Perlahan, segala pikiran buruk yang berjingkrak di benak Aisyah pudar dalam dzikir yang terus ia lantunkan. Berkali-kali ia menghembuskan napas berat, berusaha menetralkan pikirannya di saat suaminya dalam keadaan begitu khawatir. Ini bukan saatnya untuk menanyakan hal-hal buruk yang mengganggunya kini.Hening mencekam ruang antara Aisyah dan Ilyas selama perjalanan. Perempuan itu memilih diam. Sementara Ilyas jua tak ada minat untuk berbicara, sebab di pikirannya hanya ada Rana dan Rana.Jarak antara posisi Ilyas saat menerima telepon dengan rumah sakit Rana tidak terlalu jauh. Ditambah lagi, Ilyas membawa mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Ia sampai di rumah sakit lebih cepat dari biasanya. Sesampainya di rumah sakit, Ilyas berlari menuju bagian administrasi. Aisyah menyusul di belakangnya."Mba, pasien atas nama Rana yang datang karena kecelakan sekarang dimana ya?""Untuk pasien atas nama Rana masih berada di UGD, Pak. Bapak bisa menunggu di luar ruangan UGD, ya."Ilyas langs
Usai menunggu hampir dua jam, dokter yang menangani Rana keluar dari ruang operasi."Dokter, gimana kondisi Rana?" Eza panik bertanya, ia khawatir terjadi sesuatu yang tidak baik pada calon istrinya."Alhamdulillah semuanya berjalan lancar, Pak. Pasien akan segera dipindahkan ke ruang pemulihan. Mohon pihak keluarga bersabar tidak menemui pasien terlebih dahulu. Setelah proses observasi selesai, keluarga bisa menemui pasien," ujar dokter ramah."Tolong lakukan yang terbaik untuk Rana, Dok," lanjut Eza dengan kekhawatiran yang masih melekat di wajahnya."InsyaAllah, Pak. Saya juga perlu menyampaikan, bahwa tadi pasien sempat kekurangan darah. Ketika tes darah, kami menemukan kandungan obat yang biasanya ada dalam obat tidur. Apakah pasien mengonsumsi obat tidur secara rutin?"Ilyas melirik Eza sembari mengerutkan dahinya, berharap menemukan penjelasan terkait kondisi Rana. Namun Eza tak tahu apa-apa, ia bahkan baru mengetahui hal itu dari
Rana telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kondisinya sudah stabil. Kakinya harus diberi penyangga selama beberapa bulan ke depan."Ilyas.... " igau Rana lirih, Eza yang mendengar nama itu merasa cukup kaget. Semenjak Rana memutuskan untuk mau menikah dengan Eza, nama itu tak pernah ia dengar lagi dari bibir mungil Rana. Tapi kenapa di saat seperti ini, Rana malah menyebut nama itu??Hati Eza terasa pilu, perkataan Ilyas terbayang begitu saja di benaknya, "Mau menikahi, belum berarti mencintai." Kalimat itu terus terngiang di kepala Eza.Di antara lamunannya, suara lirih Rana memecah keheningan, "Eza?"Mendengar namanya disebut, Eza mengalihkan tatapannya pada Rana. Perempuannya itu telah kembali sadar. Hatinya lega dan senang, segala kekacauan yang ia rasakan sebelumnya tiba-tiba menguap begitu saja."Ran... kamu sadar. Aku panggil dokter dulu... " Eza tersenyum sumringah.Rana yang masih lemah belum berminat berkata banyak. Ia
"Tentu, Rana.. Aku dan Mas Ilyas dengan senang hati akan membantu pernikahan kalian," Aisyah tersenyum sumringah. Rana ikut tersenyum, ia menatap Eza dengan senyuman bahagia.Rana dan Aisyah kemudian membicarakan beberapa persiapan pernikahan Rana dan Eza. Mereka ingin mengadakan pernikahan yang sangat sederhana sebab kondisi mereka masih tidak baik-baik saja."Cukup akad aja, Syah. Tapi aku tetap ingin berdandan dan pakai baju pengantin sih kalau bisa.." pinta Rana terkekeh."Bisa banget dong, Ran.. Biasanya MUA gitu mau kok meski harus ke RS," jelas Rana."Hmm... ya.. tapi MUA yang kemarin aku pesan sedang full jadwalnya di minggu ini, Syah.""Kalau gitu, aku hubungi MUA kenalanku mau gak? Nih kamu bisa cek dulu hasil make up dia di instagramnya," Aisyah menyodorkan handphonenya yang telah membuka sosial media MUA yang ia maksud.Rana langsung tersenyum, ia suka dengan hasil riasan MUA kenalan Rana. Mereka bergegas menghubungi
