"La."
Laura terkejut ketika Gino memeluknya dan bersandar di bahunya. Dia mengusap rambut Gino, merasa laki-laki itu sedang mengalami masa sulit. Laura tidak ingin bertanya mengenai urusan Gino dan keluarganya. Sebagai orang luar rasanya tidak nyaman bertanya mengenai urusan itu.
"Kamu lapar No?" tanya Laura.
"Aku udah makan bareng mas Malik." Gino menatap Laura dengan tatapan muram. "Kesehatan ayah menurun dan aku terpaksa ngambil alih perusahaan. La, kalau aku nggak bisa nuruti keinginan kamu tinggal di luar Jogja, gimana?" tanya Gino.
Laura tidak langsung membalasnya, dia tidak memberitahu Gino tentang ajakan Rahma hari itu. Dan keinginan selain bersama Gino adalah tinggal di luar Jogja. Bagaimanapun juga Laura terlanjur jatuh cinta pada keramaian New York. Hidupnya ada di tempat itu, bukan Jogja. Namun, kesulitan Gino bukannya Laura tidak mengerti, dia tahu jika Gunawan menginginkan putranya mewa
"Kenapa kita datang ke sini?" tanya Laura."Biar kamu ingat sama kenangan masa kecil kita," jawab Gino.Mengenang masa kecil mereka bukan lagi kesukaan Laura. Dia cukup dewasa untuk memahami sesuatu termasuk tentang hubungannya dengan Gino. Apalagi rumah itu memiliki banyak kenangan menyakitkan."Kamu capek No?" tanya Laura memastikan.Gino mengangguk. "Capek banget. Kerjaan nggak ada habisnya.""Bukan tentang pekerjaan." Laura menoleh ke samping memberanikan diri mengucapkan kalimat itu. "Tapi tentang hubungan kita.""Hubungan kita baik-baik aja La.""Seandainya begitu No," ucap Laura lirih, tapi perbedaan cara berpikir mereka terkadang membuatnya jenuh. Namun, melihat emosi Gino, pemikiran itu dia buang jauh-jauh. "Aku mau balik ke New York." tambahnya lagi."Kamu udah capek La?" tanya Gino penuh penekanan. Nadanya
Masa lalu hanya sebagian dari kenangan yang harus dilupakan. Laura tidak menyesal melepaskan perasaannya pada Gino. Jika saat itu Gino lebih erat memegang tangannya, Laura tidak akan terlepas dari belenggu masa lalunya. Dia juga tidak akan bertemu seseorang yang lebih baik dari Gino.Sekarang, dua tahun setelah keputusan Gino mengakhiri hubungan mereka. Laura menemukan kebahagiaannya sendiri. Menjalani kehidupan di New York seperti hari biasanya. Meneruskan bisnis restoran milik Miranda setelah perempuan itu meninggal dunia. Dan satu tahun terakhir, bisnis itu berkembang pesat sehingga Laura mampu membeli sebuah apartemen.Pada akhir pekan, dia menghabiskan waktu bersama Lucy. Sahabatnya itu telah memiliki seorang putri cantik dan tentu saja David ayah dari anak itu. Keduanya menikah setelah Laura tiba di Amerika. Pernikahan sederhana. Namun, memiliki kesan mendalam bagi Laura. Melihat Lucy bahagia di hari pernikahan itu, rasa takut tentang hubungan terikat
Pengunjung restoran hari itu sangat ramai. Laura kewalahan melayani para pelanggan dan sialnya salah satu pelayan tidak datang bekerja. Dia terpaksa bekerja bersama pelayan baru yang direkrutnya dua hari lalu. Jelas saja pelayan itu belum memahami pekerjaan di restoran itu meskipun Laura sudah menjelaskan sejak hari pertama pelayan itu datang bekerja. Lelah sekaligus kesal karena ada pelanggan yang sengaja menggodanya bahkan secara terang-terangan meminta Laura untuk kencan satu malam. Hubungan one night stand bersama orang asing bukan tipe Laura apalagi orang itu tidak menunjukkan keseriusan. Dan hanya menginginkan Laura sebagai penghangat tempat tidur.Akibat penolakannya, pelanggan itu sengaja menjatuhkan gelas di lantai dan meneriakkan beberapa kalimat cacian. Mengatakan bahwa Laura murahan dan siapa saja bisa tidur dengannya. Dia tidak membalas ucapan laki-laki itu meski ingin sekali melempar pecahan gelas itu ke wajah laki-laki sialan itu. Pertama kalinya sejak Laura me
