"Bagaimana keadaan Lucy?"
Gino melempar jasnya ke sofa dengan kasar, dia tidak menanggapi pertanyaan David karena pikirannya tertuju pada Laura. Seminggu setelah pemakaman, gadis itu memilih bersama Mario, menyebabkan Gino mengerti akan satu hal. Laura sungguh tidak ingin berpisah dengan Mario dan perasaan gadis itu bukan miliknya lagi. Meskipun tahu kebenarannya, Gino tetap tidak senang dengan membiarkan Laura bersama orang lain.
Sial.
"Gino, apakah Lucy baik-baik saja?" tanya David belum menyerah.
"Lihat saja sendiri, aku bukan bodyguard ibunya!" ucap Gino kesal.
"Emosimu ini tidak seperti orang yang sedang berkabung, aku keluar sebentar melihat Lucy."
David tampak kesal dan Gino tidak pernah melihat ekspresi laki-laki itu sebelumnya, kehilangan Jason tidak ada hubungannya dengan David selain peduli pada Lucy. Kebodohan seseorang memang sudah sampai pada le
Malam itu, Laura tidak menyangka Mario kembali menemuinya. Lucy tidak kembali, artinya Mario tidak mengizinkan Lucy tinggal di apartemennya. Dengan canggung, Laura duduk di kursi seberang Mario sambil menekan telapak tangannya gugup. Tidak nyaman dengan situasi itu, terlebih Mario bersikap dingin sejak melihatnya bersama David."Aku akan meninggalkan New York," ucap Mario sontak menarik perhatian Laura sepenuhnya."Kenapa?" tanya Laura layaknya orang bodoh."Aku ingin melupakan kenangan tentang Jason, dan Lucy membutuhkan seseorang di sampingnya. Dia ingin aku menemaninya hingga perasaannya membaik. Sebenarnya bukan hanya Lucy, tapi aku juga membutuhkan ketenangan itu. Memikirkan semua hal yang telah terjadi, aku hampir gila dan memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku. Berhenti menjadi seorang penulis."Laura tidak percaya dengan ucapan Mario, berhenti dari pekerjaan yang disukainya pasti karena la
Ragu itu kembali merasuki pikiran Gino ketika harus menginjakkan kaki di unit apartemen Laura. Dia tidak menerobos masuk seperti kejadian semalam dan memilih menunggu hingga pintu itu terbuka. Dan cukup lama menunggu, Laura tidak kunjung membukanya. Merasa gadis itu tidak berada di apartemen. Gino mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Laura. Namun, panggilan dari Ajeng mengurungkan niatnya. Dengan cepat, dia menerima panggilan itu sambil bersandar pada dinding, melihat lorong apartemen yang sepi.“Kenapa Jeng?” tanya Gino.“Awas kalau kamu nggak nongol di acaraku. Aku nggak mau nikahanku buyar gara-gara tante Mira panik anak semata wayangnya nggak balik. Acara sekali seumur hidup harus lancar, awas aja kamu No.”“Yakin banget kamu bakal nikah sekali seumur hidup,” ejek Gino.“Parah banget kamu No!”Gino tertawa mendengar Ajeng mencak-mencak dari seberang sana. Omong kosong mengatakan perempuan jawa
Laura melupakan satu hal tentang Miranda. Dia belum mendengar kabar apa pun dari rumah sakit mengenai perempuan itu. Sehingga Laura memutuskan mengunjungi Miranda. Tiba di sana, dia segera melangkahkan kakinya menuju ruang perawatan Miranda. Laura berpapasan dengan dokter dan bertanya mengenai kondisi perempuan itu yang dijawab oleh dokter itu jika Miranda baik-baik saja. Laura bernapas lega kemudian menghampiri Miranda yang menyambutnya dengan senyum mengembang."Miss Laura, lama tidak bertemu," ucap Miranda."Maaf, aku sibuk mengurus beberapa hal," ucap Laura jujur."Aku terkejut kau datang kemari, tapi terimakasih karena kau satu-satunya orang yang mengunjungiku selain dokter.""Apa kau sungguh tidak memiliki kerabat?" tanya Laura terkejut.Miranda menggeleng. "Aku tidak pernah menikah dan aku anak satu-satunya di keluargaku. Lebih tepatnya anak ibuku karena aku tidak tahu sia
