Share

Bab 7

"Begini, Nik. Apa benar kalau kamu ...."

Ucapan Mbak Reni terhenti, mungkin ia ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Akan tetapi aku memiliki firasat jika ibu telah mengadu banyak hal padanya. Termasuk soal uang belanja yang diberikan oleh Mas Rudi setiap bulannya.

"Apa benar kalau Nika selama ini boros?" sahutku melanjutkan pertanyaan yang sepertinya ingin dilontarkan oleh Mbak Reni.

Hening.

Beberapa detik terjadi keheningan di antara kami, tak ada jawaban dari seberang sana, hingga akhirnya suara Mbak Reni kembali terdengar menelusup gendang telinga.

"Hm, iya. Maaf, bukan maksud Mbak mencampuri urusan kamu, hanya saja Mbak merasa ragu saja dengan apa yang ibu katakan."

Tuh, kan!

Benar apa yang aku firasatkan. Pasti ibu mengadu yang bukan-bukan.

"Kalau boleh tau, Mbak Reni setiap bulannya dikasih uang belanja berapa, Mbak, sama suami Mbak Reni?" tanyaku balik sebelum aku menjawab apa yang ditanyakan oleh Mbak Reni.

"Mbak?"

"Iya." Singkat aku menjawab ucapan Mbak Reni.

"Lima juta per bulan, Nik."

Aku menghembuskan napas kasar.

"Tapi itu nggak semua habis, Mbak masih bisa menyisakan sejuta atau sejuta lima ratus buat tabungan," lanjut Mbak Reni.

"Berati per bulan pengeluaran kisaran empat juta ya, Mbak? Itu hanya untuk belanja bulanan saja atau semua kebutuhan Mbak Reni?"

"Semuanya, Nik. Mbak kan nggak ada angsuran setiap bulannya. Jadi segitu udah mencakup keperluan rumah, anak sama skincare. Gaji suami Mbak nggak sebanyak Rudi. Suami mbak hanya dapat pegangan sejuta per bulan untuk ongkos bensin, rokok sama makan siang," jawab Mbak Reni.

"Menurut Mbak Reni, gimana kalau seorang suami kasih uang empat juta per bulan ...."

"Nominal segitu masih aman sih, Nik, menurutku. Kamu dikasih uang segitu per bulan?"

"Sebentar, Mbak, aku belum selesai bicara," ucapku menanggapi omongan Mbak Reni yang langsung memotong ucapanku begitu saja.

"Ok, maaf."

Aku meraup udara dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk kembali memulai penjelasan.

"Mas Rudi tiap bulan kasih uang aku empat juta rupiah dari gajinya yang totalnya tujuh juta. Hanya saja uang itu untuk bayar angsuran rumah dan motor sebanyak tiga juta rupiah. Itu nggak bisa diganggu gugat lagi nominal segitu. Selama ini Nika hanya kebagian uang satu juta untuk biaya hidup selama satu bulan lamanya untuk menghidupi tiga orang dewasa. Apa menurut Mbak Reni aku bisa menyisihkan sedikit uang jika setiap bulannya aku hanya kebagian satu juta, Mbak?!"

"Apa?! Jadi Rudi hanya kasih uang sejuta setiap bulan?! G*la! Benar-benar g*la kayaknya si Rudi itu," ucap Mbak Reni dengan nada terkejutnya.

Bisa kubayangkan, jika saat ini ekspresi Mbak Reni pasti terbengong dengan kedua bola mata yang membelalak sembari menggelengkan kepala.

Ya, meskipun kami tak sering bertemu, tapi kami cukup dekat. Hampir setiap hari kami selalu berbalas pesan walau hanya saling bertanya kabar. Hanya saja, beberapa minggu terakhir kami tak saling menyapa. Tentu karena kesibukan masin-masing di antara kita.

Selama mengenal Mbak Reni, perempuan berusia tiga puluh tiga tahun itu merupakan sosok ipar yang baik. Hanya saja, aku memang tak pernah menceritakan soal sikap adik semata wayangnya itu.

"Iya, Mbak. Memang seg*la itulah Mas Rudi," jawabku sekenanya.

"Tapi serius dengan yang kamu katakan, Nik? Apa ibu juga tau kalau kamu hanya dapat uang belanja segitu?"

"Iya, Mbak. Aku serius. Mana ada aku boong," sahutku cepat.

