Ambu mendengar mang Lukman berteriak tentu saja terperanjat.
"Luk, ada apa dengan Abah?" Wajah Ambu yang panik menggambarkan bagaimana dia sangat panik.
"Tadi Ambu, tadi ... si Abah kepatuk Ular." Mang Lukman menjelaskan dengan nafasnya yang terengah-engah.
"Yang bener Luk, dimana?" Ambu meminta Mang Lukman untuk menunjukkan dimana Abah berada.
"Hayu Ambu, Luk, kasih tahu." Mang Lukman menarik tangan Ambu menuju tempat Abah di patuk ular. Tentu saja aku sebagai anaknya ikut serta dan teman-teman yang lain juga ikut bersamaku.
Kami berjalan dengan kecepatan empat ekor kuda, ngebut sampai kebun. Begitu sampai di kebun ternyata suasana lengang padahal biasanya ada Kang Ardi yang menemani Abah. Airmata Ambu sudah berjatuhan seperti air hujan.
"Abah, jangan tinggalin Ambu, Abah ...," Tiba-tiba Ambu pingsan yang membuatku khawatir.
"Mang Lukman, si Abah dibawa kemana yah? Aku bertanya sambil menahan kepala Ambu agar beliau tidak terlalu jat
"Hanny!" Abah berteriak dari dapur.Ambu tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang setelah membuang sampah."Ada apa, Abah?" Ambu gemetaran."Itu anak kamu kemana, Pagi-pagi sudah ngelayap?" Abah membetulkan kumisnya yang hanya berapa lembar."Loh, dia lagi turun ke bawah rumah Dodi, katanya mau ngawinin si Jack." Ambu mengambil pisang un
Si Jack berkokok itu berarti hari sudah pukul empat pagi."Hanny, bangun ... ayo sholat!" Ambu berteriak dan aku memicingkan mata."Ambu, Abah sudah bangun?" Aku ingin memeluk Ambu namun ditepisnya."Sudah atuh, kan Abah mau ke masjid sholat berjamaah." Ambu membuka jendela. Hawa dingin langsung masuk ke dalam kamar. Udara pedesaan yang masih asri juga hawa sisa hujan semalam membuat pagi ini sungguh terasa beda."Ambu, si Jack kedinginan nggak ya?" Aku turun dari ranjang dan melipat selimut yang semalam dipakai."Ya enggak atuh, kan dia itu hewan yang ada bulunya, kenapa, kamu mau bawa dia tidur sama kamu?" Ambu memencet hidungku sedangkan aku hanya tertawa."Sudah sholat sana!" Ambu memintaku segera sholat."Iya, Ambu, ya sudah aku mau mandi dan sholat." segera aku bergegas ke kamar mandi.***Selesai sholat langsung menyiapkan buku sekolah yang masih berserak di atas meja belajar. Hari Senin memang hari yang sangat ti
Aku dan my lovely friend mendengar lonceng sekolah berbunyi langsung berhamburan keluar kelas untuk beristirahat. "Gila si Hanny dan Dewi berani pura-pura sakit buat istirahat di UKS." Jamal memencet hidungku. "Pegel Mal, kaki aku berdiri upacara." Aku menjawabnya sambil menarik tangan Rita untuk bergandengan menuju kantin. "Sekali-kali aku mau ah, kayak kalian." Acop membuatku tertawa terpingkal-pingkal. "Mana mungkin mereka percaya, Cop ma lu, secara kulit lu tuh Ireng, pasti kuat kalo kena matahari." Dewi tertawa. "Iiih, kalian jahat bawa-bawa warna kulit." Acop nyengir kuda. "Lagian lu mau pake acara pura-pura pingsan." Dadang mengacak-acak rambut Acop yang kribo. Sampai di kantin langsung ngantri dan mengambil gorengan lalu duduk di bangku. "Awas lu ya pada bayar nggak bener." Jamal melotot ke arah kami. "Siapa yang suka begitu, Mal?" tanya Acop. "Si Dadang, Hanny, lu juga Cop, makan tiga bayar dua.
