Ragu itu kembali merasuki pikiran Gino ketika harus menginjakkan kaki di unit apartemen Laura. Dia tidak menerobos masuk seperti kejadian semalam dan memilih menunggu hingga pintu itu terbuka. Dan cukup lama menunggu, Laura tidak kunjung membukanya. Merasa gadis itu tidak berada di apartemen. Gino mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Laura. Namun, panggilan dari Ajeng mengurungkan niatnya. Dengan cepat, dia menerima panggilan itu sambil bersandar pada dinding, melihat lorong apartemen yang sepi.
“Kenapa Jeng?” tanya Gino.
“Awas kalau kamu nggak nongol di acaraku. Aku nggak mau nikahanku buyar gara-gara tante Mira panik anak semata wayangnya nggak balik. Acara sekali seumur hidup harus lancar, awas aja kamu No.”
“Yakin banget kamu bakal nikah sekali seumur hidup,” ejek Gino.
“Parah banget kamu No!”
Gino tertawa mendengar Ajeng mencak-mencak dari seberang sana. Omong kosong mengatakan perempuan jawa
Laura melupakan satu hal tentang Miranda. Dia belum mendengar kabar apa pun dari rumah sakit mengenai perempuan itu. Sehingga Laura memutuskan mengunjungi Miranda. Tiba di sana, dia segera melangkahkan kakinya menuju ruang perawatan Miranda. Laura berpapasan dengan dokter dan bertanya mengenai kondisi perempuan itu yang dijawab oleh dokter itu jika Miranda baik-baik saja. Laura bernapas lega kemudian menghampiri Miranda yang menyambutnya dengan senyum mengembang."Miss Laura, lama tidak bertemu," ucap Miranda."Maaf, aku sibuk mengurus beberapa hal," ucap Laura jujur."Aku terkejut kau datang kemari, tapi terimakasih karena kau satu-satunya orang yang mengunjungiku selain dokter.""Apa kau sungguh tidak memiliki kerabat?" tanya Laura terkejut.Miranda menggeleng. "Aku tidak pernah menikah dan aku anak satu-satunya di keluargaku. Lebih tepatnya anak ibuku karena aku tidak tahu sia
Restoran bintang lima di pinggiran kota Manhattan menjadi tempat pilihan Gino untuk merayakan hubungannya dan Laura. Awalnya dia menolak ketika Gino menawarkan restoran itu sebagai tempat kencan mereka yang pertama. Tempat mewah itu tidak cocok dengan seleranya yang sederhana. Namun, Gino bersikeras agar Laura memilih tempat itu. Alasannya agar Laura menikmati hidupnya seperti kebanyakan orang pada umumnya. Sedangkan Gino tidak tahu, Laura pernah menjalani kehidupan keras di New York sebelum mereka bertemu. Dan berada di restoran mewah, bukan lagi kesenangan Laura untuk menikmati hidup. Dia lebih senang berada di warung sederhana dengan makanan murah, tapi membuatnya nyaman. Dibandingkan tempat mewah dengan hidangan ala Perancis yang tidak sesuai lidahnya.Laura menatap escargot di atas piring itu tanpa selera. Dia membayangkan hewan itu sering merayap di batang padi lalu memakan daun padi yang masih muda. Meskipun tidak sama persis, tapi tampilan kulit dan cang
Terlambat untuk menyesal.Laura menyisir rambutnya dengan gerakan lambat, dia menatap pantulan wajahnya di cermin. Gino berdiri di belakangnya dengan ekspresi sulit diartikan. Kejadian malam itu, di luar perkiraannya. Sesuatu yang dijaganya dengan baik akhirnya hilang begitu saja. Entah siapa yang patut disalahkan. Dia atau Gino, sementara cinta tidak akan merusak harga dirinya."Maaf La.""Kenapa kamu lakuin hal itu No?" tanya Laura kecewa."Aku cinta kamu La. Dan aku mau nikah sama kamu.""Aku pikir, kamu memang tulus cinta sama aku. Ternyata aku salah." Laura meletakkan sisirnya di meja, dia menatap Gino melalui cermin dengan ekspresi kecewa. "Kamu brengsek No," ucapnya."La, aku tahu kamu kecewa, tapi aku bukan orang brengsek. Dibandingkan Mario, aku memang bukan apa-apa."Laura berbalik kemudian menatap Gino dengan kemarahan mencapai puncaknya."Jangan bawa-bawa Mario, ini tentang aku sama kamu. Bukan orang lain No!" ucap
Bunyi ponsel membangunkan Laura dari tidurnya. Ponsel itu milik Gino dan samar-samar dia mendengar laki-laki itu sedang berbicara dengan suara rendah. Laura kembali memejamkan mata saat Gino mendekatinya dan berbaring di sampingnya. Hembusan napas laki-laki itu membelai wajahnya, tanpa sadar Laura meneteskan air mata. Dia tidak berniat melukai Gino dan depresi itu kembali datang. Ketakutan dengan kejadian malam itu menyebabkan Laura tidak bisa membedakan ilusi dan kenyataan. Seharusnya, dia bisa mengendalikan emosinya sehingga hubungan mereka membaik seperti dulu.Dulu, sebelum Gino mengambil sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya."La, aku minta maaf," ucap Gino serius."Aku juga minta maaf No." Laura membuka matanya dan menatap Gino."Minggu depan aku harus balik ke Jogja, pernikahan Ajeng dilangsungkan bulan depan. La, apa kamu baik-baik aja aku tinggal sendirian?" tanya Gino hati-hati.
