Aku dan my lovely friend mendengar lonceng sekolah berbunyi langsung berhamburan keluar kelas untuk beristirahat.
"Gila si Hanny dan Dewi berani pura-pura sakit buat istirahat di UKS." Jamal memencet hidungku.
"Pegel Mal, kaki aku berdiri upacara." Aku menjawabnya sambil menarik tangan Rita untuk bergandengan menuju kantin.
"Sekali-kali aku mau ah, kayak kalian." Acop membuatku tertawa terpingkal-pingkal.
"Mana mungkin mereka percaya, Cop ma lu, secara kulit lu tuh Ireng, pasti kuat kalo kena matahari." Dewi tertawa.
"Iiih, kalian jahat bawa-bawa warna kulit." Acop nyengir kuda.
"Lagian lu mau pake acara pura-pura pingsan." Dadang mengacak-acak rambut Acop yang kribo.
Sampai di kantin langsung ngantri dan mengambil gorengan lalu duduk di bangku.
"Awas lu ya pada bayar nggak bener." Jamal melotot ke arah kami.
"Siapa yang suka begitu, Mal?" tanya Acop.
"Si Dadang, Hanny, lu juga Cop, makan tiga bayar dua." Jamal bicara sambil makan goreng ubi.
"Diiih, bukan gue woy, gue anak sholeh." Acop tampak kesal.
"Aku juga sholehah." Aku dan Dadang berkata berbarengan dan kami tertawa lagi.
"Lu, sholeh Dadang." Jamal melotot.
"Iya, gue lupa, gara-gara si Hanny nih jadi gue ikut-ikutan." Dadang tersipu mendengar kata sholehah.
"Eh, pulang sekolah kita kemana?" Dewi bertanya.
"Kita jalan kaki yuk," Rita bersemangat.
"Ogah gue jalan kaki, Rit, ntar betis gue kayak talas Bogor nih, kayak si Hanny." Dewi menunjuk betisku.
"Haiya, betis talas Bogor ini tanda kuat jalan mbak, hiking aja aku kuat." Aku tidak mau kalah.
"Oh iya, kapan kita jalan ke untuk naik gunung yah?" Jamal melihat ke arah kami yang adik memakan gorengan di kantin pak Udin.
"Hayu, ini kan baru Senin, sabtu aja kita jalan." Dadang dan Acop bersemangat.
"Hayulah kita let's go."
Kami berenam langsung mengumpulkan tangan kami ditengah dan menumpuknya tanda persahabatan tanpa batas.
Teeet ... teeet
Bel tanda masuk berbunyi, kami segera bergegas masuk kelas karena tinggal pelajaran matematika yang membuat kami olahraga jantung karena Bu guru yang mengajar mata pelajaran matematika itu super galak.
"Eh, kalian bayar dulu gorengannya!" Jamal berteriak tapi kami tak hiraukan karena dia yang paling kaya, jadi kami minta dia yang bayar.
"Lu ya, bayar." Rita dan Dewi cekikikan dibalas dengan omelan Jamal.
"Dasar parasit." tapi dia tetap membayarnya.
***
Pulang sekolah kami berenam mulai jalan kaki untuk pulang. Ngobrol sepanjang jalan membuat kami tidak merasa lelah, padahal, siang itu cukup terik.
"Eh, Rit, aku sama Dewi kan mo nyari bekicot sawah ntar sore." Aku bicara sambil makan es mambo yang aku beli di warung pinggir jalan.
"Aku ikut dong." Rita tampak antusias.
"Di sawah siapa Han?" Jamal bertanya.
"Sawah bapak lu, Mal." Aku menjawabnya.
"Awas lu, sampai rusak sawah Bapak." Jamal sepertinya khawatir dengan yang akan aku lakukan.
"Tenang, aku tahu kok, nggak bakal rusak." Aku berusaha meyakinkannya.
"Ya udah, rusak aku bilang Bapak kalo kamu yang rusakin."
"Iya." Aku menjawabnya dan langsung lari pulang.
Sampai di rumah aku melihat ke arah kandang si Jack.
Kut ... kut ... kut
Aku memanggil si Jack dan dia menghampiriku.
"Ayam pintar, kamu sudah makan?"
Si Jack mengedipkan mata dan aku tahu berarti dia menunjukkan sudah makan.
