"Hanny!" Abah berteriak dari dapur.
Ambu tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang setelah membuang sampah.
"Ada apa, Abah?" Ambu gemetaran.
"Itu anak kamu kemana, Pagi-pagi sudah ngelayap?" Abah membetulkan kumisnya yang hanya berapa lembar.
"Loh, dia lagi turun ke bawah rumah Dodi, katanya mau ngawinin si Jack." Ambu mengambil pisang untuk dijadikan gorengan sarapan pagi keluarga.
"Masya Allah, anak perempuan bungsu, pagi-pagi ngawinin ayam." Abah duduk di kursi makan sambil terus menggelengkan kepalanya.
"Biarin atuh Abah, dia sudah pintar untuk mengurus ayam. Siapa tahu jadi penghasilan dia." Ambu berkata untuk membela sang anak yang sangat dia sayangi.
"Ambu, dia itu anak perempuan kita yang cantik, masa pagi-pagi sudah bawa ayam buat kawin. Lagian si Jack mau-mau aja dibawa." Abah tampak kesal sambil menepuk-nepuk ujung meja seperti menepuk rebana.
"Orang mah sudah tau Abah, Hanny itu dah jadi pawang si Jack." Ambu terus membela anaknya yang sudah pergi dari pagi.
"Dia tidak malu, Ambu, nenteng si Jack ayam jago yang beratnya hampir enam kilo itu." Abah menatap Ambu dengan tatapan seorang polisi penyelidik.
"Ya nggak Abah, dia rawat si Jack kan dari kecil. Coba Abah tangkap si Jack itu pasti dia kabur, kalau sama Hanny begitu dia panggil langsung datang tuh ayam." Ambu membalikkan goreng pisang yang sudah hampir matang.
"Iya sih Ambu, Abah tahu, tapi kan dia beranjak dewasa, tahun depan sudah kuliah." Abah menyeruput kopi hitam dan keningnya berkerut.
Prrrrfttt!
Semburan kopi tumpah di sarung Abah yang membuat dia mengibaskan sarungnya.
"Ambu, ini kopi belum dipake gula, pahit ikh!" Abah mulai ngomel kembali dan gelas kopi dia taruh kembali di meja, rasa kesalnya pagi itu bertambah.
"Maaf Abah, Ambu lupa." Ambu mengambil gula di lemari dan menuang satu sendok setengah ke dalam gelas.
"Nah gini atuh Ambu, kan manis. Hidup Abah sudah pahit punya anak perempuan tapi tomboy, ditambah Ambu bikin kopi lupa pake gula " Abah mulai ceramah panjang kali lebar.
"Maaf atuh Abah, Ambu, tidak sengaja." Ambu mendekati Abah dan menciumnya. Sikap Abah sekarang lebih melunak.
"Iya, Abah maafkan." Abah melembutkan suaranya.
Ambu menuang pisang goreng yang sudah matang di piring dan menyuguhkannya di atas meja.
"Ambu, si Hanny sudah punya pacar belum?" Abah mengambil pisang goreng dan meniupnya karena masih panas mulutnya terlihat komat-kamit seperti membaca mantra.
"Tidak tahu Abah, kalo Ambu lihat sepertinya belum?" Ambu duduk di sebelah Abah sambil meniup satu pisang goreng yang masih panas.
"Masa dia belum laku ya Ambu, dia itu kan cantik sama kayak Ambu." Abah masih meniup pisang goreng yang setelah sedikit dingin baru dia makan.
"Ambu lihat dia temennya itu hanya ayam sama si Jamal anak Pa haji Syukur, Abah." Ambu tersenyum kecut melihat polah anak gadisnya yang tomboy.
"Aduh, syukur atuh kalo gitu. Abah tenang. Si Jamal anaknya baik, rajin mengaji lagi." Abah sedikit lega dengan jawaban Ambu.
.
.
Tak lama suara aku masuk dari luar,
"Assalamualaikum." Aku berteriak membuat Abah dan Ambu terkejut melihat kedatanganku.
"Wa'alaikum salam". Abah dan Ambu menjawab berbarengan.
Ketika masuk sengaja aku duduk di sebelah Abah.
"Kamu cuci tangan dulu jorok." Ambu menyentil tangan dan aku segera beranjak bangun menuju tempat cuci piring dan mencuci tangan dengan sabun.
"Abah, Ambu, si Jack bikin malu Hanny coba." Kesal yang aku dapat setelah membawa si Jack dari pagi.
"Emang kenapa atuh, Han?" Abah bertanya sambil menyodorkan piring pisang goreng. Karena masih panas jadi aku menunggunya dingin.
"Sok, kamu cerita, Han." Ambu tampak penasaran itu terlihat dari cara Ambu membetulkan kerudung yang tampak miring sebelah.
"Kan tadi bawa si Jack, Hanny mau nyebrang, itu anaknya anaknya Pak Burhan yang di warung depan bilang 'cieee mo ngawinin si Jack ke bawah, tentu saja aku kesal kan Abah, Ambu."
"Loh, kan iya, kamu mau ngawinin si Jack kan?" Abah tertawa sambil menyeruput kopi yang tinggal setengah.
"Abah jangan tertawa, si Jack nggak mau dikawinin akhirnya, malah Hanny pusing ngatur gaya si Jack kawin." Aku meradang karena lelah dengan proses perkawinan ayam jago kesayanganku.