Pesta pernikahan Ajeng sangat mewah. Laura menggandeng lengan Gino dan keduanya berjalan bersisian memasuki ballroom hotel. Tamu-tamu undangan terlihat elegan dengan pakaian mewah yang melekat di tubuh mereka. Laura merasakan telapak tangannya dingin akibat situasi itu. Terlebih beberapa pasang mata memperhatikan Gino yang berada di sampingnya. Di antara orang-orang itu, Laura merasa familiar dan jantungnya berpacu lebih cepat melihat tatapan mata yang menatapnya lekat."Rahma," ucap Laura lirih.Perempuan itu memakai gaun panjang berwarna pink pucat, membungkus tubuhnya yang ramping. Wajah Rahma tidak banyak berubah dari terakhir kali Laura melihatnya, hanya ada yang berbeda dari perempuan itu.Tatapan mata itu seolah merasa bersalah.Laura menggenggam tangan Gino lebih erat untuk mencari kekuatan karena laki-laki itu tidak menyadari kepanikannya. Gino justru menyapa beberapa tamu sehingga Laura terpaksa memasang senyum canggung dengan alasan kesopanan.
Jalan-jalan di sekitar Malioboro cukup untuk melepas penat dari pesta pernikahan Ajeng tempo hari. Laura tidak bisa menolak tawaran Mira menemani perempuan paruh baya itu berbelanja kain. Sejak Gino melamarnya, Mira memberikan perhatian berlebihan layaknya anak kandung sendiri.Sebenarnya, Laura tidak keberatan asal perempuan itu bersikap normal. Kata normal itu tidak menggambarkan Mira yang memesan seluruh kain motif terbaru hanya untuk Laura. Kemudian meminta penjaga di toko itu membawanya ke mobil yang terparkir jauh di depan. Dia merasa prihatin pada penjaga toko itu. Namun, tidak memiliki keberanian untuk membantu karena Mira tidak mengizinkan Laura menyentuh kain-kain itu."Menikah di Jogja ya nduk. Ibu sama ayah yang urus semuanya. Kamu sama Gino jangan khawatir, bocah itu sibuk ngurus bisnis ayahnya. Sebenarnya ibu keberatan Malik ngambil alih, tapi ibu nggak tega biarin Gino tertekan karena pekerjaan yang nggak sesuai bidangnya," ucap Mira setelah mereka
"La."Laura terkejut ketika Gino memeluknya dan bersandar di bahunya. Dia mengusap rambut Gino, merasa laki-laki itu sedang mengalami masa sulit. Laura tidak ingin bertanya mengenai urusan Gino dan keluarganya. Sebagai orang luar rasanya tidak nyaman bertanya mengenai urusan itu."Kamu lapar No?" tanya Laura."Aku udah makan bareng mas Malik." Gino menatap Laura dengan tatapan muram. "Kesehatan ayah menurun dan aku terpaksa ngambil alih perusahaan. La, kalau aku nggak bisa nuruti keinginan kamu tinggal di luar Jogja, gimana?" tanya Gino.Laura tidak langsung membalasnya, dia tidak memberitahu Gino tentang ajakan Rahma hari itu. Dan keinginan selain bersama Gino adalah tinggal di luar Jogja. Bagaimanapun juga Laura terlanjur jatuh cinta pada keramaian New York. Hidupnya ada di tempat itu, bukan Jogja. Namun, kesulitan Gino bukannya Laura tidak mengerti, dia tahu jika Gunawan menginginkan putranya mewa
"Kenapa kita datang ke sini?" tanya Laura."Biar kamu ingat sama kenangan masa kecil kita," jawab Gino.Mengenang masa kecil mereka bukan lagi kesukaan Laura. Dia cukup dewasa untuk memahami sesuatu termasuk tentang hubungannya dengan Gino. Apalagi rumah itu memiliki banyak kenangan menyakitkan."Kamu capek No?" tanya Laura memastikan.Gino mengangguk. "Capek banget. Kerjaan nggak ada habisnya.""Bukan tentang pekerjaan." Laura menoleh ke samping memberanikan diri mengucapkan kalimat itu. "Tapi tentang hubungan kita.""Hubungan kita baik-baik aja La.""Seandainya begitu No," ucap Laura lirih, tapi perbedaan cara berpikir mereka terkadang membuatnya jenuh. Namun, melihat emosi Gino, pemikiran itu dia buang jauh-jauh. "Aku mau balik ke New York." tambahnya lagi."Kamu udah capek La?" tanya Gino penuh penekanan. Nadanya