"Aisyah... " Ilyas mendekati istrinya, ia menggenggam erat tangan Aisyah.
"Mas hanya lupa tidak membuang foto itu. Sudah tidak ketahuan dimana tempatnya sejak bertahun-tahun lalu. Mas bahkan tidak ingat kalau foto itu ada di tumpukan baju. Terlebih itu baju kaus yang jarang mas pakai. Jadi, mas bukan menyimpan foto itu dengan sengaja, Ais. Melainkan mas tidak lagi ingat dengan keberadaannya jadi mas tidak mencarinya, bahkan mas kira foto itu sudah hilang... " Ilyas menjelaskan dengan panjang lebar sembari menatap mata coklat istrinya.Aisyah mendengarkan alasan Ilyas dengan seksama, menimbang-nimbang kelogisan dari alasan yang Ilyas sampaikan. Lama ia tak menjawab, Ilyas mengecup kening Aisyah."Saat ini, mas hanya ingin bersamamu, sayang. Jangan memikirkan hal yang tidak baik ya?" Ilyas tersenyum dengan wajah memohon, membuat segala kecurigaan Aisyah perlahan memudar. Perempuan itu benar-benar tulus mencintai Ilyas, ia bahkan bisa mudah luluh hanya dengan wajah memohon yang Ilyas tampakkan.Bukan tanpa sebab, atau sekadar cinta buta, Aisyah percaya pada Ilyas karena selama ini suaminya memperlakukan dirinya bak seorang ratu. Ia selalu menjaga pandangannya ketika berada di antara banyak perempuan saat mengunjungi tempat-tempat ramai.Meski Aisyah selalu merasa ada kekosongan yang menyertai tatapan kasih suaminya, tapi ia selalu menepis semua itu. Ia lebih memilih menganggapnya sebagai prasangka belaka, pilihan yang esok akan membuatnya kelu."Yaudah, foto ini aku buang mulai sekarang. Gak papa kan?""Tentu, dong. Apapun yang dikatakan istriku," Ilyas menyetujui itu hanya karena ia sudah memiliki kontak Rana, ia bisa melihat foto Rana kapan pun."Hmm, baiklah.. sekarang pertanyaan kedua, kenapa kamu makan berdua sama dia dan melupakan aku?"Deg, pertanyaan itu membuat Ilyas mematung. Ia jelas memilih bersama Rana karena rindunya begitu menggebu untuk sekadar ngobrol berdua dengan cinta pertamanya itu. Tapi ia tidak mungkin mengatakan hal sebenarnya itu kan?"Mas?!" Aisyah menepuk pundak Ilyas pelan, "Kok bengong sih??!!" ujarnya merasa sedikit kesal."Eh.. sorry.. Em.. mas tadi tiba-tiba merasa malu aja.. merasa sangat bersalah karena gak segera jemput Ais... jadi... " Ilyas berhenti sejenak, dia menunduk sembari menunjukkan raut sesalnya."Udah, aku juga dah maafin mas, jangan terlalu menyalahkan diri oke? Aku cuma penasaran aja kenapa mas bisa tiba-tiba makan berdua sama dia. Apa kalian ada perbincangan penting perihal karier atau semacamnya begitu?" Aisyah menatap mata Ilyas dengan rasa penasaran yang menggebu.Ilyas kemudian mengangguk pelan, "Saat aku ke kamar mandi, aku gak sengaja ketemu dia. Kami bertukar kabar, dan ketika dia tahu bahwa mas kepala kontruksi, dia berencana meminta bantuan perusahaan mas untuk membangun rumah barunya yang akan ditempati bersama suaminya nanti. ""Loh dia udah ada calon suami gitu kah mas?""Ya... cuma kasian sih, calon suaminya kemarin terkena penyakit kanker, udah stadium akhir. Jadi si Rana ini semacam ingin ngasih surprise di sisa waktu hidup calon suaminya." ujar Ilyas sembari menatap Rayinka"Innalillah..." Aisyah cukup terkejut ketika mendengar informasi itu."Nah itu sebabnya aku mencoba dengerin permintaan dia dengan seksama, Ais. Karena mungkin dengan begitu, aku bisa membantu suaminya untuk semangat melawan kankernya."Ilyas mengeratkan pegangan tangan Aisyah, "Aku minta maaf banget karena udah bikin kecewa, sayang.. " lanjutnya dengan tatapan nanar.Mendengar pengakuan itu, hati Aisyah menjadi lebih lega. Ia cukup tenang karena kecurigaannya tidak terjadi."Sudah, gak papa, Mas. Tapi lain kali, kamu harusnya tetep