Biasanya Gino menangani kasus perceraian orang lain dan mendengar keluh kesah mereka mengenai alasan untuk berpisah. Sekarang, Gino justru menyelesaikan kasus perceraiannya dengan Ajeng. Dia terkejut ketika Ajeng menyarankan untuk berpisah setelah pernikahan tanpa cinta itu digelar. Alasannya, Ajeng tidak mencintai Gino dan merasa bersalah jika Laura mengetahui seseorang yang Gino nikahi adalah Ajeng. Dia bersyukur tidak terjebak dalam hubungan palsu tanpa cinta. Satu jam setelah sidang perceraian itu berakhir. Gino berziarah ke makam kedua orang tuanya. Dia meminta maaf tidak bisa menuruti keinginan terakhir ibunya dan juga permintaan Malik untuk menjaga Ajeng dan bayinya. Gino tidak ingin menjalani hidup seperti itu. Hidupnya adalah miliknya sendiri dan keputusan berada di tangannya. "Aku cinta sama Laura. Maaf mas, aku nggak bisa jaga Ajeng seperti keinginanmu," ucap Gino lirih. Dia menatap makam Malik lalu bangkit dari duduknya. "Semoga keputusanku buat mas paham
Keluar dari rumah sakit merupakan hal membahagiakan bagi Laura. Dia tersenyum lebar sesaat setelah berada di luar gedung rumah sakit. Udara luar lebih menyegarkan daripada aroma rumah sakit yang dibencinya itu. "Laura." "Russell?" ucap Laura tidak percaya kembali bertemu dengan petugas polisi itu. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya. "Aku ingin mengantarmu pulang." Terlambat menolak karena Russell sudah menyeretnya menuju mobil dan memasang sabuk pengaman di tubuh Laura. Sekilas dia bisa melihat wajah Russell dari jarak dekat. Kulit wajah putih mulus dan bibir tipis berwarna merah itu sesaat menghipnotis Laura. Jika dilihat secara keseluruhan, Russell sangat tampan. Ini pertama kalinya setelah dua tahun, Laura tidak pernah memperhatikan rupa seseorang. "Laura?" Laura tersadar dari lamunannya. "Ada apa?" tanyanya. "Apakah lukamu sudah membaik?" Laura mengangguk. "Sudah." "Bukan luka tembakan itu," "A
Insiden malam itu menjadi mimpi buruk bagi Laura. Belum lagi pertanyaan Lucy mengenai hubungannya dan Russell lalu alasan Laura membiarkan laki-laki itu menyentuhnya. Dia tidak akan menjelaskan bahwa Russell membuatnya tertarik dan mengakui kejadian malam itu merupakan keinginannya. Laura hanya mendengarkan ocehan Lucy sementara pikirannya melayang entah ke mana. Makanan yang mereka pesan dianggurkan begitu saja. Pertemuan mingguan itu David tidak hadir karena alasan pekerjaan dan Jessica berada di rumah Jean sementara Mario justru duduk manis di kursi seberangnya. Menyeruput kopi sambil memperhatikan Laura dengan ekspresi sulit diartikan. "Lala, apa kau akan menikah dengan laki-laki itu?" tanya Mario setelah meletakkan cangkirnya di atas meja. "Aku tidak akan menikah," ucap Laura. "Lala sudah dewasa, biarkan dia menentukan pilihannya. Ibu ingin kau kembali ke Queen's. Rambutnya hampir memutih akibat merindukanmu s