Restoran bintang lima di pinggiran kota Manhattan menjadi tempat pilihan Gino untuk merayakan hubungannya dan Laura. Awalnya dia menolak ketika Gino menawarkan restoran itu sebagai tempat kencan mereka yang pertama. Tempat mewah itu tidak cocok dengan seleranya yang sederhana. Namun, Gino bersikeras agar Laura memilih tempat itu. Alasannya agar Laura menikmati hidupnya seperti kebanyakan orang pada umumnya. Sedangkan Gino tidak tahu, Laura pernah menjalani kehidupan keras di New York sebelum mereka bertemu. Dan berada di restoran mewah, bukan lagi kesenangan Laura untuk menikmati hidup. Dia lebih senang berada di warung sederhana dengan makanan murah, tapi membuatnya nyaman. Dibandingkan tempat mewah dengan hidangan ala Perancis yang tidak sesuai lidahnya.Laura menatap escargot di atas piring itu tanpa selera. Dia membayangkan hewan itu sering merayap di batang padi lalu memakan daun padi yang masih muda. Meskipun tidak sama persis, tapi tampilan kulit dan cang
Terlambat untuk menyesal.Laura menyisir rambutnya dengan gerakan lambat, dia menatap pantulan wajahnya di cermin. Gino berdiri di belakangnya dengan ekspresi sulit diartikan. Kejadian malam itu, di luar perkiraannya. Sesuatu yang dijaganya dengan baik akhirnya hilang begitu saja. Entah siapa yang patut disalahkan. Dia atau Gino, sementara cinta tidak akan merusak harga dirinya."Maaf La.""Kenapa kamu lakuin hal itu No?" tanya Laura kecewa."Aku cinta kamu La. Dan aku mau nikah sama kamu.""Aku pikir, kamu memang tulus cinta sama aku. Ternyata aku salah." Laura meletakkan sisirnya di meja, dia menatap Gino melalui cermin dengan ekspresi kecewa. "Kamu brengsek No," ucapnya."La, aku tahu kamu kecewa, tapi aku bukan orang brengsek. Dibandingkan Mario, aku memang bukan apa-apa."Laura berbalik kemudian menatap Gino dengan kemarahan mencapai puncaknya."Jangan bawa-bawa Mario, ini tentang aku sama kamu. Bukan orang lain No!" ucap
Bunyi ponsel membangunkan Laura dari tidurnya. Ponsel itu milik Gino dan samar-samar dia mendengar laki-laki itu sedang berbicara dengan suara rendah. Laura kembali memejamkan mata saat Gino mendekatinya dan berbaring di sampingnya. Hembusan napas laki-laki itu membelai wajahnya, tanpa sadar Laura meneteskan air mata. Dia tidak berniat melukai Gino dan depresi itu kembali datang. Ketakutan dengan kejadian malam itu menyebabkan Laura tidak bisa membedakan ilusi dan kenyataan. Seharusnya, dia bisa mengendalikan emosinya sehingga hubungan mereka membaik seperti dulu.Dulu, sebelum Gino mengambil sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya."La, aku minta maaf," ucap Gino serius."Aku juga minta maaf No." Laura membuka matanya dan menatap Gino."Minggu depan aku harus balik ke Jogja, pernikahan Ajeng dilangsungkan bulan depan. La, apa kamu baik-baik aja aku tinggal sendirian?" tanya Gino hati-hati.
