok, Bu. InsyaAllah tidak akan sakit ataupun menakutkan," Ujar sang dokter ramah. "Sayang... Nanti mas temani ya? Kita ikuti instruksi dokter, oke?"Aisyah akhirnya luluh dengan sikap Ilyas yang mampu menenangkan dirinya. Dokter pun meminta perawat untuk mengantar Aisyah dan suaminya ke ruang laboratorium. "Mas gimana kalau nanti ternyata aku sakit aneh-aneh?" Geming Aisyah khawatir. "Ssst.. Ndak boleh suudzon sama takdir Allah. Kita harus selalu khusnudzon ya, sayang. Kan ada mas yang bakal terus nemenin Aisyah... " Aisyah mengangguk pelan, "Nanti temenin ya pas diambil darahnya... "Ilyas tersenyum sembari mengelus kepala istrinya lembut. Sesampainya di ruang laboratorium, perawat yang mengantar Ilyas membukakan pintu. Mereka masuk bersamaan dan menemui tiga orang analis yang bersiaga di sana. "Saya membawa pasien untuk cek darah lengkap. Tolong dibantu ya, mbak," Ujar perawat pada salah satu analis. "Siap, pasiennya yang mana, sus?""Istri saya, mbak.." Jawab Ilyas sembari menunjuk istrinya. "Baik, silakan ibu duduk di sini... "Aisyah lalu duduk di kursi sofa sembari menggulung lengan bajunya. Sementara perawat yang tadi bertugas mengantar Aisyah langsung pamit untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Ilyas masih setia menemani Aisyah sembari mengucapkan kata-kata yang mampu menenangkan istrinya. Tak lama dalam mempersiapkan alat suntik, analis itu kemudian melakukan beberapa prosedur seperti menggunakan tourniqoet sebagai pengikat lengan bagian atas. Kemudian membersihkan bagian bawah lengan yang akan disuntik. Kegiatan itu berlangsung cukup cepat. Aisyah sesekali meringis ketika ia merasakan jarum suntik memasuki pembuluh darahnya. "Sudah selesai. Hasil labnya bisa ditunggu di luar ya, Pak, Bu. Sekitarima belas menit akan segera keluar hasilnya," ujar sang analis ramah. Aisyah dan Ilyas akhirnya menunggu di depan lab, hati Aisyah sedikit porak poranda karena ini kali pertamanya untuk cek darah. Namun kekhawatiran itu juga dirasakan Ilyas, Ia hanya bisa terus menenangkan sang istri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sekitar lima belas menit berlalu, salah satu analis dari ruang laboratorium tadi menyerahkan hasil dengan sikap ramah. Ia mengatakan agar hasil ini diberikan pada dokter yang menanganinya. Ilyas dan Aisyah berterimakasih atas kebaikan sang petugas medis dan langsung bergegas hendak menemui dokter yang memeriksa mereka sebelumnya. Namun sebelum masuk ke ruang dokter, seorang perempuan muda dengan busana dokter menyapa Ilyas. "Ilyas??" Perempuan itu memberikan senyum sumringah pada lelaki yang ia kenal sejak SMA dulu. "Hei. Rana?""Hai! Ternyata kita ketemu lagi di sini ya? Kamu ngapain di sini?""Hehehe, i... Ini, Ran... Aku.. ""Mas Ilyas sedang mengantar istrinya periksa, Mbak. Kenalkan, saya Aisyah, istrinya Mas Ilyas.." jawab Aisyah sembari mengulurkan tangannya yang masih terasa ngilu usai disuntik tadi. "Oh, maaf mbak.. Saya Rana Syadila, teman SMAnya Mas Ilyas." Jawab canggung perempuan dengan rambut yang menjuntai indah itu. Aisyah hanya mengangguk, "kami permisi dulu, Mbak. Ayo, Mas!" Aisyah langsung menarik tangan Ilyas. Ia