"Nggak, Mas. Makasih. Mas atur sendiri saja nanti, aku tinggal masak." Aku menunjukkan senyum termanisku.
Mendengar jawabanku tentu membuat kening Mas Rudi berkerut."Serius nggak mau?" Binar kebahagiaan terpancar dengan jelas pada wajah itu.Ah, emang benar-benar langka suamiku yang satu ini. Kupikir ia akan membujukku agar menerima uang pemberiannya, akan tetapi di luar prediksiku.Aku menganggukkan kepala dengan yakin, tak lupa pula kutunjukkan senyum termanisku walau sebenarnya gemas sekali pada lelaki itu. Ingin kuuyel-uyel, kubejek-bejek kepalanya hingga menjadi bentuk persegi panjang."Oh, oke." Mas Rudi memasukkan kembali uang seratus lima puluh ribu itu ke dalam dompetnya.Terlihat gurat kelegaan terpancar dari wajah itu.Lihat saja, Mas, setelah ini kamu akan pusing sendiri mikirin kebutuhan dapur dan sumur.****Siang ini aku merebahkan tubuhku di depan televisi sembari menyalakan kipas angin. Kali ini aku bisa bertingkah sesuka hatiku. Bagaimana tidak, ibu mertua yang selalu memantau setiap aktivitasku kini tak ada di sini lagi.Ya, ibu mertua sudah pergi ke anak pertamanya. Sedangkan Mas Rudi masih di tempatnya bekerja.Saat perutku terasa lapar, bergegas aku pergi ke dapur. Memindahkan satu porsi nasi dan juga lauk ke dalam piringku.Sudah menjadi kebiasaanku makan menu yang sama di setiap jam makan.Ya, aku hanya masak sekali setiap hari. Itu dijadikan tiga kali makan, untuk aku, Mas Rudi dan juga ibu mertuaku.Sebenarnya aku bosan makan menu yang sama sehari tiga kali, tapi apa boleh buat, keadaan yang memaksaku untuk menerima semuanya ini.****Alarm di ponselku berbunyi, dengan kedua kelopak mata yang terpejam aku meraba-raba guna mencari keberadaan benda pipih milikku, sedikit kedua kelopak mataku hingga aku bisa melihat saat ini sudah pukul setengah lima.Cepat kumatikan bunyi alarm lalu aku mulai membersihkan tubuh, berwudhu lalu mengerjakan kewajibanku sebagai seorang umat muslim."Mas, bangun ...." Aku menggoyang-goyangkan tubuh Mas Rudi yang masih tertidur pulas."Mas! Bangun, dong!" Sedikit kutinggikan nada suaraku.Mas Rudi hanya menggeliat pelan lalu kembali terdiam dengan kedua mata yang masih terpejam."Mas!""Apa sih, Nik? Aku masih ngantuk, ganggu orang tidur saja sih!" sungut Mas Rudi."Udah jam lima, waktunya belanja, Mas! Beli beras sama sayur, Mas. Nanti keburu kesiangan loh!"Mas Rudi tak memperdulikan ucapanku. Lelaki itu masih terpejam. Yang ada malah kudengar napasnya yang teratur, pertanda ia kembali terlelap.Cepat kutarik tangan Mas Rudi, hingga membuat tubuh itu sedikit terangkat.Lelaki itu mendes*h pelan.Saat kedua kelopak mata itu terbuka, kulempaskan tangan Mas Rudi. Ia keluarkan helaan napas berat."Ada apa sih? Masih jam lima loh ...," ucapnya setelah melihat ke arah jam yang menggantung di dinding."Waktunya belanja, Mas. Kalau nanti, keburu kesiangan. Kamu mau berangkat kerja dengan perut kosong?" ucapku."Buruan ke kamar mandi, sholat. Habis gitu belanja."Mas Rudi bangkit lalu beringsut dari ranjang. Lelaki itu melangkah dengan terseok-seok menuju keluar kamar.Kuhenyakkan tubuhku di tepi ranjang, setelahnya kubuka laci meja yang ada di samping ranjang. Kuambil secarik kertas yang sudah kusiapkan semalam. Kertas yang satu lembarnya sudah kusobek menjadi empat bagian dan akan kugunakan untuk mencatat barang belanjaan yang perlu dibeli oleh Mas Rudi.Tak banyak yang kutulis, sebab sengaja untuk lima hari ke depan akan kubuat menu sesederhana mungkin untuk menekan pengeluaran. