Silakan Atur Sendiri Uangmu, Mas!
Part 5"Nika! Nika! Dimana kamu?" Karena terlalu kerasnya teriakan ibu mertua, hingga aku yang sedang di toilet kamar mandi bisa mendengar suaranya.Bergegas kuselesaikan ritualku di toilet lalu berjalan keluar."Ada apa sih, Bu? Masih pagi ini," ucapku menemui Ibu mertua yang saat ini sedang berdiri di teras rumah, mungkin tadi ibu mencariku ke luar.Ibu menolehkan kepalanya ke belakang, menghadapku."Kok belum ada masakan? Kamu nggak masak?" tanya Ibu dengan nada yang sedikit menurun.Aku menggelengkan kepala."Kok nggak masak? Terus suamimu mau berangkat kerja dalam kondisi perut lapar? Istri yang baik itu ....""Istri yang baik, istri yang baik, istri yang baik! Begitu aja terus yang ibu katakan. Kapan ibu bilang ke Mas Rudi suami yang baik itu seperti apa?" Aku memotong ucapan Ibu.Ibu memelototkan kedua bola matanya, ngeri sekali melihatnya. Seolah-olah bola mata itu ingin lepas dari tempatnya."Bu, kalau Nika masih pegang uang belanja, ya pasti masak, Bu. Tapi Nika nggak pegang uang sedikit pun!" ucapku geram.Aku mengelus perutku yang kian membuncit, rasa nyeri terasa menjalar di area sana.Aku menghela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan, jangan sampai aku emosi seperti ini lalu membahayakan janin yang ada di dalam kandunganku."Ibu tau nggak sih, Nika itu capek hidup kayak gini! Jangankan untuk membeli kebutuhan pribadi Nika, untuk makan saja Nika harus memeras otak!" sungutku, tak bisa kutebak bagaimana reaksi wajah itu."Kamu ini mbok ya bersyukur, Nik, dapat suami yang bisa kasih uang bulanan tetap, bersyukur suamimu masih mau menafkahimu, di luar sana banyak perempuan yang harus ikut banting tulang guna mencukupi kebutuhan rumah." Kali ini suara Ibu melemah.Mungkin ia sedikit merasa takut, sebab baru kali ini aku mengucapkan kalimat itu."Bu, bukannya Nika nggak bersyukur. Tapi uang segitu memang tidak cukup untuk diputar selama satu bulan. Ibu jangan melulu menyalahkan Nika bersikap seperti ini, dong! Selama ini Nika selalu melayani dan bersikap baik dengan Mas Rudi meskipun putra ibu itu kayak gitu sama Nika."Aku meraup udara dalam-dalam."Udah punya suami pelit, mertua yang cerewet ditambah dituntut terus jadi istri yang baik! Lebih baik jadi janda, Bu!"Ibu memelototkan kedua matanya."Hust! Bicara apa kamu itu. Hati-hati dalam berucap, bisa jadi doa ucapanmu itu, Nik!""Ya biarin, lebih baik jadi janda. Jadi istri bukannya seneng, ayem, tapi malah pusing!"Aku melenggang pergi meninggalkan ibu. Kali ini langkahku tertuju ke tempat pencucian baju.Seperti biasa, aku masih saja mengerjakan pekerjaanku sehari-hari. Untung saja sabun cuci masih ada, kalau habis, kubiarin semua baju kotor yang menumpuk biar semakin menggunung.Saat aku sedang membilas pakaian, terdengar suara Ibu memanggil namaku. Aku langsung mendekat ke arah Ibu yang ada di dapur."Ada apa, Bu?" tanyaku. Kulihat di atas meja sudah ada kantong kresek yang berisi sayuran. Mungkin setelah kutinggalkan, ibu pergi berbelanja."Bantu ibu masak. Keburu siang dan suamimu berangkat kerja!""Nika masih bilas pakaian, Bu. Setelah selesai, Nika bantu," ucapku.Ibu mengangguk. Setelahnya aku menyelesaikan cucianku.Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi, bergegas aku membangunkan Mas Rudi.Entahlah, lelaki itu sulit sekali dibangunkan. Bahkan, untuk sholat subuh pun ia enggan melakukan."Mas, sudah jam tujuh. Waktunya kerja ...." Aku menggoyangkan tubuh Mas Yoga yang masih berbaring di atas ranjang."Hm ...."Mas Rudi membuka pelan kedua matanya, setelahnya ia langsung bangkit dari pembaringan. Mengubah posisinya menjadi duduk. Terdengar ia menghembuskan napas kasar. Sesekali mulut itu masih menguap, pertanda rasa kantuk masih mendera.Salah sendiri, setiap hari bergadang hanya untuk main game."Segera mandi terus sarapan.""Iya."Aku meninggalkan Mas Rudi.****"Tumis kangkung sama tempe goreng tepung lagi. Tiap hari kayak gini terus makanannya," cerocos Mas Rudi sembari mencomot tempe goreng tepung lalu dimasukkan ke dalam mulutnya."Masih untung Ibu tadi mau belanja, Rud. Kalau ibu nggak belanja, nggak makan kamu!" celetuk Ibu yang tak suka dengan respon yang diberikan oleh putranya.Aku tak menggubris perbincangan mereka. Aku sibuk memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulutku."Kok ibu yang belanja?"Aku melirik sekilas ke arah Mas Rudi yang duduk di sampingku. Terlihat ia menatapku dan ibu secara bergantian."Kan aku udah bilang, Mas. Uang habis dan semua bahan habis," jawabku sekenanya sembari mengunyah makanan."Kan kamu tinggal minta, apa susahnya?"Aku meletakkan sendok lalu menatap tajam ke arah Mas Rudi."Sudah berapa kali aku minta duit sama kamu? Tapi kamu nggak mau ngasih!" Entahlah, lambat laun rasa hormatku pada suami semakin terkikis akibat sifat pelitnya itu.Aku mengalihkan pandanganku, kuambil kembali sendok yang sempat kuletakkan lalu kulanjutkan sarapan pagiku."Minta duit sama suami sendiri saja udah kayak ngemis," lirihku, tapi aku yakin Mas Rudi dan Ibu masih bisa mendengarnya, terbukti tiba-tiba dua pasang mata itu serempak menatap ke arahku.Tak ada yang menjawab ucapanku. Kami disibukkan dengan menu yang ada di depan kami masing-masing, hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring, hingga akhirnya suara ibu kembali memecah suasana hening."Nanti siang Ibu mau pergi ke rumah Mbak-mu."Tak kupedulikan ucapan Ibu, aku masih sibuk dengan nasi yang ada di piring. Aku hanya mendengar dan menyimak."Ibu naik apa ke sana? Dijemput sama Mas Rifa'i?" tanya Mas Rudi.Mas Rifa'i adalah nama kakak iparnya.Ya, suamiku dua bersaudara. Mbak Reni, nama kakak kandung suamiku. Umurnya nggak jauh beda, hanya selisih tiga tahun dengan Mas Rudi.Mbak Reni tinggal di kampung suaminya. Dari tempat tinggalku saat ini butuh waktu tiga jam untuk sampai ke sana.Hanya saja Mbak Reni sudah memiliki dua anak. Laki-laki dan perempuan."Nggak, naik bus nanti. Nggak jauh juga," ucap ibu mertua."Mbak-mu sedang sakit. Nggak ada yang urus. Tau sendiri kan suaminya sibuk kerja. Mertuanya pun sudah tua, nggak bisa urus mbak-mu yang sedang sakit. Ibu kangen juga, sudah berbulan-bulan nggak ketemu," ucap Ibu.Mas Rudi akhirnya mengiyakan ucapan Ibu. Kata Mas Rudi, ia akan memesankan ojek online untuk mengantarkan ibu ke terminal."Ibu ada uang?" Mendengar kalimat pertanyaan yang keluar