merasa perempuan di hadapannya itu terlalu berlagak manis dengan statusnya yang hanya teman SMA. Ilyas juga tidak menolak ajakan Aisyah, ia hanya melambaikan tangan pada Rana dan mengantar Aisyah ke dalam. Setelah dokter memeriksa hasil lab Aisyah, dokter mengatakan bahwa hasil tes darah Aisyah semuanya bagus, "Bu Aisyah, apakah kegiatan ibu sebelum sakit begitu sibuk?""Iya, Dok. Kebetulan di perusahaan saya sedang banyak event untuk diselesaikan," ujar Aisyah lembut. "Hem, waktu tidur Ibu apakah tercukupi?""Dua minggu terakhir ini saya tidur hanya sekitar dua jam sehari, Dok," jawab Aisyah lagi. Ilyas yang biasanya membantu Aisyah menjawab pertanyaan dokter, sekarang ia diam seribu bahasa, sejak masuk ke ruang dokter ini, ia membawa pikirannya melayang pada hal lain. "Nah, berarti kondisi Ibu saat ini bisa disebabkan karena kelelahan yang berlebih, Bu. Dari hasil tes lab Ibu, tidak ada masalah. Semuanya bagus dan normal. Ini berarti daya tahan tubuh Bu Aisyah sedang menurun karena terlalu memforsir tubuh. Ibu minum air sehari biasanya berapa banyak bu?""Saya lupa, Dok, hehe. Dari saking sibuknya, paling saya minum hanya sebotol air mineral sedang sehari.. ""Hmm.. Sebenarya tidak masalah jika banyak kegiatan dalam pekerjaan kita, Bu. Selama kita bisa mengatur amunisi makanan bergizi dan istrahat yang cukup untuk tubuh kita.. InsyaAllah daya tahan tubuh kita akan lebih baik. Sesekali juga ibu perlu mengonsumsi vitamin..""Begitu ya, dok...""Saya kan berikan resep beberapa obat. Silakan resep ini ditebus di apotek depan dan dikonsumsi sesuai instruksi yang tertulis. Jika selama tiga hari belum ada perubahan, ibu bisa kembali lagi ke sini untuk pemeriksaan lanjutan... ""Baik, dok... "Sang dokter pun menuliskan beberapa nama obat di sebuah kertas dengan kop nama Rumah Sakit. Aisyah melihat ke arah Ilyas, sedari tadi suaminya itu bengong terus. Ia kemudian menyikut lengan sang suami. "Kamu kenapa sih?" Tanya Aisyah heran, ia memerankan suaranya agar tak begitu mengganggu dokter yang sedang menulis resep. "Ga... Gak papa, Ais. Mas mau ke kamar mandi dulu ya?" Jawab Ilyas tak kalah pelan. "Loh, mas. Ini udah tinggal nunggu dokternya nulis resep loh.. Tahan bentar nanti kita keluar ruangan bareng," Pinta Aisyah pelan. "Nanti kamu tunggu mas di apotek depan saja. Mas udah ga tahan ini. Tunggu di sana ya..." Ujar Ilyas lalu berbalik pergi. "Kok suaminya pergi duluan, Bu?" Tanya sang dokter sembari menyerahkan resep obat pada Aisyah. "Hehehe, mau ke kamar mandi katanya, Dok. Kalau begitu resepnya saya terima ya, Dok. Terimakasih banyak." Aisyah tersenyum manis ada dokter perempuan yang sudah paruh baya itu. Ia berjalanan perlahan dengan tubuhnya yang lemas. Jika Ilyas tidak keburu pergi, Aisyah tidak perlu khawatir sebab suaminya itu akan menuntun Aisyah berjalan perlahan sebab kondisi tubuhnya masih lemas. Lima belas menit Aisyah berjalan perlahan, akhirnya ia sampai juga di apotek yang jaraknya sebenarnya bisa dijangkau dalam jarak tujuh menit berjalan normal. Aisyah belum melihat tanda-tanda kehadiran Ilyas. "Dia ke kamar mandi ngapain sih? Masak selama ini?" Ujar Aisyah cukup