Evelyn Sanusi masih menatap Key dengan rasa curiga, perjanjian apa yang ingin dibuat laki – laki pemarah ini? Evelyn akhirnya pasrah mengangkat bahunya setidaknya dia akan menunggu perjanjian itu selesai dibuat Key.
Key membunyikan klaksonnya meminta Satpam penjaga rumah agar segera membuka pintu gerbang dengan nada yang tidak sabaran.
Tiiiitt, tiiiittt, tiiiiiit.
Pak Satpam segera membuka gerbang dengan tergesa – gesa, dia melirik kearah jendela mobil Key yang tembus pandang dengan perasaan takut. Wajah Key benar – benar tidak sedap dipandang disana tergurat wajah arogan yang kesannya mengintimidasi.
Jangankan Pak Satpam, Saya saja ngeri melihat raut wajahnya. Benar – benar manusia sombong, pikir Evelyn kesal.
“Turun!” perintahnya dengan kasar.
Evelyn yang mendengar perintah Key semakin kesal dan enggan turun. Evelyn tidak ingin mengikuti perintahnya.
“Turun, atau mau Kuseret keluar?” tanyanya dengan kasar.
“Iya, aku akan turun. Bisa ngak minta baik – baik, tidak perlu bicara kasar seperti itu. Apa Kamu tidak diajarkan sopan santun?” tantang Evelyn lagi.
Darah Evelyn mulai mendidih mendengar nada suara Key.
“Tidak usah banyak protes, segera turun Cupu. Jangan harap Saya akan membuka pintu untukmu. Kamu mempunyai dua tangan kan? Segera turun dan buka pintu sendirI”.
Matanya kini melotot memandang Evelyn dengan tidak sabaran, dan nada suaranya semakin keras.
“Cepat keluar kataku, ih jadi orang kok ngeyel sich? belum satu jam lihat Kamu tetapi sudah ngeselin,” bentaknya lagi.
Evelyn segera turun dan membanting pintu mobil dengan keras.
“Hey, Cupu apa ngak bisa nutup pintu mobil baik – baik? Yang tidak sopan itu Kamu bukan Aku,” katanya dengan jengkel.
Evelyn yang tidak menyukai setiap perkataan yang keluar dari mulut Key melegos dan meninggalkannya untuk segera masuk ke dalam rumah.
“Hey Kamu itu tamu di sini, kok ninggalin Tuan rumah?” tanya key dengan suara keras.
Evelyn tidak memperdulikannya dan terus saja melangkah menuju pintu depan. Evelyn segera membuka pintu yang tidak terkunci ternyata dia melihat Sarah sedang duduk di ruang tamu sedang merangkai bunga. Banyak beraneka ragam bunga berserakan di atas meja beserta sebuah vas yang besar.
“Eve, Menantu Tante. Sudah datang Sayang?” tanyanya sambil memeluk Evelyn dan menempelkan pipinya ke pipi Evelyn dengan sayang.
“Apa Kabar Tante?” sapa Evelyn dengan sopan.
“Baik Sayang, Kamu sudah makan siang?”.
“Sudah dong Ma, apa Mama tidak lihat penampilannya? Ukuran badan seperti itu mana mungkin belum makan siang”.
Nada suara Key yang terdengar menghina membuat Evelyn semakin gusar. Untung saja dia ingat dia sekarang hanyalah tamu, kalau tidak….. dia membayangkan akan melempar Key dengan vas bunga yang dihadapannya.
Evelyn semakin kesal dan benar – benar marah sekarang, Key selalu saja memprovokasinya. Dan Key berhasil melakukannya.
“Jadi kalau Kamu sudah tahu ukuran Saya seperti ini, seharusnya Kamu menolaknya kan?” tantang Evelyn dengan gusar. Kedua matanya kini melotot memandang Key karena tidak bisa menerima penghinaan Key terhadap dirinya.
“Key, apa – apaan sich Kamu ini. Mama tidak pernah mengajarkan Kamu jadi anak kurang ajar ya”. Sarah juga gusar memandang kearah putra bungsunya.
“Maaf Ma, Key ngak sengaja. Tetapi Key benar kan Ma? lihat dong sizenya Key kan tidak salah”. Key memandang ibunya dengan rasa tidak bersalah.