Ambu dan Abah tertawa, aku sebagai kesayangan mereka cemberut dan ingin mencubit mereka karena gemas dan kesal.
"Hanny, sabar cantik. Si Jack nanti juga mau dikawinin." Ambu mengelus rambutku yang sengaja aku kuncir satu.
"Iya Ambu." Rasanya suaraku sudah lebih tenang tidak seperti tadi meledak-ledak.
"Dah, kamu mandi sana, masa anak gadis bau ayam." Ambu memintaku untuk segera mandi.
"Biar atuh Ambu, begini-begini nanti jadi master ayam." Aku tertawa senang.
Pletak
Abah melempar handuk ke arahku dan dia tertawa,
"Eh, anak perempuan itu jadi master chef bukan master ayam, bagaimana ini Ambu anak kamu?" Abah mengubah suaranya seperti ledekan.
Ambu hanya tertawa melihat anak gadisnya yang cengengesan. Selesai sarapan aku langsung beranjak dari kursi mencari handuk yang menggantung di depan rumah untuk segera membersihkan diri. Dalam kamar mandi aku bernyanyi tentang ayam.
"Anak ayam tinggal sepuluh, mati satu tinggal sembilan." Rasanya suaraku merdu seperti Celine Dion.
Sedang asik bernyanyi Abah berteriak dan menggedor pintu kamar mandi dari luar.
"Hanny, jangan nyanyi kalo di kamar mandi, pamali, lagian lagunya ayam lagi... bosan Abah dengarnya"suara Abah naik tiga oktaf yang membuat aku terdiam tidak nyanyi lagi.
Begitu keluar aku masih celingak-celinguk mencari Abah. Ternyata dia sudah tidak ada begitu juga Ambu, dan setelah keluar mandi kemudian berganti pakaian, aku duduk di depan rumah. Handuk masih aku taruh di kepala agar rambut segera kering.
.
.
Dari jarak yang jauh tampak sahabatku Jamal berjalan ke arahku.
"Assalamualaikum." sapa Jamal melambaikan tangannya.
"Wa'alaikum salam" aku masih duduk sibuk dengan lilitan handuk di kepala.
"Han, kita ngeliwet yuk, bareng si Acop dan Dadang?" Jamal ternyata mengajak untuk makan bersama
"Dimana, Mal?" Aku tanya sambil mempersilakan dia duduk di bangku.
"Di saung Bapak saja tengah sawah, ajak si Dewi sama si Rita." Jamal memilih memetik bunga mawar yang ada dalam pot.
"Eh, itu bunga mawar si Ambu, kamu diomelin coba, mana bunganya baru satu." Aku menakutinya agar merasa bersalah.
Jamal tampak kikuk setelah tahu bunga yang dipetiknya bunga kesayangan Ambu.
Sssttttttt
"Kamu jangan bilang atuh, diem aja." Jamal menutup mulut dengan jarinya.
"Iiih, aku bilangin nanti." Aku meledeknya dan dilempar bunga mawar oleh Jamal.
"Han, kamu tadi kemana bawa si Jack?" Alis Jamal tampak naik.
"Itu, kemarin kan Bang Dodi minta supaya si Jack dikawinin sama ayamnya si Mita, ih, ayam aku nggak tahu cewek cantik, malah nggak mau coba." Dengan kesal aku ingin mendekati si Jack dan memarahinya.
Jamal tertawa ngakak,"Lagian kamu, anak perempuan nenteng ayam pagi-pagi buat dikawinin, malu lah si Jack." Katanya sambil menepuk jidatku dengan dua jarinya.
Pletaak
"Deh, kamu nggak tahu, aku kan master ayam. Eh, apa ayam Bang Dodi jelek ya, Mal?"
Kembali Jamal tertawa, "Mana ketehe, ayam itu cantik atau jelek, orang mukanya begitu-gitu aja." Dia mengarahkan pandangan ke dalam rumah.
"Iya nih, tapi si Jack nggak mau coba." Aku mencoba untuk tampak serius dan Jamal kembali tertawa.
"Eh, mana Abah sama Ambu, Han?" Jamal bertanya tentang kedua orangtuaku.
"Barusan mah ada, sekarang aku tidak tahu "
"Dah ah, nggak bakal bener kalo ngomong sama kamu, pasti nggak bakalan jauh dari ayam." Jamal sepertinya bosan dengan pembicaraan ini.
Aku memanyunkan mulutnya,"Kamu lihat aja, kalo aku berhasil jadi master ayam, pasti kamu ngejar aku buat tanda tangan." Dengan rasa percaya diri tingkat dewa aku menepuk dada.
"Mana ada aku begitu, kalo kamu terkenal jadi master ayam, aku akan jadi chef masak ayam."
Jamal tertawa kembali dan raut mukaku memerah karena kesal dengannya.
"Awas lu, masak ayam gue, aku bakal putus hubungan pertemanan." Aku mengancamnya dengan serius.
Jamal berdiri kemudian melambaikan tangan untuk segera berlalu dari rumahku sambil tertawa.
Pagi yang menyebalkan bagiku
.
.
Aku memandang ayam kesayangan si Jack dan mendekatinya.
"Jack, kamu teh harus mau dikawinkan sama si Mita, biar kamu dapat anak untuk meneruskan kehidupan kamu nanti."