kesal. Ia kemudian memberikan resep obat pada resepsionis apotek. Sembari menunggu, Aisyah memilih duduk di kursi yang disediakan di sana. Ia mengambil handphonenya dan memanggil nomor Ilyas, tapi nihil, tak ada respon sama sekali. Sampai obat Aisyah selesai diambil dan dibayar, Ilyas belum juga muncul. Aisyah tetap duduk di bangku apotek sebab Ilyas memintanya menunggu di sana. Kepalanya mulai terasa pusing, ia belum makan apapun sejak datang ke RS ini. Aisyah mencoba menelpon Ilyas lagi, tapi tak jua diangkat. Waktu sudah berlalu tiga puluh menit sejak Aisyah duduk di apotek. Kepalanya makin pusing. Ia melihat sekeliling, lalu samar-samar matanya menangkap pemandangan yang entah bagaimana cukup mengiris hatinya. Tidak jauh dari apotek, suaminya sedang tertawa begitu akrab dengan seorang perempuan berjas putih. Itu perempuan yang ia temui tadi, teman SMA Ilyas. Mereka menikmati makan bakso berdua. Aisyah merasa hatinya dihujam ribuan bebatuan. Tanpa pikir panjang, ia memesan taksi online lalu pulang dengan kemarahan yang tak terkira. "Bunda.. Aku mampir ke rumah ya, kangen masakan bunda.. " Tulis Aisyah di kolom chat pada Ibu kandungnya. Aisyah mengirim pesan itu dengan hati yang cukup remuk. "Tega ya mas? Istrimu lagi sakit, belum ada sesuap makanan yang masuk dalam perutku, tapi kamu malah dengan santainya makan berdua dengan perempuan lain.. Apa apa sebenarnya denganmu, Mas? Siapa perempuan itu?" Kalimat itu bergaung di pikiran Aisyah dengan air mata yang mengalir perlahan. Tiba-tiba bayang-bayang ketakutan atas kehilangan Ilyas bergema di hatinya. Ia makin tersedu. Rasa cinta yang ia bina dua tahun ini, rasanya tak akan mampu jika ia harus kehilangan lelaki yang telah menjadi rumah untuk segala ceritanya itu. ***"Aisyah... Loh, Nduk, kok sendiri? Ilyas mana?" ujar sang bunda kala melihat putrinya datang dengan kondisi lemas. "Mas Ilyas masih ada kerjaan, Bun. Aisyah udah kangen banget jadi ke sini deh.. " ujar Aisyah mencoba menutupi remuk hatinya. Sang bunda hanya mengernyitkan dahi. Ia kenal betul dengan putrinya. Aisyah bukan tipekal orang yang mau keluar sendirian ketika kondisinya sakit. Seluruh orang yang mengenalnya dengan baik sangat paham betapa manjanya Aisyah ketika sedang sakit. "Yaudah, sekarang kamu tiduran dulu di kamar, gih. Badanmu demam gitu. Sudah makan belum?" ujar sang Bunda yang memilih tidak mengorek masalah keluarga yang Aisyah alami hingga berani datang ke rumah dalam keadaan sakit. "Hehehe, belum bun. Aisyah kangen masakan bunda jadi gak makan dulu sebelum ke sini.. " kilah gadis cantik itu. "Kalau gitu kebetulan banget. Bunda lagi masak soto kesukaan kamu. Bunda ambilin dulu ya? Abis makan bunda antar ke kamar." Aisyah mengangguk pelan, perlakuan sang bunda se