"Jack, kita ke kang Dodi yuk?" sengaja aku menggodanya dan si Jack langsung menjauh.
"Haaahaaa, ayam pintar, aku masuk dulu yah." Si Jack hanya melihatku yang berlalu darinya dan aku masih menertawakan dia.
***
"Assalamualaikum, Ambu?" Aku mendekati Ambu, mencium tangannya yang sedang duduk di sofa tua.
"Wa'alaikum salam, sudah sholat dhuhur belum?"
"Belum Ambu, tadi pulang jalan kaki, pegel ini istirahat dulu ah." Aku merajuk.
"Hilih, sekalian capeknya ... habis itu istirahat."
Dengan rasa malas aku masuk kamar. Hanya lima menit kemudian aku beranjak untuk mengambil air wudu lalu sholat. Selesai sholat aku kembali menghampiri Ambu.
"Ambu, sore Hanny mau ngambil bekicot di sawah Bapaknya Jamal."
"Emang banyak di sawah dia, Han?"
"Banyak atuh Ambu, lumayan ... nanti Ambu masak bumbu kuning pake santan ya?"
"Iya boleh, kamu sama siapa nanti?"
"Sama Dewi, Ambu,"
"Owh, ya sudah atuh. Sekarang, kamu makan siang terus tidur. Habis sholat asar kamu baru ke sawahnya."
"Iya, Ambu."
Ambu beranjak meninggalkan aku, masuk kamar untuk tidur siang. Akupun bergegas mengambil piring, duduk di kursi makan. Melihat teko terbuka langsung aku minum tanpa menuangnya di gelas dan,
Glek!
Aku melihat cicak berwarna hitam, matanya melotot menatapku.
Hueee ... huee
Langsung menuju wastafel untuk memuntahkan air yang sudah aku minum.
"Ambu ...,"
Ambu terkejut datang menghampiri.
"Ada apa, Han?" tanya Ambu dengan keterkejutan.
"Ambu mah, itu di teko ada cicak hitam." Aku memegang leherku dan merasa kalau cicak itu senang ketika aku minum.
"Astaghfirullah, Ambu lupa nutup teko, maaf ya," Ambu mengambil teko membuang airnya.
Aku menangis karena rasa lapar hilang seketika.
"Ya udah Ambu, Hanny, mau tidur saja."
"Kamu nggak jadi makan siang?"
"Nggak Ambu, hilang selera makanku ini."
Dengan menyusut airmata aku masuk kamar, masih aku merasakan ketika air masuk tenggorokan dan cicak itu menatap dengan mata yang tidak berkedip seakann menertawakan. Tak lama kemudian aku tertidur.
***
Selepas asar, aku berpamitan menuju rumah Dewi.
"Ambu, aku berangkat ya!"
"Iya, hati-hati ... awas ada ular sawah." Ambu memperingatkan aku.
"Ambu, jangan bikin takut ah,"
"Ya sudah sana, nanti keburu sore."
"Ya sudah, assalamualaikum." Aku beranjak pergi ke rumah Dewi.
Sampai di rumah Dewi aku berteriak dari luar.
"Dewi, ayo kita berangkat, assalamualaikum!"
Dewi ternyata sudah siap dengan keresek hitamnya.
"Ayo jalan, mumpung gerimis kecil ini, biasanya bekicot pada keluar."
Sekitar sepuluh menit kami sampai di sawah Haji Syukur. Ternyata Jamal sudah menunggu kami berdua.
"Diiih, mau ikutan ya?" Aku meledeknya.
"Bukan, aku nggak mau sawah Bapak rusak." Jamal beralasan.
"Bilang aja kamu mau makan nanti " ejek Dewi.
"Ya iya dong, ini kan sawah Bapak aku."
Kami tertawa dan langsung memasukkan kaki di pinggiran sawah. Satu jam kemudian bekicot sudah terkumpul banyak.
"Udah yuk Dew, pegel nih." Aku merasa pinggang mau patah.
"Ayok, ini juga dah banyak." Dewi mengajakku mencuci kaki di parit yang airnya bening.
"Mal, udah nih, kalo jadi aku antarin nanti." Dewi melihat ke arah Jamal.
"Ya sudah, kalo matang kita makan bersama aja." Jamal beranjak keluar dari sawah dan mencuci kakinya.