“Sudah Kamu masuk saja tinggalkan Kami, Kamu disini malah membuat orang lain jadi kesal. Mama ingin bicara dengan Eve,” lanjut Sarah kembali dengan kesal.
“Terserah Mamalah, Key masuk ke kamar dulu. Kalau mau pulang suruh saja si Cupu naik taksi,” Key segera beranjak menuju kamarnya diiringi pelototan mata Sarah.
“Tunggu, Kamu harus mengantar Eve pulang kembali. Kok seenaknya saja Kamu ini ya. Benar – benar membuat Mama malu saja”. Raut wajah Sarah yang benar – benar gusar membuat Key tidak berani lagi membantahnya.
“Duduk Eve, sekalian bantu Tante merangkai bunga ini,” kata Sarah dengan lembut.
“Maaf ya perkataan Key tadi telah menyinggung perasaan Kamu, Tante sudah gagal mendidiknya. Tante Harap Kamu mau membantu Tante untuk merubah sikap Key ya,” lanjut Sarah penuh harap.
Selama ini Sarah dan suaminya Hasan Taner telah memanjakan Key sebagai anak kesayangan mereka, semua keinginannya akan dipenuhi dan Key tidak mengenal kata penolakan. Pergaulannya yang bebas membuat Sarah harus segera mencari calon istri untuknya.
“Tante berharap banyak dengan bantuan Eve”.
Evelyn menarik nafasnya memandang kearah Sarah dengan perasaan bingung, bagaimana dia mau merubah sifat Key, sedangkan sifat mereka saja bertolak belakang.
“Tante yakin, Kamu mempunyai sifat yang baik dan dapat memberi pengaruh yang baik untuk Key. Tante percaya kepadamu Sayang,” lanjut Sarah lagi dengan tersenyum bahagia.
Evelyn menarik nafasnya dengan frustasi. Bagaimana Tante Sarah mempercayainya dapat merubah sifat si Pemarah itu? Evelyn bergidik ngeri. Seumur hidupnya Evelyn tidak pernah begitu keras berbicara menantang kepada orang lain, tetapi Key telah merubahnya dan dalam satu hari saja Evelyn sudah berbicara keras dan menantang melebih biasanya. Bukannya evelyn yang memberikan pengaruh baik, malah Key yang memberikan pengaruh buruknya kepada Evelyn.
Sarah yang melihat kegusaran dimata Evelyn segera menenangkannya,
“Tante yakin Eve pasti bisa, tetapi mulai sekarang Eve jangan panggil Tante lagi ya, panggil Mama saja sama seperti kedua putra Mama,” katanya sambil tersenyum penuh sayang.
Evelyn menganggukkan kepalanya, tidak berani membantah Sarah.
“Nah gitu dong Sayang, Mama bangga dech dengan Eve”.
“Sebenarnya Mama mengundang Kamu kemari karena Ada yang ingin Mama diskusikan dengan Eve”.
Evelyn duduk dikursi sofa yang berada di depan Sarah, Evelyn kini menyimak setiap perkataan Sarah.
“Sebelumnya Mama mohon maaf ya Eve, mula - mula Eve akan mengenal Key dulu baru akan dilanjutkan apakah Eve mau meneruskan ke pernikahan atau tidak, tetapi boleh tidak Mama memohon kepada Eve, saling kenalnya tetap dijalankan tetapi ……,”
Sarah menarik nafas dan berharap Evelyn mau menerima keputusan mereka berdua, yaitu Sarah dan Tati mamanya Evelyn.
“Saya dan Tati Mama Kamu, kami berharap Kalian berdua segera melangsungkan pernikahan , karena Mama sudah terlanjur sayang kepadamu Eve, Mama berharap memiliki anak perempuan, tetapi takdir berkata lain. Saya hanya memiliki dua orang putra untuk itulah Saya meminta Kamu memanggil Mama serasa Mama memiliki seorang putri,” kata Sarah sambil memandang wajah Evelyn kembali.
Sarah melihat raut wajah Eve tetapi dia tidak dapat membacanya apakah Eve akan menyetujui rencana mereka atau tidak?
