Azan berkumandang dan sebelum sholat magrib aku mandi terlebih dahulu. Dinginnya air membuat aku bergidik kedinginan. Selesai mandi dan keluar kamar mandi aku melihat Ambu akan menunaikan sholat.
"Ambu, bareng sama Hanny sholatnya."
Ambu melihat ke arahku dan senyumannya terlihat sangat bersahaja.
"Iya, ayo bareng buru, Nak."
Segera aku masuk ke dalam kamar dan mengambil peralatan sholat. Aku menggelar sajadah di kamar Ambu dengan sinar lampu yang temaram.
"Ambu, Hanny komat dulu."
"Iya, hayu buruan." Ambu membetulkan sajadah yang dipakainya.
Suasana husyuk ketika sholat membuatku merasa lebih dekat dengan Sang Mahapencipta. Selesai sholat dan berdoa aku mencium tangan Ambu dengan takzim.
"Ambu, tadi di sekolah teman-teman ngajak mau naik gunung Sabtu ini. Abah mengizinkan tidak ya?" Aku takut Ambu tidak setuju dan hanya bisa menundukkan kepala.
"Tanya Abah aja atuh nanti. Tapi Ambu rasa sih, Abah kamu tidak akan menyetujuinya." jawaban Ambu membuat aku kecewa.
"Tapi semua teman ikut Ambu." Aku menarik tangan Ambu dan tidak melepaskan pegangan tangan. Ambu hanya menghela nafas dan mengusap kepala.
"Cantik Ambu ini kan perempuan satu-satunya, Abah pasti khawatir."
Aku merasa sedih tapi sebagai seorang anak tidak boleh membantah pembicaraan orangtua.
"Ambu, tapi Ambu nanti bilang sama Abah yah, siapa tahu Abah sekutu." Aku mengedipkan mata sebelah.
"Iya, insya Allah Ambu bilang. Tapi Ambu tidak janji ya hasilnya." jawaban Ambu membuat aku memeluk wanita yang sangat aku sayangi.
"Iya Ambu, nuhun." Aku mencium tangan Ambu sekali lagi.
"Han, Abah kok belum pulang dari masjid." Ambu tampak mengkhawatirkan keberadaan Abah.
"Ada tahlilan mungkin Ambu. Kan, kemarin ada yang meninggal." Aku menjawab sambil melipat mukena dan sajadah.
"Owh iya, Ambu lupa." Ambu meneruskan untuk membaca tasbih sedang aku kembali masuk kamar.
***
Sekitar jam sembilan malam Abah baru pulang ke rumah.
"Assalamualaikum." Suara Abah membuatku terkejut dan langsung membuka pintu.
"Wa Alaikum salam."
Begitu pintu dibuka Abah, membawa bungkusan dua buah.
"Abah, kok, makanannya banyak?" Aku mengambil satu dan satunya Abah bawa masuk.
Aku melihat ke arah kandang dan melihat si Jack tidur. Mungkin dia kekenyangan setelah tadi sebelum magrib aku beri makan. Kembali masuk rumah dan mengunci pintu aku menghampiri Abah yang duduk di dapur.
"Abah, kok, bawa bungkusannya dua?" Aku menatap Abah yang terlihat mengantuk.
"Iya, banyak tadi makanannya, malah kalo ada tahlilan masjid penuh dengan jamaah yang mau tahlilan "
Mendengar perkataan Abah, aku dan Ambu ingin tertawa.
"Coba perempuan boleh ikut ya Abah, Hanny pasti ikutan dengan Ambu."
Abah dan Ambu tertawa.
"Memang kamu ini pasukan nasi bungkus." Ambu mencubit pipiku yang seperti bakpao.
"Aduduh Ambu, sakit. Emang bener kok, lihat aja Mang Nanang, kalo tahlilan bawa anaknya enam orang."
Abah dan Ambu tertawa,"Ya iya, dia kan anaknya laki-laki semua, pasti dibawanya. Kan, biar nanti ngirit pengeluaran." Abah berkata sambil memilin kumisnya.
"Sudah, ayo makan dulu ... terus langsung tidur." Ambu mulai mengambil piring dan sendok. Suasana yang hening di luar hanya terdengar suara jangkrik bernyanyi.