mempriopritaskan istri kamu yang untuk jalan pun kemarin harus pegangan ke tembok. Kamu kasian sama teman lama kamu tapi gak kasian sama istri? Kalau kamu menyayangi aku harusnya kamu lebih memprioritaskan jemput aku, setelah itu baru ngobrol sama teman lama kamu." ujar Aisyah jujur."Iya sayang.. maafin mas ya?" tanya Ilyas lagi dengan wajah memelas.Aisyah hanya tersenyum kecil, laranya perlahan sirna, meski tidak seutuhnya. Ilyas kemudian memeluk Aisyah erat, ia mengecup kening perempuannya dengan hati yang cukup lega. Setidaknya hari ini, tidak ada kecurigaan yang bertambah besar di hati Aisyah.****************Penjelasan Ilyas tentang Rana itu benar adanya, ia tidak berbohong. Rana memang menemui Ilyas karena ia ingin meminta bantuan perusahaan Ilyas untuk membangun rumah yang akan ia tempati bersama sang suami.Namun pernyataannya yang mengatakan bahwa ia sekadar kasihan pada Rana itu hanya omong kosong belaka. Ia menerima tawaran Rana untuk makan bersama meski istrinya sedang sakit karena ia sangat rindu pada gadis itu. Perempuan yang menjadi cinta pertamanya sejak SMP.Kenyataan itu pada akhirnya terus tersembunyi. Usai penjelasan itu, Aisyah tak lagi mengungkit perihal Rana. Sikap Ilyas pun tetap saja manis pada istrinya.Seminggu sudah berlalu, Aisyah kembali aktif bekerja. Ia mengajar di salah satu sekolah negeri di kotanya. Sebagai pekerjaan berpenghasilan kecil, Aisyah memiliki hobi lain yang menjadi ladang rezekinya. Ia memiliki pekerjaan di bidang daring, terkhusus dalam bidang desain. Perempuan itu memiliki banyak penghasilan dari pekerjaan desainnya."Mas, nanti malam kamu rapa
Seharian penuh Ilyas fokus pada pekerjaannya. Badannya terasa lelah. Setelah rapat dengan klien, Ilyas menghela napas sejenak di ruang kerjanya. Ia mengambil handphonenya, fotonya dan Aisyah ketika hari pernikahan terpampang jelas di layar handphonenya.Ilyas menghela napas berat, "Aku sudah terlalu banyak menyakiti kamu, Ais. Dua tahun ini.. aku sudah berusaha mencintaimu. Tapi kenapa sulit sekali rasa itu datang? Bayang-bayang rana bahkan lebih nyaman untuk ku kenang... " lirih lelaki itu dengan wajah letihnya.Ting!Handphone Ilyas berbunyi, itu pertanda sebuah pesan masuk. Terpampang nama Rana di sana. Ilyas langsung membukanya, hatinya tiba-tiba seakan dipenuhi bunga-bunga indah.Sebuah foto terpampang di ruang chat antara Rana dan Ilyas. Itu foto undangan pernikahan. Ilyas membaca foto itu dengan saksama, nama Rana yang terukir dengan tulisan berwarna emas bersanding dengan nama seorang lelaki dengan pangkat tinggi.Hati Ilyas pilu melihat undangan yang Rana kirim. Pikirannya ka
"Sayang, hari ini jadi ketemuan kan? Aku dah kangen banget loh!" Rana tersenyum bahagia dengan pesan yang baru ia dapat. Kekasihnya itu bahkan telah merindukannya setelah setengah hari tak bertemu.Bucin, mungkin istilah itulah yang tepat untuk disematkan pada lelaki yang menjadi idaman para siswi di SMA favorite negerinya. Dari luar tampak dingin, mempesona, namun ternyata begitu manja ketika bersama gadis pintar dengan wajah lembut itu."Jadi, kamu jangan terlambat!" balas gadis itu dengan memberi banyak emoji di akhir pesan.Gadis bernama Rana itu kemudian bangkit dari tempatnya duduk. Ia menatap dirinya di depan cermin.Cantik, pintar, menjadi idola sekolah, dan berbakat. Dia nyaris sempurna. Hanya satu yang tak bisa ia dapat, keharmonisan keluarga. Berbeda dengan kekasihnya yang memiliki keluarga sempurna.Kurangnya kasih sayang dari orang tuanya membuat Rana sempat terjebak dalam pergaulan nakal; bermain di club; mabuk; berjudi, ia