Sore yang indah dengan angin sepoi-sepoi meniup daun padi yang baru di tanam juga burung-birung Sriti dan gereja yang hilir-mudik mengitari sawah menambah senja yang terasa syahdu.
"Mal, kami pulang dulu ya, bilang Bapak, terima kasih gitu."
Jamal hanya mengangguk, menatapku dengan pandangan yang menusuk karena alis matanya seperti burung elang.
Kami berpisah, aku berjalan bersama Dewi untuk pulang.
"Han, aku lihat, Jamal menatap kamu lama dan tadi waktu kamu ngambil bekicot dia terus memperhatikan kamu."
"Iya kali Dew, dia nggak mau sawah Bapaknya rusak sama kita.
"Tapi pandangannya itu lain ih."
"Udah ih, aku nggak mau bahas. Yuk, kita pulang."
"Ayok."
Tanpa kata apapun kami pulang ke rumah masing-masing. Begitu sampai dirumah aku sengaja berhenti di kandang si Jack dan mengeluarkan keong Mas terlebih dahulu. Aku mengeluarkan keong mas dari cangkangnya,mencacahnya kemudian di campur dengan pakan si Jack dari kulit padi yang dicampur dengan air panas juga kangkung. Bau harum pakan si Jack mengundang hasrat ingin memakannya juga tapi sayang pakan itu hanya layak buat ayamku. Si Jack makan dengan lahap.
"Jack, makan yang banyak, biar kamu bisa tidur enak."
Si Jack tidak menghiraukan aku, terus saja makan. Akupun masuk ke dalam rumah dan mencuci kemudian merendam bekit dalam ember agar besok siang aku bisa bersihkan dan memasaknya.
Azan berkumandang dan sebelum sholat magrib aku mandi terlebih dahulu. Dinginnya air membuat aku bergidik kedinginan. Selesai mandi dan keluar kamar mandi aku melihat Ambu akan menunaikan sholat. "Ambu, bareng sama Hanny sholatnya." Ambu melihat ke arahku dan senyumannya terlihat sangat bersahaja. "Iya, ayo bareng buru, Nak." Segera aku masuk ke dalam kamar dan mengambil peralatan sholat. Aku menggelar sajadah di kamar Ambu dengan sinar lampu yang temaram. "Ambu, Hanny komat dulu." "Iya, hayu buruan." Ambu membetulkan sajadah yang dipakainya. Suasana husyuk ketika sholat membuatku merasa lebih dekat dengan Sang Mahapencipta. Selesai sholat dan berdoa aku mencium tangan Ambu dengan takzim. "Ambu, tadi di sekolah teman-teman ngajak mau naik gunung Sabtu ini. Abah mengizinkan tidak ya?" Aku takut Ambu tidak setuju dan hanya bisa menundukkan kepala. "Tanya Abah aja atuh nanti. Tapi Ambu rasa sih, Abah kamu tid
PurnamaEnam sahabat menikmati malam minggu dengan bahagia. Jamal mengambil gitar kemudian memainkan melodi, semua menikmati termasuk Abah dan Ambu malam itu. Setelah Jamal bermain gitar dengan sepuluh lagu request kami, aku akhirnya mengambil gitar dan mulai bermain gitar. Tentu saja Abah dan Ambu saling berpandangan.“Hanny, kamu bias main gitar?” Abah bertanya.“Bisa dong, Abah.” Aku menjawab sambil mulai menarik nafas.“Kapan kamu belajar gitar? Abah nggak pernah lihat.” Abah masih penasaran.“Yey, Abah, coba dengar ya.” Aku dengan muka serius memegang gitar dan mengambil posisi untuk memainkannya. Melihat itu semua memandangku.JreeengSemua bertepuk tangan. Aku menarik suara, “Tek kotek kotek kotek kotek … induk ayam turun berkotek.” Baru mulai nyanyi semua langsung bersorak.HuuuAku tertawa karena tidak sesuai ekspektasi mereka saat bermain
Setelah shalat shubuh kami izin untuk lari pagi. Hawa gunung yang dingin membuat kami bersemangat karena udaranya sangat segar. "May, Cape." Aku menggapai tangan jamal. "Kayaknya sudah enam kilo ini kita lari." Jamal mengenggam tanganku sedang yang lain sudah di depan. "Hilih masa preman kalah sih." Rita melihatku dan tertawa. "Si Tomboy Hanny laper itu." Dewi berkata sambil ngos-ngosan. "Iya dong, apa kabar dunia kita belum sarapan ini." Aku tertawa mendengar ledekan mereka. "Hayu, cepet kita nyari bubur ayam Mang Herman." Acop berlari mendahului. Triiing Mendengar kata bubur ayam membuat aku bersemangat. Aromanya yang wangi bawang goreng, seledri, kuah ayam, kerupuk, kacang goreng tambah sambal dua sendok. Aku berlari mendahului mereka. "Haaahaaa, katanya tadi cape, denger bubur ayam langsung mabur, Hanny." Dadang tertawa melihatku yang berada di depan mereka. "Alhamdulillah waras." Jamal pun tertawa.