"Ibu pasti tau lah, Mbak. Tapi entahlah, Ibu seolah-olah terus menyalahkan aku. Katanya boros lah, nggak pandai atur keuangan lah, hidup foya-foya lah. Gimana nggak makin kurus akunya, Mbak, udah pusing mikirin kebutuhan, ditambah mertua yang super duper langka kayak gitu ...." Aku luapkan kekesalanku.

Mendengar aku yang berucap dengan bersungut-sungut, membuat Mbak Reni menyemburkan gelak tawa.

"Maaf, maaf, bukan maksud Mbak menertawakan penderitaanmu, Nika. Kita, sebagai anak usahakan memaklumi tingkah orangtua. Maafkan ibu ya, Nik. Namanya juga orangtua, pasti menginginkan anaknya bisa mapan, banyak tabungan," ucap Mbak Reni.

Aku mencebikkan bibir.

Mudah saja bilang seperti itu. Lah bagaimana jika dia yang mendapatkan nasib sepertiku?

Namanya setiap orang pasti menginginkan bisa segera mapan, banyak aset, banyak tabungan, akan tetapi bagaimana bisa aku menabung jika yang ditabung saja tidak ada?

Bisa menutupi semua kebutuhan saja sudah bersyukur.

Andai aku tidak dalam keadaan mengandung, pasti aku sudah mencari pekerjaan di luar sana.

Seketika aku teringat akan ucapan Ibu sewaktu aku masih bekerja dan belum menikah.

"Usahakan setelah menikah kamu tetap bekerja, Nik. Bukan apa-apa, hanya untuk jaga-jaga kalau suami tidak bisa diandalkan. Dengan kita bekerja, setidaknya kita bisa membeli apapun yang kita mau. Uang dari suami kurang, kita nggak ambil pusing. Kita masih bisa mencukupinya," jelas Ibu.

"Terkadang, seorang istri itu hanya dianggap beban sama suami. Padahal jelas-jelas mencukupi kebutuhan istri adalah tanggung jawab seorang lelaki. Hm ... tak apa kita nggak bekerja, asal suami tanggung jawab, kalau suami tak seperti yang kita harapkan gimana? Iya ... ibu tau, kita harus berdoa yang bagus-bagus, akan tetapi, bukankah kita juga harus memikirkan kemungkinan terburuknya juga?" lanjut Ibu dengan wajah serius.

"Ibu berdoa, semoga kelak kamu mendapatkan suami yang seperti ayah kamu, Nduk. Meskipun belum bisa memberikan kemewahan, tapi tanggung jawab."

Aku meng-Aaminkan sebait doa yang ibu ucapkan.

"Eh, Nik. Tapi Rudi pernah bilang sama Mbak kalau hasil dia kerja semua dikasih sama kamu. Bahkan, dia bilangnya kalau kamu hanya memberikan uang ongkos bensin untuk dia berangkat dan pulang kerja dua puluh ribu."

Aku membulatkan kedua bola mataku.

Ah, Mas Rudi! Kenapa kau membuatku semakin gemas sekali ...?!

"Soalnya, sebelum menikah Mbak memang sudah bilang sama dia, kalau istrinya kelak menjadi tanggung jawab dia sepenuhnya. Bahkan Mbak juga bilang kalau seluruh uang suami adalah mutlak milik istri, sedangkan uang milik istri seperserpun tak ada hak suami di dalamnya. Dia ngangguk-ngangguk aja. Mbak bilang gitu soalnya Mbak tau betul, sejak dulu Rudi memang sikapnya kayak gitu."

"Bilang aja pelit, Mbak. Pakek kata kayak gitu segala," celetukku yang membuat Mbak Reni kembali tergelak tawa.

Tawa Mas Reni terdengar begitu renyah sekali di gendang telingaku.

"Sekarang Mbak dukung kamu, kalau kamu nggak mau atur lagi uang dia. Ya, itu lebih baik. Biar dia yang handel semuanya, termasuk belanja dapur dan bayar tagihannya. Biar kamu nggak pusing. Ya ... semoga saja dengan cara seperti ini mata Rudi jadi melek kalau uang sejuta di jaman sekarang tak ada artinya apa-apa."

"Iya, Mbak. Doakan saja semoga Mas Rudi bisa berubah. Kalau tetap seperti itu, Nika yang akan mengambil keputusan tegas," ucapku yakin.

"Apa? Jangan bilang kamu minta cerai, ya ...."

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Zhuu
Depo maning…depo maning
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ini suaminya keterlaluan banget
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Gaji 7 jt ksh bini 4 jt sisa 3 jt dikemanain?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status