Rana merasa tubuhnya mulai benar-benar kepanasan. Ia bahkan tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Akalnya hanya menginginkan sesuatu yang mampu memenuhi birahinya.Lelaki itu melihat perubahan Rana dengan wajah puas. Ia mendekati Rana, wajah mereka kinya hanya berjarak sejengkal, "Ibumu sungguh bodoh, Rana. Dia menukar anak perempuannya dengan uang. Bukankah ini berarti dia menjualmu?" ujar lelaki itu lalu mengecup leher jenjang Rana.Rana tak bisa menahan diri, hatinya ingin menolak semua sentuhan bejat itu. Tapi akalnya menginginkan semua sensasi menggairahkan di tubuhnya."Memang benar, kebangkrutan yang melanda keluargamu perlahan akan menunjukkan wajah asli mereka.. " ujar lelaki itu yang kini mendorong tubuh Rana ke atas kasur."Aku mohon.. jangan lakukan ini.. " lirih Rana dengan air mata yang mulai mengalir."Hmm? Apakah kau yakin tidak mau ini??" lelaki itu menciumi seluruh tubuh Rana. Gadis cantik itu tak bisa mengelak, tubuhnya begitu haus akan gairah. Meski ia tahu semua
Sikap Rana membuat Ilyas mengingat kejadian bertahun-tahun yang lalu. Ia ingat betul bagaimana dirinya itu kehilangan arah ketika Rana meninggalkannya. Jika bukan karena ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa suatu saat nanti bisa kembali bertemu dengan Rana, maka Ilyas tidak akan menapak dunia kuliah.Setelah merasa puas bersedih dengan dirinya sendiri, Ilyas pulang dengan wajah kusut, hatinya kacau. Ia melangkahkan kakinya dengan gontai ke dalam rumahnya.Ketika tiba di ruang tengah yang berdekatan dengan tangga untuk naik ke kamarnya di lantai dua, Ilyas melihat makanan kesukaannya tersaji di atas meja. Ia melirik ke sofa, istrinya meringkuk tertidur di sana.Ilyas menghela napas berat, ia mendekati Aisyah. Ditatapnya wajah cantik Aisyah dengan rasa bersalah, "Aku kira, tidak lagi ada kesempatan untukku bertemu dengan dia, Ais. Tapi ternyata aku bertemu dengannya, perempuan yang aku cintai sampai detik ini. Aku sungguh telah menyakitimu, Ais.. " batin Ilyas dengan mata berkaca-kaca.I
Perlahan, segala pikiran buruk yang berjingkrak di benak Aisyah pudar dalam dzikir yang terus ia lantunkan. Berkali-kali ia menghembuskan napas berat, berusaha menetralkan pikirannya di saat suaminya dalam keadaan begitu khawatir. Ini bukan saatnya untuk menanyakan hal-hal buruk yang mengganggunya kini.Hening mencekam ruang antara Aisyah dan Ilyas selama perjalanan. Perempuan itu memilih diam. Sementara Ilyas jua tak ada minat untuk berbicara, sebab di pikirannya hanya ada Rana dan Rana.Jarak antara posisi Ilyas saat menerima telepon dengan rumah sakit Rana tidak terlalu jauh. Ditambah lagi, Ilyas membawa mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Ia sampai di rumah sakit lebih cepat dari biasanya. Sesampainya di rumah sakit, Ilyas berlari menuju bagian administrasi. Aisyah menyusul di belakangnya."Mba, pasien atas nama Rana yang datang karena kecelakan sekarang dimana ya?""Untuk pasien atas nama Rana masih berada di UGD, Pak. Bapak bisa menunggu di luar ruangan UGD, ya."Ilyas langs
Usai menunggu hampir dua jam, dokter yang menangani Rana keluar dari ruang operasi."Dokter, gimana kondisi Rana?" Eza panik bertanya, ia khawatir terjadi sesuatu yang tidak baik pada calon istrinya."Alhamdulillah semuanya berjalan lancar, Pak. Pasien akan segera dipindahkan ke ruang pemulihan. Mohon pihak keluarga bersabar tidak menemui pasien terlebih dahulu. Setelah proses observasi selesai, keluarga bisa menemui pasien," ujar dokter ramah."Tolong lakukan yang terbaik untuk Rana, Dok," lanjut Eza dengan kekhawatiran yang masih melekat di wajahnya."InsyaAllah, Pak. Saya juga perlu menyampaikan, bahwa tadi pasien sempat kekurangan darah. Ketika tes darah, kami menemukan kandungan obat yang biasanya ada dalam obat tidur. Apakah pasien mengonsumsi obat tidur secara rutin?"Ilyas melirik Eza sembari mengerutkan dahinya, berharap menemukan penjelasan terkait kondisi Rana. Namun Eza tak tahu apa-apa, ia bahkan baru mengetahui hal itu dari