Kembali menuju rumah dengan hati gembira. Sepanjang perjalanan banyak yang menatapku aneh menenteng si Jack."Han, kamu dari mana nenteng si Jack?" tanya Irpan sahabat kecilku dulu."Dari rumah Kang Sule, Pan, ternyata si Jack mau sama ayam Kang Sule."Irpan adalah sahabatku yang sering ken flu tengan dua garis hijau biasanya keluar dari hidungnya."Ih, kamu nggak malu apa, bawa-bawa ayam di ketiak?" Irpan mengelap ingus yang keluar dari hidungnya dengan tissue."Wew, nggak malu atuh, Pan, kamu kan tahu, cita-cita aku menjadi juragan ayam terkenal." Aku melangkah pergi darinya karena merasakan mual melihat garis dua hijau yang keluar dari hidung si Irpan..Sampai di rumah akupun langsung memasukkan si Jack ke dalam kandang. Abah dan Ambu masih duduk di teras rumas."Kamu ketemu di mana sama si Jack, Han?" Abah bertanya sambil menyeruput kopi.Aku menghampiri mereka dan duduk di tengah-tengah mereka."Kamu cuci ta
Malam beranjak, setelah shalat isya aku mengambil buku dan membacanya sambil tiduran di kasur. Ambu tiba-tiba masuk. "Eh, anak Ambu tidaK boleh lo, baca sambil rebahan." Ambu mencoba meraih buku tapi aku menahannya. "Ih, Ambu, lagi enak ini. Pegal kalo duduk terus." Aku menggeser tidurku agar Ambu bisa duduk di sebelahku. "Han, kamu mau minum susu?" Ambu menawarkan susu padaku. "Nggak, ah, Ambu, Hanny malas minum susu soalnya suka seret tenggorokan." Aku menolaknya dan terus membaca. "Han, Ambu tidur dulu atuh, kamu baca jangan terlalu larut." "Iya, Ambu, ini karena besok mau ulangan bahasa Indonesia juga PPKn. Pusing Hanny, soalnya hampir mirip biasanya jawabannya. lieur." Aku menggaruk kepala dan Ambu tertawa. "Ya udah atuh. Tapi dulu mah Ambu sekolah kalau menjawab soal ulangan pasti sekenanya sesuai peeling." Ambu memberikan saran. "Asik kalo gitu Ambu. Hanny, besok juga ngikutin gaya Ambu ah." "Jangan
Pagipun menjelang, setelah shalat subuh aku segera menyiapkan buku yang menjadi mata pelajaran hari ini."Hanny, ayo makan dulu." Abah berteriak ketika aku akan keluar melihat si Jack."Iya, Bah, bentar ... liat si Jack dulu."Aku melangkah keluar dan aku melihat si Jack sedang makan makanan yang masih hangat."Aduh, Jack kamu sudah makan? aku aja belum." Aku mendekatinya dan mengelus punggungnya.kok ... kok ... kokSi Jack seakan memberitahu bahwa nikmatnya sarapan pagi dia."Hey, jack, aku mau ujian nanti. Kamu doain yah, nanti biar aku bawa nyari cewek. Kalo kamu nggak doain aku bakal bawa kamu ke si Mita."Aku tertawa mendengar si Jack yang tampak tersedak dan langsung minum."Han, Hanny ... buru sarapan ini, nanti keburu siang." Ambu berteriak dari dalam rumah."Iya, Ambu, sebentar."Sekali lagi aku mengelus si Jack dan kemudian masuk ke dalam rumah."Ambu, Abah, hari ini Hanny ujian. Min
Kami terus berjalan ke arah kantin Pak Udin. Begitu sampai kantin istrinya Pak Udin sudah mengenal kami enam sekawan. "Eh, kalian. Mau duduk dimana?" Katanya mempersilahkan kami untuk duduk. Jamal menarikku untuk duduk di pojok kantin. Dewi, Rita, Acop dan Dadang merasa aneh dengan tingkah Jamal. "Mal, tumben lu baik ma Hanny, kena angin apa?" Kata Dadang sambil tertawa. "Angin mamiri dia, Dang, atau Hanny kasih sogokan agar dia bisa nyontek." Acop menimpali ucapan Dadang. "Hu'uh, kamu, kasih berapa si Jamal?" Rita melirik aku. "Mana ada aku kasih, yang aku bilang sama dia. semoga amal ibadahnya di terima di sisi_NYA." Sssttt Jamal menarik rambutku, "Emang aku mati apa, Han?" Kami semua tertawa terbahak-bahak. Suara kami seakan menjadi magnet bagi teman yang lain. "Si Hanny, kalo nggak nyontek dari kamu, gimana yah, Mal?" Dewi melihat ke arah Jamal. "Paling dia pulangnya marah-marah, nggak
