Jalan-jalan di sekitar Malioboro cukup untuk melepas penat dari pesta pernikahan Ajeng tempo hari. Laura tidak bisa menolak tawaran Mira menemani perempuan paruh baya itu berbelanja kain. Sejak Gino melamarnya, Mira memberikan perhatian berlebihan layaknya anak kandung sendiri.
Sebenarnya, Laura tidak keberatan asal perempuan itu bersikap normal. Kata normal itu tidak menggambarkan Mira yang memesan seluruh kain motif terbaru hanya untuk Laura. Kemudian meminta penjaga di toko itu membawanya ke mobil yang terparkir jauh di depan. Dia merasa prihatin pada penjaga toko itu. Namun, tidak memiliki keberanian untuk membantu karena Mira tidak mengizinkan Laura menyentuh kain-kain itu.
"Menikah di Jogja ya nduk. Ibu sama ayah yang urus semuanya. Kamu sama Gino jangan khawatir, bocah itu sibuk ngurus bisnis ayahnya. Sebenarnya ibu keberatan Malik ngambil alih, tapi ibu nggak tega biarin Gino tertekan karena pekerjaan yang nggak sesuai bidangnya," ucap Mira setelah mereka
"La."Laura terkejut ketika Gino memeluknya dan bersandar di bahunya. Dia mengusap rambut Gino, merasa laki-laki itu sedang mengalami masa sulit. Laura tidak ingin bertanya mengenai urusan Gino dan keluarganya. Sebagai orang luar rasanya tidak nyaman bertanya mengenai urusan itu."Kamu lapar No?" tanya Laura."Aku udah makan bareng mas Malik." Gino menatap Laura dengan tatapan muram. "Kesehatan ayah menurun dan aku terpaksa ngambil alih perusahaan. La, kalau aku nggak bisa nuruti keinginan kamu tinggal di luar Jogja, gimana?" tanya Gino.Laura tidak langsung membalasnya, dia tidak memberitahu Gino tentang ajakan Rahma hari itu. Dan keinginan selain bersama Gino adalah tinggal di luar Jogja. Bagaimanapun juga Laura terlanjur jatuh cinta pada keramaian New York. Hidupnya ada di tempat itu, bukan Jogja. Namun, kesulitan Gino bukannya Laura tidak mengerti, dia tahu jika Gunawan menginginkan putranya mewa
"Kenapa kita datang ke sini?" tanya Laura."Biar kamu ingat sama kenangan masa kecil kita," jawab Gino.Mengenang masa kecil mereka bukan lagi kesukaan Laura. Dia cukup dewasa untuk memahami sesuatu termasuk tentang hubungannya dengan Gino. Apalagi rumah itu memiliki banyak kenangan menyakitkan."Kamu capek No?" tanya Laura memastikan.Gino mengangguk. "Capek banget. Kerjaan nggak ada habisnya.""Bukan tentang pekerjaan." Laura menoleh ke samping memberanikan diri mengucapkan kalimat itu. "Tapi tentang hubungan kita.""Hubungan kita baik-baik aja La.""Seandainya begitu No," ucap Laura lirih, tapi perbedaan cara berpikir mereka terkadang membuatnya jenuh. Namun, melihat emosi Gino, pemikiran itu dia buang jauh-jauh. "Aku mau balik ke New York." tambahnya lagi."Kamu udah capek La?" tanya Gino penuh penekanan. Nadanya
Masa lalu hanya sebagian dari kenangan yang harus dilupakan. Laura tidak menyesal melepaskan perasaannya pada Gino. Jika saat itu Gino lebih erat memegang tangannya, Laura tidak akan terlepas dari belenggu masa lalunya. Dia juga tidak akan bertemu seseorang yang lebih baik dari Gino.Sekarang, dua tahun setelah keputusan Gino mengakhiri hubungan mereka. Laura menemukan kebahagiaannya sendiri. Menjalani kehidupan di New York seperti hari biasanya. Meneruskan bisnis restoran milik Miranda setelah perempuan itu meninggal dunia. Dan satu tahun terakhir, bisnis itu berkembang pesat sehingga Laura mampu membeli sebuah apartemen.Pada akhir pekan, dia menghabiskan waktu bersama Lucy. Sahabatnya itu telah memiliki seorang putri cantik dan tentu saja David ayah dari anak itu. Keduanya menikah setelah Laura tiba di Amerika. Pernikahan sederhana. Namun, memiliki kesan mendalam bagi Laura. Melihat Lucy bahagia di hari pernikahan itu, rasa takut tentang hubungan terikat
Pengunjung restoran hari itu sangat ramai. Laura kewalahan melayani para pelanggan dan sialnya salah satu pelayan tidak datang bekerja. Dia terpaksa bekerja bersama pelayan baru yang direkrutnya dua hari lalu. Jelas saja pelayan itu belum memahami pekerjaan di restoran itu meskipun Laura sudah menjelaskan sejak hari pertama pelayan itu datang bekerja. Lelah sekaligus kesal karena ada pelanggan yang sengaja menggodanya bahkan secara terang-terangan meminta Laura untuk kencan satu malam. Hubungan one night stand bersama orang asing bukan tipe Laura apalagi orang itu tidak menunjukkan keseriusan. Dan hanya menginginkan Laura sebagai penghangat tempat tidur.Akibat penolakannya, pelanggan itu sengaja menjatuhkan gelas di lantai dan meneriakkan beberapa kalimat cacian. Mengatakan bahwa Laura murahan dan siapa saja bisa tidur dengannya. Dia tidak membalas ucapan laki-laki itu meski ingin sekali melempar pecahan gelas itu ke wajah laki-laki sialan itu. Pertama kalinya sejak Laura me