Azan berkumandang dan sebelum sholat magrib aku mandi terlebih dahulu. Dinginnya air membuat aku bergidik kedinginan. Selesai mandi dan keluar kamar mandi aku melihat Ambu akan menunaikan sholat. "Ambu, bareng sama Hanny sholatnya." Ambu melihat ke arahku dan senyumannya terlihat sangat bersahaja. "Iya, ayo bareng buru, Nak." Segera aku masuk ke dalam kamar dan mengambil peralatan sholat. Aku menggelar sajadah di kamar Ambu dengan sinar lampu yang temaram. "Ambu, Hanny komat dulu." "Iya, hayu buruan." Ambu membetulkan sajadah yang dipakainya. Suasana husyuk ketika sholat membuatku merasa lebih dekat dengan Sang Mahapencipta. Selesai sholat dan berdoa aku mencium tangan Ambu dengan takzim. "Ambu, tadi di sekolah teman-teman ngajak mau naik gunung Sabtu ini. Abah mengizinkan tidak ya?" Aku takut Ambu tidak setuju dan hanya bisa menundukkan kepala. "Tanya Abah aja atuh nanti. Tapi Ambu rasa sih, Abah kamu tid
PurnamaEnam sahabat menikmati malam minggu dengan bahagia. Jamal mengambil gitar kemudian memainkan melodi, semua menikmati termasuk Abah dan Ambu malam itu. Setelah Jamal bermain gitar dengan sepuluh lagu request kami, aku akhirnya mengambil gitar dan mulai bermain gitar. Tentu saja Abah dan Ambu saling berpandangan.“Hanny, kamu bias main gitar?” Abah bertanya.“Bisa dong, Abah.” Aku menjawab sambil mulai menarik nafas.“Kapan kamu belajar gitar? Abah nggak pernah lihat.” Abah masih penasaran.“Yey, Abah, coba dengar ya.” Aku dengan muka serius memegang gitar dan mengambil posisi untuk memainkannya. Melihat itu semua memandangku.JreeengSemua bertepuk tangan. Aku menarik suara, “Tek kotek kotek kotek kotek … induk ayam turun berkotek.” Baru mulai nyanyi semua langsung bersorak.HuuuAku tertawa karena tidak sesuai ekspektasi mereka saat bermain
Setelah shalat shubuh kami izin untuk lari pagi. Hawa gunung yang dingin membuat kami bersemangat karena udaranya sangat segar. "May, Cape." Aku menggapai tangan jamal. "Kayaknya sudah enam kilo ini kita lari." Jamal mengenggam tanganku sedang yang lain sudah di depan. "Hilih masa preman kalah sih." Rita melihatku dan tertawa. "Si Tomboy Hanny laper itu." Dewi berkata sambil ngos-ngosan. "Iya dong, apa kabar dunia kita belum sarapan ini." Aku tertawa mendengar ledekan mereka. "Hayu, cepet kita nyari bubur ayam Mang Herman." Acop berlari mendahului. Triiing Mendengar kata bubur ayam membuat aku bersemangat. Aromanya yang wangi bawang goreng, seledri, kuah ayam, kerupuk, kacang goreng tambah sambal dua sendok. Aku berlari mendahului mereka. "Haaahaaa, katanya tadi cape, denger bubur ayam langsung mabur, Hanny." Dadang tertawa melihatku yang berada di depan mereka. "Alhamdulillah waras." Jamal pun tertawa.