Jam Istirahat telah telah usai. Saatnya kembali ke kelas. Wajah tegang kami saat akan menghadapi ulangan harian PPkn karena diawasi guru yang sangat tegas, pelit dengan nilai ulangan tak jauh dari nilai 60, 70, 80 tertinggi hanya 90. Itupun yang mendapat nilai tinggi setelah belajar berhari-hari . Suatu waktu pernah kami ulangan dan karena berpikir gurunya sedang membaca koran, akhirnya dengan santai menyontek satu sama lain. mengendap-endap pindah kursi mencari contekan adalah kenagan yang tak dapat terlupakan saat akhirnya tahu bahwa Pak Undawan membolongi korN dengan sangat kecil sampai beliau bisa mengintip kami dari balik celah juga memberi catatan siapa saja yang mencontek."Baik, tolong kalian siapkan alat tulis di atas meja, tidak boleh meminjam atau dipinjamkan nanti Bapak potong nilai kalian dan satu lagi gerakan sedikit saja Bapak tahu maka kalian akan End. Bapak robek lembar jawaban dan langsung kalian Bapak keluarkan." Pak Undawan menebar ancaman yang membuat bul
Ambu mendengar mang Lukman berteriak tentu saja terperanjat."Luk, ada apa dengan Abah?" Wajah Ambu yang panik menggambarkan bagaimana dia sangat panik."Tadi Ambu, tadi ... si Abah kepatuk Ular." Mang Lukman menjelaskan dengan nafasnya yang terengah-engah."Yang bener Luk, dimana?" Ambu meminta Mang Lukman untuk menunjukkan dimana Abah berada."Hayu Ambu, Luk, kasih tahu." Mang Lukman menarik tangan Ambu menuju tempat Abah di patuk ular. Tentu saja aku sebagai anaknya ikut serta dan teman-teman yang lain juga ikut bersamaku.Kami berjalan dengan kecepatan empat ekor kuda, ngebut sampai kebun. Begitu sampai di kebun ternyata suasana lengang padahal biasanya ada Kang Ardi yang menemani Abah. Airmata Ambu sudah berjatuhan seperti air hujan."Abah, jangan tinggalin Ambu, Abah ...," Tiba-tiba Ambu pingsan yang membuatku khawatir."Mang Lukman, si Abah dibawa kemana yah? Aku bertanya sambil menahan kepala Ambu agar beliau tidak terlalu jat
Setelah salat dzuhur akupun tidur siang ditemani suara Si Jack yang sepertinya terus memanggil."Jack, aku mau tidur ... tidak bisa main dulu." Aku berteriak dan seketika si Jack diam.Aku terlelap tanpa tahu hari sudah sore. Ambu membangunkan aku ketika aku mimpi indah si Jack sudah mempunyai anak yang banyak dan kandangnya aku buatkan semi permanen."Bangun dong, ratu Ambu, teman-teman kamu sudah datang tuh!" Ambu mengusap punggung membuatku tambah merasa nyaman dan ingin tidur kembali.PukBantal Ambu tarik dan di pukulkan ke arahku."Ambu, masih ngantuk ini." Aku menarik guling dan memjamkan mata."Eh, teman-teman kamu sudah datang. Kasihan kan kalau mereka harus menunggu kamu." Ambu membangunkan aku dengan keras sampai badan terguncang."Iya, Ambu, Hanny bangun." Dengan rasa malas aku beranjak dari tempat tidur dengan sebelumnya mengambil handuk yang tergantung di balik pintu.Sebelum mandi aku beranjak mendekati sa