Kok...kok...kok
Suara si Jack berkotek sambil terus makan.
"Ih, diajak ngomong malah asik makan kamu Jack, pokoknya, sore aku bawa kamu lagi buat kawin." Dengan kesal aku menendang kandang si Jack.
Si ayam Jack tampak mengerti apa yang diomongkan tuannya segera pergi menjauh.
"Jack, emang si Mita jelek ya? kamu sampe nggak mau sama dia." Aku menatap tajam si Jack dan menunggu jawaban.
Si Jack tetap asik di pojok kandang dan berjalan mondar-mandir sedangkan aku hanya bisa menghela nafas.
"Ya sudah, kalo kamu nggak mau, aku cariin nanti yang cantik." Aku merayu si Jack agar mau dikawinkan.
Kukuruyuuuk
Si Jack seolah gembira mendengar ucapanku mau mencarikan ayam betina selain di Mita. Akupun melangkah masuk kamar dan merebahkan diri di kasur. Udara pagi yang masuk dari jendela seakan mengajak untuk segera menutup mataku tidur dengan hangatnya sinar matahari yang masuk dari luar jendela.
***
Persiapan liwetan sudah siap. Jamal, Acop, Dadang, Dewi dan Rita berkumpul di rumah.
"Assalamualaikum!" Mereka berteriak mengucap salam.
"Wa Alaikum salam, masuk friends." Karena tadi makan goreng pisang atau banana crispy sedikit bisa bicara dalam bahasa Inggris.
"Hayu kita jalan Han!" Acop mulai tidak sabar. Sahabat Hanny ini berkulit paling hitam dan kurus.
"Hayu kita let's go. Tapi wait aku pamit dulu dong sama Abah dan Ambu biar terlihat anak sholehah." Aku mengarahkan pandangan ke dalam rumah dan berteriak,
"Abah, Ambu, kami mau ngeliwet!" Suaraku yang nyaring membut Abah juga Ambu keluar dari kamarnya.
"Oh, kalian mau jalan ini?" Abah menatap kami dengan tajam.
"Iya Bah, Abah sama Ambu mau ikut?" Jamal bertanya pada Abah.
"Ya enggak atuh, Abah ikut senang dengan kalian aja. Udah sana pergi .. hati-hati ya " Abah memberi wejangan.
"Iya, Bah, Ambu kami pamit ya " Dewi mulai ada suaranya.
"Jangan terlalu sore ya pulangnya?" Kata Ambu sambil melambaikan tangan.
"Iya, Ambu." Jawab kami serempak.
***
Aku berjalan sambil menenteng Si Jack.
"Idih, kamu bawa ayam kita ngeliwet?" Dadang terheran-heran.
"Iya atuh Dang, ini kan best friend aku si Jack." Aku merasa tidak mau kalah.
"Mau ditaruh dimana kalo kita makan?" Rita tertawa melihatku yang menenteng Si Jack.
"Ya atuh, di bawah saung. Ini aku udah bawa talinya." Aku menunjukkan tali yang sudah biasa aku siapkan sebelumnya kalau membawa di Jack keluar rumah.
"Hayu atuh, jangan banyak ngomong, kita kemon." Jamal menarik tanganku.
Abah dan Ambu hanya melihat dari dalam rumah ketika kami pergi.
"Coba Abah lihat si Jamal, mesra begitu narik tangan Hanny." Ambu senyum-senyum sendiri melihat kami pergi.
Abah tersenyum bahagia.
"Iya ya Ambu, semoga atuh jadi jodohnya. Jamal orangnya baik, pengertian sama Hanny." Abah menghela nafas lega kalau putrinya itu jalan dengan Jamal anak haji Syukur.
"Iya Bah, ayo kita masuk ... lama-lama panas juga disini." Ambu menarik Abah segera masuk ke dalam rumah dan entah apa yang mereka lakukan.
.
.
Jarak yang ditempuh kami enam sekawan hanya berkisar satu kilometer. Sampai di saung dengan cepat aku mengikat si Jack.
"Han, kamu tidak malu gitu, kesana kesini bawa si Jack?" Dewi memulai pertanyaan.
"Ya enggak Dew, aku kan cita-cita jadi pengusaha ayam." Aku menjawabnya santai karena pertanyaan itu sering terlontar padaku.
"Idih, perempuan itu ya, buka salon gitu atau kerja kantoran." Dewi masih penasaran dengan apa yang aku lakukan.
"Ah, sudah banyak itu mah Dew, aku mau lain daripada yang lain." Aku tersenyum simpul dan yang lain tertawa.
"Dadang, coba kamu potong daun pisang dua lembar biar jadi alas liwet." Jamal meminta Dadang mengambil daun pisang, Dadang pun langsung beranjak mencari pohon pisang yang tak jauh dari saung.
Rita dan Dewi menyiapkan makanan yang mereka buat. Liwet, ikan asin, sambal, lalapan dan juga goreng tahu, tempe menu sejuta umat. Mereka menuang liwet di atas daun pisang yang Dadang ambil. Angin semilir di areal pesawahan membuat acara makan terasa nikmat.
"Cop, di kota pasti makan tidak seperti di kampung yah?" Rita mulai bertanya.
