Share

Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi
Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi
Author: Minang KW

Rasian

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Inyiak Mudo harus menghentikan semadinya. Suara-suara halus yang berbisik ke dalam hati dan pikirannya cukup mengganggu meditasi yang telah ia mulai semenjak beberapa purnama yang lalu. Meditasi yang sesungguhnya tidak akan mungkin diganggu oleh orang lain sebab ia tinggal nun di sebuah pulau kecil nan terpencil.

Pulau Sinaka, sebuah pulau yang berada di lepas pantai sebelah barat Pulau Swarnadwipa yang bermakna Pulau Emas. Atau setidaknya, begitulah kata para pedagang dari Gujarat dan Tiongkok Selatan.

Namun, penduduk yang mendiami pulau besar itu lebih mengenal daratan tersebut dengan nama Andalas—kelak, nama itu akan berganti menjadi Sumatra.

“Ada apakah gerangan?” gumam Inyiak Mudo setelah ia membuka matanya. “Mengapa suara-suara tak berwujud itu mengiang-ngiang dalam pikiranku?”

Dan ketika ia memutuskan untuk berdiri, barulah terlihat bahwa pria yang berperawakan seperti seorang yang sudah berusia 70 tahun itu cukup pendek, hanya memiliki tinggi sekitar satu tombak[1] saja.

Hanya saja, wajah itu memiliki kulit seperti kulit bayi, halus dan kemerah-merahan meski kumis dan jenggot menyatu menjadi cambang yang lebat berwarna keabu-abuan, begitu juga dengan rambutnya yang sebahu itu.

Tidak ada yang tahu usia pria tersebut yang sebenarnya, itu juga alasannya orang-orang lebih mengenal dia dengan julukan Inyiak Mudo.

Inyiak Mudo berdiri hening dengan kedua tangan berada di belakang pinggangnya. Wajah yang menengadah itu terlihat tidak terlalu tenang, dengan mata terpejam, di tepian pantai. Cambang dan rambutnya riap-riapan dipermainkan angin malam.

‘Duhai para Dewa dan Dewi si Suwarga,’ bisik hati kecilnya, ‘gerangan apakah yang Kalian pertandakan padaku?’

Ia membuka matanya, memandangi cakrawala malam yang bertabur bintang gemintang laksana butiran-butiran berlian di pasir hitam. Sesaat, Inyiak Mudo menghela napas lebih dalam sebelum tatapannya tertuju ke seberang lautan. Bayangan tipis dari Pulau Andalas sedikit memberi petunjuk pada dirinya, tentang bisikan-bisikan tak berwujud yang mengganggu semadinya tadi.

Tidak mungkin untuk mengulang semadi yang telah terganggu itu, akan membutuhkan satu prosesi untuk memulainya lagi. Jadi, Inyiak Mudo memutuskan untuk tidur-tidur ayam[2] saja sembari menunggu fajar menyingsing.

Akan tetapi, Inyiak Mudo justru benar-benar tertidur dengan posisi miring ke kanan. Dan kembali suara-suara gaib itu menggoda mimpinya. Dan kembali ia terjaga.

Pria tua sama sekali tidak paham dengan suara-suara dalam mimpinya itu. Masalahnya, tidak ada kata-kata yang jelas yang bisa ia ingat. Hanya suara-suara berbisik halus yang lebih sering terdengar seperti suara tawa seorang bayi, atau rintihan kesakitan dari seorang wanita.

“Rasian macam apa pula ini?” gumam Inyiak Mudo setelah bangun dari tidurnya.

Di awal pagi itu, Inyiak Mudo akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Pulau Sinaka. Dengan menaiki sebuah sampan kecil, ia mendayung menuju daratan utama Andalas.

Meski pria tua dan pendek itu mendayung dengan begitu santai tanpa terlihat terburu-buru, namun sampan itu justru meluncur sangat cepat di permukaan laut yang cukup berangin di pagi ini.

Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Inyiak Mudo untuk bisa mencapai daratan utama Andalas meski hanya dengan sebuah sampan kecil. Ia sudah melihat keramaian dari sebuah bandar di tepi laut, namun ia memilih untuk melabuhkan sampannya jauh di sisi kanan dari bandar tersebut.

Bandar itu bernama Bangkahulu, kelak akan menjadi sebuah ibukota penting bagi Provinsi Bengkulu.