Seminggu berada di Queen's seolah berada di penjara. Jean melarangnya bepergian. Lucy juga bersekongkol dengan Mario sehingga Laura terpaksa berdiam diri di rumah dengan pelayan melayaninya. Dia bukan nyonya besar, tapi pelayan-pelayan itu menganggapnya sebagai tamu spesial. Jean yang dulunya bermulut pedas berubah begitu lembut dan Laura lebih menyukai perempuan itu menghinanya. Suara ribut menarik perhatian Laura. Di halaman Jessica menangis keras sementara para pelayan tidak berhasil membujuk anak itu. Laura menghampiri Jessica lalu menggendongnya. "Bibi akan membawamu keluar," ucap Laura. Di temani pelayan pribadi Jessica, Laura memasuki sebuah kafe tidak jauh dari kediaman Jean. Untungnya, Jean tidak ada di rumah sehingga Laura bisa bebas keluar tanpa larangan. "Ibumu memang gila." Laura mengusap pipi Jessica yang belepotan terkena kue. "Dia pergi sesuka hati tanpa mengurusmu." Pelayan yang berdiri di belakang Jessica berdehem mengingatka
Katanya waktu obat terbaik untuk melupakan, tapi teori tersebut tidak berlaku untuk Argino Mahendra. Dengan tidak tahu malu, anggap saja bermuka tembok, Gino memberanikan diri menekan bel unit apartemen Laura. Sepuluh menit berlalu, pintu apartemen tak kunjung terbuka. Sepertinya Laura tidak berada di apartemen. Akhir pekan pada pagi hari tidak mungkin Laura bekerja karena seingatnya, restoran itu tutup saat weekend. Gino mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi David, detik ketiga sambungan itu terhubung sebuah teriakan menyapa telinganya. "Brengsek! Lebih baik kau mati!" Telinganya hampir tuli mendengar teriakan Lucy, kebodohan David sudah sampai tingkat akhir. Menikahi Lucy seperti bunuh diri karena temperamen buruk perempuan itu menyebabkan seseorang mati di usia muda. Dan David buta karena cinta. "Aku ingin bicara pada David," ucap Gino setelah teriakan Lucy reda. "Aku tidak ingin bicara pada perempuan aneh sepertimu." "David tidak akan bi
Ada banyak tempat yang menjadi pilihan, tapi Laura justru memilih Aussie dan tinggal bersama Rahma. Merawat Yuki dan Darren sedikit mengurangi kesedihannya akibat kepergian bayinya. Hubungannya dengan Rahma pun perlahan membaik begitu pula ketika Ajeng berkunjung ke Aussie. Laura sudah bisa tetawa lepas seolah bebannya di masa lalu terangkat. Satu tahun berlalu setelah Laura meninggalkan New York dan memutus komunikasi dengan orang-orang di sana. Dia tidak ingin mengingat semua kejadian yang terjadi di sana, meski Mario dan Lucy bukan orang yang seharusnya dihindari. Namun, mengingat mereka sama saja membuka luka yang berusaha Laura lupakan.Biarkan saja New York menjadi kenangan sama seperti Jogja.Hidup barunya dimulai di Aussie bersama keluarga kecil Rahma.Setahun itu pula Laura menghindari pembahasan yang berkaitan dengan Gino, meski dia mendengar dari Ajeng perihal laki-laki itu yang juga menetap di Aussie. Dia berharap tidak pernah dipertemukan deng
Bab 99“Kalau kamu ngerasa gitu, untuk apa kamu datang ke sini?”Laura tidak bisa untuk tidak melayangkan tatapan sinis. Dia tidak habis pikir Gino mengucapkan kalimat seperti laki-laki brengsek. Jika di dunia ini terdapat banyak bajingan yang berkeliaran, maka Gino adalah salah satunya.“Aku mau lihat kondisi kamu.” Gino mengalihkan tatapannya pada perut Laura yang tertutup selimut. “Juga turut berduka buat bayi itu.”“Kamu brengsek, No,” ucap Laura.“Maaf.”“Kamu nggak ingat?” Laura menatap Gino kecewa. “Kamu nikah sama Ajeng setelah mutusin aku dan kamu balik ke sini ganggu hidupku yang mulai tertata. Kamu buat aku nyakiti Russell padahal dia tulus cinta sama aku. No, kamu nggak tahu gimana sulitnya aku bertahan selama ini?” Laura menggeleng. “Kamu nggak tahu karena kamu cuma peduli sama perasaanmu sendiri. Aku yang bertahan, tapi kamu seenaknya