"Iya atuh Rit, nggak ada nikmatnya ... mending makanan kampung." jawab Acop sambil mulai makan lalab sambal yang katanya tidak pedas pasal yang dipakai rawit setan.
"Tapi di kota mah katanya gampang dapat duit." Dadang menimpali obrolan.
"Kata siapa Dang? itu mang Asep jadi pengemis katanya di kota." Dewi tertawa.
"Tapi dia juga banyak duitnya. Coba kamu lihat sapi mang Asep ada lima dan sawah juga rumahnya mewah, pasti Rita kamu mau sama mang Asep secara dia kaya." Dadang menaikkan alisnya dan tertawa lucu.
"Tapi malu atuh Dang, kata bapa aku nih Dang, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." Jamal mulai bersuara.
"Iya yah, Mal, apa tidak malu gitu kita ya, kalo minta-minta sama orang. Kayak tidak pernah mengaji saja." Rita bergidik.
"Sudah kita makan saja. Aku bagi sedikit ya sama si Jack." Aku mengambil satu centong nasi dan memberikannya pada si Jack.
Mereka dengan lahap memakan nasi liwet dan hanya dua puluh menit tumpukan nasi liwet itu sudah habis tidak tersisa.
"Masya Allah, kenapa habis makan ini aku kok kenyang yah?" Aku melirik ke arah Jamal.
"Ya iyalah, kalo kamu lapar itu mah bukan makan dong, Han." Jamal tertawa.
"Hayu kita cuci tangan dulu." Acop mengajak Rita cuci tangan di air pancuran sebelah saung.
"Han, aku mah habis makan ngantuk." Jamal melihat ke arahku dan dia pun menyenderkan badannya di tiang sedang kakinya diluruskan.
"Tidur atuh, ntar jam dua kita mandi di sungai terus pulang sebelum asar." Akupun menguap mungkin karena kekenyangan.
"Kamu ngantuk juga ya, Han?" Jamal bertanya.
"Iya, aku ngantuk." Aku kembali menguap dan tidak bisa menahan rasa kantuk setelah berapa kali ditiup angin.
"Ya udah, kamu tiduran sini di kaki aku, nanti aku bangunan." Jamal tertawa.
"Bangunin kali ih!" Aku tertawa.
Aku menyandarkan kepala di kaki Jamal. Karena angin bertiup sepoi-sepoi tak lama segera tertidur pulas.
"Iiih curang itu si Hanny sudah tidur, aku juga mau tidur." Dewi menguap.
"Sini sama aa Acop." Acop menawarkan diri.
"Ah, aku nggak mau sama kamu Cop, kamu mah hitam." Dewi tertawa sedangkan Acop merengut kesal karena tersinggung warna kulitnya menjadi bahan ledekan teman-temannya.
"Apa hubungannya kamu ngantuk sama kulit aku yang hitam, Dew?" Acop bertanya.
"Ada atuh Cop, aku takut mimpi buruk."
Mereka semua tertawa dan aku yang tertidur tidak terganggu dengan suara tawa teman-teman.
"Mal, kamu suka ya sama Hanny?" Dadang bertanya sedangkan Jamal tertunduk malu.
"Ciee Jamal, ge-er." Rita tertawa.
"Kamu nggak malu gitu, Hanny kan suka nenteng ayam, tomboy lagi " Acop menatap Jamal.
"Kalian hanya melihat Hanny dari luar, aku yang tahu dia. Dia itu orangnya perasa banget dan mellow juga, tahu." Jamal menjawab pertanyaan Acop.
"Masa, lihatnya aja kadang dia pake kaos, celana pendek, pake topi, nenteng ayam pula." Acop tertawa dibarengi tawa teman-teman yang lain.
"Kalian tidak tahu sih, hanya aku yang tahu bagaimana Hanny sebenarnya."
Jamal ingin mengelus rambut tapi diurungkannya karena aku membalikkan badan dan tidur menghadap ke arahnya.
"Ciee so sweet, wikwiiiw." Semua menggoda Jamal.
Mereka berempat terus menggoda Jamal dan Jamal hanya tersenyum malu. Tak lama kemudian aku terbangun.
"Jam berapa ini? Ayo kita mandi dan pulang, nanti keburu asar lo." Aku menggeliat dan segera bangun.
Semuanya beranjak turun dari saung dan berlari menceburkan diri di sungai. Si Jack hanya bisa memandangku yang mungkin dia rasa aku lupa dengannya.
Tertawa bahagia, meloncat dari batu dan saling menyipratkan air, kami enam sahabat yang tumbuh bersama juga bersekolah di tempat yang sama merasa dunia hanya ada kami saja.
Puas dengan bermain air akhirnya kami segera beranjak kembali ke saung dan duduk sebentar.
"Mal, ini kita sudah bersih dan sapuin saung bapak kamu ya." Dewi berkata sambil melihat ke arah Jamal.
"Iya, makasih ya Dew. Ya udah, kita pulang sebentar lagi asar." Jamal mengajak kami untuk segera pulang.
Aku membuka tali yang mengikat si Jack. Kemudian menentengnya dan berjalan lebih dahulu daripada teman-temannya.
"Han, kamu mah yang di tenteng malah si Jack bukan Jamal." Dadang berteriak melihat aku yang gesit lebih dulu jalannya.