Aku menginjak kaki Ambu sebagai kode untuk membuka obrolan agar Abah mengijinkan untuk bisa naik gunung sabtu nanti dan Ambu meringis. Sepertinya Ambu paham apa yang aku mau.
"Bah, si Hanny sabtu nanti mau naik gunung sama teman-temannya." Ambu memulai pembicaraan dan Abah langsung melotot.
Melihatnya aku takut dalam hati berkata pasti Abah ngomel dan akan memarahiku.
"Kenapa Abah melotot?" Ambu bertanya.
"Aaargh, kemasukan duri ikan ini sakit." Abah memegang pangkal lehernya sedangkan aku menghela nafas.
"Nih Bah, telan satu kepal nasi putih coba, biar durinya kebawa." kata Ambu.
Abah menuruti saran Ambu untuk memakan satu kepal nasi dan bersyukur akhirnya Abah sepertinya sudah normal.
"Apa tadi Ambu bilang, Hanny, sama teman-temannya mau naik gunung?" Abah menatapku sedangkan aku hanya bisa diam.
"Iya, Abah, ngijinin nggak?" Ambu menarik tangan Abah dan mengelus punggung tangannya.
Abah terdiam tampak berpikir. Perasaanku pasti Abah tidak setuju aku yakin itu.
"Abah tidak mengizinkan dan tidak melarang. Tapi memberikan bahan pertimbangan, kalau kamu berangkat ini kan cuma berenam kalian berangkatnya, iya kan?" Abah menatap dan aku mengangguk perlahan.
"Iya, Bah." jawabku pelan.
"Ratu Abah, bintang Abah. Kalau kamu berangkat kesana ini pasti nginap, betul kan?" Abah kembali bertanya.
"Iya, Bah."
"Kenapa coba Abah tidak mengizinkan?" Abah bertanya sambil memegang tanganku.
"Abah, Hanny jawab, tapi tangan Abah cuci dulu ih, bau bekas makan ikan." Aku memanyunkan mulut melihat tangan yang Abah usap tadi kotor dan bau ikan karena Abah belum mencuci tangannya.
"Oh, iya Abah lupa." Abah tertawa sambil berdiri untuk cuci tangan.
Setelah Abah kembali giliran aku yang mencuci tangan. Selesai mencuci tangan kembali duduk bersama kedua orangtuaku.
"Begini Nak, pertemanan lelaki dan perempuan itu bagus kok, karena namanya manusia itu makhluk sosial. Tapi kalo secara agama ada batasan." Abah menghela nafas lebih dahulu dengan takzim mendengar ucapan Abah.
"Kalau sampai menginap apalagi hutan ya Nak, itu kan dingin. Kalau sampai suasana seperti itu nanti setan cepat datang, ditakutkan terjadi hal yang tidak diinginkan."
Aku paham ucapan Abah arahnya kemana.
"Tapi Abah kami kan bersahabat. Dan kami mengenal satu sama lain." Aku menyanggah perkataan Abah.
"Iya, tapi setan kan selalu menggoda keimanan seseorang. Kan kita itu tidak tahu apakah iman itu kuat atau tidak."
Aku, Ambu dan Abah terdiam. Selebihnya aku tidak mau berdebat lagi dengan Abah.
"Iya Abah ku sayang. Hanny mengerti."
Setelah puas berbincang akhirnya rasa kantuk menghampiri.
"Abah, Ambu, Hanny tidur ya." Aku menguap karena mengantuk.
"Ya udah tidur, cuci kaki sama gosok gigi dulu sana." kata Ambu.
"Yoyoy." Akupun melangkah pergi. Setelah gosok gigi kemudian langsung masuk kamar. Suasana kamar yang yang redup membuatku cepat untuk tidur. Waktunya istirahat ... aku menarik selimut dan membaca doa.
***
Dimana ini, aku melihat banyak ayam jago dan anak-anaknya mengelilingi. Kandang ayam berjejer rapi terbuat dari emas dan bertingkat. Bahagia ku rasakan saat melihat ayam kesayangan si Jack yang tiba-tiba muncul dengan gagah memakai kacamata hitam kecil di matanya.