Aisyah mencoba memejamkan mata, namun tak kunjung mampu menapak alam mimpi. Pikirannya terus melayang pada Ilyas dan teman perempuannya itu.Kring kring kringTelepon Aisyah berdering lagi. Ia menatap layar handphonenya ragu-ragu. Hati kecilnya meminta ia mengangkat telepon itu dan membicarakan semuanya dengan jelas. Tapi egonya tak ingin kalah, ia ingin setidaknya Ilyas menyadari kesalahannya. Apa sulitnya jika ia mengirim pesan "maaf" begitu? Aisyah akhirnya tak merespon telepon Ilyas, namun handphonenya berdering lagi. Aisyah terpaksa mengangkatnya. Mendengar sapaan suara Ilyas di seberang sana, hati Aisyah bekecamuk. "Aisyah dimana? Mas cariin dari tadi tapi kata orang-orang di sekitar RS ngelihat Aisyah udah pulang...""Aku di rumah bunda, Mas. Jangan cari aku, nanti aku pasti pulang.""Ais. .. Kenapa? Kamu tiba-tiba pulang duluan, kondisi kamu masih lemas. Aku khawatir... ""Khawatir? Memang ada ya mas orang khawatir tapi malah makan berduaan sama perempuan lain?"Hening, Ilya
"Aisyah... " Ilyas mendekati istrinya, ia menggenggam erat tangan Aisyah."Mas hanya lupa tidak membuang foto itu. Sudah tidak ketahuan dimana tempatnya sejak bertahun-tahun lalu. Mas bahkan tidak ingat kalau foto itu ada di tumpukan baju. Terlebih itu baju kaus yang jarang mas pakai. Jadi, mas bukan menyimpan foto itu dengan sengaja, Ais. Melainkan mas tidak lagi ingat dengan keberadaannya jadi mas tidak mencarinya, bahkan mas kira foto itu sudah hilang... " Ilyas menjelaskan dengan panjang lebar sembari menatap mata coklat istrinya.Aisyah mendengarkan alasan Ilyas dengan seksama, menimbang-nimbang kelogisan dari alasan yang Ilyas sampaikan. Lama ia tak menjawab, Ilyas mengecup kening Aisyah."Saat ini, mas hanya ingin bersamamu, sayang. Jangan memikirkan hal yang tidak baik ya?" Ilyas tersenyum dengan wajah memohon, membuat segala kecurigaan Aisyah perlahan memudar. Perempuan itu benar-benar tulus mencintai Ilyas, ia bahkan bisa mudah luluh hanya dengan wajah memohon yang Ilyas tam
Penjelasan Ilyas tentang Rana itu benar adanya, ia tidak berbohong. Rana memang menemui Ilyas karena ia ingin meminta bantuan perusahaan Ilyas untuk membangun rumah yang akan ia tempati bersama sang suami.Namun pernyataannya yang mengatakan bahwa ia sekadar kasihan pada Rana itu hanya omong kosong belaka. Ia menerima tawaran Rana untuk makan bersama meski istrinya sedang sakit karena ia sangat rindu pada gadis itu. Perempuan yang menjadi cinta pertamanya sejak SMP.Kenyataan itu pada akhirnya terus tersembunyi. Usai penjelasan itu, Aisyah tak lagi mengungkit perihal Rana. Sikap Ilyas pun tetap saja manis pada istrinya.Seminggu sudah berlalu, Aisyah kembali aktif bekerja. Ia mengajar di salah satu sekolah negeri di kotanya. Sebagai pekerjaan berpenghasilan kecil, Aisyah memiliki hobi lain yang menjadi ladang rezekinya. Ia memiliki pekerjaan di bidang daring, terkhusus dalam bidang desain. Perempuan itu memiliki banyak penghasilan dari pekerjaan desainnya."Mas, nanti malam kamu rapa
Seharian penuh Ilyas fokus pada pekerjaannya. Badannya terasa lelah. Setelah rapat dengan klien, Ilyas menghela napas sejenak di ruang kerjanya. Ia mengambil handphonenya, fotonya dan Aisyah ketika hari pernikahan terpampang jelas di layar handphonenya.Ilyas menghela napas berat, "Aku sudah terlalu banyak menyakiti kamu, Ais. Dua tahun ini.. aku sudah berusaha mencintaimu. Tapi kenapa sulit sekali rasa itu datang? Bayang-bayang rana bahkan lebih nyaman untuk ku kenang... " lirih lelaki itu dengan wajah letihnya.Ting!Handphone Ilyas berbunyi, itu pertanda sebuah pesan masuk. Terpampang nama Rana di sana. Ilyas langsung membukanya, hatinya tiba-tiba seakan dipenuhi bunga-bunga indah.Sebuah foto terpampang di ruang chat antara Rana dan Ilyas. Itu foto undangan pernikahan. Ilyas membaca foto itu dengan saksama, nama Rana yang terukir dengan tulisan berwarna emas bersanding dengan nama seorang lelaki dengan pangkat tinggi.Hati Ilyas pilu melihat undangan yang Rana kirim. Pikirannya ka