"Ah, Jamal kan sudah tahu jalan, kasian si Jack atuh " aku tertawa terbahak-bahak.
Jawaban yang aku lontarkan membuat teman-teman tertawa. Sampai di rumah semuanya berpamitan.
"Alhamdulillah, sampai ketemu lagi ya Han, kita ngeliwet lagi." Acop pamit
Mereka melambaikan tangan dan segera berlalu pulang ke rumah masing-masing.
"Assalamualaikum, Abah, Ambu." Aku berteriak sebelumnya dia sudah memasukkan si Jack ke kandang.
"Wa Alaikum salam." Ambu menjawab salam dan keluar rumah.
"Ambu, Hanny mandi dulu lalu sholat asar ya? tolong si Jack kasih makan." Aku mencium tangan Ambu.
"Hilih, datang-datang minta tolong. Iya, Ambu kasih makan. Kamu mandi dulu item begitu habis ngeliwet." Cubitan ibu di tanganku terasa sakit
"Iya Ambu, tadi mandi dulu kan di sungai." Aku tertawa melihat Ambu yang juga tertawa.
"Duh, anak Ambu itu sudah perawan, malu atuh masih mandi bareng." Ambu memicingkan matanya.
"Nggak atuh Ambu, biasa saja." Aku segera berlalu sedangkan Ambu hanya menggelengkan kepalanya melihat polah anak gadisnya ini.
Si Jack berkokok itu berarti hari sudah pukul empat pagi."Hanny, bangun ... ayo sholat!" Ambu berteriak dan aku memicingkan mata."Ambu, Abah sudah bangun?" Aku ingin memeluk Ambu namun ditepisnya."Sudah atuh, kan Abah mau ke masjid sholat berjamaah." Ambu membuka jendela. Hawa dingin langsung masuk ke dalam kamar. Udara pedesaan yang masih asri juga hawa sisa hujan semalam membuat pagi ini sungguh terasa beda."Ambu, si Jack kedinginan nggak ya?" Aku turun dari ranjang dan melipat selimut yang semalam dipakai."Ya enggak atuh, kan dia itu hewan yang ada bulunya, kenapa, kamu mau bawa dia tidur sama kamu?" Ambu memencet hidungku sedangkan aku hanya tertawa."Sudah sholat sana!" Ambu memintaku segera sholat."Iya, Ambu, ya sudah aku mau mandi dan sholat." segera aku bergegas ke kamar mandi.***Selesai sholat langsung menyiapkan buku sekolah yang masih berserak di atas meja belajar. Hari Senin memang hari yang sangat ti
Aku dan my lovely friend mendengar lonceng sekolah berbunyi langsung berhamburan keluar kelas untuk beristirahat. "Gila si Hanny dan Dewi berani pura-pura sakit buat istirahat di UKS." Jamal memencet hidungku. "Pegel Mal, kaki aku berdiri upacara." Aku menjawabnya sambil menarik tangan Rita untuk bergandengan menuju kantin. "Sekali-kali aku mau ah, kayak kalian." Acop membuatku tertawa terpingkal-pingkal. "Mana mungkin mereka percaya, Cop ma lu, secara kulit lu tuh Ireng, pasti kuat kalo kena matahari." Dewi tertawa. "Iiih, kalian jahat bawa-bawa warna kulit." Acop nyengir kuda. "Lagian lu mau pake acara pura-pura pingsan." Dadang mengacak-acak rambut Acop yang kribo. Sampai di kantin langsung ngantri dan mengambil gorengan lalu duduk di bangku. "Awas lu ya pada bayar nggak bener." Jamal melotot ke arah kami. "Siapa yang suka begitu, Mal?" tanya Acop. "Si Dadang, Hanny, lu juga Cop, makan tiga bayar dua.
Azan berkumandang dan sebelum sholat magrib aku mandi terlebih dahulu. Dinginnya air membuat aku bergidik kedinginan. Selesai mandi dan keluar kamar mandi aku melihat Ambu akan menunaikan sholat. "Ambu, bareng sama Hanny sholatnya." Ambu melihat ke arahku dan senyumannya terlihat sangat bersahaja. "Iya, ayo bareng buru, Nak." Segera aku masuk ke dalam kamar dan mengambil peralatan sholat. Aku menggelar sajadah di kamar Ambu dengan sinar lampu yang temaram. "Ambu, Hanny komat dulu." "Iya, hayu buruan." Ambu membetulkan sajadah yang dipakainya. Suasana husyuk ketika sholat membuatku merasa lebih dekat dengan Sang Mahapencipta. Selesai sholat dan berdoa aku mencium tangan Ambu dengan takzim. "Ambu, tadi di sekolah teman-teman ngajak mau naik gunung Sabtu ini. Abah mengizinkan tidak ya?" Aku takut Ambu tidak setuju dan hanya bisa menundukkan kepala. "Tanya Abah aja atuh nanti. Tapi Ambu rasa sih, Abah kamu tid