"Wooow ... Jack, kamu hebat dan aku kaya." Kata ku sambil mengelus punggung si Jack.
Bahagianya semua mata mengarahkan lensa kamera padaku dan banyak wartawan memfoto kiri, kanan, atas bawah.
"Yes, aku kaya ... aku kaya."
Tiba-tiba aku terjatuh dalam mimpiku karena rasa gembira dan,
Bruuuk
Rasa sakit jatuh ternyata dari tempat tidur. Begitu buka mata aku kesal ternyata ini hanya mimpi.
"Aaargh, kenapa cuma mimpi!" kembali aku naik tempat tidur senyum-senyum sendiri membayangkan mimpi tentang aku kaya karena ayam. Semoga terwujud semua itu yang akhirnya aku kaya.
PurnamaEnam sahabat menikmati malam minggu dengan bahagia. Jamal mengambil gitar kemudian memainkan melodi, semua menikmati termasuk Abah dan Ambu malam itu. Setelah Jamal bermain gitar dengan sepuluh lagu request kami, aku akhirnya mengambil gitar dan mulai bermain gitar. Tentu saja Abah dan Ambu saling berpandangan.“Hanny, kamu bias main gitar?” Abah bertanya.“Bisa dong, Abah.” Aku menjawab sambil mulai menarik nafas.“Kapan kamu belajar gitar? Abah nggak pernah lihat.” Abah masih penasaran.“Yey, Abah, coba dengar ya.” Aku dengan muka serius memegang gitar dan mengambil posisi untuk memainkannya. Melihat itu semua memandangku.JreeengSemua bertepuk tangan. Aku menarik suara, “Tek kotek kotek kotek kotek … induk ayam turun berkotek.” Baru mulai nyanyi semua langsung bersorak.HuuuAku tertawa karena tidak sesuai ekspektasi mereka saat bermain
Setelah shalat shubuh kami izin untuk lari pagi. Hawa gunung yang dingin membuat kami bersemangat karena udaranya sangat segar. "May, Cape." Aku menggapai tangan jamal. "Kayaknya sudah enam kilo ini kita lari." Jamal mengenggam tanganku sedang yang lain sudah di depan. "Hilih masa preman kalah sih." Rita melihatku dan tertawa. "Si Tomboy Hanny laper itu." Dewi berkata sambil ngos-ngosan. "Iya dong, apa kabar dunia kita belum sarapan ini." Aku tertawa mendengar ledekan mereka. "Hayu, cepet kita nyari bubur ayam Mang Herman." Acop berlari mendahului. Triiing Mendengar kata bubur ayam membuat aku bersemangat. Aromanya yang wangi bawang goreng, seledri, kuah ayam, kerupuk, kacang goreng tambah sambal dua sendok. Aku berlari mendahului mereka. "Haaahaaa, katanya tadi cape, denger bubur ayam langsung mabur, Hanny." Dadang tertawa melihatku yang berada di depan mereka. "Alhamdulillah waras." Jamal pun tertawa.