Kembali menuju rumah dengan hati gembira. Sepanjang perjalanan banyak yang menatapku aneh menenteng si Jack."Han, kamu dari mana nenteng si Jack?" tanya Irpan sahabat kecilku dulu."Dari rumah Kang Sule, Pan, ternyata si Jack mau sama ayam Kang Sule."Irpan adalah sahabatku yang sering ken flu tengan dua garis hijau biasanya keluar dari hidungnya."Ih, kamu nggak malu apa, bawa-bawa ayam di ketiak?" Irpan mengelap ingus yang keluar dari hidungnya dengan tissue."Wew, nggak malu atuh, Pan, kamu kan tahu, cita-cita aku menjadi juragan ayam terkenal." Aku melangkah pergi darinya karena merasakan mual melihat garis dua hijau yang keluar dari hidung si Irpan..Sampai di rumah akupun langsung memasukkan si Jack ke dalam kandang. Abah dan Ambu masih duduk di teras rumas."Kamu ketemu di mana sama si Jack, Han?" Abah bertanya sambil menyeruput kopi.Aku menghampiri mereka dan duduk di tengah-tengah mereka."Kamu cuci ta
Malam beranjak, setelah shalat isya aku mengambil buku dan membacanya sambil tiduran di kasur. Ambu tiba-tiba masuk. "Eh, anak Ambu tidaK boleh lo, baca sambil rebahan." Ambu mencoba meraih buku tapi aku menahannya. "Ih, Ambu, lagi enak ini. Pegal kalo duduk terus." Aku menggeser tidurku agar Ambu bisa duduk di sebelahku. "Han, kamu mau minum susu?" Ambu menawarkan susu padaku. "Nggak, ah, Ambu, Hanny malas minum susu soalnya suka seret tenggorokan." Aku menolaknya dan terus membaca. "Han, Ambu tidur dulu atuh, kamu baca jangan terlalu larut." "Iya, Ambu, ini karena besok mau ulangan bahasa Indonesia juga PPKn. Pusing Hanny, soalnya hampir mirip biasanya jawabannya. lieur." Aku menggaruk kepala dan Ambu tertawa. "Ya udah atuh. Tapi dulu mah Ambu sekolah kalau menjawab soal ulangan pasti sekenanya sesuai peeling." Ambu memberikan saran. "Asik kalo gitu Ambu. Hanny, besok juga ngikutin gaya Ambu ah." "Jangan
Ambu mendengar mang Lukman berteriak tentu saja terperanjat."Luk, ada apa dengan Abah?" Wajah Ambu yang panik menggambarkan bagaimana dia sangat panik."Tadi Ambu, tadi ... si Abah kepatuk Ular." Mang Lukman menjelaskan dengan nafasnya yang terengah-engah."Yang bener Luk, dimana?" Ambu meminta Mang Lukman untuk menunjukkan dimana Abah berada."Hayu Ambu, Luk, kasih tahu." Mang Lukman menarik tangan Ambu menuju tempat Abah di patuk ular. Tentu saja aku sebagai anaknya ikut serta dan teman-teman yang lain juga ikut bersamaku.Kami berjalan dengan kecepatan empat ekor kuda, ngebut sampai kebun. Begitu sampai di kebun ternyata suasana lengang padahal biasanya ada Kang Ardi yang menemani Abah. Airmata Ambu sudah berjatuhan seperti air hujan."Abah, jangan tinggalin Ambu, Abah ...," Tiba-tiba Ambu pingsan yang membuatku khawatir."Mang Lukman, si Abah dibawa kemana yah? Aku bertanya sambil menahan kepala Ambu agar beliau tidak terlalu jat
Setelah salat dzuhur akupun tidur siang ditemani suara Si Jack yang sepertinya terus memanggil."Jack, aku mau tidur ... tidak bisa main dulu." Aku berteriak dan seketika si Jack diam.Aku terlelap tanpa tahu hari sudah sore. Ambu membangunkan aku ketika aku mimpi indah si Jack sudah mempunyai anak yang banyak dan kandangnya aku buatkan semi permanen."Bangun dong, ratu Ambu, teman-teman kamu sudah datang tuh!" Ambu mengusap punggung membuatku tambah merasa nyaman dan ingin tidur kembali.PukBantal Ambu tarik dan di pukulkan ke arahku."Ambu, masih ngantuk ini." Aku menarik guling dan memjamkan mata."Eh, teman-teman kamu sudah datang. Kasihan kan kalau mereka harus menunggu kamu." Ambu membangunkan aku dengan keras sampai badan terguncang."Iya, Ambu, Hanny bangun." Dengan rasa malas aku beranjak dari tempat tidur dengan sebelumnya mengambil handuk yang tergantung di balik pintu.Sebelum mandi aku beranjak mendekati sa
