"Nggak usah, Mas. Aku tak akan ambil seribu rupiah pun uang di dalam laci. Jadi, jangan khawatir," ucapku penuh dengan nada kecewa."Halah, kebiasaan! Gitu aja marah. Udah, aku mau kerja dulu, hati-hati perginya, jangan lama-lama di sana," ucap Mas Rudi. "Hm ...."Panggilan akhirnya kumatikan. Setelahnya aku kembali memasukkan ponsel di dalam tas sandang milikku. Begitu kurasa semua sudah masuk, aku melangkah keluar dengan tas sandang kutenteng di tangan kananku. Aku melangkah menuju ke kamar ibu, sebab aku yakin jika saat ini Ibu tengah mengistirahatkan tubuh lelahnya setelah melakukan perjalanan lumayan jauh. Tok!Tok!Tok!"Bu ...," panggilku. "Ada apa?" teriak Ibu dari dalam sana, hingga tak berselang lama terdengar suara derap langkah, hingga sepersekian detik kemudian pintu kamar terbuka. Saat pintu terbuka dan kini ibu sudah berdiri di depanku. Terlihat manik hitam milik Ibu tertuju pada tas yang kubawa lalu beralih menatapku dengan kening yang berkerut. "Bu, Nika mau pu
"Nika ... ibu kangen, Nduk ...." Suara itu terdengar begitu lirih. Lirih sekali.Cepat aku menolehkan kepala ke arah Ibu yang terbaring lemah di atas brankar, terlihat Ibu tengah membuka matanya yang begitu sayup nan lemah."Ibu ...." Suaraku terdengar serak. Bergegas aku mendekat ke arah Ibu lalu mencium tangannya berkali-kali, meluapkan rasa rindu yang sudah tak bisa dibendung lagi. "Ibu, Nika kangen Ibu ...." Air mata tak bisa kutahan lagi. Buliran bening itu meluncur begitu saja tanpa bisa dikendalikan lagi. Pun juga dengan Ibu, lelehan air mata terlihat dengan jelas keluar dari kedua sudut matanya. Sorot kerinduan terpancar dari kedua iris hitam itu. Aku mengusap pelan jejak-jejak air mata sembari tersenyum ke arah ibu, meskipun dengan air mata yang mengalir. "Nika rindu sekali sama Ibu ...." "Ibu jauh lebih rindu dengan kamu, Nduk ...."Air mata semakin mengucur dengan begitu derasnya seiring rasa sesak yang terasa begitu menyeruak. Aku terus menghapus jejak air mata di wa
Pov Rudi**"Istri kamu pulang kampung katanya!" ucap Ibu dengan nada bersungut-sungut begitu aku baru saja menginjakkan kaki di teras rumah. "Iya, Bu. Tadi Nika udah minta izin ke Rudi," ucapku sembari melangkah masuk ke dalam rumah. "Bilangin jangan lama-lama di sana. Kamu nggak kasihan kalau ibu kerjakan semuanya sendirian?" Aku menghembuskan napas berat. Badan terasa begitu lelah karena seharian bekerja, pulang-pulang disambut dengan repetan Ibu. "Iya, Bu. Nanti Rudi kasih tau ke Nika ya. Rudi capak, mau istirahat," ucapku menghindari perdebatan. Memang, selama ini Ibu sepertinya tak suka jika aku menikah dengan Nika. Sebab Ibu menginginkan seorang menantu karir. Katanya agar aku tak capek kerja sendirian. Ada yang bantu masalah perekonomian. Biar ada salah satu gaji di antara kami yang bisa utuh dan bisa ditabung. Begitu kata ibuku. Akan tetapi, aku tak menginginkan hal itu. Aku mau istriku berdiam diri di rumah. Cukup mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengurusku saja.