Hening malam menjelma melodi sendu di antara gemerlap lampu lorong rumah sakit. Cinta masa lalu itu ternyata hanya sebuah mimpi, begitu batin Ilyas. Lelaki itu kini menunduk pilu sembari menunggu sang istri di depan masjid rumah sakit. Nama Rana tidak lagi menjadi bunga yang mewarnai hatinya, melainkan menjadi sembilu di dada."Bagaimana caraku untuk melupakanmu, Rana?" batin Ilyas lagi.Ia menghembuskan napas kesal, mengusap wajahnya kasar. Di antara pilu dan ketidakberdayaan yang menguasai hatinya, ingin sekali ia melampiaskan amarah. Berteriak, atau mungkin memukul tembok berkali-kali. Ia ingin marah pada dirinya sendiri yang telah keliru menjaga rasa cinta, bahkan ketika ia telah menikah."Brengsek! Kamu emang lelaki brengsek, Ilyas!!!" batinnya sembari mengepalkan tangan.Tak ingin berujung pada kemarahan yang lebih besar, Ilyas mencari tempat sepi untuk melampiaskan amarah. Ia pergi ke luar area RS, tepatnya menuju ruko terbengkalai di dekat RS.Tak pikir panjang, dihantamnya temb
"Mas, udah siap belum?" Aisyah tergopoh-gopoh turun dari kamar. Ia berdandan begitu cantik hari ini."Udah sayang, ayo berangkat," Ilyas memberi senyum sumringah. Tampilannya begitu elegan dengan jas hitam mewah."Btw penghulunya udah kamu pastikan kalau bisa datang kan mas?" ujar perempuan bermata cokelat itu yang tampak sedikit panik."Udah, Aisyah. Pengawal Eza sekarang otw jemput beliau," jawab Ilyas sabar."Hm, si Rana udah selesai belum yah make up nya? Harusnya udah kan ya mas?"Ilyas tertawa melihat sikap Aisyah, "Kalau panik gini kok tambah cantik ya?" godanya."Iiihhhh mas Ilyas. Aku serius lohh.. " sebal Aisyah."Hahaha, lagian kamu kenapa panik banget sih? Udah tenang aja. InsyaAllah semua berjalan lancar, sayang... "Aisyah menghela napas perlahan, "Hft.. bismillah ya mas. Jadi keingat saat kita nikah dulu. Bunda dan Ayah pada panik khawatir acaranya gak lancar.""Hmm, dulu kan nikahan kita cukup besar, sayang. Sekarang kam hanya akad... ""Si Eza itu kira-kira bakal seka
"Mas, kamu di mana sih? Ke kamar mandi doang lama banget??" Aisyah cemberut dari seberang telponnya, Ilyas benar-benar membuat dirinya menunggu lama."Ais.. maafin mas, tadi tiba-tiba klien minta ketemu. Jadi mas terpaksa harus pergi tadi.. " Ilyas berbohong. Dia tidak bertemu klien. Ia hanya butuh waktu sendiri untuk melampiaskan amarah."Habis ini mas selesai kok. Ais bisa nunggu mas kan?" ujar Ilyas. Dihisapnya rokok yang hampir habis itu. Sementara di hadapannya, seorang lelaki yang sepantaran dengan Ilyas juga ikut menghisap rokok ditemani wanita berpakaian mini yang menempel padanya.Ya, Ilyas pergi menemui seorang teman lamanya ketika SMA–teman satu geng yang kini menjadi preman. Namanya Dito. Mereka masih saling berkomunikasi dan menjaga hubungan dengan baik. Sesekali, mereka melakukan hubungan bisnis. Bagaimanapun, Raka sekarang menjadi ketua preman di kotanya."Yaudah, Ais tunggu aja. Jangan lama-lama ya, Mas. Ais pengen istirahat.. "Usai akad tadi, Aisyah bermain dengan Ar