Setelah pelajaran usai, kami bersama-sama pulang sekolah. Untuk menikmati kebersamaan akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan menyusuri sawah di belakang sekolah. Jarak memang tidak jauh tapi siang itu panasnya lumayan terik."Dang, nanti ketemu tukang es atau yang jualan cendol berenti ya." Rita sudah tampak lelah."Iya, lumayan nih." Dewi mengelap peluh di dahinya.Dadang mengambil rumput yang baunya harum menyegarkan."Coba kalian kalo ada rumput yang seperti ini cabut. Wangi, seger." Dadang menunjukkan jenis rumput dan kami mencari-cari."Iya ya, Dang, namanya apa ya?" Acop penasaran. Ternyata aku baru tahu kalau jalan pintas menuju rumahku itu menyebrang rel kereta yang dibuat jembatan di atas sungai."Waduh, aku takut ah, nyebrang ... balik lagi aja." Kaki rasanya gemetaran dan berat untuk melangkah."Eh, cuma sedikit ini, ayo, buru Hanny!" Jamal berusaha membuat aku tidak takut."Duh, kaki aku gemetaran i
Jam Istirahat telah telah usai. Saatnya kembali ke kelas. Wajah tegang kami saat akan menghadapi ulangan harian PPkn karena diawasi guru yang sangat tegas, pelit dengan nilai ulangan tak jauh dari nilai 60, 70, 80 tertinggi hanya 90. Itupun yang mendapat nilai tinggi setelah belajar berhari-hari . Suatu waktu pernah kami ulangan dan karena berpikir gurunya sedang membaca koran, akhirnya dengan santai menyontek satu sama lain. mengendap-endap pindah kursi mencari contekan adalah kenagan yang tak dapat terlupakan saat akhirnya tahu bahwa Pak Undawan membolongi korN dengan sangat kecil sampai beliau bisa mengintip kami dari balik celah juga memberi catatan siapa saja yang mencontek."Baik, tolong kalian siapkan alat tulis di atas meja, tidak boleh meminjam atau dipinjamkan nanti Bapak potong nilai kalian dan satu lagi gerakan sedikit saja Bapak tahu maka kalian akan End. Bapak robek lembar jawaban dan langsung kalian Bapak keluarkan." Pak Undawan menebar ancaman yang membuat bul
Kami terus berjalan ke arah kantin Pak Udin. Begitu sampai kantin istrinya Pak Udin sudah mengenal kami enam sekawan. "Eh, kalian. Mau duduk dimana?" Katanya mempersilahkan kami untuk duduk. Jamal menarikku untuk duduk di pojok kantin. Dewi, Rita, Acop dan Dadang merasa aneh dengan tingkah Jamal. "Mal, tumben lu baik ma Hanny, kena angin apa?" Kata Dadang sambil tertawa. "Angin mamiri dia, Dang, atau Hanny kasih sogokan agar dia bisa nyontek." Acop menimpali ucapan Dadang. "Hu'uh, kamu, kasih berapa si Jamal?" Rita melirik aku. "Mana ada aku kasih, yang aku bilang sama dia. semoga amal ibadahnya di terima di sisi_NYA." Sssttt Jamal menarik rambutku, "Emang aku mati apa, Han?" Kami semua tertawa terbahak-bahak. Suara kami seakan menjadi magnet bagi teman yang lain. "Si Hanny, kalo nggak nyontek dari kamu, gimana yah, Mal?" Dewi melihat ke arah Jamal. "Paling dia pulangnya marah-marah, nggak