"Gino, sebaiknya kau datang ke rumah sakit."Di sinilah sekarang Gino berada. Menatap Laura yang terbaring dengan peralatan medis terpasang di tubuh gadis itu. Dia ingin menghampiri Laura, tapi sebuah pukulan lebih dulu melayang di wajahnya. Rasa nyeri menjalar seakan tulang pipinya remuk, tapi dia hanya mematung alih-alih membalas pukulan Mario."Laura hampir tidak tertolong jika Mingye terlambat mengambil tindakan." David menepuk bahu Gino pelan. "Dia juga kehilangan bayinya.""Laura berpesan apa pun yang terjadi, dia ingin bayinya selamat." Mario berujar dengan nada dingin. "Sayangnya dia harus terluka karena bajingan yang tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Kaki Gino seolah terpaku di tempat mendengar berita tentang bayi yang dikandung Laura. Maksud ucapan Mario seperti menuduhnya seolah dia adalah ayah dari bayi malang itu."Atas dasar apa kau menuduhku?!" tanya Gino keras."Atas dasar kau laki-laki brengsek!"Sebelum Mario
Guncangan kasar menyebabkan Laura terbangun dan segera bangkit dari ranjang. Dia membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan beberapa butir obat. Dalam sekali tegukan obat itu telah berpindah menuju perutnya.Laura kembali mengonsumsi obat, meski Mingye melarangnya. Dia tidak bisa bertahan tanpa obat karena bayangan masa lalunya perlahan muncul.Bayangan yang mati-matian Laura lupakan.Membuka pintu kamarnya dan menemukan keheningan di apartemen. Langit telah gelap, tapi tidak menyurutkan niatnya mendatangi restoran dua puluh empat jam. Dia duduk di salah satu kursi paling pojok untuk mencari ketenangan. Meskipun restoran itu hanya berisi beberapa orang saja. Laura tidak ingin berbaur dengan mereka atau sekadar menatap orang-orang di sana.Pukul tiga dini hari berdiam diri di restoran dua puluh empat jam. Tidak pernah ada dalam bayangan Laura selama tinggal di New York. Namun, malam ini adalah titik di mana dia merasa gagal menjadi manusi
Musim semi telah berakhir digantikan musim panas mewarnai langit New York. Seperti musim yang berganti, maka kehidupan pun terus berjalan. Hari ini Laura menerima tawaran Mario mengunjungi rumah tepi danau. Bukan untuk bernostalgia atau bersantai melainkan ada kabar mengejutkan perihal kehamilannya.Sebenarnya Laura sudah merasakan keanehan di tubuhnya, tapi kesedihan membuatnya mengabaikan perubahan itu. Namun, Mario menghubunginya dan mengajaknya ke rumah tepi danau untuk bertemu Mingye. Dokter bermata sipit itu tinggal di sana selama musim panas. Sehingga bisa dipastikan tidak akan memenuhi permintaan Mario memeriksa kehamilan Laura.Dokter juga membutuhkan liburan.Begitu setidaknya pengakuan Mingye.Dua jam perjalanan akhirnya mobil itu berhenti di rumah kayu. Tempat paling nyaman ketika Laura masih menjalin hubungan dengan Mario. Tidak terasa waktu berputar begitu cepat merubah status mereka menjadi mantan kekasih."Lala, kau mela