"Sayang, hari ini jadi ketemuan kan? Aku dah kangen banget loh!" Rana tersenyum bahagia dengan pesan yang baru ia dapat. Kekasihnya itu bahkan telah merindukannya setelah setengah hari tak bertemu.Bucin, mungkin istilah itulah yang tepat untuk disematkan pada lelaki yang menjadi idaman para siswi di SMA favorite negerinya. Dari luar tampak dingin, mempesona, namun ternyata begitu manja ketika bersama gadis pintar dengan wajah lembut itu."Jadi, kamu jangan terlambat!" balas gadis itu dengan memberi banyak emoji di akhir pesan.Gadis bernama Rana itu kemudian bangkit dari tempatnya duduk. Ia menatap dirinya di depan cermin.Cantik, pintar, menjadi idola sekolah, dan berbakat. Dia nyaris sempurna. Hanya satu yang tak bisa ia dapat, keharmonisan keluarga. Berbeda dengan kekasihnya yang memiliki keluarga sempurna.Kurangnya kasih sayang dari orang tuanya membuat Rana sempat terjebak dalam pergaulan nakal; bermain di club; mabuk; berjudi, ia
Rana merasa tubuhnya mulai benar-benar kepanasan. Ia bahkan tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Akalnya hanya menginginkan sesuatu yang mampu memenuhi birahinya.Lelaki itu melihat perubahan Rana dengan wajah puas. Ia mendekati Rana, wajah mereka kinya hanya berjarak sejengkal, "Ibumu sungguh bodoh, Rana. Dia menukar anak perempuannya dengan uang. Bukankah ini berarti dia menjualmu?" ujar lelaki itu lalu mengecup leher jenjang Rana.Rana tak bisa menahan diri, hatinya ingin menolak semua sentuhan bejat itu. Tapi akalnya menginginkan semua sensasi menggairahkan di tubuhnya."Memang benar, kebangkrutan yang melanda keluargamu perlahan akan menunjukkan wajah asli mereka.. " ujar lelaki itu yang kini mendorong tubuh Rana ke atas kasur."Aku mohon.. jangan lakukan ini.. " lirih Rana dengan air mata yang mulai mengalir."Hmm? Apakah kau yakin tidak mau ini??" lelaki itu menciumi seluruh tubuh Rana. Gadis cantik itu tak bisa mengelak, tubuhnya begitu haus akan gairah. Meski ia tahu semua
Sikap Rana membuat Ilyas mengingat kejadian bertahun-tahun yang lalu. Ia ingat betul bagaimana dirinya itu kehilangan arah ketika Rana meninggalkannya. Jika bukan karena ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa suatu saat nanti bisa kembali bertemu dengan Rana, maka Ilyas tidak akan menapak dunia kuliah.Setelah merasa puas bersedih dengan dirinya sendiri, Ilyas pulang dengan wajah kusut, hatinya kacau. Ia melangkahkan kakinya dengan gontai ke dalam rumahnya.Ketika tiba di ruang tengah yang berdekatan dengan tangga untuk naik ke kamarnya di lantai dua, Ilyas melihat makanan kesukaannya tersaji di atas meja. Ia melirik ke sofa, istrinya meringkuk tertidur di sana.Ilyas menghela napas berat, ia mendekati Aisyah. Ditatapnya wajah cantik Aisyah dengan rasa bersalah, "Aku kira, tidak lagi ada kesempatan untukku bertemu dengan dia, Ais. Tapi ternyata aku bertemu dengannya, perempuan yang aku cintai sampai detik ini. Aku sungguh telah menyakitimu, Ais.. " batin Ilyas dengan mata berkaca-kaca.I