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin membuat Mas Rudi merasa baik-baik saja dalam mengatur uang belanja seratus lima puluh ribu untuk lima hari ke depan.Setelah itu?Ah! Lihat saja nanti!"Mas, mau menu apa hari ini?" tanyaku setelah Mas Rudi sudah kembali ke kamar dan sedang menyisir rambutnya."Terserah kamu saja. Oh ya, ibu nggak ada jadi kurangin porsi masaknya."Aku hanya menganggukkan kepala."Bikin sayur bayam sama bakwan jagung saja ya, Mas," usulku yang hanya dibalas dengan anggukan.Bergegas kutambah daftar bahan yang harus dibeli suamiku."Beras sekilo, bayam dua ikat, jagung isi tiga sebanyak dua plastik, daun seledri dua ribu, cabe sama tomat? Ini aja?" tanya Mas Rudi memastikan setelah kuberikan secarik kertas itu. Aku menganggukkan kepala."Oke.""Di warung Mbak Jumilah, Mas. Di sana lengkap."Mas Rudi melangkah keluar kamar hingga beberapa menit kemudian terdengar suara mesin motor berbunyi.Sembari menunggu kedatangan suamiku, aku menyiapkan bumbu untuk kuolah, hingga belasan menit kemudian Mas Rudi muncul dengan satu kantong kresek penuh tertenteng di tangannya."Ini," ucap Mas Rudi dengan singkat sembari meletakkan barang belanjaannya di depanku."Oke, makasih, Mas." Kuhadiahi lelaki itu dengan senyuman."Aku tadi beli sekilo beras hanya sepuluh ribu, bayam dua ikat tiga ribu, jagung dua bungkus enam ribu, seledri dua ribu, cabe sama tomat lima ribu. Total belanjaannya nggak sampek tiga puluh ribu. Kalau sehari tiga puluh ribu, sebulan hanya sembilan ratus ribu. Masih sisa dong seharusnya, ini kok kamu malah tiap akhir bulan ngeluh uang habis sih, Nik?"Aku yang sedang mengulek bumbu untuk membuat bakwan jagung seketika terhenti, aku menatap ke arah Mas Rudi. Kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan.Sabar!Sabar!Sabar!Jangan sampai aku emosi lalu kupuk*l kepala lelaki itu biar otaknya kembali ke tempat semula.Ingin sekali aku berkata kasar. Apa kebutuhan rumah hanya menyangkut beras dan lauknya saja? Apa dia pikir mencuci tak pakai sabun, apa dia pikir gosok gigi menggunakan pasir?Arrghh!Aku semakin dibuat gemas sekali oleh suamiku."Mungkin kamu belanjanya sambil beli jajan kan, Nik? Makanya uang cepet habis."Aku melanjutkan pekerjaanku. Sengaja aku tak menjawab atau berdebat soal masalah seperti itu.Biarlah ia tau soal semua kebutuhan rumah setelah ia menerima gaji.Aku yakin, jika dia yang mengatur semuanya, bisa kupastikan jika semua uang yang dia terima akan habis tak bersisa."Masih jam enam, aku mau tidur dulu. Ngantuk!"Mas Rudi berlalu pergi, bergegas aku mulai mengolah menu makanan yang sudah kukatakan tadi. Yaitu sayur bayam, sambal tomat dan juga bakwan jagung.Setelah kuhidangkan menu itu di meja makan, kubungkuskan sekalian seporsi makanan untuk makan siang Mas Rudi di tempat kerja.