“Ha menikah Tante….eh Mama?” tanya Eve dengan galau.
Bagaimana mungkin mereka akan menikah secepat itu, padahal mereka telah menyetujui Evelyn akan diberi kesempatan untuk mengenal Key terlebih dahulu bukan?
“Iya, kalian berdua tetap mengenal selama 3 bulan ini, tetapi akhirnya akan menikah juga. Mama tidak mau Kamu berpikir akan membatalkannya”.
Evelyn kini tidak bisa menolaknya, lagi pula ide ini juga datang dari mamanya juga bukan? pikir Eve lagi.
“Baiklah Ma, Saya akan mengikuti permintaan Kalian berdua. Mama dan Mama Sarah,” katanya lagi dengan pasrah.
“Nah gitu dong sayang, Mama senang mendengarnya”.
Sarah juga menyadari Evelyn adalah anak yang begitu perhatian dan sangat mencintai Tati, Evelyn sangat peduli dengan kebahagiaan Tati. Beruntung Tati memiliki putri seperti Evelyn.
“Karena Kalian akan menikah tiga bulan lagi, berarti Kita akan mempersiapkan tanggalnya ya. Biarlah Tati nanti yang akan menentukannya. Hanya saja impian Tati adalah dia ingin menjahitkan baju pengantin untuk Kamu dan Mama menyetujuinya,”
“Berhubung Mama Kamu hanya bisa menjahit pakaian wanita, maka baju pengantin Key akan Mama jahitkan di butik langganan Mama,” lanjutnya kembali.
Evelyn semakin pusing mendengar pernikahannya yang akan di langsungkan tiga bulan lagi. Dia tidak bersemangat sama sekali. Baru mendengar kata perjodohan saja Key terdengarnya sangat marah, apalagi sekarang sudah dipastikan dia akan menikah dengan Evelyn. Bisa – bisa dia akan menuduh Evelyn memantrai ibunya, Sarah.
“Supaya baju pengantin Kalian klop, selain warna putih Kamu sukanya warna apa?” tanyanya lagi.
Evelyn tidak ingin mempermasalahkan warna baju pengantinnya. Baginya itu tidak perlu sama sekali. Mau warna apapun Evelyn akan tetap memakainya.
Seandainya pria yang akan dinikahinya adalah orang yang sangat dia cintai tentu saja momen ini adalah peristiwa penting dalam hidupnya. Evelyn akan bersemangat untuk ikut menentukan setiap detail keperluan pernikahannya. Tetapi dia sama sekali tidak memperdulikannya.
“Terserah Mama saja dech, Eve akan menerimanya dengan senang hati,” lanjutnya lagi. Setidaknya dia tidak akan direpotkan dengan hal – hal pernikahan yang membuat kepalanya mau pecah.
“Kamu setujukan kalau Mama Kamu sendiri yang akan menjahitkan pakaian pengantinmu?” tanyanya lagi untuk memastikan apakah benar Evelyn menyerahkan urusan pernikahannya kepada mamanya dan dirinya sendiri.
“Iya Ma, Eve akan memakainya. Justru saya senang memakai baju hasil jahitan Mama sendiri. Saya malah bangga dengan buatan Mama,” kata Eve kembali.
Eve juga tidak ingin memperlihatkan bentuk tubuh sebenarnya kepada Key ketika akan mencoba gaun pengantinnya. Biarlah itu menjadi rahasia dan kejutan bagi Suaminya kelak. Apabila Mama yang berencana membuat baju pengantinnya malah lebih bagus, pikir Evelyn kembali.
“Baiklah Kalau Mama yang pilih Kamu tidak keberatan Kan?” tanya Sarah kembali.
Bagaimanapun mereka berdua adalah Orang tua yang ingin melihat kebahagian anaknya. Bahagia? pikir Eve dengan kesal. Bagaimana dengan perasaanku? Bagaimana juga perasaan si Pemarah itu?
Wah bisa bisa terjadi perang lagi, pikirnya dengan jengkel.
“Eve, bagaimana kalau kita pilih warna putih dan warna hijau saja?” tanya Sarah dengan antusias.
