"Begini, Nik. Apa benar kalau kamu ...."
Ucapan Mbak Reni terhenti, mungkin ia ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Akan tetapi aku memiliki firasat jika ibu telah mengadu banyak hal padanya. Termasuk soal uang belanja yang diberikan oleh Mas Rudi setiap bulannya."Apa benar kalau Nika selama ini boros?" sahutku melanjutkan pertanyaan yang sepertinya ingin dilontarkan oleh Mbak Reni.Hening.Beberapa detik terjadi keheningan di antara kami, tak ada jawaban dari seberang sana, hingga akhirnya suara Mbak Reni kembali terdengar menelusup gendang telinga."Hm, iya. Maaf, bukan maksud Mbak mencampuri urusan kamu, hanya saja Mbak merasa ragu saja dengan apa yang ibu katakan."Tuh, kan!Benar apa yang aku firasatkan. Pasti ibu mengadu yang bukan-bukan."Kalau boleh tau, Mbak Reni setiap bulannya dikasih uang belanja berapa, Mbak, sama suami Mbak Reni?" tanyaku balik sebelum aku menjawab apa yang ditanyakan oleh Mbak Reni."Mbak?""Iya." Singkat aku menjawab ucapan Mbak Reni."Lima juta per bulan, Nik."Aku menghembuskan napas kasar."Tapi itu nggak semua habis, Mbak masih bisa menyisakan sejuta atau sejuta lima ratus buat tabungan," lanjut Mbak Reni."Berati per bulan pengeluaran kisaran empat juta ya, Mbak? Itu hanya untuk belanja bulanan saja atau semua kebutuhan Mbak Reni?""Semuanya, Nik. Mbak kan nggak ada angsuran setiap bulannya. Jadi segitu udah mencakup keperluan rumah, anak sama skincare. Gaji suami Mbak nggak sebanyak Rudi. Suami mbak hanya dapat pegangan sejuta per bulan untuk ongkos bensin, rokok sama makan siang," jawab Mbak Reni."Menurut Mbak Reni, gimana kalau seorang suami kasih uang empat juta per bulan ....""Nominal segitu masih aman sih, Nik, menurutku. Kamu dikasih uang segitu per bulan?""Sebentar, Mbak, aku belum selesai bicara," ucapku menanggapi omongan Mbak Reni yang langsung memotong ucapanku begitu saja."Ok, maaf."Aku meraup udara dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk kembali memulai penjelasan."Mas Rudi tiap bulan kasih uang aku empat juta rupiah dari gajinya yang totalnya tujuh juta. Hanya saja uang itu untuk bayar angsuran rumah dan motor sebanyak tiga juta rupiah. Itu nggak bisa diganggu gugat lagi nominal segitu. Selama ini Nika hanya kebagian uang satu juta untuk biaya hidup selama satu bulan lamanya untuk menghidupi tiga orang dewasa. Apa menurut Mbak Reni aku bisa menyisihkan sedikit uang jika setiap bulannya aku hanya kebagian satu juta, Mbak?!""Apa?! Jadi Rudi hanya kasih uang sejuta setiap bulan?! G*la! Benar-benar g*la kayaknya si Rudi itu," ucap Mbak Reni dengan nada terkejutnya.Bisa kubayangkan, jika saat ini ekspresi Mbak Reni pasti terbengong dengan kedua bola mata yang membelalak sembari menggelengkan kepala.Ya, meskipun kami tak sering bertemu, tapi kami cukup dekat. Hampir setiap hari kami selalu berbalas pesan walau hanya saling bertanya kabar. Hanya saja, beberapa minggu terakhir kami tak saling menyapa. Tentu karena kesibukan masin-masing di antara kita.Selama mengenal Mbak Reni, perempuan berusia tiga puluh tiga tahun itu merupakan sosok ipar yang baik. Hanya saja, aku memang tak pernah menceritakan soal sikap adik semata wayangnya itu."Iya, Mbak. Memang seg*la itulah Mas Rudi," jawabku sekenanya."Tapi serius dengan yang kamu katakan, Nik? Apa ibu juga tau kalau kamu hanya dapat uang belanja segitu?""Iya, Mbak. Aku serius. Mana ada aku boong," sahutku cepat."Ibu pasti tau lah, Mbak. Tapi entahlah, Ibu seolah-olah terus menyalahkan aku. Katanya boros lah, nggak pandai atur keuangan lah, hidup foya-foya lah. Gimana nggak makin kurus akunya, Mbak, udah pusing mikirin kebutuhan, ditambah mertua yang super duper langka kayak gitu ...." Aku luapkan kekesalanku.Mendengar aku yang