Kembali menuju rumah dengan hati gembira. Sepanjang perjalanan banyak yang menatapku aneh menenteng si Jack."Han, kamu dari mana nenteng si Jack?" tanya Irpan sahabat kecilku dulu."Dari rumah Kang Sule, Pan, ternyata si Jack mau sama ayam Kang Sule."Irpan adalah sahabatku yang sering ken flu tengan dua garis hijau biasanya keluar dari hidungnya."Ih, kamu nggak malu apa, bawa-bawa ayam di ketiak?" Irpan mengelap ingus yang keluar dari hidungnya dengan tissue."Wew, nggak malu atuh, Pan, kamu kan tahu, cita-cita aku menjadi juragan ayam terkenal." Aku melangkah pergi darinya karena merasakan mual melihat garis dua hijau yang keluar dari hidung si Irpan..Sampai di rumah akupun langsung memasukkan si Jack ke dalam kandang. Abah dan Ambu masih duduk di teras rumas."Kamu ketemu di mana sama si Jack, Han?" Abah bertanya sambil menyeruput kopi.Aku menghampiri mereka dan duduk di tengah-tengah mereka."Kamu cuci ta
Malam beranjak, setelah shalat isya aku mengambil buku dan membacanya sambil tiduran di kasur. Ambu tiba-tiba masuk. "Eh, anak Ambu tidaK boleh lo, baca sambil rebahan." Ambu mencoba meraih buku tapi aku menahannya. "Ih, Ambu, lagi enak ini. Pegal kalo duduk terus." Aku menggeser tidurku agar Ambu bisa duduk di sebelahku. "Han, kamu mau minum susu?" Ambu menawarkan susu padaku. "Nggak, ah, Ambu, Hanny malas minum susu soalnya suka seret tenggorokan." Aku menolaknya dan terus membaca. "Han, Ambu tidur dulu atuh, kamu baca jangan terlalu larut." "Iya, Ambu, ini karena besok mau ulangan bahasa Indonesia juga PPKn. Pusing Hanny, soalnya hampir mirip biasanya jawabannya. lieur." Aku menggaruk kepala dan Ambu tertawa. "Ya udah atuh. Tapi dulu mah Ambu sekolah kalau menjawab soal ulangan pasti sekenanya sesuai peeling." Ambu memberikan saran. "Asik kalo gitu Ambu. Hanny, besok juga ngikutin gaya Ambu ah." "Jangan
Pagipun menjelang, setelah shalat subuh aku segera menyiapkan buku yang menjadi mata pelajaran hari ini."Hanny, ayo makan dulu." Abah berteriak ketika aku akan keluar melihat si Jack."Iya, Bah, bentar ... liat si Jack dulu."Aku melangkah keluar dan aku melihat si Jack sedang makan makanan yang masih hangat."Aduh, Jack kamu sudah makan? aku aja belum." Aku mendekatinya dan mengelus punggungnya.kok ... kok ... kokSi Jack seakan memberitahu bahwa nikmatnya sarapan pagi dia."Hey, jack, aku mau ujian nanti. Kamu doain yah, nanti biar aku bawa nyari cewek. Kalo kamu nggak doain aku bakal bawa kamu ke si Mita."Aku tertawa mendengar si Jack yang tampak tersedak dan langsung minum."Han, Hanny ... buru sarapan ini, nanti keburu siang." Ambu berteriak dari dalam rumah."Iya, Ambu, sebentar."Sekali lagi aku mengelus si Jack dan kemudian masuk ke dalam rumah."Ambu, Abah, hari ini Hanny ujian. Min
Kami terus berjalan ke arah kantin Pak Udin. Begitu sampai kantin istrinya Pak Udin sudah mengenal kami enam sekawan. "Eh, kalian. Mau duduk dimana?" Katanya mempersilahkan kami untuk duduk. Jamal menarikku untuk duduk di pojok kantin. Dewi, Rita, Acop dan Dadang merasa aneh dengan tingkah Jamal. "Mal, tumben lu baik ma Hanny, kena angin apa?" Kata Dadang sambil tertawa. "Angin mamiri dia, Dang, atau Hanny kasih sogokan agar dia bisa nyontek." Acop menimpali ucapan Dadang. "Hu'uh, kamu, kasih berapa si Jamal?" Rita melirik aku. "Mana ada aku kasih, yang aku bilang sama dia. semoga amal ibadahnya di terima di sisi_NYA." Sssttt Jamal menarik rambutku, "Emang aku mati apa, Han?" Kami semua tertawa terbahak-bahak. Suara kami seakan menjadi magnet bagi teman yang lain. "Si Hanny, kalo nggak nyontek dari kamu, gimana yah, Mal?" Dewi melihat ke arah Jamal. "Paling dia pulangnya marah-marah, nggak