"Assalamu'alaikum..." Ilyas membuka pintu ruangan Rana, di sana tampak jelas wajah cantik Rana yang tertawa bahagia dengan suaminya, Eza. Sedangkan di sofa dekat ranjang Rana, seorang anak kecil tertidur dalam dekapan Aisyah. "Sorry.. tadi klien tiba-tiba minta ketemu. Aku jadi ga bisa menghadiri pernikahan kalian," Ilyas tersenyum ramah. "Gak papa, Yas. Terimakasih ya sudah hadir," Eza juga tersenyum ramah pada Ilyas. "Selamat atas pernikahan kalian. Semoga samawa," singkatnya lagi. Senyum yang Ilyas berikan tampak begitu sempurna, padahal dalam hatinya berkecamuk kebencian pada mantan pacaranya itu. "Ais, kita pulang yuk.. Kamu pasti udah capek," Ilyas menoleh ke arah istrinya. Wajah Aisyah memang mulai tampak letih. "Pulanglah, Ais. Arka sama aku aja," Eza menghampiri Aisyah. Digendongnya tubuh kecil putranya perlahan. Anak kecil itu hanya menggeliat. Eza kemudian menidurkannya di sofa panjang dekat tempat Aisyah duduk. "Rana.. sorry gak bisa nemenin lama-lama yah. Kalau kamu
Ilyas datang ke rumah Rana tepat ketika senja mulai tenggelam. Di tangannya kini penuh dengan barang-barang bermerk yang sengaja ia beli untuk membuat Rana senang.Ilyas memarkir sepeda motornya di garasi samping rumah Rana. Selain memberi barang, Ilyas juga membelikan beberapa makanan kesukaan Rana.Bi Rumi dengan sigap membantu Ilyas membawa barang-barang itu. Melihat kedatangan Ilyas dengan seluruh bawaannya membuat hati Rana senang."Kamu gak naik mobil, Yas?" tanya Rana penasaran."Dibawa Aisyah, Ran. Ck, dia masih marah sama aku gegara masalah kemarin.. " ujar Ilyas lalu mendekati Rana, ia duduk di depan perempuan cantik itu.Rana mengangguk, "Ini kamu bawa apa aja sih kok banyak banget?" ia mengalihkan pembicaraan."Kemarin kan aku janji mau beliin baju-baju buat kamu. Coba kamu lihat dulu deh, suka gak?"Rana pun membuka satu per satu bingkisan yang Ilyas bawa. Dia suka semua barang-barang itu. Ilyas memang selalu bisa memahami kesukaan Rana.Keriangan Rana membuat Ilyas begit
Usai mendapat telepon dari Rana, pagi Ilyas dipenuhi rasa semangat. Berbeda dengan Aisyah yang memulai pagi masih dengan rasa pilu.Meski begitu, Aisyah tetap melakukan kewajibannya. Dia menyiapkan sarapan untuk Ilyas sebelum berangkat sekolah. Bedanya, ia tidak sedikit pun memulai pembicaraan.Ilyas yang melihat Aisyah menyiapkan makanan, senyumnya mengembang begitu sumringah. Ia mendekati sang istri laiknya tak terjadi apapun."Hai cantik.. masak apa nih?" ujarnya sembari mendekati Aisyah.Perempuan bermata cokelat itu merasa tak nyaman, risih dengan perilaku Ilyas. Bukankah harusnya dia berkata "Sayang? maafin aku... " begitu?Aisyah tak menjawab ucapan Ilyas, ia tak berminat untuk berbicara pada lelaki yang membuat perasaannya gundah itu.Menyadari sikap Aisyah yang berbeda, Ilyas langsung menghembuskan napas berat. Ia tidak ingin memperpanjang persoalan, terlebih ketika hatinya sedang bahagia pagi itu.Maka Ilyas hanya mengecup pipi Aisyah, lalu bergegas ke meja makan tanpa menga
Ilyas mendengus kesal, segala ucapannya tak ada yang mendapat respon dari sang istri. Ia bingung harus melakukan apa lagi untuk membuat sang istri mempercayainya kembali?"Kalau kamu diam gini, aku bingung harus apa, Ais.." ujar Ilyas penuh penekanan.Aisyah hanya menangis, ia makin terisak. Sakit hati yang ditorehkan Ilyas begitu memilukan. Ilyas tak tahan lagi, dia akhirnya melontarkan satu kata yang membuat istrinya makin pilu."Yaudah, Ais. Terserah kamu aja," tukas Ilyas sembari meninggalkan kamar.Ilyas yang biasanya tidak akan pernah menyerah untuk membujuk Aisyah saat marah, kini telah berbeda sebab ada pembanding yang ia anggap lebih baik.Aisyah meringkuk dalam tangis dan kesalnya. Kali ini, ia akan membiarkan dirinya sendiri. Tenggelam dalam tiap air mata yang mengalir deras. Membiarkan seluruh kejadian malam ini berjalan laiknya air mengalir."Aku akan membiarkan kamu untuk kali ini, Mas. Biasanya, kamu akan terus memelukku sampai aku selesai menangis dan mau menceritakan