berucap dengan bersungut-sungut, membuat Mbak Reni menyemburkan gelak tawa."Maaf, maaf, bukan maksud Mbak menertawakan penderitaanmu, Nika. Kita, sebagai anak usahakan memaklumi tingkah orangtua. Maafkan ibu ya, Nik. Namanya juga orangtua, pasti menginginkan anaknya bisa mapan, banyak tabungan," ucap Mbak Reni.Aku mencebikkan bibir.Mudah saja bilang seperti itu. Lah bagaimana jika dia yang mendapatkan nasib sepertiku?Namanya setiap orang pasti menginginkan bisa segera mapan, banyak aset, banyak tabungan, akan tetapi bagaimana bisa aku menabung jika yang ditabung saja tidak ada?Bisa menutupi semua kebutuhan saja sudah bersyukur.Andai aku tidak dalam keadaan mengandung, pasti aku sudah mencari pekerjaan di luar sana.Seketika aku teringat akan ucapan Ibu sewaktu aku masih bekerja dan belum menikah."Usahakan setelah menikah kamu tetap bekerja, Nik. Bukan apa-apa, hanya untuk jaga-jaga kalau suami tidak bisa diandalkan. Dengan kita bekerja, setidaknya kita bisa membeli apapun yang kita mau. Uang dari suami kurang, kita nggak ambil pusing. Kita masih bisa mencukupinya," jelas Ibu."Terkadang, seorang istri itu hanya dianggap beban sama suami. Padahal jelas-jelas mencukupi kebutuhan istri adalah tanggung jawab seorang lelaki. Hm ... tak apa kita nggak bekerja, asal suami tanggung jawab, kalau suami tak seperti yang kita harapkan gimana? Iya ... ibu tau, kita harus berdoa yang bagus-bagus, akan tetapi, bukankah kita juga harus memikirkan kemungkinan terburuknya juga?" lanjut Ibu dengan wajah serius."Ibu berdoa, semoga kelak kamu mendapatkan suami yang seperti ayah kamu, Nduk. Meskipun belum bisa memberikan kemewahan, tapi tanggung jawab."Aku meng-Aaminkan sebait doa yang ibu ucapkan."Eh, Nik. Tapi Rudi pernah bilang sama Mbak kalau hasil dia kerja semua dikasih sama kamu. Bahkan, dia bilangnya kalau kamu hanya memberikan uang ongkos bensin untuk dia berangkat dan pulang kerja dua puluh ribu."Aku membulatkan kedua bola mataku.Ah, Mas Rudi! Kenapa kau membuatku semakin gemas sekali ...?!"Soalnya, sebelum menikah Mbak memang sudah bilang sama dia, kalau istrinya kelak menjadi tanggung jawab dia sepenuhnya. Bahkan Mbak juga bilang kalau seluruh uang suami adalah mutlak milik istri, sedangkan uang milik istri seperserpun tak ada hak suami di dalamnya. Dia ngangguk-ngangguk aja. Mbak bilang gitu soalnya Mbak tau betul, sejak dulu Rudi memang sikapnya kayak gitu.""Bilang aja pelit, Mbak. Pakek kata kayak gitu segala," celetukku yang membuat Mbak Reni kembali tergelak tawa.Tawa Mas Reni terdengar begitu renyah sekali di gendang telingaku."Sekarang Mbak dukung kamu, kalau kamu nggak mau atur lagi uang dia. Ya, itu lebih baik. Biar dia yang handel semuanya, termasuk belanja dapur dan bayar tagihannya. Biar kamu nggak pusing. Ya ... semoga saja dengan cara seperti ini mata Rudi jadi melek kalau uang sejuta di jaman sekarang tak ada artinya apa-apa.""Iya, Mbak. Doakan saja semoga Mas Rudi bisa berubah. Kalau tetap seperti itu, Nika yang akan mengambil keputusan tegas," ucapku yakin."Apa? Jangan bilang kamu minta cerai, ya ....""Nik, ini tadi udah gajian. Ini jatah buat kamu seperti biasanya." Mas Rudi menyerahkan sebuah amplop coklat berbentuk persegi panjang ke arahku. Aku yang sedang berbaring dengan punggung bersandar di kepala ranjang membenarkan posisi. Aku duduk dengan kedua kaki bersila dan menghadap ke arah Mas Rudi. "Kan aku sudah bilang, biar kamu atur sendiri uangnya, Mas. Ucapanku kemarin bukan hanya untuk uang seratus lima puluh ribu itu saja, tapi untuk bulan-bulan berikutnya," ucapku tanpa sedikitpun rasa ragu. Bahkan sengaja kubuat setenang mungkin. "Tapi Mas malu, Nik, kalau tiap hari harus belanja ke warung itu. Apalagi selalu barengan sama ibu-ibu lainnya. Saat Mas sedang belanja, mereka saling bisik-bisik tau nggak sih. Mas ngerasa risih, Mas rasa mereka seperti membicarakan Mas loh," ucap Mas Rudi. Aku tersenyum samar. Ya jelas ditertawakan lah, Mas. Urusan dapur itu pekerjaan seorang istri, lah ini malah suaminya yang mengambil alih. "Memangnya kamu ada yang nanyain kenapa jadi