Jam Istirahat telah telah usai. Saatnya kembali ke kelas. Wajah tegang kami saat akan menghadapi ulangan harian PPkn karena diawasi guru yang sangat tegas, pelit dengan nilai ulangan tak jauh dari nilai 60, 70, 80 tertinggi hanya 90. Itupun yang mendapat nilai tinggi setelah belajar berhari-hari . Suatu waktu pernah kami ulangan dan karena berpikir gurunya sedang membaca koran, akhirnya dengan santai menyontek satu sama lain. mengendap-endap pindah kursi mencari contekan adalah kenagan yang tak dapat terlupakan saat akhirnya tahu bahwa Pak Undawan membolongi korN dengan sangat kecil sampai beliau bisa mengintip kami dari balik celah juga memberi catatan siapa saja yang mencontek."Baik, tolong kalian siapkan alat tulis di atas meja, tidak boleh meminjam atau dipinjamkan nanti Bapak potong nilai kalian dan satu lagi gerakan sedikit saja Bapak tahu maka kalian akan End. Bapak robek lembar jawaban dan langsung kalian Bapak keluarkan." Pak Undawan menebar ancaman yang membuat bul
Setelah pelajaran usai, kami bersama-sama pulang sekolah. Untuk menikmati kebersamaan akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan menyusuri sawah di belakang sekolah. Jarak memang tidak jauh tapi siang itu panasnya lumayan terik."Dang, nanti ketemu tukang es atau yang jualan cendol berenti ya." Rita sudah tampak lelah."Iya, lumayan nih." Dewi mengelap peluh di dahinya.Dadang mengambil rumput yang baunya harum menyegarkan."Coba kalian kalo ada rumput yang seperti ini cabut. Wangi, seger." Dadang menunjukkan jenis rumput dan kami mencari-cari."Iya ya, Dang, namanya apa ya?" Acop penasaran. Ternyata aku baru tahu kalau jalan pintas menuju rumahku itu menyebrang rel kereta yang dibuat jembatan di atas sungai."Waduh, aku takut ah, nyebrang ... balik lagi aja." Kaki rasanya gemetaran dan berat untuk melangkah."Eh, cuma sedikit ini, ayo, buru Hanny!" Jamal berusaha membuat aku tidak takut."Duh, kaki aku gemetaran i
Ambu mendengar mang Lukman berteriak tentu saja terperanjat."Luk, ada apa dengan Abah?" Wajah Ambu yang panik menggambarkan bagaimana dia sangat panik."Tadi Ambu, tadi ... si Abah kepatuk Ular." Mang Lukman menjelaskan dengan nafasnya yang terengah-engah."Yang bener Luk, dimana?" Ambu meminta Mang Lukman untuk menunjukkan dimana Abah berada."Hayu Ambu, Luk, kasih tahu." Mang Lukman menarik tangan Ambu menuju tempat Abah di patuk ular. Tentu saja aku sebagai anaknya ikut serta dan teman-teman yang lain juga ikut bersamaku.Kami berjalan dengan kecepatan empat ekor kuda, ngebut sampai kebun. Begitu sampai di kebun ternyata suasana lengang padahal biasanya ada Kang Ardi yang menemani Abah. Airmata Ambu sudah berjatuhan seperti air hujan."Abah, jangan tinggalin Ambu, Abah ...," Tiba-tiba Ambu pingsan yang membuatku khawatir."Mang Lukman, si Abah dibawa kemana yah? Aku bertanya sambil menahan kepala Ambu agar beliau tidak terlalu jat