“Soalnya Mama menyukai warna hijau”.
Evelyn memandang di sekitarnya memang ruangan ini hampir semuanya bernuansa hijau, mulai dari gorden hingga bantalan kursi diambil dengan warna senada.
Salah satu warna yang tidak disukai Evelyn adalah warna hijau. Eve lebih menyukai warna monokrom. Evelyn tidak ingin menonjolkan dirinya.
“Kalau Eve, terserah Mama saja dech,” bisiknya lagi.
Dia menelan ludahnya dengan kasar untuk melampiaskan rasa ketidakberdayaannya menghadapi kekuasaan seorang ibu. Evelyn tidak tega menolak calon ibu mertuanya sendiri.
“Baiklah Kalau Eve menyerahkannya kepada Mama. Mama sangat bersyukur mendapatkan menantu seperti Eve dech”.
Sarah sangat bahagia mendengarkan jawaban Evelyn, bibirnya tersenyum puas. Dia merasa beruntung telah mendapatkan calon menantu yang bisa diandalkan, walaupun penampilannya jauh dari kata cantik, tetapi Sarah yakin Evelyn adalah anak yang baik. Itu saja sudah cukup baginya. Dia harus segera menikahkan Key dengan Evelyn sebelum nenek tua itu merusak seluruh keluargaku, geram Sarah dengan marah.
To Be Continued
Evelyn hanya bisa pasrah menerima semua masukan Sarah untuk pernikahan. Mulai dari warna baju pengantin hingga Gedung yang akan disewakan. Evelyn terlalu asyik mendengarkan saran Sarah sehingga dia sendiri tidak menyadari kehadiran Gio Taner yang langsung duduk dihadapannya. “Mama lagi diskusi apa sich? sampai Saya mengucapkan salam saja ngak didengar.” Kedua manik matanya yang hitam kini menatap Evelyn dengan tajam. Evelyn heran mendengar perkataannya, pasalnya selama acara makan malam yang lalu dia sama sekali tidak pernah mendengar suara Gio berbicara sama sekali. Hanya matanya saja yang menatap penuh selidik kearah Evelyn dan bibirnya yang memikat tersenyum dengan sinis. Memikat? Apa – apaan sich, jangan ngaco ya. Kok Aku ikut – ikutan edan juga, Evelyn memarahi dirinya sendiri yang rasanya mulai ikut -ikutan edan. Evelyn menatap Gio t
Baskoro mengejar Evelyn yang sedang berjalan menuju Perpustakaan Universitas. Evelyn yang tidak mendengar panggilan Baskoro terus saja berjalan. Baskoro yang mengejarnya kini tidak lagi berjalan di jalan setapak khusus pejalan kaki karena banyaknya Mahasiswa yang berjalan didepannya sehingga memperlambat dia mengejar Evelyn. Baskoro malah berjalan di rumput hijau disisi kiri jalan setapak yang ditanami tanaman rumput, padahal disana telah jelas tertera plakat “ Dilarang Menginjak Tanaman Rumput.” Semua Mahasiswa menatap sinis kearah Baskoro. Sudah dilarang kok masih dilakukan? “Eve,” panggil Baskoro. Baskoro menyentuh bahu Evelyn. Evelyn hendak menepis tangan itu, tetapi dia sadar itu adalah Baskoro. Evelyn tersenyum kearah Baskoro. “Lho ke Perpus juga Bas?” tanyanya lagi. “Iya, jalan bareng yuk. Lara mana? tumben kok ngak ikut? Tapi sebelum itu kita duduk