Rencana menanyakan perihal kehamilan gagal total saat mendapati Laura menangis di apartemen. Minggu sore Gino berniat mengajak gadis itu keluar. Namun, yang dilihatnya justru Laura yang meringkuk di lantai sambil menangis.Tangisan Laura terdengar sesenggukan menyebabkan hati Gino teriris. Menangisi seseorang yang sudah meninggal memiliki banyak arti. Jika Laura sedih karena rasa bersalah, maka Gino sama sekali tidak keberatan. Namun, jika Laura sedih karena gadis itu mencintai Russell, maka sampai mati pun Gino tidak pernah ikhlas."Aku pikir kamu udah baikan," ucap Gino."Aku takut, No.""Takut kenapa?""Takut jadi orang jahat."Ungkapan itu seolah menyiratkan perasaan Laura pasca kematian Russell. Perlahan Gino merasa lega karena gadis itu tidak mencintai Russell kecuali perasaan bersalah."Manusia pasti punya sisi buruknya
Melihat Laura kehilangan semangat hidup membuat Gino merasa tidak berguna. Dia meminta saran David dan dijawab oleh laki-laki itu agar dia menerima kenyataan Laura terpukul akibat kepergian Russell. Entah benar atau tidak, Gino hanya ingin menjadi orang berguna.Sepulang dari perusahaan dia memutuskan mengunjungi Laura. Pada ketukan kedua gadis itu menyambutnya dengan senyuman. Gino terpaku selama beberapa detik menyadari penampilan Laura jauh lebih baik. Rona wajah gadis itu telah kembali, meski masih sedikit tirus."Aku mau numpang makan malam," ucap Gino mencari alasan."Mie instan?"Gino mengangguk. "Asal kenyang.""Batu rasa apel juga mau, No?"Eh?Laura tertawa pelan membuat Gino terhipnotis dengan tawa gadis itu. Benarkah sosok itu adalah Laura?Seingatnya Laura jarang tertawa bahkan saat dia melontarkan humor garing pun. Gadis itu masih tidak menunjukkan apa-apa. Namun, pemandangan kali ini seperti sebuah ke
Seminggu penuh Laura mengurung diri di apartemen hingga Lucy meminta bantuan Gino. Namun, dia menolak kehadiran laki-laki itu kala mengingat Russell.Laura juga menolak harta yang diwariskan Russell dan meminta Katy menjaga properti di Norwegia. Meskipun perempuan itu keberatan, tapi Laura berhasil meyakinkan jika Russell tidak menginginkan harta peninggalan orangtuanya dipindah tangankan.Urusan harta benda itu tidak menarik minat Laura dan larut pada kepergian Russell yang terlalu mendadak. Fakta jantung laki-laki itu tidak berfungsi setelah mendengar Laura bertemu Gino. Bukankah artinya dia yang membunuh laki-laki itu?Semua orang mengatakan kepergian Russell merupakan takdir yang sudah digariskan. Namun, Laura tidak berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga di sore hari yang tertutup mendung, dia mendengar pintu apartemennya terbuka.Gino, Lucy, David, dan Mario berdiri di sana. Menatapnya seolah dia makhluk paling menyedihkan yang hidup d
Katy langsung menarik Laura menuju ruang perawatan di mana dokter dan perawat sudah berkumpul di sana. Dia melangkahkan kakinya menuju ranjang perawatan Russell. Kain putih menutupi seluruh tubuh laki-laki itu dan peralatan medis telah dimatikan. Laura mencoba memahami situasi tersebut dengan cara mengguncang tubuh Russell. Namun, laki-laki itu tetap diam membiarkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh."Dia ingin dikuburkan di Norwegia," ucap Katy."Kenapa kau tidak memberi kabar sebelumnya?" tanya Laura lirih."Russell yang memintanya. Dia tidak ingin memaksamu tinggal di sisinya. Sekarang semuanya sudah berakhir, kau bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya."Katy berserta dokter meninggalkannya di ruangan itu bersama jasad Russell yang terbujur kaku. Laura menyibak kain putih itu dan menatap wajah Russell yang pucat. Tidak ada senyuman atau ucapan perpisahan seperti kebanyakan orang yang akan meninggal. Russell sungguh meminta waktu satu tahun bag