****Aku duduk di sofa ruang tamu dengan punggung bersandar. Aku yang sedang mengetik kelanjutan karya tulisku seketika terhenti.Aku mengerutkan kening saat ada panggilan masuk.Nomor Mbak Reni terpampang sebagai pemanggilnya."Ah, ada apa Mbak Reni menghubungiku? Tidak biasanya langsung telepon gitu aja, biasanya kirim pesan dulu, menanyakan sibuk atau enggak, baru ia menelponku." Tak kunjung kuangkat panggilan itu, aku hanya menatap pada layar ponsel milikku itu.Karena rasa penasaran sebab Mbak Reni yang beberapa minggu terakhir tak menghubungiku, kini tiba-tiba menelponku, akhirnya kuangkat panggilan itu."Halo, Mbak. Assalamualaikum ...." Aku membuka percakapan begitu sambungan telepon terhubung."Waalaikumsalam, Nik. Kamu lagi ngapain? Lagi sibuk, nggak?" tanya Mbak Reni yang membuatku semakin bingung."Enggak, Mbak. Lagi santai saja. Ada apa ya, Mbak?""Hm, Nik. Maaf sebelumnya, bukan bermaksud apa-apa. Apa boleh Mbak bertanya sesuatu padamu?"Seketika jantung seperti berdegup lebih kencang. Sepertinya ada sesuatu hal yang begitu penting. Benar-ubenar tak biasanya.Iya, Mbak. Tanyakan saja," sahutku."Begini, Nik. Apa benar kalau kamu ...."Bersambung ya."Begini, Nik. Apa benar kalau kamu ...."Ucapan Mbak Reni terhenti, mungkin ia ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Akan tetapi aku memiliki firasat jika ibu telah mengadu banyak hal padanya. Termasuk soal uang belanja yang diberikan oleh Mas Rudi setiap bulannya. "Apa benar kalau Nika selama ini boros?" sahutku melanjutkan pertanyaan yang sepertinya ingin dilontarkan oleh Mbak Reni. Hening. Beberapa detik terjadi keheningan di antara kami, tak ada jawaban dari seberang sana, hingga akhirnya suara Mbak Reni kembali terdengar menelusup gendang telinga. "Hm, iya. Maaf, bukan maksud Mbak mencampuri urusan kamu, hanya saja Mbak merasa ragu saja dengan apa yang ibu katakan." Tuh, kan!Benar apa yang aku firasatkan. Pasti ibu mengadu yang bukan-bukan. "Kalau boleh tau, Mbak Reni setiap bulannya dikasih uang belanja berapa, Mbak, sama suami Mbak Reni?" tanyaku balik sebelum aku menjawab apa yang ditanyakan oleh Mbak Reni. "Mbak?""Iya." Singkat aku menjawab ucapan Mbak Reni. "Lima j
"Nik, ini tadi udah gajian. Ini jatah buat kamu seperti biasanya." Mas Rudi menyerahkan sebuah amplop coklat berbentuk persegi panjang ke arahku. Aku yang sedang berbaring dengan punggung bersandar di kepala ranjang membenarkan posisi. Aku duduk dengan kedua kaki bersila dan menghadap ke arah Mas Rudi. "Kan aku sudah bilang, biar kamu atur sendiri uangnya, Mas. Ucapanku kemarin bukan hanya untuk uang seratus lima puluh ribu itu saja, tapi untuk bulan-bulan berikutnya," ucapku tanpa sedikitpun rasa ragu. Bahkan sengaja kubuat setenang mungkin. "Tapi Mas malu, Nik, kalau tiap hari harus belanja ke warung itu. Apalagi selalu barengan sama ibu-ibu lainnya. Saat Mas sedang belanja, mereka saling bisik-bisik tau nggak sih. Mas ngerasa risih, Mas rasa mereka seperti membicarakan Mas loh," ucap Mas Rudi. Aku tersenyum samar. Ya jelas ditertawakan lah, Mas. Urusan dapur itu pekerjaan seorang istri, lah ini malah suaminya yang mengambil alih. "Memangnya kamu ada yang nanyain kenapa jadi