Evelyn kini menatap kedua pria dihadapannya yang terus saja saling menatap tajam dan bersiap adu jotos jika diperlukan, dibandingkan dengan kedua tubuh pria itu tubuh Evelyn lebih kecil sehingga kalau benar saja terjadi adu jotos sudah pasti Evelyn tidak sanggup melerainya. “Berhenti jangan sampai ada pertumpahan darah disini!” bentak Evelyn dengan marah. Tetapi kedua makhluk itu tidak memperdulikannya. Mereka saling menatap dengan rasa permusuhan. Satu dengan tatapan kemarahan dan satu lagi menatap dengan dingin. Yang jelas mereka berdua tidak memperdulikan Evelyn. “Apa maksud Kamu menyentuh Eve seperti itu?” tanya Baskoro dengan jengkel. Kini kedua tangannya terkepal marah dan siap – siap melayangkan tinjunya jika diperlukan. “kamu siapanya Evelyn, Kamu tidak berhak menegur saya. Dasar bocah tidak tahu sopan santun!” bentaknya
Evelyn terperanjat memandang Gio, lamunannya terputus secara tiba – tiba. Dia tertangkap basah sedang memperhatikan Gio. Mulutnya yang mangap karena secara tidak sadar langsung tertutup kembali. Rona merah menjalar di pipinya yang mulus. Evelyn langsung membuang arah pandangannya keluar perasaan malu kini mulai dia rasakan. Wah, aku tertangkap basah memperhatikannya, bisa – bisa dia besar kepala. Gio yang memperhatikan wajah Evelyn mulai menyadari tampilan Evelyn sepertinya menutupi sesuatu, tetapi Gio masih belum paham dan belum bisa menebak apa sebenarnya yang ditutupi Evelyn. Wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu karena matanya menyipit menatap tajam kearah Evelyn. Evelyn yang membuang pandangan matanya sadar kini dia telah menarik minat Gio karena Gio tidak lagi menatap tabletnya, tetapi Gio kini sedang menatapnya dengan pandangan menyelidik. Pandangan seperti itu
Evelyn segera meninggalkan cafe itu sebelum air matanya keluar karena tekanan yang dia terima. Evelyn menghentikan taksi yang lewat di depan cafe untuk segera berlalu dari tempat ini, untunglah cafe ini berada di jalan yang cukup ramai jadi tidak perlu menunggu lama, karena kalau memakai taksi online dia harus menunggu dan dia tidak tahan lagi jika berjumpa kembali dengan Gio Taner. Didalam taksi Evelyn terisak sedih karena himpitan didadanya tidak sanggup lagi dia tahan, Evelyn terus saja terisak sampai supir taksi itu keheranan. “Nona, mau diantar kemana?” Supir itu kini menatap Evelyn dengan rasa penasaran. “Antar Saya ke taman di pusat kota saja pak,” katanya lagi. Evelyn mengusap air matanya dengan kasar, karena bagaimanapun dia tidak mungkin pulang ke rumah dengan kondisi seperti ini bukan? “Putus cinta ya Non, nga
Evelin menatap Gio kembali dengan rasa penasaran, setidaknya dia ingin mendengar penjelasan Gio, mengapa sikapnya bisa berubah. “Kamu masih penasaran?” Gio sengaja ingin melihat sebatas mana rasa ingin tahu Evelyn, tetapi Evelyn pura – pura tidak mengetahuinya. “Untuk apa Aku harus marah Kepada kamu lagi?” senyum Gio kembali. “Kamu sudah di genggamanku bukan? ingat surat perjanjian Kita?” tanya lagi. Suara Gio terdengar sangat licik. Evelyn melengos tidak senang, setidaknya Gio telah membuat dia terusik kembali. “Mengapa Kamu tidak senang?” Evelyn hanya membuang mukanya dan diam membisu, karena kalau dia menanggapinya sudah pasti bakalan muncul masalah baru dan yang pasti perdebatan baru. Evelyn mendengar perkataan Gio merasa sepertinya dia telah masuk dalam perangkap Gio, Evelyn sadar itu.