dari bibir suamiku, sontak saja aku langsung menolehkan kepala ke arahnya."Kalau untuk biaya naik bus ada, Rud."Terlihat Mas Rudi merogoh saku celananya, dikeluarkannya dompet warna hitam berbentuk persegi itu.Mataku membulat saat kedua netraku menangkap lembaran merah memenuhi isi dompet milik Mas Rudi."Ini buat pegangan di sana, Bu." Mas Rudi mengulurkan beberapa lembar uang berwarna merah pada Ibu. Cepat wanita paruh baya menerima lembaran merah dari tangan suamiku.Aku menghela napas dalam-dalam, berharap mampu menormalkan degup jantung yang kian tak beraturan."Uang belanja habis kan, Nik? Ini, buat sampai gajian bulan depan mendatang."Mas Rudi mengulurkan padaku satu lembar uang pecahan seratus ribu dan satu lembar lagi pecahan lima puluh ribu.Seketika aku mengingat jika sekarang masih tanggal dua puluh lima, yang artinya uang bernominal seratus lima puluh ribu itu harus cukup untuk lima hari mendatang.Sedangkan aku ingat dengan jelas jika persediaan beras sudah habis, sayur habis dan bumbu-bumbu juga habis.Ya, ibu mertua tadi hanya membeli untuk dimasak hari ini saja. Beras satu kilo, kangkung dua ikat dan satu papan tempe."Ini, nggak mau?" Aku terkesiap mendengar kalimat Mas Rudi.Aku tersenyum manis, tanganku terulur ke arah tangan Mas Rudi yang juga terulur ke arahku sembari memegang dua lembar uang itu. Kudorong tangan Mas Rudi."Nggak, Mas. Makasih. Mas atur sendiri saja nanti, aku tinggal masak." Aku menunjukkan senyum termanisku."Nggak, Mas. Makasih. Mas atur sendiri saja nanti, aku tinggal masak." Aku menunjukkan senyum termanisku. Mendengar jawabanku tentu membuat kening Mas Rudi berkerut. "Serius nggak mau?" Binar kebahagiaan terpancar dengan jelas pada wajah itu. Ah, emang benar-benar langka suamiku yang satu ini. Kupikir ia akan membujukku agar menerima uang pemberiannya, akan tetapi di luar prediksiku. Aku menganggukkan kepala dengan yakin, tak lupa pula kutunjukkan senyum termanisku walau sebenarnya gemas sekali pada lelaki itu. Ingin kuuyel-uyel, kubejek-bejek kepalanya hingga menjadi bentuk persegi panjang. "Oh, oke." Mas Rudi memasukkan kembali uang seratus lima puluh ribu itu ke dalam dompetnya. Terlihat gurat kelegaan terpancar dari wajah itu. Lihat saja, Mas, setelah ini kamu akan pusing sendiri mikirin kebutuhan dapur dan sumur. ****Siang ini aku merebahkan tubuhku di depan televisi sembari menyalakan kipas angin. Kali ini aku bisa bertingkah sesuka hatiku. Bagaimana tidak, ibu mertua y
"Begini, Nik. Apa benar kalau kamu ...."Ucapan Mbak Reni terhenti, mungkin ia ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Akan tetapi aku memiliki firasat jika ibu telah mengadu banyak hal padanya. Termasuk soal uang belanja yang diberikan oleh Mas Rudi setiap bulannya. "Apa benar kalau Nika selama ini boros?" sahutku melanjutkan pertanyaan yang sepertinya ingin dilontarkan oleh Mbak Reni. Hening. Beberapa detik terjadi keheningan di antara kami, tak ada jawaban dari seberang sana, hingga akhirnya suara Mbak Reni kembali terdengar menelusup gendang telinga. "Hm, iya. Maaf, bukan maksud Mbak mencampuri urusan kamu, hanya saja Mbak merasa ragu saja dengan apa yang ibu katakan." Tuh, kan!Benar apa yang aku firasatkan. Pasti ibu mengadu yang bukan-bukan. "Kalau boleh tau, Mbak Reni setiap bulannya dikasih uang belanja berapa, Mbak, sama suami Mbak Reni?" tanyaku balik sebelum aku menjawab apa yang ditanyakan oleh Mbak Reni. "Mbak?""Iya." Singkat aku menjawab ucapan Mbak Reni. "Lima j