Ilyas datang ke rumah Rana tepat ketika senja mulai tenggelam. Di tangannya kini penuh dengan barang-barang bermerk yang sengaja ia beli untuk membuat Rana senang.Ilyas memarkir sepeda motornya di garasi samping rumah Rana. Selain memberi barang, Ilyas juga membelikan beberapa makanan kesukaan Rana.Bi Rumi dengan sigap membantu Ilyas membawa barang-barang itu. Melihat kedatangan Ilyas dengan seluruh bawaannya membuat hati Rana senang."Kamu gak naik mobil, Yas?" tanya Rana penasaran."Dibawa Aisyah, Ran. Ck, dia masih marah sama aku gegara masalah kemarin.. " ujar Ilyas lalu mendekati Rana, ia duduk di depan perempuan cantik itu.Rana mengangguk, "Ini kamu bawa apa aja sih kok banyak banget?" ia mengalihkan pembicaraan."Kemarin kan aku janji mau beliin baju-baju buat kamu. Coba kamu lihat dulu deh, suka gak?"Rana pun membuka satu per satu bingkisan yang Ilyas bawa. Dia suka semua barang-barang itu. Ilyas memang selalu bisa memahami kesukaan Rana.Keriangan Rana membuat Ilyas begit
Usai mendapat telepon dari Rana, pagi Ilyas dipenuhi rasa semangat. Berbeda dengan Aisyah yang memulai pagi masih dengan rasa pilu.Meski begitu, Aisyah tetap melakukan kewajibannya. Dia menyiapkan sarapan untuk Ilyas sebelum berangkat sekolah. Bedanya, ia tidak sedikit pun memulai pembicaraan.Ilyas yang melihat Aisyah menyiapkan makanan, senyumnya mengembang begitu sumringah. Ia mendekati sang istri laiknya tak terjadi apapun."Hai cantik.. masak apa nih?" ujarnya sembari mendekati Aisyah.Perempuan bermata cokelat itu merasa tak nyaman, risih dengan perilaku Ilyas. Bukankah harusnya dia berkata "Sayang? maafin aku... " begitu?Aisyah tak menjawab ucapan Ilyas, ia tak berminat untuk berbicara pada lelaki yang membuat perasaannya gundah itu.Menyadari sikap Aisyah yang berbeda, Ilyas langsung menghembuskan napas berat. Ia tidak ingin memperpanjang persoalan, terlebih ketika hatinya sedang bahagia pagi itu.Maka Ilyas hanya mengecup pipi Aisyah, lalu bergegas ke meja makan tanpa menga
Ilyas mendengus kesal, segala ucapannya tak ada yang mendapat respon dari sang istri. Ia bingung harus melakukan apa lagi untuk membuat sang istri mempercayainya kembali?"Kalau kamu diam gini, aku bingung harus apa, Ais.." ujar Ilyas penuh penekanan.Aisyah hanya menangis, ia makin terisak. Sakit hati yang ditorehkan Ilyas begitu memilukan. Ilyas tak tahan lagi, dia akhirnya melontarkan satu kata yang membuat istrinya makin pilu."Yaudah, Ais. Terserah kamu aja," tukas Ilyas sembari meninggalkan kamar.Ilyas yang biasanya tidak akan pernah menyerah untuk membujuk Aisyah saat marah, kini telah berbeda sebab ada pembanding yang ia anggap lebih baik.Aisyah meringkuk dalam tangis dan kesalnya. Kali ini, ia akan membiarkan dirinya sendiri. Tenggelam dalam tiap air mata yang mengalir deras. Membiarkan seluruh kejadian malam ini berjalan laiknya air mengalir."Aku akan membiarkan kamu untuk kali ini, Mas. Biasanya, kamu akan terus memelukku sampai aku selesai menangis dan mau menceritakan