Rana telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kondisinya sudah stabil. Kakinya harus diberi penyangga selama beberapa bulan ke depan."Ilyas.... " igau Rana lirih, Eza yang mendengar nama itu merasa cukup kaget. Semenjak Rana memutuskan untuk mau menikah dengan Eza, nama itu tak pernah ia dengar lagi dari bibir mungil Rana. Tapi kenapa di saat seperti ini, Rana malah menyebut nama itu??Hati Eza terasa pilu, perkataan Ilyas terbayang begitu saja di benaknya, "Mau menikahi, belum berarti mencintai." Kalimat itu terus terngiang di kepala Eza.Di antara lamunannya, suara lirih Rana memecah keheningan, "Eza?"Mendengar namanya disebut, Eza mengalihkan tatapannya pada Rana. Perempuannya itu telah kembali sadar. Hatinya lega dan senang, segala kekacauan yang ia rasakan sebelumnya tiba-tiba menguap begitu saja."Ran... kamu sadar. Aku panggil dokter dulu... " Eza tersenyum sumringah.Rana yang masih lemah belum berminat berkata banyak. Ia
Ilyas datang ke rumah Rana tepat ketika senja mulai tenggelam. Di tangannya kini penuh dengan barang-barang bermerk yang sengaja ia beli untuk membuat Rana senang.Ilyas memarkir sepeda motornya di garasi samping rumah Rana. Selain memberi barang, Ilyas juga membelikan beberapa makanan kesukaan Rana.Bi Rumi dengan sigap membantu Ilyas membawa barang-barang itu. Melihat kedatangan Ilyas dengan seluruh bawaannya membuat hati Rana senang."Kamu gak naik mobil, Yas?" tanya Rana penasaran."Dibawa Aisyah, Ran. Ck, dia masih marah sama aku gegara masalah kemarin.. " ujar Ilyas lalu mendekati Rana, ia duduk di depan perempuan cantik itu.Rana mengangguk, "Ini kamu bawa apa aja sih kok banyak banget?" ia mengalihkan pembicaraan."Kemarin kan aku janji mau beliin baju-baju buat kamu. Coba kamu lihat dulu deh, suka gak?"Rana pun membuka satu per satu bingkisan yang Ilyas bawa. Dia suka semua barang-barang itu. Ilyas memang selalu bisa memahami kesukaan Rana.Keriangan Rana membuat Ilyas begit
Usai mendapat telepon dari Rana, pagi Ilyas dipenuhi rasa semangat. Berbeda dengan Aisyah yang memulai pagi masih dengan rasa pilu.Meski begitu, Aisyah tetap melakukan kewajibannya. Dia menyiapkan sarapan untuk Ilyas sebelum berangkat sekolah. Bedanya, ia tidak sedikit pun memulai pembicaraan.Ilyas yang melihat Aisyah menyiapkan makanan, senyumnya mengembang begitu sumringah. Ia mendekati sang istri laiknya tak terjadi apapun."Hai cantik.. masak apa nih?" ujarnya sembari mendekati Aisyah.Perempuan bermata cokelat itu merasa tak nyaman, risih dengan perilaku Ilyas. Bukankah harusnya dia berkata "Sayang? maafin aku... " begitu?Aisyah tak menjawab ucapan Ilyas, ia tak berminat untuk berbicara pada lelaki yang membuat perasaannya gundah itu.Menyadari sikap Aisyah yang berbeda, Ilyas langsung menghembuskan napas berat. Ia tidak ingin memperpanjang persoalan, terlebih ketika hatinya sedang bahagia pagi itu.Maka Ilyas hanya mengecup pipi Aisyah, lalu bergegas ke meja makan tanpa menga