"Nik, ini tadi udah gajian. Ini jatah buat kamu seperti biasanya." Mas Rudi menyerahkan sebuah amplop coklat berbentuk persegi panjang ke arahku. Aku yang sedang berbaring dengan punggung bersandar di kepala ranjang membenarkan posisi. Aku duduk dengan kedua kaki bersila dan menghadap ke arah Mas Rudi. "Kan aku sudah bilang, biar kamu atur sendiri uangnya, Mas. Ucapanku kemarin bukan hanya untuk uang seratus lima puluh ribu itu saja, tapi untuk bulan-bulan berikutnya," ucapku tanpa sedikitpun rasa ragu. Bahkan sengaja kubuat setenang mungkin. "Tapi Mas malu, Nik, kalau tiap hari harus belanja ke warung itu. Apalagi selalu barengan sama ibu-ibu lainnya. Saat Mas sedang belanja, mereka saling bisik-bisik tau nggak sih. Mas ngerasa risih, Mas rasa mereka seperti membicarakan Mas loh," ucap Mas Rudi. Aku tersenyum samar. Ya jelas ditertawakan lah, Mas. Urusan dapur itu pekerjaan seorang istri, lah ini malah suaminya yang mengambil alih. "Memangnya kamu ada yang nanyain kenapa jadi
Hari yang kutunggu-tunggu telah tiba. Yaitu tanggal empat. Tanggal di mana aku setiap bulannya menerima gaji dari hasilku menulis. Bulan-bulan sebelumnya, setiap bulan aku hanya mendapatkan lima ratus ribu, berbeda dengan bulan ini. Kali ini aku mendapatkan lebih banyak trasnferan yaitu satu juta dua ratus. Bukan hanya nominal yang semakin banyak yang membuatku girang, tetapi uang sebanyak ini bisa kugunakan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Ya, tekadku sudah bulat. Aku tak mau menggunakan uang ini untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, tapi kugunakan untuk diriku sendiri. Rasanya aku sudah rindu sekali makan sate ayam, minum jus alpukat dingin dan juga membeli aneka cemilan di aprilmart. Kali ini aku akan membeli makanan apapun yang sejak dulu hanya bisa kubayangkan. Kupikir setelah semua keuangan diambil alih oleh Mas Rudi, maka aku bisa makan enak setiap harinya. Ternyata nggak jauh beda. Hanya saja, beban berat yang sempat menindih pundakku kini lenyap tak bersisa. Aku men
"Kamu ini loh, Nik, kok bisa-bisanya bikin malu! Minta traktir sama tetangga. Kayak-kayak kamu tuh nggak pernah dikasih makan enak aja sama suamimu! Malu-maluin!"Kedua bola mataku membulat sempurna begitu mendengar ucapan ibu. Bisa-bisanya ia mengucapkan kalimat seperti itu. "Lah, emang Ibu pernah lihat Nika makan enak? Jangankan untuk makan enak, Bu. Bisa makan sehari tiga kali sampai perut kenyang aja jarang-jarang," celetukku yang seketika membuat langkah ibu yang ada di depanku terhenti. Perempuan paruh baya itu memutar tubuh hingga akhirnya kami saling berhadapan. "Kamu ini kalau dibilangin jawab aja mulu, Nik!" sungut Ibu. Tanpa menjawab ucapannya, bergegas aku melanjutkan langkah yang sempat terhenti menuju ke arah dapur. Kubuang semua bekas-bekas makanan tadi, tak lupa aku membawa sekantong cemilan itu menuju ke kamar. "Nika, tunggu!" Suara Ibu kembali membuat tanganku yang akan membuka pintu terhenti. Aku menolehkan kepala lalu berkata,"Ada apa, Bu?" Kulihat ibu melang