Setelah berlabuh dan menambatkan perahunya di satu titik di antara kelebatan tanaman di tepi laut, Inyiak Mudo meneruskan tujuannya dengan berjalan kaki. Yah, meskipun tidak bisa disebut sebagai berjalan sebab kenyataannya, pria tua seolah seekor burung yang terbang dengan sangat ringannya, melesat ke arah utara. Ia sengaja mengambil jalur di antara kerapatan pepohonan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Menjelang tengah hari, Inyiak Mudo telah sampai di kawasan Bukik Siriah, secara harfiah berarti Bukit Sirih. Kawasan itu berada di ujung utara sisi barat Ngarai Sianok. Di sana, terdapat sebuah goa alami yang tidak terlalu besar.

Hanya ada satu orang saja yang mendiami goa itu, dan orang itulah yang sekarang akan ditemui oleh Inyiak Mudo.

Dia adalah seorang wanita sepuh yang sama tuanya seperti Inyiak Mudo sendiri, bernama Sabai Nan Manih. Hanya saja, sebagaimana dengan Inyiak Mudo, wanita itu pun memiliki kulit wajah selayaknya kulit bayi yang halus dan kemerah-merahan. Rambutnya pun telah hampir memutih keseluruhannya.

Di dalam goa itu Sabai Nan Manih yang kecantikan masa mudanya masih membayang jelas di wajahnya itu dalam kondisi bersemadi. Duduk bersila dengan tenang di atas sebuah bongkahan batu.

Inyiak Mudo berhenti sejenak di depan mulut goa, ia menghela napas lebih dalam sebelum akhirnya memutuskan untuk memasuki goa tersebut. Ia sedikit tersenyum ketika melihat wanita sepuh itu duduk dengan sangat tenang.

Lima langkah di hadapan Sabai Nan Manih, Inyiak Mudo lalu duduk bersila. Ia memutuskan untuk menunggu wanita itu saja mengakhiri semadinya daripada harus dengan sengaja mengganggunya.

Hanya sekejap saja sebelum wanita sepuh yang dikenal oleh masyarakat dengan julukan Inyiak Gadih tersebut terdengar menghela napas dalam-dalam. Ia mendapat panggilan seperti itu bukan berarti dia masih gadis, itu disebabkan wajah dan bentuk tubuhnya itu, meskipun sudah berusia sangat tua sebagaimana dengan Inyiak Mudo, namun wajah dan tubuhnya masihlah terlihat seperti seorang gadis remaja.

“Kau datang sebelum waktu perjanjian kita, Akhirali,” meski bibirnya hampir tidak bergerak sama sekali, namun suara itu cukup terdengar jelas di telinga Inyiak Mudo.

Inyiak Mudo tersenyum, “Aku tahu.”

“Cih!” Inyiak Gadih akhirnya membuka matanya, menyudahi semadinya. “Kau sama sekali tidak berubah, padahal kita sudah hidup sangat lama di dunia ini.”

Lagi-lagi Inyiak Mudo menanggapi kekesalan ucapan Inyiak Gadih dengan senyuman. Bagaimanapun, suara dan gaya ucapan wanita yang satu itu sama sekali tidak berubah. Masih sama seperti ketika mereka muda dahulu, pikirnya.

“Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu, Sabai.”

CATATAN:

[1] Ukuran panjang/tinggi kira-kira 1,5 meter.

[2] Istilah untuk berbaring bermalas-malasan.

[3] Rasian = mimpi yang biasanya merupakan firasat akan kejadian sesuatu.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
DEDI ZURARI
Libur Ya..
goodnovel comment avatar
Sutikno Pga
lama nunggu episode selanjutnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Suami-istri yang Selalu Berseteru

    “Apa kau tidak bisa menunggu sampai hari pertemuan kita?” ujar Sabai Nan Manih. “Kita sudah berjanji hanya akan bertemu sekali dalam sepuluh tahun, Akhirali.”“Aku tahu, Sabai. Aku tahu,” kata Inyiak Mudo. “Hanya saja, sudah beberapa hari ini sesuatu mengganggu semadiku.”“Apa yang kau maksudkan itu?”“Entahlah,” kata Inyiak Mudo. “Seperti suara-suara halus yang terus mengiang di dalam pikiranku. Terkadang, seperti suara bayi yang menangis. Tapi, ada yang aneh dengan bayi itu yang aku sendiri sukar untuk menjelaskannya. Juga, suara rintihan kematian seorang wanita muda.”“Aneh sekali!” gumam Inyiak Gadih. “Selama ini, kau tidak pernah bercerita bahwa semadimu bisa terganggu?”“Itulah yang hendak aku ketahui sekarang ini,” Inyiak Mudo menghela napas dalam-dalam. “Bahkan, saat aku tidur pun aku berasian, memimpikan hal yang sama pula. Tapi, tetap saja semuanya samar. Suara siapa? Bayi siapa? Atau wanita yang mana satu? Semua tidak bisa kuingat dengan jelas.”“Oh, Dewa Yang Bijaksana,” I