“Halo Eve, bisa jumpai Mama sore ini tidak?” tanya Sarah melalui telpon selulernya. Evelyn yang melirik jamnya teringat dia masih mengikuti mata kuliah dari Pak Alex, seorang dosen muda yang sangat tampan. Semua bangku di ruang kuliah akan terisi penuh. Pesona Pak Alex telah membius semua mahasiswi untuk mengikuti kuliahnya, termasuk Evelyn dan Lara. Mereka tidak akan pernah meninggalkan mata kuliah yang diampunya. “Tapi Ma, Eve sekarang lagi ada mata kuliah.Mungkin sekitar jam 3 sich Ma. Ini dosennya sudah datang. Kalau sempat Eve akan telepon Mama lagi ya,” pinta Eve dengan sopan. “Baiklah kalau sudah selesai segera hubungi Mama ya.” “Baik Ma.” Alex Wihardjo seorang dosen muda yang banyak digilai Mahasiswinya, selain otaknya yang encer juga sangat pandai membawakan mata kuliah. Tak heran kursi di ruang kuliah semuanya terisi penuh. Semuan
Evelyn yang telah menerima tugas yang akan dibagikan kepada teman – temannya karena untuk mata kuliah itu Alex lebih menyukai Evelyn yang membagikan tugasnya karena Evelyn Mahasiswi yang dapat diandalkan, walaupun mereka memiliki komting pada jurusan itu, komting seperti ketua kelas pada jaman SMU dulu. Evelyn segera pamitan. “Saya pulang dulu ya Pak, Saya akan membagikan tugas ini kepada teman – teman saya. Permisi ya Pak,” pamit Evelyn dengan sopan. “Evelyn, tunggu sebentar Bapak juga akan pulang Bapak antarkan sekalian saja. Mau ya?” tanya Alex. Evelyn ragu menerima tawaran Alex, karena Evelyn tidak mau merepotkan dosennya itu. “Tidak usah ragu, karena tokh Bapak akan pulang juga. Sekalian Bapak menebus kesalahan Bapak karena gara – gara Saya Kamu jadi diganggu Sita cs.” Evelyn sadar jika Alex ternyata mengetahui latar belakang perkelahiannya dengan Si
Beberapa bulan kemudian, Lidia yang sudah mengetahui bahwa Gio sebenarnya adalah cucunya sendiri, merasa mau sekaligus menyesal karena dia telah menyakiti bahkan membuat permusuhan di antara kedua cucunya. Dia melihat Gio sedang duduk di gazebo yang ada di taman samping kediaman keluarga Taner. Gio bersama dengan Evelyn. “Ya, Tuhan apa yang telah kulakukan. Mengapa aku begitu bodoh dan keras kepala. Aku tidak meyadari ternyata Gio adalah cucuku sendiri. Bahkan aku membuat permusuhan di antara kedua cucuku. Aku bahkan membuat kedua cucuku bukan hanya bermusuhan tetapi saling membenci satu sama lain. Lebih parahnya lagi aku malah membuat Key bersekongkol denganku untuk menyakiti Gio. Hatiku sekarang sangat menyesal membuat keputusan seprti itu. Otakku yang keras kepala membuat keluarga ini tidak harmonis dan entah apa yang ada di otakku hingga aku membencinya,” pikir Lidia. Dia memperhatikan Gio dari kejauhan dan sama sekali tidak tahu bagaimana keadaannya mengapa menjadi seperti i
Gio memandang Lidia yang tidak bergeming sama sekali, matanya tiba-tiba membelalak membaca hasil tes DNA yang ada di tangannya. Gio melihat semua itu tanpa ekspresi sama sekali. “Aku ingin sekali melihat bagaimana detik-detik Oma mengetahui aku ini sebenarnya adalah cucunya sendiri. Oma harus tahu yang sebenarnya, tetapi setelah Oma tahu dan meminta maaf, akankah aku memaafkannya begitu saja? Aku tahu aku tidak pantas melakukannya namun rasa sakit yang ditorehkan Oma sejak aku kanak-kanak sangat besar sekali. Oma bahkan tidak menyadari bahwa dia bahkan sudah menghancurkan rasa kepercayaan diriku terhadap dirinya sendiri. Karena kebenciannya kepadaku menjadikan aku beranggapan bahwa Oma bukanlah Omaku, aku hanya memiliki orang tua saja. Papa dan Mama, minus kehadiran Oma. Aku bahkan tidak tahu apakah Oma memang membenciku karena aku dianggapnya bukan keturunan Taner atau dia menganggap Mama telah menghianati Papa. Aku sendiri tidak tahu jawabannya, karena Oma sangat pandai menutupi rah