Pesta pernikahan Ajeng sangat mewah. Laura menggandeng lengan Gino dan keduanya berjalan bersisian memasuki ballroom hotel. Tamu-tamu undangan terlihat elegan dengan pakaian mewah yang melekat di tubuh mereka. Laura merasakan telapak tangannya dingin akibat situasi itu. Terlebih beberapa pasang mata memperhatikan Gino yang berada di sampingnya. Di antara orang-orang itu, Laura merasa familiar dan jantungnya berpacu lebih cepat melihat tatapan mata yang menatapnya lekat."Rahma," ucap Laura lirih.Perempuan itu memakai gaun panjang berwarna pink pucat, membungkus tubuhnya yang ramping. Wajah Rahma tidak banyak berubah dari terakhir kali Laura melihatnya, hanya ada yang berbeda dari perempuan itu.Tatapan mata itu seolah merasa bersalah.Laura menggenggam tangan Gino lebih erat untuk mencari kekuatan karena laki-laki itu tidak menyadari kepanikannya. Gino justru menyapa beberapa tamu sehingga Laura terpaksa memasang senyum canggung dengan alasan kesopanan.
Jalan-jalan di sekitar Malioboro cukup untuk melepas penat dari pesta pernikahan Ajeng tempo hari. Laura tidak bisa menolak tawaran Mira menemani perempuan paruh baya itu berbelanja kain. Sejak Gino melamarnya, Mira memberikan perhatian berlebihan layaknya anak kandung sendiri.Sebenarnya, Laura tidak keberatan asal perempuan itu bersikap normal. Kata normal itu tidak menggambarkan Mira yang memesan seluruh kain motif terbaru hanya untuk Laura. Kemudian meminta penjaga di toko itu membawanya ke mobil yang terparkir jauh di depan. Dia merasa prihatin pada penjaga toko itu. Namun, tidak memiliki keberanian untuk membantu karena Mira tidak mengizinkan Laura menyentuh kain-kain itu."Menikah di Jogja ya nduk. Ibu sama ayah yang urus semuanya. Kamu sama Gino jangan khawatir, bocah itu sibuk ngurus bisnis ayahnya. Sebenarnya ibu keberatan Malik ngambil alih, tapi ibu nggak tega biarin Gino tertekan karena pekerjaan yang nggak sesuai bidangnya," ucap Mira setelah mereka
Ada banyak tempat yang menjadi pilihan, tapi Laura justru memilih Aussie dan tinggal bersama Rahma. Merawat Yuki dan Darren sedikit mengurangi kesedihannya akibat kepergian bayinya. Hubungannya dengan Rahma pun perlahan membaik begitu pula ketika Ajeng berkunjung ke Aussie. Laura sudah bisa tetawa lepas seolah bebannya di masa lalu terangkat. Satu tahun berlalu setelah Laura meninggalkan New York dan memutus komunikasi dengan orang-orang di sana. Dia tidak ingin mengingat semua kejadian yang terjadi di sana, meski Mario dan Lucy bukan orang yang seharusnya dihindari. Namun, mengingat mereka sama saja membuka luka yang berusaha Laura lupakan.Biarkan saja New York menjadi kenangan sama seperti Jogja.Hidup barunya dimulai di Aussie bersama keluarga kecil Rahma.Setahun itu pula Laura menghindari pembahasan yang berkaitan dengan Gino, meski dia mendengar dari Ajeng perihal laki-laki itu yang juga menetap di Aussie. Dia berharap tidak pernah dipertemukan deng
Bab 99“Kalau kamu ngerasa gitu, untuk apa kamu datang ke sini?”Laura tidak bisa untuk tidak melayangkan tatapan sinis. Dia tidak habis pikir Gino mengucapkan kalimat seperti laki-laki brengsek. Jika di dunia ini terdapat banyak bajingan yang berkeliaran, maka Gino adalah salah satunya.“Aku mau lihat kondisi kamu.” Gino mengalihkan tatapannya pada perut Laura yang tertutup selimut. “Juga turut berduka buat bayi itu.”“Kamu brengsek, No,” ucap Laura.“Maaf.”“Kamu nggak ingat?” Laura menatap Gino kecewa. “Kamu nikah sama Ajeng setelah mutusin aku dan kamu balik ke sini ganggu hidupku yang mulai tertata. Kamu buat aku nyakiti Russell padahal dia tulus cinta sama aku. No, kamu nggak tahu gimana sulitnya aku bertahan selama ini?” Laura menggeleng. “Kamu nggak tahu karena kamu cuma peduli sama perasaanmu sendiri. Aku yang bertahan, tapi kamu seenaknya