Hari yang kutunggu-tunggu telah tiba. Yaitu tanggal empat. Tanggal di mana aku setiap bulannya menerima gaji dari hasilku menulis. Bulan-bulan sebelumnya, setiap bulan aku hanya mendapatkan lima ratus ribu, berbeda dengan bulan ini. Kali ini aku mendapatkan lebih banyak trasnferan yaitu satu juta dua ratus. Bukan hanya nominal yang semakin banyak yang membuatku girang, tetapi uang sebanyak ini bisa kugunakan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Ya, tekadku sudah bulat. Aku tak mau menggunakan uang ini untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, tapi kugunakan untuk diriku sendiri. Rasanya aku sudah rindu sekali makan sate ayam, minum jus alpukat dingin dan juga membeli aneka cemilan di aprilmart. Kali ini aku akan membeli makanan apapun yang sejak dulu hanya bisa kubayangkan. Kupikir setelah semua keuangan diambil alih oleh Mas Rudi, maka aku bisa makan enak setiap harinya. Ternyata nggak jauh beda. Hanya saja, beban berat yang sempat menindih pundakku kini lenyap tak bersisa. Aku men
"Kamu ini loh, Nik, kok bisa-bisanya bikin malu! Minta traktir sama tetangga. Kayak-kayak kamu tuh nggak pernah dikasih makan enak aja sama suamimu! Malu-maluin!"Kedua bola mataku membulat sempurna begitu mendengar ucapan ibu. Bisa-bisanya ia mengucapkan kalimat seperti itu. "Lah, emang Ibu pernah lihat Nika makan enak? Jangankan untuk makan enak, Bu. Bisa makan sehari tiga kali sampai perut kenyang aja jarang-jarang," celetukku yang seketika membuat langkah ibu yang ada di depanku terhenti. Perempuan paruh baya itu memutar tubuh hingga akhirnya kami saling berhadapan. "Kamu ini kalau dibilangin jawab aja mulu, Nik!" sungut Ibu. Tanpa menjawab ucapannya, bergegas aku melanjutkan langkah yang sempat terhenti menuju ke arah dapur. Kubuang semua bekas-bekas makanan tadi, tak lupa aku membawa sekantong cemilan itu menuju ke kamar. "Nika, tunggu!" Suara Ibu kembali membuat tanganku yang akan membuka pintu terhenti. Aku menolehkan kepala lalu berkata,"Ada apa, Bu?" Kulihat ibu melang
"Nggak usah, Mas. Aku tak akan ambil seribu rupiah pun uang di dalam laci. Jadi, jangan khawatir," ucapku penuh dengan nada kecewa."Halah, kebiasaan! Gitu aja marah. Udah, aku mau kerja dulu, hati-hati perginya, jangan lama-lama di sana," ucap Mas Rudi. "Hm ...."Panggilan akhirnya kumatikan. Setelahnya aku kembali memasukkan ponsel di dalam tas sandang milikku. Begitu kurasa semua sudah masuk, aku melangkah keluar dengan tas sandang kutenteng di tangan kananku. Aku melangkah menuju ke kamar ibu, sebab aku yakin jika saat ini Ibu tengah mengistirahatkan tubuh lelahnya setelah melakukan perjalanan lumayan jauh. Tok!Tok!Tok!"Bu ...," panggilku. "Ada apa?" teriak Ibu dari dalam sana, hingga tak berselang lama terdengar suara derap langkah, hingga sepersekian detik kemudian pintu kamar terbuka. Saat pintu terbuka dan kini ibu sudah berdiri di depanku. Terlihat manik hitam milik Ibu tertuju pada tas yang kubawa lalu beralih menatapku dengan kening yang berkerut. "Bu, Nika mau pu