Aisyah menghela napas berat, "Kalau begitu, pulang sekarang, dan jangan pernah lagi datang ke tempat ini!" tegas Aisyah dengan hati yang masih membara.Ilyas langsung mematung, ia tidak menyangka istrinya akan meminta hal seperti itu. Bukankah biasanya istrinya berhati begitu lembut? Bagaimana pun dia membiarkan dirinya tidak lagi datang ke sini sedangkan Rana masih dalam kondisi tidak baik?Melihat suaminya yang hanya diam merenung, Aisyah menekankan kembali perkataannya, "Kamu kan yang minta aku membuat permintaan? Kamu bilang akan mengabulkan semuanya, tapi kenapa diam aja, Mas? Gak bisa menerima?!"Ilyas langsung tersedar dengan ucapan Aisyah, "Eng-enggak gitu, Ais. Aku cuma memikirkan.. kalau aku gak boleh ke sini lagi, bagaimana aku bisa menebus kesalahanku pada Rana?" tanya Ilyas memelas.Aisyah mengernyitkan dahinya, "Itu urusanmu, Mas. Kenapa kamu bertanya hal itu padaku? Kamu harus tahu, Mas. Aku gak peduli, mau kamu bisa balas budi atau enggak. Lagi pula menurut aku apa yan
Hampir seharian penuh, di hari libur itu, Ilyas mendedikasikan waktunya untuk Rana. Dia menghibur perempuannya yang sedang pilu. Semua orang di rumah besar itu tahu akan kehadiran Ilyas, termasuk Yusuf dan Arka.Anak kecil itu sempat mendatangi Rana, ia memeluk ibunya dengan kesedihan mendalam. Ilyas hanya diam, dia tidak suka Arka. Jika bukan karena menjaga hati Rana, ia pasti akan mengusir anak dari lelaki yang telah merebut kekasihnya itu.Arka lagi-lagi tertidur usai menangis di pangkuan Rana. Perempuan itu meminta bantuan Yusuf untuk menidurkan putranya di kamarnya sendiri."Maaf, Nyonya. Ini hari pertama Tuan Eza meninggalkan Anda. Saya rasa bukan hal yang sopan jika ada lelaki lain yang terus mendampingi Anda di sini," ujar Yusuf berani, dia geram melihat perilaku Rana yang membiarkan Ilyas di sisinya di hari duka suaminya.Rana berdecak kesal, "Jangan ikut campur, Suf. Urusan saja urusanmu sendiri!"Yusuf menatap Rana tajam, "Tuan Eza sangat mencintai Anda, Nyonya. Bukankah An
Prosesi pemakaman Eza berjalan lancar. Banyak orang yang datang untuk mengucap duka. Aisyah terus menemani Rana yang kini tak banyak bicara. Perempuan itu tak bisa menutupi kekacauan dirinya. Arka yang sejak tadi digendong Yusuf juga tak kalah murung. Anak kecil itu pintar, dia sudah tahu makna kata meninggal. Pergi selamanya, dan tak lagi bisa bertemu. Ia sama sekali tak mendekati Rana, sebab Yusuf memeluknya erat. Kondisi Rana saat ini juga tidak stabil, Yusuf khawatir, Arka hanya akan jadi pelampiasan emosi Rana. "Kamu pulang aja, Ais," lirih Rana sembari menatap perempuan berjilbab yang menemani Rana sejak tadi. Tatapannya kosong, kilatan harapan yang biasanya merona tak lagi ada di sana. "Aku masih ingin nemenin kamu, Rana... " ungkap Ais yang juga menatap wajah pucat Rana. "Aku ingin sendiri," Rana memalingkan wajah, ia tidak bisa mengekspresikan diri dengan bebas ketika ada Ais. Ia malu untuk menampakkan sisi buruknya di depan perempuan yang begitu sempurna di mata Rana.