Pagipun menjelang, setelah shalat subuh aku segera menyiapkan buku yang menjadi mata pelajaran hari ini."Hanny, ayo makan dulu." Abah berteriak ketika aku akan keluar melihat si Jack."Iya, Bah, bentar ... liat si Jack dulu."Aku melangkah keluar dan aku melihat si Jack sedang makan makanan yang masih hangat."Aduh, Jack kamu sudah makan? aku aja belum." Aku mendekatinya dan mengelus punggungnya.kok ... kok ... kokSi Jack seakan memberitahu bahwa nikmatnya sarapan pagi dia."Hey, jack, aku mau ujian nanti. Kamu doain yah, nanti biar aku bawa nyari cewek. Kalo kamu nggak doain aku bakal bawa kamu ke si Mita."Aku tertawa mendengar si Jack yang tampak tersedak dan langsung minum."Han, Hanny ... buru sarapan ini, nanti keburu siang." Ambu berteriak dari dalam rumah."Iya, Ambu, sebentar."Sekali lagi aku mengelus si Jack dan kemudian masuk ke dalam rumah."Ambu, Abah, hari ini Hanny ujian. Min
Malam beranjak, setelah shalat isya aku mengambil buku dan membacanya sambil tiduran di kasur. Ambu tiba-tiba masuk. "Eh, anak Ambu tidaK boleh lo, baca sambil rebahan." Ambu mencoba meraih buku tapi aku menahannya. "Ih, Ambu, lagi enak ini. Pegal kalo duduk terus." Aku menggeser tidurku agar Ambu bisa duduk di sebelahku. "Han, kamu mau minum susu?" Ambu menawarkan susu padaku. "Nggak, ah, Ambu, Hanny malas minum susu soalnya suka seret tenggorokan." Aku menolaknya dan terus membaca. "Han, Ambu tidur dulu atuh, kamu baca jangan terlalu larut." "Iya, Ambu, ini karena besok mau ulangan bahasa Indonesia juga PPKn. Pusing Hanny, soalnya hampir mirip biasanya jawabannya. lieur." Aku menggaruk kepala dan Ambu tertawa. "Ya udah atuh. Tapi dulu mah Ambu sekolah kalau menjawab soal ulangan pasti sekenanya sesuai peeling." Ambu memberikan saran. "Asik kalo gitu Ambu. Hanny, besok juga ngikutin gaya Ambu ah." "Jangan
Kembali menuju rumah dengan hati gembira. Sepanjang perjalanan banyak yang menatapku aneh menenteng si Jack."Han, kamu dari mana nenteng si Jack?" tanya Irpan sahabat kecilku dulu."Dari rumah Kang Sule, Pan, ternyata si Jack mau sama ayam Kang Sule."Irpan adalah sahabatku yang sering ken flu tengan dua garis hijau biasanya keluar dari hidungnya."Ih, kamu nggak malu apa, bawa-bawa ayam di ketiak?" Irpan mengelap ingus yang keluar dari hidungnya dengan tissue."Wew, nggak malu atuh, Pan, kamu kan tahu, cita-cita aku menjadi juragan ayam terkenal." Aku melangkah pergi darinya karena merasakan mual melihat garis dua hijau yang keluar dari hidung si Irpan..Sampai di rumah akupun langsung memasukkan si Jack ke dalam kandang. Abah dan Ambu masih duduk di teras rumas."Kamu ketemu di mana sama si Jack, Han?" Abah bertanya sambil menyeruput kopi.Aku menghampiri mereka dan duduk di tengah-tengah mereka."Kamu cuci ta
Setelah shalat shubuh kami izin untuk lari pagi. Hawa gunung yang dingin membuat kami bersemangat karena udaranya sangat segar. "May, Cape." Aku menggapai tangan jamal. "Kayaknya sudah enam kilo ini kita lari." Jamal mengenggam tanganku sedang yang lain sudah di depan. "Hilih masa preman kalah sih." Rita melihatku dan tertawa. "Si Tomboy Hanny laper itu." Dewi berkata sambil ngos-ngosan. "Iya dong, apa kabar dunia kita belum sarapan ini." Aku tertawa mendengar ledekan mereka. "Hayu, cepet kita nyari bubur ayam Mang Herman." Acop berlari mendahului. Triiing Mendengar kata bubur ayam membuat aku bersemangat. Aromanya yang wangi bawang goreng, seledri, kuah ayam, kerupuk, kacang goreng tambah sambal dua sendok. Aku berlari mendahului mereka. "Haaahaaa, katanya tadi cape, denger bubur ayam langsung mabur, Hanny." Dadang tertawa melihatku yang berada di depan mereka. "Alhamdulillah waras." Jamal pun tertawa.