Setelah salat dzuhur akupun tidur siang ditemani suara Si Jack yang sepertinya terus memanggil."Jack, aku mau tidur ... tidak bisa main dulu." Aku berteriak dan seketika si Jack diam.Aku terlelap tanpa tahu hari sudah sore. Ambu membangunkan aku ketika aku mimpi indah si Jack sudah mempunyai anak yang banyak dan kandangnya aku buatkan semi permanen."Bangun dong, ratu Ambu, teman-teman kamu sudah datang tuh!" Ambu mengusap punggung membuatku tambah merasa nyaman dan ingin tidur kembali.PukBantal Ambu tarik dan di pukulkan ke arahku."Ambu, masih ngantuk ini." Aku menarik guling dan memjamkan mata."Eh, teman-teman kamu sudah datang. Kasihan kan kalau mereka harus menunggu kamu." Ambu membangunkan aku dengan keras sampai badan terguncang."Iya, Ambu, Hanny bangun." Dengan rasa malas aku beranjak dari tempat tidur dengan sebelumnya mengambil handuk yang tergantung di balik pintu.Sebelum mandi aku beranjak mendekati sa
Setelah pelajaran usai, kami bersama-sama pulang sekolah. Untuk menikmati kebersamaan akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan menyusuri sawah di belakang sekolah. Jarak memang tidak jauh tapi siang itu panasnya lumayan terik."Dang, nanti ketemu tukang es atau yang jualan cendol berenti ya." Rita sudah tampak lelah."Iya, lumayan nih." Dewi mengelap peluh di dahinya.Dadang mengambil rumput yang baunya harum menyegarkan."Coba kalian kalo ada rumput yang seperti ini cabut. Wangi, seger." Dadang menunjukkan jenis rumput dan kami mencari-cari."Iya ya, Dang, namanya apa ya?" Acop penasaran. Ternyata aku baru tahu kalau jalan pintas menuju rumahku itu menyebrang rel kereta yang dibuat jembatan di atas sungai."Waduh, aku takut ah, nyebrang ... balik lagi aja." Kaki rasanya gemetaran dan berat untuk melangkah."Eh, cuma sedikit ini, ayo, buru Hanny!" Jamal berusaha membuat aku tidak takut."Duh, kaki aku gemetaran i
Jam Istirahat telah telah usai. Saatnya kembali ke kelas. Wajah tegang kami saat akan menghadapi ulangan harian PPkn karena diawasi guru yang sangat tegas, pelit dengan nilai ulangan tak jauh dari nilai 60, 70, 80 tertinggi hanya 90. Itupun yang mendapat nilai tinggi setelah belajar berhari-hari . Suatu waktu pernah kami ulangan dan karena berpikir gurunya sedang membaca koran, akhirnya dengan santai menyontek satu sama lain. mengendap-endap pindah kursi mencari contekan adalah kenagan yang tak dapat terlupakan saat akhirnya tahu bahwa Pak Undawan membolongi korN dengan sangat kecil sampai beliau bisa mengintip kami dari balik celah juga memberi catatan siapa saja yang mencontek."Baik, tolong kalian siapkan alat tulis di atas meja, tidak boleh meminjam atau dipinjamkan nanti Bapak potong nilai kalian dan satu lagi gerakan sedikit saja Bapak tahu maka kalian akan End. Bapak robek lembar jawaban dan langsung kalian Bapak keluarkan." Pak Undawan menebar ancaman yang membuat bul
Kami terus berjalan ke arah kantin Pak Udin. Begitu sampai kantin istrinya Pak Udin sudah mengenal kami enam sekawan. "Eh, kalian. Mau duduk dimana?" Katanya mempersilahkan kami untuk duduk. Jamal menarikku untuk duduk di pojok kantin. Dewi, Rita, Acop dan Dadang merasa aneh dengan tingkah Jamal. "Mal, tumben lu baik ma Hanny, kena angin apa?" Kata Dadang sambil tertawa. "Angin mamiri dia, Dang, atau Hanny kasih sogokan agar dia bisa nyontek." Acop menimpali ucapan Dadang. "Hu'uh, kamu, kasih berapa si Jamal?" Rita melirik aku. "Mana ada aku kasih, yang aku bilang sama dia. semoga amal ibadahnya di terima di sisi_NYA." Sssttt Jamal menarik rambutku, "Emang aku mati apa, Han?" Kami semua tertawa terbahak-bahak. Suara kami seakan menjadi magnet bagi teman yang lain. "Si Hanny, kalo nggak nyontek dari kamu, gimana yah, Mal?" Dewi melihat ke arah Jamal. "Paling dia pulangnya marah-marah, nggak