Detik demi detik terasa ngilu usai kepergian Eza. Mata Aisyah sembab, Yusuf sudah mengurus pemakaman Eza. Saat ini, jenazah Eza dalam proses dimandikan.Rana terbangun, tubuhnya terasa lebih segar usai beristirahat penuh. Matanya yang mengerjap perlahan mulai menangkap keberadaan Aisyah dengan kepiluan di wajahnya."Ais... "Suara lirih Rana membuat Aisyah tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum ketika mendapati Rana telah sadar dari tidur panjangnya."Gimana kondisi kamu, Rana? Ada yang sakit? Aku panggilkan dokter ya... " Aisyah begitu peduli pada perempuan cantik itu.Rana menggeleng, "Tubuhku terasa lebih segar, Ais," Rana tersenyum kecil, kemudian ia mengedarkan pandangannya ke tempat tidur Eza. Kosong. Tidak ada siapapun di sana."Eza dimana, Ais? Dia udah sadar belum?" Raut kekhawatiran tampak jelas di wajah Rana.Aisyah diam, ia harus berkata apa? Rana baru saja sadar, ia tidak ingin perempuan itu kembali down mendengar kabar tentang Eza."Ais?""E-eh sorry. Eza.. Em, dia udah
Pukul empat pagi, Aisyah semalaman berjaga di ruangan Eza. Jujur, matanya sudah terasa berat. Tapi itu bukan masalah, sebab bagi Aisyah, kebermanfaatan dirinya untuk orang-orang yang ia sayangi itu lebih penting dari pada dirinya sendiri.Adzan subuh berkumandang lima belas menit kemudian, Aisyah telah siap menghadap Sang Maha Esa. Sajadah yang ia gelar menjadi tempatnya merendahkan diri sembari berdzikir padaNya. Semalam penuh ia menghadirkan dirinya untuk bercerita dan meminta hal-hal baik untuk orang-orang di sekitarnya.Usai shalat subuh, Aisyah membangunkan Ilyas. Lelaki itu menggeliat, "Shalat dulu, Mas," ujar Aisyah lembut. Dengan wajah setengah mengantuk, Ilyas bangun. Ia mandi, berwudhu, dan melaksanakan shalat.Usai shalat, Ilyas langsung pamit pergi bekerja. Dua minggu terakhir selalu seperti itu. Ketika Aisyah sempat ingin meminta waktu Ilyas sebentar, ia bilang bahwa kliennya akan datang sangat pagi jadi ia tidak boleh terlambat. Tak ada waktu bagi Aisyah menanyakan perub
Aisyah dan Ilyas berjalan cepat menuju ruangan Eza dirawat. Aisyah khawatir dengan kondisi Rana yang pasti teramat sedih, meski ia juga cukup mengkhawatirkan keadaan Eza, bagaimana pun mereka berteman dekat ketika kecil.Ketika sudah sampai di ruangan Eza, Ilyas masuk lebih dulu. Dia melihat Rana yang menangis pilu, matanya sembab, wajahnya begitu sendu."Rana.. kamu gak papa?" ujar Ilyas sembari mendekati perempuan yang masih ia cintai, sementara Rana tak merespon apapun. Dia mengalihkan pandangannya pada Aisyah yang baru masuk ke dalam ruangan."Ais..... " suara Rana bergetar. Perempuan berjilbab itu langsung mendekati Rana dan memeluknya erat."Sabar ya, Rana. Aku di sini sekarang. Aku temenin kamu jagain Eza, dia pasti bakal baik-baik saja, oke?" Aisyah mengelus rambut Rana. Ilyas yang merasa tak direspon hanya bisa mundur, hatinya bergemuruh ketika melihat Rana begitu peduli pada Eza.Sementara Aisyah, meski hatinya gundah atas sikap Ilyas, ia memilih untuk tak memikirkannya saat