PurnamaEnam sahabat menikmati malam minggu dengan bahagia. Jamal mengambil gitar kemudian memainkan melodi, semua menikmati termasuk Abah dan Ambu malam itu. Setelah Jamal bermain gitar dengan sepuluh lagu request kami, aku akhirnya mengambil gitar dan mulai bermain gitar. Tentu saja Abah dan Ambu saling berpandangan.“Hanny, kamu bias main gitar?” Abah bertanya.“Bisa dong, Abah.” Aku menjawab sambil mulai menarik nafas.“Kapan kamu belajar gitar? Abah nggak pernah lihat.” Abah masih penasaran.“Yey, Abah, coba dengar ya.” Aku dengan muka serius memegang gitar dan mengambil posisi untuk memainkannya. Melihat itu semua memandangku.JreeengSemua bertepuk tangan. Aku menarik suara, “Tek kotek kotek kotek kotek … induk ayam turun berkotek.” Baru mulai nyanyi semua langsung bersorak.HuuuAku tertawa karena tidak sesuai ekspektasi mereka saat bermain
Setelah shalat shubuh kami izin untuk lari pagi. Hawa gunung yang dingin membuat kami bersemangat karena udaranya sangat segar. "May, Cape." Aku menggapai tangan jamal. "Kayaknya sudah enam kilo ini kita lari." Jamal mengenggam tanganku sedang yang lain sudah di depan. "Hilih masa preman kalah sih." Rita melihatku dan tertawa. "Si Tomboy Hanny laper itu." Dewi berkata sambil ngos-ngosan. "Iya dong, apa kabar dunia kita belum sarapan ini." Aku tertawa mendengar ledekan mereka. "Hayu, cepet kita nyari bubur ayam Mang Herman." Acop berlari mendahului. Triiing Mendengar kata bubur ayam membuat aku bersemangat. Aromanya yang wangi bawang goreng, seledri, kuah ayam, kerupuk, kacang goreng tambah sambal dua sendok. Aku berlari mendahului mereka. "Haaahaaa, katanya tadi cape, denger bubur ayam langsung mabur, Hanny." Dadang tertawa melihatku yang berada di depan mereka. "Alhamdulillah waras." Jamal pun tertawa.
Kembali menuju rumah dengan hati gembira. Sepanjang perjalanan banyak yang menatapku aneh menenteng si Jack."Han, kamu dari mana nenteng si Jack?" tanya Irpan sahabat kecilku dulu."Dari rumah Kang Sule, Pan, ternyata si Jack mau sama ayam Kang Sule."Irpan adalah sahabatku yang sering ken flu tengan dua garis hijau biasanya keluar dari hidungnya."Ih, kamu nggak malu apa, bawa-bawa ayam di ketiak?" Irpan mengelap ingus yang keluar dari hidungnya dengan tissue."Wew, nggak malu atuh, Pan, kamu kan tahu, cita-cita aku menjadi juragan ayam terkenal." Aku melangkah pergi darinya karena merasakan mual melihat garis dua hijau yang keluar dari hidung si Irpan..Sampai di rumah akupun langsung memasukkan si Jack ke dalam kandang. Abah dan Ambu masih duduk di teras rumas."Kamu ketemu di mana sama si Jack, Han?" Abah bertanya sambil menyeruput kopi.Aku menghampiri mereka dan duduk di tengah-tengah mereka."Kamu cuci ta
Malam beranjak, setelah shalat isya aku mengambil buku dan membacanya sambil tiduran di kasur. Ambu tiba-tiba masuk. "Eh, anak Ambu tidaK boleh lo, baca sambil rebahan." Ambu mencoba meraih buku tapi aku menahannya. "Ih, Ambu, lagi enak ini. Pegal kalo duduk terus." Aku menggeser tidurku agar Ambu bisa duduk di sebelahku. "Han, kamu mau minum susu?" Ambu menawarkan susu padaku. "Nggak, ah, Ambu, Hanny malas minum susu soalnya suka seret tenggorokan." Aku menolaknya dan terus membaca. "Han, Ambu tidur dulu atuh, kamu baca jangan terlalu larut." "Iya, Ambu, ini karena besok mau ulangan bahasa Indonesia juga PPKn. Pusing Hanny, soalnya hampir mirip biasanya jawabannya. lieur." Aku menggaruk kepala dan Ambu tertawa. "Ya udah atuh. Tapi dulu mah Ambu sekolah kalau menjawab soal ulangan pasti sekenanya sesuai peeling." Ambu memberikan saran. "Asik kalo gitu Ambu. Hanny, besok juga ngikutin gaya Ambu ah." "Jangan
Pagipun menjelang, setelah shalat subuh aku segera menyiapkan buku yang menjadi mata pelajaran hari ini."Hanny, ayo makan dulu." Abah berteriak ketika aku akan keluar melihat si Jack."Iya, Bah, bentar ... liat si Jack dulu."Aku melangkah keluar dan aku melihat si Jack sedang makan makanan yang masih hangat."Aduh, Jack kamu sudah makan? aku aja belum." Aku mendekatinya dan mengelus punggungnya.kok ... kok ... kokSi Jack seakan memberitahu bahwa nikmatnya sarapan pagi dia."Hey, jack, aku mau ujian nanti. Kamu doain yah, nanti biar aku bawa nyari cewek. Kalo kamu nggak doain aku bakal bawa kamu ke si Mita."Aku tertawa mendengar si Jack yang tampak tersedak dan langsung minum."Han, Hanny ... buru sarapan ini, nanti keburu siang." Ambu berteriak dari dalam rumah."Iya, Ambu, sebentar."Sekali lagi aku mengelus si Jack dan kemudian masuk ke dalam rumah."Ambu, Abah, hari ini Hanny ujian. Min