Gio kemudian melihat ke arah mereka. “Gio, mengapa kamu keluar dari ruang perawatanmu?” tanya Sarah dengan cemas. “Sebaiknya kita semua masuk ke ruangan perawatanku! Tidak ada yang pelu lagi disembunyikan dari diriku! Aku berhak tahu karena ini menyangkut hidupku,” katanya kembali. Setelah Gio sadar dia memaksa Dokter mengijinkannya untuk berdiri dan menjumpai keluarganya, tidak dia sangka dia mendengar semua perbincangan yang membuat dia hidup di dalam kebencian Lidia. Awalnya Dokter keberatan karena Gio dibawa ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri, tetapi siapa yang bisa melawan kehendak Gio Taner? Akhirnya Dokter mengalah setelah Gio menenangkannya dan mengatakan dia tidak apa-apa. “Gio untuk apa kamu berdiri?” tanya Sarah dengan cemas. “Mama, kalau Mama ingin melihatku tidak lelah sebaiknya Mama dan yang lainnya mengikutiku ke ruang perawatannku, sekarang juga,” katanya dengan dingin. Hatinya dingin mendengar pengakuan Lidia yang meragukan dia sebagai putra keluarga Taner
Sarah yang masih marah kepada Lidia, kini menatapnya dengan tatapan permusuhan. “Kalau Mama mau menyakitiku, maka aku akan menerimanya. Tetapi kalau Mama menyakiti kedua anakku maka aku tidak akan menerimanya. Aku bahkan tidak akan bisa memaafkan Mama kalau Mama mengadu domba kedua anakku, jangan menyebarkan kabar yang tidak benar Mama, aku sangat kecewa kepada Mama,” kata Sarah dengan jengkel. Sarah kemudian menatap Lidia dengan tatapan kesal, karena Lidia telah menghancurkan keharmonisan rumah tangganya. “Untuk apa kamu marah? Seharusnya kamu bersyukur aku mau menerimamu jadi menantuku. Kalau saja dulu aku menolakmu maka tidak akan mungkin terjadi hal seperti ini. Aku bahkan tidak tahu kamu itu bisa sangat menjengkelkan seperti itu,” katanya kembali. “Mama! Cukup, aku mohon jangan lagi berdebat Ma! Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kesembuhan Gio, bukan malah sesama kita terjadi perang!” kata Hasan sambil menegur Lidia. Lidia melotot memandang Hasan. “Kalian b
Sarah yang masuk ke kamar Gio terkejut mendengar perkataan Key putranya. Setelah Sarah menelepon Gio, perasaannya tidak nyaman. Sarah akhirnya kembali pulang, karena sebenarnya jarak dari butik ke rumahnya tidak terlalu jauh. Sarah sama sekali tidak memahami perkataan key yang menyinggung perasaannya. Hatinya sangat terluka. Sarah melihat Gio yang terkulai lemas karena pingsan. Sarah kemudian menelepon ambulans. Sarah kemudian menelepon suaminya. Kini dia menatap Key dengan pandangan yang sangat terluka. “Apa maksud semua ini? Mengapa kamu mengatakan hal demikian Key? “ tanyanya dengan marah. Key kemudian menatap Sarah dengan wajah tidak dapat dibaca sama sekali, wajah datarnya sama sekali tampak tidak bersalah. “Jawab MAMA!” bentak Sarah dengan gusar. Asisten rumah tangga keluarga Taner masuk dengan membawa petugas ambulans, karena Sarah sudah meminta kepada mereka jika mobil ambulans datang maka mereka harus membawanya ke kamar Gio dari lantai dua. Mereka membawa tandu, dan bebe