"Gino, sebaiknya kau datang ke rumah sakit."Di sinilah sekarang Gino berada. Menatap Laura yang terbaring dengan peralatan medis terpasang di tubuh gadis itu. Dia ingin menghampiri Laura, tapi sebuah pukulan lebih dulu melayang di wajahnya. Rasa nyeri menjalar seakan tulang pipinya remuk, tapi dia hanya mematung alih-alih membalas pukulan Mario."Laura hampir tidak tertolong jika Mingye terlambat mengambil tindakan." David menepuk bahu Gino pelan. "Dia juga kehilangan bayinya.""Laura berpesan apa pun yang terjadi, dia ingin bayinya selamat." Mario berujar dengan nada dingin. "Sayangnya dia harus terluka karena bajingan yang tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Kaki Gino seolah terpaku di tempat mendengar berita tentang bayi yang dikandung Laura. Maksud ucapan Mario seperti menuduhnya seolah dia adalah ayah dari bayi malang itu."Atas dasar apa kau menuduhku?!" tanya Gino keras."Atas dasar kau laki-laki brengsek!"Sebelum Mario
Guncangan kasar menyebabkan Laura terbangun dan segera bangkit dari ranjang. Dia membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan beberapa butir obat. Dalam sekali tegukan obat itu telah berpindah menuju perutnya.Laura kembali mengonsumsi obat, meski Mingye melarangnya. Dia tidak bisa bertahan tanpa obat karena bayangan masa lalunya perlahan muncul.Bayangan yang mati-matian Laura lupakan.Membuka pintu kamarnya dan menemukan keheningan di apartemen. Langit telah gelap, tapi tidak menyurutkan niatnya mendatangi restoran dua puluh empat jam. Dia duduk di salah satu kursi paling pojok untuk mencari ketenangan. Meskipun restoran itu hanya berisi beberapa orang saja. Laura tidak ingin berbaur dengan mereka atau sekadar menatap orang-orang di sana.Pukul tiga dini hari berdiam diri di restoran dua puluh empat jam. Tidak pernah ada dalam bayangan Laura selama tinggal di New York. Namun, malam ini adalah titik di mana dia merasa gagal menjadi manusi
Musim semi telah berakhir digantikan musim panas mewarnai langit New York. Seperti musim yang berganti, maka kehidupan pun terus berjalan. Hari ini Laura menerima tawaran Mario mengunjungi rumah tepi danau. Bukan untuk bernostalgia atau bersantai melainkan ada kabar mengejutkan perihal kehamilannya.Sebenarnya Laura sudah merasakan keanehan di tubuhnya, tapi kesedihan membuatnya mengabaikan perubahan itu. Namun, Mario menghubunginya dan mengajaknya ke rumah tepi danau untuk bertemu Mingye. Dokter bermata sipit itu tinggal di sana selama musim panas. Sehingga bisa dipastikan tidak akan memenuhi permintaan Mario memeriksa kehamilan Laura.Dokter juga membutuhkan liburan.Begitu setidaknya pengakuan Mingye.Dua jam perjalanan akhirnya mobil itu berhenti di rumah kayu. Tempat paling nyaman ketika Laura masih menjalin hubungan dengan Mario. Tidak terasa waktu berputar begitu cepat merubah status mereka menjadi mantan kekasih."Lala, kau mela