Biasanya Gino menangani kasus perceraian orang lain dan mendengar keluh kesah mereka mengenai alasan untuk berpisah. Sekarang, Gino justru menyelesaikan kasus perceraiannya dengan Ajeng. Dia terkejut ketika Ajeng menyarankan untuk berpisah setelah pernikahan tanpa cinta itu digelar. Alasannya, Ajeng tidak mencintai Gino dan merasa bersalah jika Laura mengetahui seseorang yang Gino nikahi adalah Ajeng. Dia bersyukur tidak terjebak dalam hubungan palsu tanpa cinta. Satu jam setelah sidang perceraian itu berakhir. Gino berziarah ke makam kedua orang tuanya. Dia meminta maaf tidak bisa menuruti keinginan terakhir ibunya dan juga permintaan Malik untuk menjaga Ajeng dan bayinya. Gino tidak ingin menjalani hidup seperti itu. Hidupnya adalah miliknya sendiri dan keputusan berada di tangannya. "Aku cinta sama Laura. Maaf mas, aku nggak bisa jaga Ajeng seperti keinginanmu," ucap Gino lirih. Dia menatap makam Malik lalu bangkit dari duduknya. "Semoga keputusanku buat mas paham
Keluar dari rumah sakit merupakan hal membahagiakan bagi Laura. Dia tersenyum lebar sesaat setelah berada di luar gedung rumah sakit. Udara luar lebih menyegarkan daripada aroma rumah sakit yang dibencinya itu. "Laura." "Russell?" ucap Laura tidak percaya kembali bertemu dengan petugas polisi itu. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya. "Aku ingin mengantarmu pulang." Terlambat menolak karena Russell sudah menyeretnya menuju mobil dan memasang sabuk pengaman di tubuh Laura. Sekilas dia bisa melihat wajah Russell dari jarak dekat. Kulit wajah putih mulus dan bibir tipis berwarna merah itu sesaat menghipnotis Laura. Jika dilihat secara keseluruhan, Russell sangat tampan. Ini pertama kalinya setelah dua tahun, Laura tidak pernah memperhatikan rupa seseorang. "Laura?" Laura tersadar dari lamunannya. "Ada apa?" tanyanya. "Apakah lukamu sudah membaik?" Laura mengangguk. "Sudah." "Bukan luka tembakan itu," "A
Insiden malam itu menjadi mimpi buruk bagi Laura. Belum lagi pertanyaan Lucy mengenai hubungannya dan Russell lalu alasan Laura membiarkan laki-laki itu menyentuhnya. Dia tidak akan menjelaskan bahwa Russell membuatnya tertarik dan mengakui kejadian malam itu merupakan keinginannya. Laura hanya mendengarkan ocehan Lucy sementara pikirannya melayang entah ke mana. Makanan yang mereka pesan dianggurkan begitu saja. Pertemuan mingguan itu David tidak hadir karena alasan pekerjaan dan Jessica berada di rumah Jean sementara Mario justru duduk manis di kursi seberangnya. Menyeruput kopi sambil memperhatikan Laura dengan ekspresi sulit diartikan. "Lala, apa kau akan menikah dengan laki-laki itu?" tanya Mario setelah meletakkan cangkirnya di atas meja. "Aku tidak akan menikah," ucap Laura. "Lala sudah dewasa, biarkan dia menentukan pilihannya. Ibu ingin kau kembali ke Queen's. Rambutnya hampir memutih akibat merindukanmu s
Seminggu berada di Queen's seolah berada di penjara. Jean melarangnya bepergian. Lucy juga bersekongkol dengan Mario sehingga Laura terpaksa berdiam diri di rumah dengan pelayan melayaninya. Dia bukan nyonya besar, tapi pelayan-pelayan itu menganggapnya sebagai tamu spesial. Jean yang dulunya bermulut pedas berubah begitu lembut dan Laura lebih menyukai perempuan itu menghinanya. Suara ribut menarik perhatian Laura. Di halaman Jessica menangis keras sementara para pelayan tidak berhasil membujuk anak itu. Laura menghampiri Jessica lalu menggendongnya. "Bibi akan membawamu keluar," ucap Laura. Di temani pelayan pribadi Jessica, Laura memasuki sebuah kafe tidak jauh dari kediaman Jean. Untungnya, Jean tidak ada di rumah sehingga Laura bisa bebas keluar tanpa larangan. "Ibumu memang gila." Laura mengusap pipi Jessica yang belepotan terkena kue. "Dia pergi sesuka hati tanpa mengurusmu." Pelayan yang berdiri di belakang Jessica berdehem mengingatka