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Takdir Pertemuan

    Teph!Telapak Inyiak Gadih beradu kencang dengan tinju Inyiak Mudo, dan tertahan untuk beberapa saat di udara, tubuh keduanya juga ikut mengambang di antara dorongan dua tenaga dalam yang saling bertolak belakang.Jika Inyiak Gadih dengan Telapak Penghancur Raga-nya yang memiliki jenis tenaga dalam yang berinti panas, Inyiak Mudo pula memiliki inti tenaga dalam yang sangat dingin dengan Tinju Penghancur Sukma-nya.Inyiak Mudo mengumbar senyum. “Aku memang tidak berniat menandingimu, Sabai. Kau pasti tahu perasaanku padamu masihlah tetap sama.”“Tutup mulutmu, Tua Bangka!” Inyiak Gadih melipat gandakan tenaganya.Bahkan Inyiak Mudo tetap saja tersenyum meski tinjunya yang menahan telapak sang istri berdengung kencang. Suara berdengung akibat dari bergeseknya dua tenaga dalam mereka.Inyiak Mudo tahu pasti, sisi lain dari istrinya itulah yang membuat ia bersedih hati, yang membuat mereka harus terpisah. Inyiak Gadih seolah memiliki kepribadian ganda semenjak kematian putri mereka satu-s

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Takdir Anak Manusia

    “T—Tolong…”Wanita muda yang tengah hamil besar itu tidak lain adalah Zuraya yang beberapa saat yang lalu telah diperkosa oleh Darna Dalun sebelum akhirnya ia memutuskan untuk melompat ke lembah ngarai.Kondisinya sangatlah mengenaskan. Kedua kakinya patah, begitu juga dengan satu tangannya sementara tangannya yang lain terjulur ke arah Inyiak Mudo.Dari kondisi pernapasannya yang sepertinya tersumbat oleh genangan darah di hidung yang patah, dan di mulut dengan bibir yang pecah, Inyiak Mudo tahu pasti bahwa Zuraya sedang berada di ujung kematiannya.Darah juga terlihat mengalir dari selangkangan wanita muda yang adalah istri dari seorang Wali Jorong bernama Sialang Babega.Tentu saja, mata manusia biasa tidak akan mampu melihat semua itu di tengah kegelapan malam. Tapi tidak bagi si orang tua sakti tersebut.“I—Inyiak…” dengan napas yang hanya tersisa satu-satu, Zuraya yang tidak yakin apakah seseorang yang sedang berdiri di hadapannya itu adalah manusia ataupun jin penunggu lembah i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Puti Bungo Satangkai

    Lima tahun kemudian, Inyiak Mudo menepati janjinya terhadap istrinya, Sabai Nan Manih alias Inyiak Gadih. Hanya saja, kali ini ia datang ke Bukik Siriah dengan membawa seorang gadis kecil yang berusia lima tahun.“Kau pasti akan senang bertemu dengan Inyiak Gadih,” ujar Inyiak Mudo pada gadis kecil itu ketika mereka berada di atas sampan.Dan ya, sebagaimana dengan yang telah diperkirakan oleh Inyiak Mudo ketika ia menolong kelahiran gadis kecil itu, dia terlahir dengan kekurangan. Gadis kecil yang bahkan dalam usia semuda itu telah terlihat akan menjadi seorang gadis yang sangat cantik, sayangnya ia tidak bisa bicara. Bahkan, ia hanya bisa mendengar dengan sebelah telinga kanannya saja.Sebab itulah, ia membalas ucapan Inyiak Mudo hanya dengan gerakan isyarat tangannya.‘Benarkah, Inyiak?’Inyiak Mudo terkekeh seraya mengusap kepala gadis kecil. Ia mendayung sampannya hanya sesekali saja, namun itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat sampan itu meluncur dengan sangat cepat.Dala

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Alasan yang Tepat

    “Diam kau, Tua Bangka!”“Oh, Dewata Yang Agung,” keluh Inyiak Mudo berpura-pura bersedih hati. “Padahal aku yang merawatnya.”“Apakah kau juga tidak akan mengalah padaku untuk yang satu ini?”Inyiak Mudo hanya bisa tersenyum menahan tawa di dalam hatinya. Sesungguhnya, memang itulah yang ia inginkan, ketenangan sang istri. Lagi pula, sudah tidak terhitung entah berapa kali ia mengalah kepada istrinya tersebut. Termasuk, dengan harus hidup berjauhan.“Baiklah, baiklah,” ucap Inyiak Mudo. “Puti Bungo Satangkai. Kau puas?”“Sudah seharusnya!” balas Inyiak Gadih seraya menggendong si gadis kecil. “Kau suka nama pemberianku itu, Sayang?”Gadis kecil tersenyum dan mengangguk-angguk.“Anak pintar!” Inyiak Gadih tertawa pelan. “Kelak, jangan jadi seperti si Tua Bangka itu! Dia tidak bisa diandalkan!”“Hei, hei,” Inyiak Mudo menahan tawanya. “Jangan menjelek-jelekkanku di hadapan anak asuhku sendiri!”“Mari, Bungo,” ujar Inyiak Gadih dengan tidak menggubris ucapan sang suami. “Kita akan pergi