Rencana menanyakan perihal kehamilan gagal total saat mendapati Laura menangis di apartemen. Minggu sore Gino berniat mengajak gadis itu keluar. Namun, yang dilihatnya justru Laura yang meringkuk di lantai sambil menangis.Tangisan Laura terdengar sesenggukan menyebabkan hati Gino teriris. Menangisi seseorang yang sudah meninggal memiliki banyak arti. Jika Laura sedih karena rasa bersalah, maka Gino sama sekali tidak keberatan. Namun, jika Laura sedih karena gadis itu mencintai Russell, maka sampai mati pun Gino tidak pernah ikhlas."Aku pikir kamu udah baikan," ucap Gino."Aku takut, No.""Takut kenapa?""Takut jadi orang jahat."Ungkapan itu seolah menyiratkan perasaan Laura pasca kematian Russell. Perlahan Gino merasa lega karena gadis itu tidak mencintai Russell kecuali perasaan bersalah."Manusia pasti punya sisi buruknya
Melihat Laura kehilangan semangat hidup membuat Gino merasa tidak berguna. Dia meminta saran David dan dijawab oleh laki-laki itu agar dia menerima kenyataan Laura terpukul akibat kepergian Russell. Entah benar atau tidak, Gino hanya ingin menjadi orang berguna.Sepulang dari perusahaan dia memutuskan mengunjungi Laura. Pada ketukan kedua gadis itu menyambutnya dengan senyuman. Gino terpaku selama beberapa detik menyadari penampilan Laura jauh lebih baik. Rona wajah gadis itu telah kembali, meski masih sedikit tirus."Aku mau numpang makan malam," ucap Gino mencari alasan."Mie instan?"Gino mengangguk. "Asal kenyang.""Batu rasa apel juga mau, No?"Eh?Laura tertawa pelan membuat Gino terhipnotis dengan tawa gadis itu. Benarkah sosok itu adalah Laura?Seingatnya Laura jarang tertawa bahkan saat dia melontarkan humor garing pun. Gadis itu masih tidak menunjukkan apa-apa. Namun, pemandangan kali ini seperti sebuah ke
Seminggu penuh Laura mengurung diri di apartemen hingga Lucy meminta bantuan Gino. Namun, dia menolak kehadiran laki-laki itu kala mengingat Russell.Laura juga menolak harta yang diwariskan Russell dan meminta Katy menjaga properti di Norwegia. Meskipun perempuan itu keberatan, tapi Laura berhasil meyakinkan jika Russell tidak menginginkan harta peninggalan orangtuanya dipindah tangankan.Urusan harta benda itu tidak menarik minat Laura dan larut pada kepergian Russell yang terlalu mendadak. Fakta jantung laki-laki itu tidak berfungsi setelah mendengar Laura bertemu Gino. Bukankah artinya dia yang membunuh laki-laki itu?Semua orang mengatakan kepergian Russell merupakan takdir yang sudah digariskan. Namun, Laura tidak berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga di sore hari yang tertutup mendung, dia mendengar pintu apartemennya terbuka.Gino, Lucy, David, dan Mario berdiri di sana. Menatapnya seolah dia makhluk paling menyedihkan yang hidup d
Katy langsung menarik Laura menuju ruang perawatan di mana dokter dan perawat sudah berkumpul di sana. Dia melangkahkan kakinya menuju ranjang perawatan Russell. Kain putih menutupi seluruh tubuh laki-laki itu dan peralatan medis telah dimatikan. Laura mencoba memahami situasi tersebut dengan cara mengguncang tubuh Russell. Namun, laki-laki itu tetap diam membiarkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh."Dia ingin dikuburkan di Norwegia," ucap Katy."Kenapa kau tidak memberi kabar sebelumnya?" tanya Laura lirih."Russell yang memintanya. Dia tidak ingin memaksamu tinggal di sisinya. Sekarang semuanya sudah berakhir, kau bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya."Katy berserta dokter meninggalkannya di ruangan itu bersama jasad Russell yang terbujur kaku. Laura menyibak kain putih itu dan menatap wajah Russell yang pucat. Tidak ada senyuman atau ucapan perpisahan seperti kebanyakan orang yang akan meninggal. Russell sungguh meminta waktu satu tahun bag