Ambu mendengar mang Lukman berteriak tentu saja terperanjat."Luk, ada apa dengan Abah?" Wajah Ambu yang panik menggambarkan bagaimana dia sangat panik."Tadi Ambu, tadi ... si Abah kepatuk Ular." Mang Lukman menjelaskan dengan nafasnya yang terengah-engah."Yang bener Luk, dimana?" Ambu meminta Mang Lukman untuk menunjukkan dimana Abah berada."Hayu Ambu, Luk, kasih tahu." Mang Lukman menarik tangan Ambu menuju tempat Abah di patuk ular. Tentu saja aku sebagai anaknya ikut serta dan teman-teman yang lain juga ikut bersamaku.Kami berjalan dengan kecepatan empat ekor kuda, ngebut sampai kebun. Begitu sampai di kebun ternyata suasana lengang padahal biasanya ada Kang Ardi yang menemani Abah. Airmata Ambu sudah berjatuhan seperti air hujan."Abah, jangan tinggalin Ambu, Abah ...," Tiba-tiba Ambu pingsan yang membuatku khawatir."Mang Lukman, si Abah dibawa kemana yah? Aku bertanya sambil menahan kepala Ambu agar beliau tidak terlalu jat
Setelah salat dzuhur akupun tidur siang ditemani suara Si Jack yang sepertinya terus memanggil."Jack, aku mau tidur ... tidak bisa main dulu." Aku berteriak dan seketika si Jack diam.Aku terlelap tanpa tahu hari sudah sore. Ambu membangunkan aku ketika aku mimpi indah si Jack sudah mempunyai anak yang banyak dan kandangnya aku buatkan semi permanen."Bangun dong, ratu Ambu, teman-teman kamu sudah datang tuh!" Ambu mengusap punggung membuatku tambah merasa nyaman dan ingin tidur kembali.PukBantal Ambu tarik dan di pukulkan ke arahku."Ambu, masih ngantuk ini." Aku menarik guling dan memjamkan mata."Eh, teman-teman kamu sudah datang. Kasihan kan kalau mereka harus menunggu kamu." Ambu membangunkan aku dengan keras sampai badan terguncang."Iya, Ambu, Hanny bangun." Dengan rasa malas aku beranjak dari tempat tidur dengan sebelumnya mengambil handuk yang tergantung di balik pintu.Sebelum mandi aku beranjak mendekati sa
Setelah pelajaran usai, kami bersama-sama pulang sekolah. Untuk menikmati kebersamaan akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan menyusuri sawah di belakang sekolah. Jarak memang tidak jauh tapi siang itu panasnya lumayan terik."Dang, nanti ketemu tukang es atau yang jualan cendol berenti ya." Rita sudah tampak lelah."Iya, lumayan nih." Dewi mengelap peluh di dahinya.Dadang mengambil rumput yang baunya harum menyegarkan."Coba kalian kalo ada rumput yang seperti ini cabut. Wangi, seger." Dadang menunjukkan jenis rumput dan kami mencari-cari."Iya ya, Dang, namanya apa ya?" Acop penasaran. Ternyata aku baru tahu kalau jalan pintas menuju rumahku itu menyebrang rel kereta yang dibuat jembatan di atas sungai."Waduh, aku takut ah, nyebrang ... balik lagi aja." Kaki rasanya gemetaran dan berat untuk melangkah."Eh, cuma sedikit ini, ayo, buru Hanny!" Jamal berusaha membuat aku tidak takut."Duh, kaki aku gemetaran i
Jam Istirahat telah telah usai. Saatnya kembali ke kelas. Wajah tegang kami saat akan menghadapi ulangan harian PPkn karena diawasi guru yang sangat tegas, pelit dengan nilai ulangan tak jauh dari nilai 60, 70, 80 tertinggi hanya 90. Itupun yang mendapat nilai tinggi setelah belajar berhari-hari . Suatu waktu pernah kami ulangan dan karena berpikir gurunya sedang membaca koran, akhirnya dengan santai menyontek satu sama lain. mengendap-endap pindah kursi mencari contekan adalah kenagan yang tak dapat terlupakan saat akhirnya tahu bahwa Pak Undawan membolongi korN dengan sangat kecil sampai beliau bisa mengintip kami dari balik celah juga memberi catatan siapa saja yang mencontek."Baik, tolong kalian siapkan alat tulis di atas meja, tidak boleh meminjam atau dipinjamkan nanti Bapak potong nilai kalian dan satu lagi gerakan sedikit saja Bapak tahu maka kalian akan End. Bapak robek lembar jawaban dan langsung kalian Bapak keluarkan." Pak Undawan menebar ancaman yang membuat bul