Hari yang kutunggu-tunggu telah tiba. Yaitu tanggal empat. Tanggal di mana aku setiap bulannya menerima gaji dari hasilku menulis. Bulan-bulan sebelumnya, setiap bulan aku hanya mendapatkan lima ratus ribu, berbeda dengan bulan ini. Kali ini aku mendapatkan lebih banyak trasnferan yaitu satu juta dua ratus. Bukan hanya nominal yang semakin banyak yang membuatku girang, tetapi uang sebanyak ini bisa kugunakan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Ya, tekadku sudah bulat. Aku tak mau menggunakan uang ini untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, tapi kugunakan untuk diriku sendiri. Rasanya aku sudah rindu sekali makan sate ayam, minum jus alpukat dingin dan juga membeli aneka cemilan di aprilmart. Kali ini aku akan membeli makanan apapun yang sejak dulu hanya bisa kubayangkan. Kupikir setelah semua keuangan diambil alih oleh Mas Rudi, maka aku bisa makan enak setiap harinya. Ternyata nggak jauh beda. Hanya saja, beban berat yang sempat menindih pundakku kini lenyap tak bersisa. Aku men
"Kamu ini loh, Nik, kok bisa-bisanya bikin malu! Minta traktir sama tetangga. Kayak-kayak kamu tuh nggak pernah dikasih makan enak aja sama suamimu! Malu-maluin!"Kedua bola mataku membulat sempurna begitu mendengar ucapan ibu. Bisa-bisanya ia mengucapkan kalimat seperti itu. "Lah, emang Ibu pernah lihat Nika makan enak? Jangankan untuk makan enak, Bu. Bisa makan sehari tiga kali sampai perut kenyang aja jarang-jarang," celetukku yang seketika membuat langkah ibu yang ada di depanku terhenti. Perempuan paruh baya itu memutar tubuh hingga akhirnya kami saling berhadapan. "Kamu ini kalau dibilangin jawab aja mulu, Nik!" sungut Ibu. Tanpa menjawab ucapannya, bergegas aku melanjutkan langkah yang sempat terhenti menuju ke arah dapur. Kubuang semua bekas-bekas makanan tadi, tak lupa aku membawa sekantong cemilan itu menuju ke kamar. "Nika, tunggu!" Suara Ibu kembali membuat tanganku yang akan membuka pintu terhenti. Aku menolehkan kepala lalu berkata,"Ada apa, Bu?" Kulihat ibu melang
"Nggak usah, Mas. Aku tak akan ambil seribu rupiah pun uang di dalam laci. Jadi, jangan khawatir," ucapku penuh dengan nada kecewa."Halah, kebiasaan! Gitu aja marah. Udah, aku mau kerja dulu, hati-hati perginya, jangan lama-lama di sana," ucap Mas Rudi. "Hm ...."Panggilan akhirnya kumatikan. Setelahnya aku kembali memasukkan ponsel di dalam tas sandang milikku. Begitu kurasa semua sudah masuk, aku melangkah keluar dengan tas sandang kutenteng di tangan kananku. Aku melangkah menuju ke kamar ibu, sebab aku yakin jika saat ini Ibu tengah mengistirahatkan tubuh lelahnya setelah melakukan perjalanan lumayan jauh. Tok!Tok!Tok!"Bu ...," panggilku. "Ada apa?" teriak Ibu dari dalam sana, hingga tak berselang lama terdengar suara derap langkah, hingga sepersekian detik kemudian pintu kamar terbuka. Saat pintu terbuka dan kini ibu sudah berdiri di depanku. Terlihat manik hitam milik Ibu tertuju pada tas yang kubawa lalu beralih menatapku dengan kening yang berkerut. "Bu, Nika mau pu