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   30 Tahun Kemudian

    Semenjak kehadiran Puti Bungo Satangkai di pulau di mana Inyiak Mudo tinggal, maka semenjak itu pula ia selalu bisa menghindari pertarungannya dengan Inyiak Gadih. Selalu saja ada alasan yang bisa ia kemukakan untuk menghindari pertikaiannya dengan istrinya tersebut.Pendek kata, Puti Bungo Satangkai menjadi penengah di antara Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih.Terhitung sudah tiga kali pertarungan itu dibatalkan. Yang pertama tepat ketika Puti Bungo Satangkai berusia lima tahun, lalu yang kedua ketika ia berusia lima belas tahun, dan yang ketiga ketika Puti Bungo Satangkai telah berusia 25 tahun.Usaha Inyiak Gadih untuk memulihkan kebisuan dan pendengaran telinga kiri sang gadis tidak membuahkan hasil. Puti Bungo Satangkai memang mengalami kecacatan semenjak di dalam kandungan ibunya, imbas dari terjatuhnya sang ibu ketika itu ke dasar ngarai.Tapi semua kekurangan itu bukanlah penghalang bagi Puti Bungo Satangkai untuk melakukan banyak hal sebagaimana manusia lainnya. Ia belajar menulis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Setipis Kulit Ari

    “Kau tahu, Anakku,” kata Inyiak Mudo seraya menghela napas begitu dalam. “Kau sudah tidak mungkin lagi aku tahan-tahan untuk melihat dunia luar.‘Tapi, aku masih suka menemani Inyiak Mudo di sini.’“Aku tahu,” Inyiak Mudo tersenyum. “Terima kasih, dalam masa tiga puluh tahun ini kau telah menemaniku di sini. Kau menjadi penengah kemelut di antara aku dan Sabai Nan Manih sehingga kami berdua tidak perlu bertarung.”‘Aku merasa tidak melakukan apa-apa.’Inyiak Mudo terkekeh seraya mengangguk-angguk kecil. “Kau tahu, ada sebagian orang yang patut mendapat pujian, namun lebih banyak lagi yang tidak meski sudah berusaha dengan segala cara. Kau gadis yang baik, Anakku. Kuharap, kelak kau tetaplah berpendirian seperti sekarang ini. Jangan biarkan buruknya dunia mengelabuimu.”‘Terima kasih, Inyiak. Aku pasti akan mengingat nasihat Inyiak.’“Kau harus ingat satu hal lagi, Bungo,” kata Inyiak Mudo. “Aku memberitahukan tentang ibumu bukan berarti aku memintamu untuk mencari penyebab semua perka

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Hal Biasa yang Tak Biasa

    “Bungo, pergilah…!” ucap Inyiak Mudo tanpa berpaling sedikitpun kepada Puti Bungo Satangkai.Tapi sang gadis tak hendak beranjak dari sana. Bagaimanapun, ia melihat hal berbeda pada Inyiak Gadih yang masih berada jauh di depan sana, di atas sampan yang melaju sangat cepat.‘Itukah aura asli dari Inyiak Gadih?’ tanya sang gadis di dalam hati.Selama ini, Puti Bungo Satangkai tidak sekalipun melihat perubahan pada Sabai Nan Manih. Perjanjian perkelahian wanita sepuh itu dengan sang suami selalu tidak terjadi selama adanya Puti Bungo Satangkai.Lalu, apa yang membawa Inyiak Gadih mendatangi Pulau Sinaka ini? Bukankah perjanjian itu sendiri sekali dalam sepuluh tahun, dan itu terhitung masih ada lima tahun lagi? Lagi pula, bila memang mereka akan bertarung, bukankah selalu Inyiak Mudo yang datang ke Bukik Siriah?Apa pun penjelasan di balik kemunculan Sabai Nan Manih ke pulau itu, yang pasti, itu bukanlah sesuatu yang baik. Puti Bungo Satangkai dapat merasakan hawa panas yang luar biasa b

Latest chapter

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertemuan Tak Terduga

    Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bukan Orang Lain

    Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertarungan yang Aneh

    Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau

DMCA.com Protection Status