Setelah pelajaran usai, kami bersama-sama pulang sekolah. Untuk menikmati kebersamaan akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan menyusuri sawah di belakang sekolah. Jarak memang tidak jauh tapi siang itu panasnya lumayan terik."Dang, nanti ketemu tukang es atau yang jualan cendol berenti ya." Rita sudah tampak lelah."Iya, lumayan nih." Dewi mengelap peluh di dahinya.Dadang mengambil rumput yang baunya harum menyegarkan."Coba kalian kalo ada rumput yang seperti ini cabut. Wangi, seger." Dadang menunjukkan jenis rumput dan kami mencari-cari."Iya ya, Dang, namanya apa ya?" Acop penasaran. Ternyata aku baru tahu kalau jalan pintas menuju rumahku itu menyebrang rel kereta yang dibuat jembatan di atas sungai."Waduh, aku takut ah, nyebrang ... balik lagi aja." Kaki rasanya gemetaran dan berat untuk melangkah."Eh, cuma sedikit ini, ayo, buru Hanny!" Jamal berusaha membuat aku tidak takut."Duh, kaki aku gemetaran i
Jam Istirahat telah telah usai. Saatnya kembali ke kelas. Wajah tegang kami saat akan menghadapi ulangan harian PPkn karena diawasi guru yang sangat tegas, pelit dengan nilai ulangan tak jauh dari nilai 60, 70, 80 tertinggi hanya 90. Itupun yang mendapat nilai tinggi setelah belajar berhari-hari . Suatu waktu pernah kami ulangan dan karena berpikir gurunya sedang membaca koran, akhirnya dengan santai menyontek satu sama lain. mengendap-endap pindah kursi mencari contekan adalah kenagan yang tak dapat terlupakan saat akhirnya tahu bahwa Pak Undawan membolongi korN dengan sangat kecil sampai beliau bisa mengintip kami dari balik celah juga memberi catatan siapa saja yang mencontek."Baik, tolong kalian siapkan alat tulis di atas meja, tidak boleh meminjam atau dipinjamkan nanti Bapak potong nilai kalian dan satu lagi gerakan sedikit saja Bapak tahu maka kalian akan End. Bapak robek lembar jawaban dan langsung kalian Bapak keluarkan." Pak Undawan menebar ancaman yang membuat bul
Kami terus berjalan ke arah kantin Pak Udin. Begitu sampai kantin istrinya Pak Udin sudah mengenal kami enam sekawan. "Eh, kalian. Mau duduk dimana?" Katanya mempersilahkan kami untuk duduk. Jamal menarikku untuk duduk di pojok kantin. Dewi, Rita, Acop dan Dadang merasa aneh dengan tingkah Jamal. "Mal, tumben lu baik ma Hanny, kena angin apa?" Kata Dadang sambil tertawa. "Angin mamiri dia, Dang, atau Hanny kasih sogokan agar dia bisa nyontek." Acop menimpali ucapan Dadang. "Hu'uh, kamu, kasih berapa si Jamal?" Rita melirik aku. "Mana ada aku kasih, yang aku bilang sama dia. semoga amal ibadahnya di terima di sisi_NYA." Sssttt Jamal menarik rambutku, "Emang aku mati apa, Han?" Kami semua tertawa terbahak-bahak. Suara kami seakan menjadi magnet bagi teman yang lain. "Si Hanny, kalo nggak nyontek dari kamu, gimana yah, Mal?" Dewi melihat ke arah Jamal. "Paling dia pulangnya marah-marah, nggak