Evelyn menatap Lara. Dia masih bimbang dengan keputusannya sendiri. Sementara itu Gio yang sedang berada di kamarnya di kediaman Taner bimbang, apakah dia akan menelepon Evelyn atau tidak. Sudah beberapa hari ini kesehatannya menurun karena dia tidak memiliki nafsu untuk makan. Untuk melupakan rasa rindunya kepada Evelyn bahkan Gio harus bekerja melebihi jam kerja normalnya dan melupakan makan siang bahkan makan malamnya. Setelah berhari-hari dia melakukannya akhirnya Gio tumbang. Dokter menyarankan kepada Sarah agar Gio beristirahat di rumah kalau tidak Gio harus dirawat di rumah sakit. Akhirnya Gio harus mengalah dengan keinginan Sarah agar dia segera beristirahat dirumah. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, sesaat dia merasa bahagia karena dia mengira Evelynlah yang meneleponnya. Gio kecewa ternyata bukan, dia melirik notifikasi yang ada di ponsel tersebut. Ternyata Sarah ibunya yang meneleponnya. “Halo Gio apa kamu sudah makan siang? Obat dari Dokter apa kamu sudah makan?” tanya Sarah
Evelyn dan Lara yang masih saja berbaring malas mulai memakan kudapan yang di antarkan Mama ke kamar ini. Mereka menelungkup di lantai dengan karpet yang tebal, bantal besar menjadi sasaran tubuh mereka yang terus saja berganti posisi untuk mencari kenyamanan. Lara akhirnya duduk ketika dia membaca salah satu komentar yang dibuat oleh sebuah akun. “Eve coba kamu baca kolom komentar ini, di sini tertulis komentar yang sangat bagus. Coba kamu dengarkan apa yang aku baca ya,” kata Lara kemudian. “Dear, itik yang berubah jadi angsa. Hanya satu pesan dari burung bangau kamu itu harus menentukan pilihanmu dengan bijak. Utamakan kebahagiaanmu, jangan pernah kamu mengambil keputusan yang membuat kamu nestapa. Kadang kala keputusan yang terbaik untuk kita belum tentu terbaik juga untuk orang lain. Tidak bisa semua manusia kita puaskan tetapi hanya satu, carilah kebahagiaanmu sendiri. Kalau seandainya burung bangau jadi angsa maka aku akan memilih angsa yang telah menerimaku apa adanya karena
Sarah memandang ponselnya dan dia melihat postingan Itik Buruk Rupa menjadi Angsa dan dia sedikit terkejut karena dia melihat cerita itu mirip dengan cerita hidup Evelyn. Sara kemudian membaca sampai tuntas isi postingan tersebut dan dia mencari tahu nama akun yang mempostingnya. “Siapa yang memposting ini? Nama akunnya Bintang Kejora,” pikir Sarah kembali. Sarah kemudian membaca kembali postingan itu dan terkejut karena ternyata dia melihat campur tangan Lidia di sana. Dia kemudian membacanya sekali lagi. “Kalau benar ini adalah postingan Evelyn maka Mama sudah ikut campur dan bahkan membuat ancaman terhadap Evelyn dengan memakai namaku, Mama aku berharap Mama jangan mencampuri kebahagiaan anak-anakku, aku tidak rela Mama! Apalagi Mama sepertinya berat sebelah, Mama membantu Key dan menyudutkan Gio. Aku memang tidak suka kedua anakku bertengkar Mama tetapi aku harus bersikap adil. Aku juga menginginkan kebahagiaan mereka termasuk Evelyn. Biarlah Cinta yang menang dan jangan sampai
Lara melihat Evelyn penasaran dengan ide yang akan dia kemukakan. “Eve kamu masih ingat mata kuliah yang diajarkan Pak Alex?” tanya Lara. “Maksudnya bagaimana Lara? Apa hubungan mata kuliah Pak Alex dengan kedua bersaudara Taner?” tanya Evelyn dengan bingung. “Kamu ingat tidak ketika Kyra kebingungan dengan judul tugas yang akan dia kerjakan, dia mempunyai dua makalah kedua-duanya bagus. Jadi apa saran Pak Alex pada saat itu?” tanya Lara kembali. “Poling?” tanya Evelyn dengan ragu. “Yup, benar. Poling!” kata Lara kemudian. “Apa kamu sudah gila Lara? Kamu mau mengumbar identitasku dan kedua saudara Taner? Aku tidak mau mempermalukan mereka! Aku tidak akan melakukannya,” kata Evelyn dengan mantap. Evelyn kemudian menatap Lara dengan perasaan aneh. “Ya pemikiranmu salah Eve. Aku tidak menyuruhmu mengatakan siapa dirimu, dan identitasnya kamu harus tutupi dong. Kamu buat seolah-olah kita akan membuat sebuha cerita kemudian kita lemparkan kepada pembaca, bagaimana pemikiran mereka.