"Nika ... ibu kangen, Nduk ...." Suara itu terdengar begitu lirih. Lirih sekali.Cepat aku menolehkan kepala ke arah Ibu yang terbaring lemah di atas brankar, terlihat Ibu tengah membuka matanya yang begitu sayup nan lemah."Ibu ...." Suaraku terdengar serak. Bergegas aku mendekat ke arah Ibu lalu mencium tangannya berkali-kali, meluapkan rasa rindu yang sudah tak bisa dibendung lagi. "Ibu, Nika kangen Ibu ...." Air mata tak bisa kutahan lagi. Buliran bening itu meluncur begitu saja tanpa bisa dikendalikan lagi. Pun juga dengan Ibu, lelehan air mata terlihat dengan jelas keluar dari kedua sudut matanya. Sorot kerinduan terpancar dari kedua iris hitam itu. Aku mengusap pelan jejak-jejak air mata sembari tersenyum ke arah ibu, meskipun dengan air mata yang mengalir. "Nika rindu sekali sama Ibu ...." "Ibu jauh lebih rindu dengan kamu, Nduk ...."Air mata semakin mengucur dengan begitu derasnya seiring rasa sesak yang terasa begitu menyeruak. Aku terus menghapus jejak air mata di wa
Pov Rudi**"Istri kamu pulang kampung katanya!" ucap Ibu dengan nada bersungut-sungut begitu aku baru saja menginjakkan kaki di teras rumah. "Iya, Bu. Tadi Nika udah minta izin ke Rudi," ucapku sembari melangkah masuk ke dalam rumah. "Bilangin jangan lama-lama di sana. Kamu nggak kasihan kalau ibu kerjakan semuanya sendirian?" Aku menghembuskan napas berat. Badan terasa begitu lelah karena seharian bekerja, pulang-pulang disambut dengan repetan Ibu. "Iya, Bu. Nanti Rudi kasih tau ke Nika ya. Rudi capak, mau istirahat," ucapku menghindari perdebatan. Memang, selama ini Ibu sepertinya tak suka jika aku menikah dengan Nika. Sebab Ibu menginginkan seorang menantu karir. Katanya agar aku tak capek kerja sendirian. Ada yang bantu masalah perekonomian. Biar ada salah satu gaji di antara kami yang bisa utuh dan bisa ditabung. Begitu kata ibuku. Akan tetapi, aku tak menginginkan hal itu. Aku mau istriku berdiam diri di rumah. Cukup mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengurusku saja.
"Yaudah, simpan aja semua duit kamu. Nggak usah dikasih ke Nika sedikit pun. Biar Nika dikasih duit sama laki-laki lain. Utuh kan?" "Lah?!" Aku ternganga mendengar usulan Mbak Reni. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu? "Memang ada yang salah dengan yang Mbak katakan? Kan bener? Kalau pengen duitmu utuh, ya istrimu jangan kamu kasih. Biar nanti ada laki-laki lain yang memanjakan dan memberikan dia duit!" celetuk Mbak Reni lagi dengan begitu entengnya. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu. "Mbak ini apa sih?! Mbak mau rumah tangga Rudi hancur berantakan?!" Aku berucap dengan nada bersungut-sungut. "Hey, Rudy Sarudi! Asal kamu tau ya, uang itu sesuatu yang sangat sensitif di dalam hubungan rumah tangga! Kenapa kamu nggak mau percayakan keuangan kamu sama istrimu? Coba katakan, biar kudengar penjelasanmu itu!" Aku menghembuskan napas berat. Kalau sudah seperti ini, aku lah yang akan dipojokkan. Selalu saja aku yang disalahkan, padahal niatku sangatlah bagus. Tentu demi masa depa