Ilyas mendengus kesal, segala ucapannya tak ada yang mendapat respon dari sang istri. Ia bingung harus melakukan apa lagi untuk membuat sang istri mempercayainya kembali?"Kalau kamu diam gini, aku bingung harus apa, Ais.." ujar Ilyas penuh penekanan.Aisyah hanya menangis, ia makin terisak. Sakit hati yang ditorehkan Ilyas begitu memilukan. Ilyas tak tahan lagi, dia akhirnya melontarkan satu kata yang membuat istrinya makin pilu."Yaudah, Ais. Terserah kamu aja," tukas Ilyas sembari meninggalkan kamar.Ilyas yang biasanya tidak akan pernah menyerah untuk membujuk Aisyah saat marah, kini telah berbeda sebab ada pembanding yang ia anggap lebih baik.Aisyah meringkuk dalam tangis dan kesalnya. Kali ini, ia akan membiarkan dirinya sendiri. Tenggelam dalam tiap air mata yang mengalir deras. Membiarkan seluruh kejadian malam ini berjalan laiknya air mengalir."Aku akan membiarkan kamu untuk kali ini, Mas. Biasanya, kamu akan terus memelukku sampai aku selesai menangis dan mau menceritakan
Aisyah menghela napas berat, "Kalau begitu, pulang sekarang, dan jangan pernah lagi datang ke tempat ini!" tegas Aisyah dengan hati yang masih membara.Ilyas langsung mematung, ia tidak menyangka istrinya akan meminta hal seperti itu. Bukankah biasanya istrinya berhati begitu lembut? Bagaimana pun dia membiarkan dirinya tidak lagi datang ke sini sedangkan Rana masih dalam kondisi tidak baik?Melihat suaminya yang hanya diam merenung, Aisyah menekankan kembali perkataannya, "Kamu kan yang minta aku membuat permintaan? Kamu bilang akan mengabulkan semuanya, tapi kenapa diam aja, Mas? Gak bisa menerima?!"Ilyas langsung tersedar dengan ucapan Aisyah, "Eng-enggak gitu, Ais. Aku cuma memikirkan.. kalau aku gak boleh ke sini lagi, bagaimana aku bisa menebus kesalahanku pada Rana?" tanya Ilyas memelas.Aisyah mengernyitkan dahinya, "Itu urusanmu, Mas. Kenapa kamu bertanya hal itu padaku? Kamu harus tahu, Mas. Aku gak peduli, mau kamu bisa balas budi atau enggak. Lagi pula menurut aku apa yan
Hampir seharian penuh, di hari libur itu, Ilyas mendedikasikan waktunya untuk Rana. Dia menghibur perempuannya yang sedang pilu. Semua orang di rumah besar itu tahu akan kehadiran Ilyas, termasuk Yusuf dan Arka.Anak kecil itu sempat mendatangi Rana, ia memeluk ibunya dengan kesedihan mendalam. Ilyas hanya diam, dia tidak suka Arka. Jika bukan karena menjaga hati Rana, ia pasti akan mengusir anak dari lelaki yang telah merebut kekasihnya itu.Arka lagi-lagi tertidur usai menangis di pangkuan Rana. Perempuan itu meminta bantuan Yusuf untuk menidurkan putranya di kamarnya sendiri."Maaf, Nyonya. Ini hari pertama Tuan Eza meninggalkan Anda. Saya rasa bukan hal yang sopan jika ada lelaki lain yang terus mendampingi Anda di sini," ujar Yusuf berani, dia geram melihat perilaku Rana yang membiarkan Ilyas di sisinya di hari duka suaminya.Rana berdecak kesal, "Jangan ikut campur, Suf. Urusan saja urusanmu sendiri!"Yusuf menatap Rana tajam, "Tuan Eza sangat mencintai Anda, Nyonya. Bukankah An
Prosesi pemakaman Eza berjalan lancar. Banyak orang yang datang untuk mengucap duka. Aisyah terus menemani Rana yang kini tak banyak bicara. Perempuan itu tak bisa menutupi kekacauan dirinya. Arka yang sejak tadi digendong Yusuf juga tak kalah murung. Anak kecil itu pintar, dia sudah tahu makna kata meninggal. Pergi selamanya, dan tak lagi bisa bertemu. Ia sama sekali tak mendekati Rana, sebab Yusuf memeluknya erat. Kondisi Rana saat ini juga tidak stabil, Yusuf khawatir, Arka hanya akan jadi pelampiasan emosi Rana. "Kamu pulang aja, Ais," lirih Rana sembari menatap perempuan berjilbab yang menemani Rana sejak tadi. Tatapannya kosong, kilatan harapan yang biasanya merona tak lagi ada di sana. "Aku masih ingin nemenin kamu, Rana... " ungkap Ais yang juga menatap wajah pucat Rana. "Aku ingin sendiri," Rana memalingkan wajah, ia tidak bisa mengekspresikan diri dengan bebas ketika ada Ais. Ia malu untuk menampakkan sisi buruknya di depan perempuan yang begitu sempurna di mata Rana.