"Nggak usah, Mas. Aku tak akan ambil seribu rupiah pun uang di dalam laci. Jadi, jangan khawatir," ucapku penuh dengan nada kecewa."Halah, kebiasaan! Gitu aja marah. Udah, aku mau kerja dulu, hati-hati perginya, jangan lama-lama di sana," ucap Mas Rudi. "Hm ...."Panggilan akhirnya kumatikan. Setelahnya aku kembali memasukkan ponsel di dalam tas sandang milikku. Begitu kurasa semua sudah masuk, aku melangkah keluar dengan tas sandang kutenteng di tangan kananku. Aku melangkah menuju ke kamar ibu, sebab aku yakin jika saat ini Ibu tengah mengistirahatkan tubuh lelahnya setelah melakukan perjalanan lumayan jauh. Tok!Tok!Tok!"Bu ...," panggilku. "Ada apa?" teriak Ibu dari dalam sana, hingga tak berselang lama terdengar suara derap langkah, hingga sepersekian detik kemudian pintu kamar terbuka. Saat pintu terbuka dan kini ibu sudah berdiri di depanku. Terlihat manik hitam milik Ibu tertuju pada tas yang kubawa lalu beralih menatapku dengan kening yang berkerut. "Bu, Nika mau pu
"Nika ... ibu kangen, Nduk ...." Suara itu terdengar begitu lirih. Lirih sekali.Cepat aku menolehkan kepala ke arah Ibu yang terbaring lemah di atas brankar, terlihat Ibu tengah membuka matanya yang begitu sayup nan lemah."Ibu ...." Suaraku terdengar serak. Bergegas aku mendekat ke arah Ibu lalu mencium tangannya berkali-kali, meluapkan rasa rindu yang sudah tak bisa dibendung lagi. "Ibu, Nika kangen Ibu ...." Air mata tak bisa kutahan lagi. Buliran bening itu meluncur begitu saja tanpa bisa dikendalikan lagi. Pun juga dengan Ibu, lelehan air mata terlihat dengan jelas keluar dari kedua sudut matanya. Sorot kerinduan terpancar dari kedua iris hitam itu. Aku mengusap pelan jejak-jejak air mata sembari tersenyum ke arah ibu, meskipun dengan air mata yang mengalir. "Nika rindu sekali sama Ibu ...." "Ibu jauh lebih rindu dengan kamu, Nduk ...."Air mata semakin mengucur dengan begitu derasnya seiring rasa sesak yang terasa begitu menyeruak. Aku terus menghapus jejak air mata di wa
Pov Rudi**"Istri kamu pulang kampung katanya!" ucap Ibu dengan nada bersungut-sungut begitu aku baru saja menginjakkan kaki di teras rumah. "Iya, Bu. Tadi Nika udah minta izin ke Rudi," ucapku sembari melangkah masuk ke dalam rumah. "Bilangin jangan lama-lama di sana. Kamu nggak kasihan kalau ibu kerjakan semuanya sendirian?" Aku menghembuskan napas berat. Badan terasa begitu lelah karena seharian bekerja, pulang-pulang disambut dengan repetan Ibu. "Iya, Bu. Nanti Rudi kasih tau ke Nika ya. Rudi capak, mau istirahat," ucapku menghindari perdebatan. Memang, selama ini Ibu sepertinya tak suka jika aku menikah dengan Nika. Sebab Ibu menginginkan seorang menantu karir. Katanya agar aku tak capek kerja sendirian. Ada yang bantu masalah perekonomian. Biar ada salah satu gaji di antara kami yang bisa utuh dan bisa ditabung. Begitu kata ibuku. Akan tetapi, aku tak menginginkan hal itu. Aku mau istriku berdiam diri di rumah. Cukup mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengurusku saja.