"Yaudah, simpan aja semua duit kamu. Nggak usah dikasih ke Nika sedikit pun. Biar Nika dikasih duit sama laki-laki lain. Utuh kan?" "Lah?!" Aku ternganga mendengar usulan Mbak Reni. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu? "Memang ada yang salah dengan yang Mbak katakan? Kan bener? Kalau pengen duitmu utuh, ya istrimu jangan kamu kasih. Biar nanti ada laki-laki lain yang memanjakan dan memberikan dia duit!" celetuk Mbak Reni lagi dengan begitu entengnya. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu. "Mbak ini apa sih?! Mbak mau rumah tangga Rudi hancur berantakan?!" Aku berucap dengan nada bersungut-sungut. "Hey, Rudy Sarudi! Asal kamu tau ya, uang itu sesuatu yang sangat sensitif di dalam hubungan rumah tangga! Kenapa kamu nggak mau percayakan keuangan kamu sama istrimu? Coba katakan, biar kudengar penjelasanmu itu!" Aku menghembuskan napas berat. Kalau sudah seperti ini, aku lah yang akan dipojokkan. Selalu saja aku yang disalahkan, padahal niatku sangatlah bagus. Tentu demi masa depa
"Kamu mau itung-itungan sama ibu?! Ingat, Rud! Ibu yang telah melahirkanmu! Surgamu ada di bawah kakiku! Air susu yang telah ibu berikan sama kamu, tidak akan pernah bisa diganti dengan tumpukan uang sekalipun, Rud! Dan sekarang kamu mau itung-itungan sama ibu?!" Kalau sudah mengucapkan kalimat itu, tentu membuatku tak bisa berkutik. Selalu saja begitu, ibu mengeluarkan kalimat andalannya jika apa yang ia minta selalu tak kuberikan. Selama ibu ikut denganku, semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Nika. Mulai dari soal makan dan mencuci pakaian. Jika semua saja sudah disediakan oleh Nika, itu tak membuat Ibu berhenti meminta uang. Ia selalu minta tujuh ratus ribu setiap bulannya. Katanya buat jaga-jaga saja. "Kamu bisa seperti ini juga karena ibu, Rud. Ibu yang sekolahin kamu hingga lulus SMA. Ibu banting tulang seorang diri agar kamu bisa nantinya mudah mencari pekerjaan. Lihatlah, begitu banyak teman sebayamu yang SMP pun sudah berhenti!" ucap Ibu bersungut-sungut dengan nada sepert
"Enggak. Kenapa? Jangan-jangan kamu tipe suami yang perhitungan?" Hendro menatapku dengan sorot mata menyelidik. Aku menelan saliva dengan susah payah. Setelahnya aku berucap,"Enak aja, nggak lah!" Cepat aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, setelahnya tanganku meraih sedotan yang ada di gelasku, mengaduknya lalu menyesap es jeruk yang masih tersisa setengahnya. "Oh, syukurlah. Jangan sampai jadi lelaki yang pelit, perhitungan. Apalagi memberikan jatah senilai segini, cukup nggak cukup harus dicukupkan." Ucapan Hendro semakin membuatku kikuk. Bagaimana tidak, apa yang diucapkannya adalah seperti yang aku lakukan. Aku hanya diam sembari menganggukkan kepala. Satu patah kata pun aku tak menjawabnya. Tak mungkin kan aku berdebat dengan seseorang yang prinsipnya bertolak belakang. Percuma. Hanya buang-buang tenaga. Andai kata kujelaskan semua alasannya, ia tak akan memahaminya juga. Seperti Mbak Reni misalnya. ****Hari ini adalah hari ke tujuh Nika pulang ke rumah orangtuanya
Pov Nika**"Keterlaluan sekali sih kamu, Mas. Masa iya ke sini nggak bawa apapun. Padahal beli oleh-oleh juga nggak sampai menghabiskan seluruh uangmu! Jangan gitu dong, Mas. Gimana kalau Bapak ibu menyadari betapa pelitnya menantunya ini?!" tanyaku dengan nada sedikit tinggi dan penuh dengan penekanan. Mendengar ucapanku, membuat Mas Rudi berjalan satu langkah lalu melongokkan kepalanya ke arah luar. Mungkin ia ingin melihat keadaan sekitar kami. Mas Rudi kembali menatap ke arahku. "Jangan kenceng-kenceng gitu dong, gimana kalau keluargamu denger?" desis Mas Rudi yang tak suka dengan ucapanku. "Ya biarin mereka tau seperti apa menantunya ini!" ucapku tak kalah sewot. "Ya Allah, Nika. Mana sempet aku beli oleh-oleh. Di bus mana ada sih yang jual jajanan," ucap suamiku dengan nada melemah."Pakai ini dong, Mas!" Aku menempelkan telunjuk ke arah pelipis. "Setelah turun dari bus, kamu kan naik ojek. Kan bisa berhenti bentar di toko buah atau minimarket!" celetukku yang semakin ke
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku bisa belanja sebanyak ini. Ada tiga kantong yang ada di tanganku. Terlihat dengan jelas raut wajah Mas Rudi tak ada binarnya. Mungkin ia kesal, sebab hanya dalam waktu beberapa jam aku menghabiskan enam ratus ribu rupiah. Setengah dari nominal belanja bulananku. Tak cukup sampai di situ, sebelum bener-benar pulang, aku memintanya untuk pergi ke mesin ATM lagi. Aku memintanya uang sebesar satu juta lagi!"Cemberut amat, Mas?! Nggak ikhlas nyenengin istri sekali aja?" celetukku saat melihat Mas Rudi begitu masuk rumah langsung berjalan menuju ke kamar lalu mendudukkan tubuhnya di ranjang. Sejenak lelaki-ku itu membuang pandang ke arah pintu yang tertutup lalu kembali mengarahkan pandangannya padaku. "Kamu itu loh, bisa-bisanya kuras uangku," sungut Mas Rudi dengan nada lirih. "Lah?! Kuras darimana maksud kamu?! Uangmu, itu artinya uangku, Mas. Timbang habis segitu doang kamu marah-marah kayak gini. Kalau kamu nggak ikhlas, ambil lagi aja ua