Detik demi detik terasa ngilu usai kepergian Eza. Mata Aisyah sembab, Yusuf sudah mengurus pemakaman Eza. Saat ini, jenazah Eza dalam proses dimandikan.Rana terbangun, tubuhnya terasa lebih segar usai beristirahat penuh. Matanya yang mengerjap perlahan mulai menangkap keberadaan Aisyah dengan kepiluan di wajahnya."Ais... "Suara lirih Rana membuat Aisyah tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum ketika mendapati Rana telah sadar dari tidur panjangnya."Gimana kondisi kamu, Rana? Ada yang sakit? Aku panggilkan dokter ya... " Aisyah begitu peduli pada perempuan cantik itu.Rana menggeleng, "Tubuhku terasa lebih segar, Ais," Rana tersenyum kecil, kemudian ia mengedarkan pandangannya ke tempat tidur Eza. Kosong. Tidak ada siapapun di sana."Eza dimana, Ais? Dia udah sadar belum?" Raut kekhawatiran tampak jelas di wajah Rana.Aisyah diam, ia harus berkata apa? Rana baru saja sadar, ia tidak ingin perempuan itu kembali down mendengar kabar tentang Eza."Ais?""E-eh sorry. Eza.. Em, dia udah
Pukul empat pagi, Aisyah semalaman berjaga di ruangan Eza. Jujur, matanya sudah terasa berat. Tapi itu bukan masalah, sebab bagi Aisyah, kebermanfaatan dirinya untuk orang-orang yang ia sayangi itu lebih penting dari pada dirinya sendiri.Adzan subuh berkumandang lima belas menit kemudian, Aisyah telah siap menghadap Sang Maha Esa. Sajadah yang ia gelar menjadi tempatnya merendahkan diri sembari berdzikir padaNya. Semalam penuh ia menghadirkan dirinya untuk bercerita dan meminta hal-hal baik untuk orang-orang di sekitarnya.Usai shalat subuh, Aisyah membangunkan Ilyas. Lelaki itu menggeliat, "Shalat dulu, Mas," ujar Aisyah lembut. Dengan wajah setengah mengantuk, Ilyas bangun. Ia mandi, berwudhu, dan melaksanakan shalat.Usai shalat, Ilyas langsung pamit pergi bekerja. Dua minggu terakhir selalu seperti itu. Ketika Aisyah sempat ingin meminta waktu Ilyas sebentar, ia bilang bahwa kliennya akan datang sangat pagi jadi ia tidak boleh terlambat. Tak ada waktu bagi Aisyah menanyakan perub
Aisyah dan Ilyas berjalan cepat menuju ruangan Eza dirawat. Aisyah khawatir dengan kondisi Rana yang pasti teramat sedih, meski ia juga cukup mengkhawatirkan keadaan Eza, bagaimana pun mereka berteman dekat ketika kecil.Ketika sudah sampai di ruangan Eza, Ilyas masuk lebih dulu. Dia melihat Rana yang menangis pilu, matanya sembab, wajahnya begitu sendu."Rana.. kamu gak papa?" ujar Ilyas sembari mendekati perempuan yang masih ia cintai, sementara Rana tak merespon apapun. Dia mengalihkan pandangannya pada Aisyah yang baru masuk ke dalam ruangan."Ais..... " suara Rana bergetar. Perempuan berjilbab itu langsung mendekati Rana dan memeluknya erat."Sabar ya, Rana. Aku di sini sekarang. Aku temenin kamu jagain Eza, dia pasti bakal baik-baik saja, oke?" Aisyah mengelus rambut Rana. Ilyas yang merasa tak direspon hanya bisa mundur, hatinya bergemuruh ketika melihat Rana begitu peduli pada Eza.Sementara Aisyah, meski hatinya gundah atas sikap Ilyas, ia memilih untuk tak memikirkannya saat