Kami terus berjalan ke arah kantin Pak Udin. Begitu sampai kantin istrinya Pak Udin sudah mengenal kami enam sekawan. "Eh, kalian. Mau duduk dimana?" Katanya mempersilahkan kami untuk duduk. Jamal menarikku untuk duduk di pojok kantin. Dewi, Rita, Acop dan Dadang merasa aneh dengan tingkah Jamal. "Mal, tumben lu baik ma Hanny, kena angin apa?" Kata Dadang sambil tertawa. "Angin mamiri dia, Dang, atau Hanny kasih sogokan agar dia bisa nyontek." Acop menimpali ucapan Dadang. "Hu'uh, kamu, kasih berapa si Jamal?" Rita melirik aku. "Mana ada aku kasih, yang aku bilang sama dia. semoga amal ibadahnya di terima di sisi_NYA." Sssttt Jamal menarik rambutku, "Emang aku mati apa, Han?" Kami semua tertawa terbahak-bahak. Suara kami seakan menjadi magnet bagi teman yang lain. "Si Hanny, kalo nggak nyontek dari kamu, gimana yah, Mal?" Dewi melihat ke arah Jamal. "Paling dia pulangnya marah-marah, nggak
Pagipun menjelang, setelah shalat subuh aku segera menyiapkan buku yang menjadi mata pelajaran hari ini."Hanny, ayo makan dulu." Abah berteriak ketika aku akan keluar melihat si Jack."Iya, Bah, bentar ... liat si Jack dulu."Aku melangkah keluar dan aku melihat si Jack sedang makan makanan yang masih hangat."Aduh, Jack kamu sudah makan? aku aja belum." Aku mendekatinya dan mengelus punggungnya.kok ... kok ... kokSi Jack seakan memberitahu bahwa nikmatnya sarapan pagi dia."Hey, jack, aku mau ujian nanti. Kamu doain yah, nanti biar aku bawa nyari cewek. Kalo kamu nggak doain aku bakal bawa kamu ke si Mita."Aku tertawa mendengar si Jack yang tampak tersedak dan langsung minum."Han, Hanny ... buru sarapan ini, nanti keburu siang." Ambu berteriak dari dalam rumah."Iya, Ambu, sebentar."Sekali lagi aku mengelus si Jack dan kemudian masuk ke dalam rumah."Ambu, Abah, hari ini Hanny ujian. Min
Malam beranjak, setelah shalat isya aku mengambil buku dan membacanya sambil tiduran di kasur. Ambu tiba-tiba masuk. "Eh, anak Ambu tidaK boleh lo, baca sambil rebahan." Ambu mencoba meraih buku tapi aku menahannya. "Ih, Ambu, lagi enak ini. Pegal kalo duduk terus." Aku menggeser tidurku agar Ambu bisa duduk di sebelahku. "Han, kamu mau minum susu?" Ambu menawarkan susu padaku. "Nggak, ah, Ambu, Hanny malas minum susu soalnya suka seret tenggorokan." Aku menolaknya dan terus membaca. "Han, Ambu tidur dulu atuh, kamu baca jangan terlalu larut." "Iya, Ambu, ini karena besok mau ulangan bahasa Indonesia juga PPKn. Pusing Hanny, soalnya hampir mirip biasanya jawabannya. lieur." Aku menggaruk kepala dan Ambu tertawa. "Ya udah atuh. Tapi dulu mah Ambu sekolah kalau menjawab soal ulangan pasti sekenanya sesuai peeling." Ambu memberikan saran. "Asik kalo gitu Ambu. Hanny, besok juga ngikutin gaya Ambu ah." "Jangan
Kembali menuju rumah dengan hati gembira. Sepanjang perjalanan banyak yang menatapku aneh menenteng si Jack."Han, kamu dari mana nenteng si Jack?" tanya Irpan sahabat kecilku dulu."Dari rumah Kang Sule, Pan, ternyata si Jack mau sama ayam Kang Sule."Irpan adalah sahabatku yang sering ken flu tengan dua garis hijau biasanya keluar dari hidungnya."Ih, kamu nggak malu apa, bawa-bawa ayam di ketiak?" Irpan mengelap ingus yang keluar dari hidungnya dengan tissue."Wew, nggak malu atuh, Pan, kamu kan tahu, cita-cita aku menjadi juragan ayam terkenal." Aku melangkah pergi darinya karena merasakan mual melihat garis dua hijau yang keluar dari hidung si Irpan..Sampai di rumah akupun langsung memasukkan si Jack ke dalam kandang. Abah dan Ambu masih duduk di teras rumas."Kamu ketemu di mana sama si Jack, Han?" Abah bertanya sambil menyeruput kopi.Aku menghampiri mereka dan duduk di tengah-tengah mereka."Kamu cuci ta
Setelah shalat shubuh kami izin untuk lari pagi. Hawa gunung yang dingin membuat kami bersemangat karena udaranya sangat segar. "May, Cape." Aku menggapai tangan jamal. "Kayaknya sudah enam kilo ini kita lari." Jamal mengenggam tanganku sedang yang lain sudah di depan. "Hilih masa preman kalah sih." Rita melihatku dan tertawa. "Si Tomboy Hanny laper itu." Dewi berkata sambil ngos-ngosan. "Iya dong, apa kabar dunia kita belum sarapan ini." Aku tertawa mendengar ledekan mereka. "Hayu, cepet kita nyari bubur ayam Mang Herman." Acop berlari mendahului. Triiing Mendengar kata bubur ayam membuat aku bersemangat. Aromanya yang wangi bawang goreng, seledri, kuah ayam, kerupuk, kacang goreng tambah sambal dua sendok. Aku berlari mendahului mereka. "Haaahaaa, katanya tadi cape, denger bubur ayam langsung mabur, Hanny." Dadang tertawa melihatku yang berada di depan mereka. "Alhamdulillah waras." Jamal pun tertawa.