Aisyah menghela napas berat, "Kalau begitu, pulang sekarang, dan jangan pernah lagi datang ke tempat ini!" tegas Aisyah dengan hati yang masih membara.Ilyas langsung mematung, ia tidak menyangka istrinya akan meminta hal seperti itu. Bukankah biasanya istrinya berhati begitu lembut? Bagaimana pun dia membiarkan dirinya tidak lagi datang ke sini sedangkan Rana masih dalam kondisi tidak baik?Melihat suaminya yang hanya diam merenung, Aisyah menekankan kembali perkataannya, "Kamu kan yang minta aku membuat permintaan? Kamu bilang akan mengabulkan semuanya, tapi kenapa diam aja, Mas? Gak bisa menerima?!"Ilyas langsung tersedar dengan ucapan Aisyah, "Eng-enggak gitu, Ais. Aku cuma memikirkan.. kalau aku gak boleh ke sini lagi, bagaimana aku bisa menebus kesalahanku pada Rana?" tanya Ilyas memelas.Aisyah mengernyitkan dahinya, "Itu urusanmu, Mas. Kenapa kamu bertanya hal itu padaku? Kamu harus tahu, Mas. Aku gak peduli, mau kamu bisa balas budi atau enggak. Lagi pula menurut aku apa yan
Hampir seharian penuh, di hari libur itu, Ilyas mendedikasikan waktunya untuk Rana. Dia menghibur perempuannya yang sedang pilu. Semua orang di rumah besar itu tahu akan kehadiran Ilyas, termasuk Yusuf dan Arka.Anak kecil itu sempat mendatangi Rana, ia memeluk ibunya dengan kesedihan mendalam. Ilyas hanya diam, dia tidak suka Arka. Jika bukan karena menjaga hati Rana, ia pasti akan mengusir anak dari lelaki yang telah merebut kekasihnya itu.Arka lagi-lagi tertidur usai menangis di pangkuan Rana. Perempuan itu meminta bantuan Yusuf untuk menidurkan putranya di kamarnya sendiri."Maaf, Nyonya. Ini hari pertama Tuan Eza meninggalkan Anda. Saya rasa bukan hal yang sopan jika ada lelaki lain yang terus mendampingi Anda di sini," ujar Yusuf berani, dia geram melihat perilaku Rana yang membiarkan Ilyas di sisinya di hari duka suaminya.Rana berdecak kesal, "Jangan ikut campur, Suf. Urusan saja urusanmu sendiri!"Yusuf menatap Rana tajam, "Tuan Eza sangat mencintai Anda, Nyonya. Bukankah An
Prosesi pemakaman Eza berjalan lancar. Banyak orang yang datang untuk mengucap duka. Aisyah terus menemani Rana yang kini tak banyak bicara. Perempuan itu tak bisa menutupi kekacauan dirinya. Arka yang sejak tadi digendong Yusuf juga tak kalah murung. Anak kecil itu pintar, dia sudah tahu makna kata meninggal. Pergi selamanya, dan tak lagi bisa bertemu. Ia sama sekali tak mendekati Rana, sebab Yusuf memeluknya erat. Kondisi Rana saat ini juga tidak stabil, Yusuf khawatir, Arka hanya akan jadi pelampiasan emosi Rana. "Kamu pulang aja, Ais," lirih Rana sembari menatap perempuan berjilbab yang menemani Rana sejak tadi. Tatapannya kosong, kilatan harapan yang biasanya merona tak lagi ada di sana. "Aku masih ingin nemenin kamu, Rana... " ungkap Ais yang juga menatap wajah pucat Rana. "Aku ingin sendiri," Rana memalingkan wajah, ia tidak bisa mengekspresikan diri dengan bebas ketika ada Ais. Ia malu untuk menampakkan sisi buruknya di depan perempuan yang begitu sempurna di mata Rana.