Pagipun menjelang, setelah shalat subuh aku segera menyiapkan buku yang menjadi mata pelajaran hari ini."Hanny, ayo makan dulu." Abah berteriak ketika aku akan keluar melihat si Jack."Iya, Bah, bentar ... liat si Jack dulu."Aku melangkah keluar dan aku melihat si Jack sedang makan makanan yang masih hangat."Aduh, Jack kamu sudah makan? aku aja belum." Aku mendekatinya dan mengelus punggungnya.kok ... kok ... kokSi Jack seakan memberitahu bahwa nikmatnya sarapan pagi dia."Hey, jack, aku mau ujian nanti. Kamu doain yah, nanti biar aku bawa nyari cewek. Kalo kamu nggak doain aku bakal bawa kamu ke si Mita."Aku tertawa mendengar si Jack yang tampak tersedak dan langsung minum."Han, Hanny ... buru sarapan ini, nanti keburu siang." Ambu berteriak dari dalam rumah."Iya, Ambu, sebentar."Sekali lagi aku mengelus si Jack dan kemudian masuk ke dalam rumah."Ambu, Abah, hari ini Hanny ujian. Min
Malam beranjak, setelah shalat isya aku mengambil buku dan membacanya sambil tiduran di kasur. Ambu tiba-tiba masuk. "Eh, anak Ambu tidaK boleh lo, baca sambil rebahan." Ambu mencoba meraih buku tapi aku menahannya. "Ih, Ambu, lagi enak ini. Pegal kalo duduk terus." Aku menggeser tidurku agar Ambu bisa duduk di sebelahku. "Han, kamu mau minum susu?" Ambu menawarkan susu padaku. "Nggak, ah, Ambu, Hanny malas minum susu soalnya suka seret tenggorokan." Aku menolaknya dan terus membaca. "Han, Ambu tidur dulu atuh, kamu baca jangan terlalu larut." "Iya, Ambu, ini karena besok mau ulangan bahasa Indonesia juga PPKn. Pusing Hanny, soalnya hampir mirip biasanya jawabannya. lieur." Aku menggaruk kepala dan Ambu tertawa. "Ya udah atuh. Tapi dulu mah Ambu sekolah kalau menjawab soal ulangan pasti sekenanya sesuai peeling." Ambu memberikan saran. "Asik kalo gitu Ambu. Hanny, besok juga ngikutin gaya Ambu ah." "Jangan
Kembali menuju rumah dengan hati gembira. Sepanjang perjalanan banyak yang menatapku aneh menenteng si Jack."Han, kamu dari mana nenteng si Jack?" tanya Irpan sahabat kecilku dulu."Dari rumah Kang Sule, Pan, ternyata si Jack mau sama ayam Kang Sule."Irpan adalah sahabatku yang sering ken flu tengan dua garis hijau biasanya keluar dari hidungnya."Ih, kamu nggak malu apa, bawa-bawa ayam di ketiak?" Irpan mengelap ingus yang keluar dari hidungnya dengan tissue."Wew, nggak malu atuh, Pan, kamu kan tahu, cita-cita aku menjadi juragan ayam terkenal." Aku melangkah pergi darinya karena merasakan mual melihat garis dua hijau yang keluar dari hidung si Irpan..Sampai di rumah akupun langsung memasukkan si Jack ke dalam kandang. Abah dan Ambu masih duduk di teras rumas."Kamu ketemu di mana sama si Jack, Han?" Abah bertanya sambil menyeruput kopi.Aku menghampiri mereka dan duduk di tengah-tengah mereka."Kamu cuci ta
Setelah shalat shubuh kami izin untuk lari pagi. Hawa gunung yang dingin membuat kami bersemangat karena udaranya sangat segar. "May, Cape." Aku menggapai tangan jamal. "Kayaknya sudah enam kilo ini kita lari." Jamal mengenggam tanganku sedang yang lain sudah di depan. "Hilih masa preman kalah sih." Rita melihatku dan tertawa. "Si Tomboy Hanny laper itu." Dewi berkata sambil ngos-ngosan. "Iya dong, apa kabar dunia kita belum sarapan ini." Aku tertawa mendengar ledekan mereka. "Hayu, cepet kita nyari bubur ayam Mang Herman." Acop berlari mendahului. Triiing Mendengar kata bubur ayam membuat aku bersemangat. Aromanya yang wangi bawang goreng, seledri, kuah ayam, kerupuk, kacang goreng tambah sambal dua sendok. Aku berlari mendahului mereka. "Haaahaaa, katanya tadi cape, denger bubur ayam langsung mabur, Hanny." Dadang tertawa melihatku yang berada di depan mereka. "Alhamdulillah waras." Jamal pun tertawa.