"Nika ... ibu kangen, Nduk ...." Suara itu terdengar begitu lirih. Lirih sekali.Cepat aku menolehkan kepala ke arah Ibu yang terbaring lemah di atas brankar, terlihat Ibu tengah membuka matanya yang begitu sayup nan lemah."Ibu ...." Suaraku terdengar serak. Bergegas aku mendekat ke arah Ibu lalu mencium tangannya berkali-kali, meluapkan rasa rindu yang sudah tak bisa dibendung lagi. "Ibu, Nika kangen Ibu ...." Air mata tak bisa kutahan lagi. Buliran bening itu meluncur begitu saja tanpa bisa dikendalikan lagi. Pun juga dengan Ibu, lelehan air mata terlihat dengan jelas keluar dari kedua sudut matanya. Sorot kerinduan terpancar dari kedua iris hitam itu. Aku mengusap pelan jejak-jejak air mata sembari tersenyum ke arah ibu, meskipun dengan air mata yang mengalir. "Nika rindu sekali sama Ibu ...." "Ibu jauh lebih rindu dengan kamu, Nduk ...."Air mata semakin mengucur dengan begitu derasnya seiring rasa sesak yang terasa begitu menyeruak. Aku terus menghapus jejak air mata di wa
Pov Rudi**"Istri kamu pulang kampung katanya!" ucap Ibu dengan nada bersungut-sungut begitu aku baru saja menginjakkan kaki di teras rumah. "Iya, Bu. Tadi Nika udah minta izin ke Rudi," ucapku sembari melangkah masuk ke dalam rumah. "Bilangin jangan lama-lama di sana. Kamu nggak kasihan kalau ibu kerjakan semuanya sendirian?" Aku menghembuskan napas berat. Badan terasa begitu lelah karena seharian bekerja, pulang-pulang disambut dengan repetan Ibu. "Iya, Bu. Nanti Rudi kasih tau ke Nika ya. Rudi capak, mau istirahat," ucapku menghindari perdebatan. Memang, selama ini Ibu sepertinya tak suka jika aku menikah dengan Nika. Sebab Ibu menginginkan seorang menantu karir. Katanya agar aku tak capek kerja sendirian. Ada yang bantu masalah perekonomian. Biar ada salah satu gaji di antara kami yang bisa utuh dan bisa ditabung. Begitu kata ibuku. Akan tetapi, aku tak menginginkan hal itu. Aku mau istriku berdiam diri di rumah. Cukup mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengurusku saja.
"Yaudah, simpan aja semua duit kamu. Nggak usah dikasih ke Nika sedikit pun. Biar Nika dikasih duit sama laki-laki lain. Utuh kan?" "Lah?!" Aku ternganga mendengar usulan Mbak Reni. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu? "Memang ada yang salah dengan yang Mbak katakan? Kan bener? Kalau pengen duitmu utuh, ya istrimu jangan kamu kasih. Biar nanti ada laki-laki lain yang memanjakan dan memberikan dia duit!" celetuk Mbak Reni lagi dengan begitu entengnya. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu. "Mbak ini apa sih?! Mbak mau rumah tangga Rudi hancur berantakan?!" Aku berucap dengan nada bersungut-sungut. "Hey, Rudy Sarudi! Asal kamu tau ya, uang itu sesuatu yang sangat sensitif di dalam hubungan rumah tangga! Kenapa kamu nggak mau percayakan keuangan kamu sama istrimu? Coba katakan, biar kudengar penjelasanmu itu!" Aku menghembuskan napas berat. Kalau sudah seperti ini, aku lah yang akan dipojokkan. Selalu saja aku yang disalahkan, padahal niatku sangatlah bagus. Tentu demi masa depa
"Kamu mau itung-itungan sama ibu?! Ingat, Rud! Ibu yang telah melahirkanmu! Surgamu ada di bawah kakiku! Air susu yang telah ibu berikan sama kamu, tidak akan pernah bisa diganti dengan tumpukan uang sekalipun, Rud! Dan sekarang kamu mau itung-itungan sama ibu?!" Kalau sudah mengucapkan kalimat itu, tentu membuatku tak bisa berkutik. Selalu saja begitu, ibu mengeluarkan kalimat andalannya jika apa yang ia minta selalu tak kuberikan. Selama ibu ikut denganku, semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Nika. Mulai dari soal makan dan mencuci pakaian. Jika semua saja sudah disediakan oleh Nika, itu tak membuat Ibu berhenti meminta uang. Ia selalu minta tujuh ratus ribu setiap bulannya. Katanya buat jaga-jaga saja. "Kamu bisa seperti ini juga karena ibu, Rud. Ibu yang sekolahin kamu hingga lulus SMA. Ibu banting tulang seorang diri agar kamu bisa nantinya mudah mencari pekerjaan. Lihatlah, begitu banyak teman sebayamu yang SMP pun sudah berhenti!" ucap Ibu bersungut-sungut dengan nada sepert