Detik demi detik terasa ngilu usai kepergian Eza. Mata Aisyah sembab, Yusuf sudah mengurus pemakaman Eza. Saat ini, jenazah Eza dalam proses dimandikan.Rana terbangun, tubuhnya terasa lebih segar usai beristirahat penuh. Matanya yang mengerjap perlahan mulai menangkap keberadaan Aisyah dengan kepiluan di wajahnya."Ais... "Suara lirih Rana membuat Aisyah tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum ketika mendapati Rana telah sadar dari tidur panjangnya."Gimana kondisi kamu, Rana? Ada yang sakit? Aku panggilkan dokter ya... " Aisyah begitu peduli pada perempuan cantik itu.Rana menggeleng, "Tubuhku terasa lebih segar, Ais," Rana tersenyum kecil, kemudian ia mengedarkan pandangannya ke tempat tidur Eza. Kosong. Tidak ada siapapun di sana."Eza dimana, Ais? Dia udah sadar belum?" Raut kekhawatiran tampak jelas di wajah Rana.Aisyah diam, ia harus berkata apa? Rana baru saja sadar, ia tidak ingin perempuan itu kembali down mendengar kabar tentang Eza."Ais?""E-eh sorry. Eza.. Em, dia udah
Pukul empat pagi, Aisyah semalaman berjaga di ruangan Eza. Jujur, matanya sudah terasa berat. Tapi itu bukan masalah, sebab bagi Aisyah, kebermanfaatan dirinya untuk orang-orang yang ia sayangi itu lebih penting dari pada dirinya sendiri.Adzan subuh berkumandang lima belas menit kemudian, Aisyah telah siap menghadap Sang Maha Esa. Sajadah yang ia gelar menjadi tempatnya merendahkan diri sembari berdzikir padaNya. Semalam penuh ia menghadirkan dirinya untuk bercerita dan meminta hal-hal baik untuk orang-orang di sekitarnya.Usai shalat subuh, Aisyah membangunkan Ilyas. Lelaki itu menggeliat, "Shalat dulu, Mas," ujar Aisyah lembut. Dengan wajah setengah mengantuk, Ilyas bangun. Ia mandi, berwudhu, dan melaksanakan shalat.Usai shalat, Ilyas langsung pamit pergi bekerja. Dua minggu terakhir selalu seperti itu. Ketika Aisyah sempat ingin meminta waktu Ilyas sebentar, ia bilang bahwa kliennya akan datang sangat pagi jadi ia tidak boleh terlambat. Tak ada waktu bagi Aisyah menanyakan perub
Aisyah dan Ilyas berjalan cepat menuju ruangan Eza dirawat. Aisyah khawatir dengan kondisi Rana yang pasti teramat sedih, meski ia juga cukup mengkhawatirkan keadaan Eza, bagaimana pun mereka berteman dekat ketika kecil.Ketika sudah sampai di ruangan Eza, Ilyas masuk lebih dulu. Dia melihat Rana yang menangis pilu, matanya sembab, wajahnya begitu sendu."Rana.. kamu gak papa?" ujar Ilyas sembari mendekati perempuan yang masih ia cintai, sementara Rana tak merespon apapun. Dia mengalihkan pandangannya pada Aisyah yang baru masuk ke dalam ruangan."Ais..... " suara Rana bergetar. Perempuan berjilbab itu langsung mendekati Rana dan memeluknya erat."Sabar ya, Rana. Aku di sini sekarang. Aku temenin kamu jagain Eza, dia pasti bakal baik-baik saja, oke?" Aisyah mengelus rambut Rana. Ilyas yang merasa tak direspon hanya bisa mundur, hatinya bergemuruh ketika melihat Rana begitu peduli pada Eza.Sementara Aisyah, meski hatinya gundah atas sikap Ilyas, ia memilih untuk tak memikirkannya saat