Pagipun menjelang, setelah shalat subuh aku segera menyiapkan buku yang menjadi mata pelajaran hari ini."Hanny, ayo makan dulu." Abah berteriak ketika aku akan keluar melihat si Jack."Iya, Bah, bentar ... liat si Jack dulu."Aku melangkah keluar dan aku melihat si Jack sedang makan makanan yang masih hangat."Aduh, Jack kamu sudah makan? aku aja belum." Aku mendekatinya dan mengelus punggungnya.kok ... kok ... kokSi Jack seakan memberitahu bahwa nikmatnya sarapan pagi dia."Hey, jack, aku mau ujian nanti. Kamu doain yah, nanti biar aku bawa nyari cewek. Kalo kamu nggak doain aku bakal bawa kamu ke si Mita."Aku tertawa mendengar si Jack yang tampak tersedak dan langsung minum."Han, Hanny ... buru sarapan ini, nanti keburu siang." Ambu berteriak dari dalam rumah."Iya, Ambu, sebentar."Sekali lagi aku mengelus si Jack dan kemudian masuk ke dalam rumah."Ambu, Abah, hari ini Hanny ujian. Min
Malam beranjak, setelah shalat isya aku mengambil buku dan membacanya sambil tiduran di kasur. Ambu tiba-tiba masuk. "Eh, anak Ambu tidaK boleh lo, baca sambil rebahan." Ambu mencoba meraih buku tapi aku menahannya. "Ih, Ambu, lagi enak ini. Pegal kalo duduk terus." Aku menggeser tidurku agar Ambu bisa duduk di sebelahku. "Han, kamu mau minum susu?" Ambu menawarkan susu padaku. "Nggak, ah, Ambu, Hanny malas minum susu soalnya suka seret tenggorokan." Aku menolaknya dan terus membaca. "Han, Ambu tidur dulu atuh, kamu baca jangan terlalu larut." "Iya, Ambu, ini karena besok mau ulangan bahasa Indonesia juga PPKn. Pusing Hanny, soalnya hampir mirip biasanya jawabannya. lieur." Aku menggaruk kepala dan Ambu tertawa. "Ya udah atuh. Tapi dulu mah Ambu sekolah kalau menjawab soal ulangan pasti sekenanya sesuai peeling." Ambu memberikan saran. "Asik kalo gitu Ambu. Hanny, besok juga ngikutin gaya Ambu ah." "Jangan
Kembali menuju rumah dengan hati gembira. Sepanjang perjalanan banyak yang menatapku aneh menenteng si Jack."Han, kamu dari mana nenteng si Jack?" tanya Irpan sahabat kecilku dulu."Dari rumah Kang Sule, Pan, ternyata si Jack mau sama ayam Kang Sule."Irpan adalah sahabatku yang sering ken flu tengan dua garis hijau biasanya keluar dari hidungnya."Ih, kamu nggak malu apa, bawa-bawa ayam di ketiak?" Irpan mengelap ingus yang keluar dari hidungnya dengan tissue."Wew, nggak malu atuh, Pan, kamu kan tahu, cita-cita aku menjadi juragan ayam terkenal." Aku melangkah pergi darinya karena merasakan mual melihat garis dua hijau yang keluar dari hidung si Irpan..Sampai di rumah akupun langsung memasukkan si Jack ke dalam kandang. Abah dan Ambu masih duduk di teras rumas."Kamu ketemu di mana sama si Jack, Han?" Abah bertanya sambil menyeruput kopi.Aku menghampiri mereka dan duduk di tengah-tengah mereka."Kamu cuci ta
Setelah shalat shubuh kami izin untuk lari pagi. Hawa gunung yang dingin membuat kami bersemangat karena udaranya sangat segar. "May, Cape." Aku menggapai tangan jamal. "Kayaknya sudah enam kilo ini kita lari." Jamal mengenggam tanganku sedang yang lain sudah di depan. "Hilih masa preman kalah sih." Rita melihatku dan tertawa. "Si Tomboy Hanny laper itu." Dewi berkata sambil ngos-ngosan. "Iya dong, apa kabar dunia kita belum sarapan ini." Aku tertawa mendengar ledekan mereka. "Hayu, cepet kita nyari bubur ayam Mang Herman." Acop berlari mendahului. Triiing Mendengar kata bubur ayam membuat aku bersemangat. Aromanya yang wangi bawang goreng, seledri, kuah ayam, kerupuk, kacang goreng tambah sambal dua sendok. Aku berlari mendahului mereka. "Haaahaaa, katanya tadi cape, denger bubur ayam langsung mabur, Hanny." Dadang tertawa melihatku yang berada di depan mereka. "Alhamdulillah waras." Jamal pun tertawa.