Baskoro mengejar Evelyn yang sedang berjalan menuju Perpustakaan Universitas. Evelyn yang tidak mendengar panggilan Baskoro terus saja berjalan. Baskoro yang mengejarnya kini tidak lagi berjalan di jalan setapak khusus pejalan kaki karena banyaknya Mahasiswa yang berjalan didepannya sehingga memperlambat dia mengejar Evelyn. Baskoro malah berjalan di rumput hijau disisi kiri jalan setapak yang ditanami tanaman rumput, padahal disana telah jelas tertera plakat “ Dilarang Menginjak Tanaman Rumput.” Semua Mahasiswa menatap sinis kearah Baskoro. Sudah dilarang kok masih dilakukan?
“Eve,” panggil Baskoro.
Baskoro menyentuh bahu Evelyn. Evelyn hendak menepis tangan itu, tetapi dia sadar itu adalah Baskoro. Evelyn tersenyum kearah Baskoro.
“Lho ke Perpus juga Bas?” tanyanya lagi.
“Iya, jalan bareng yuk. Lara mana? tumben kok ngak ikut? Tapi sebelum itu kita duduk dulu dibangku taman di sebelah sana ya,” katanya kembali.
Evelyn mengangguk menyetujui permintaan Baskoro, mereka segara duduk dikursi taman yang kosong. Ini memang jam masuk kuliah, tetapi Evelyn tidak ikut kuliah karena dosennya tidak masuk. Evelyn dan Lara mengambil mata kuliah yang berbeda walaupun satu jurusan.
“Aku lagi off, soalnya dosenku ngak masuk. Kalau Lara lagi kuliah. Lha Kamu sendiri gimana? Kok kelayapan?” tanya Evelyn kembali.
“Aku bukan kelayapan Eve, Aku ada tugas dan perlu riset ke perpus,” katanya lagi.
“Riset atau cuci mata?” goda Evelyn.
Karena kebiasaan jelek Mahasiswa kadang duduk di Perpustakaan bukan untuk belajar tetapi suka melihat atau mendekati mahasiswi yang mempunyai katagori diatas rata- rata, yaitu cantik, menarik atau apalah namanya. Eve selalu jengkel jika ada pria yang hanya menilai wanita dari kulit luarnya saja, seperti Si Sombong dan Si muka datar. Gunung Es enaknya dipanggil muka datar saja, pikir Evelyn sambil tersenyum. Hanya Mama Sarah saja yang hangat, tetapi Papa Hasan bagaimana ya? apa seperti kedua putranya? Wah kalau begitu Saya salut dengan Mama Sarah, kok betah serumah ya dengan tipe orang seperti itu.
“Lho kok melamun?” Baskoro langsung mencubit hidung Evelyn yang mancung. Evelyn sama sekali tidak menghindari tangan Baskoro.
“Hmmmf, lepas hmmmm Bas,” katanya sambil megap -megap.
Baskoro akhirnya melepaskan tangannya dari hidung Evelyn.
“Sakit Bas, hidungku ngak salah kok hidungku yang jadi sasarannya, bisa – bisa pesek hidung aku Bas.”
Baskoro hanya ketawa cengengesan melihat kekesalan Evelyn.
“Ada apa sich Bas? Kalau ngak penting sebaiknya kita Langsung masuk Perpus saja, banyak yang mau kukerjakan Bas soalnya tugasnya jadi numpuk nich.”
“Eve, Kamu kemana semalam?”
“Kamu nyariin Aku?”
Baskoro menganggukkan kepalanya. Evelyn mengerutkan dahinya dengan heran untuk apa Baskoro mencarinya?
“Untuk apa?” seingatnya Baskoro tidak mempunyai kepentingan untuk mencarinya.
“Eve Kamu dari mana semalam?” tanya Baskoro dengan nada cemburu.
“Kamu jumpai pria Alay itu ya?” burunya lagi.
Evelyn keheranan menatap Baskoro.
“Kok tahu Bas, apa Kamu melihatnya semalam ya? kok lihat kenapa ngak nyamperin?” tanya Evelyn kembali.
“Iya lah, cowok yang jemput Kamu semalam itu norak banget Eve, untuk apa coba bawa mobil mewah ke kampus? Mau jadi tren topik apa? Ya anak – anak tentu saja membicarakan dia. Sudah tahu di kampus dunianya Mahasiswa, ya pasti jiwanya meronta – ronta melihat mobil mewah, kalau ngak mau pamer mau ngapain lagi coba?”
Evelyn hanya tersenyum mendengar omelan Baskoro, padahal dia paling tahu Baskoro tidak akan pernah mau mengurusi orang lain dan cenderung masa bodo. Tetapi kali ini sikap Baskoro sangat berbeda, Eve yakin Baskoro tidak suka melihat kedekatannya dengan Key.
Baskoro pernah menyatakan cintanya kepada Evelyn, bukan karena Baskoro tidak mempunyai nilai lebih makanya Evelyn menolaknya, tetapi Evelyn hanya menganggap Baskoro hanya sebagai saudara tidak lebih. Dari segi penampilannya Baskoro lebih daripada Evelyn, sudah tampan, calon dokter dan dengarnya juga tajir. Yang terakhir ini memang Baskoro menyembunyikannya bahkan dari kami berdua sekalipun. Baskoro tidak pernah menunjukkan dia dari keluarga terpandang.
“Sudah dech Bas, ngak usah ditanya lagi ya masalah Si sombong itu,” pinta Eve lagi.
Evelyn malas menceritakan perihal Kakak beradik Taner. Evelyn ingin melupakan kejadian semalam, kedua kakak beradik itu telah menyakiti perasaannya.
Baskoro kini memperhatikan wajah Evelyn, Baskoro menyadari Eve kurang tidur mata pandanya terlihat jelas. Baskoro baru menyadarinya.
“Kamu kurang tidur semalam Eve?” tanyanya lagi.
“Iya Bas, kepalaku agak pusing,”
Evelyn memang kelihatan lebih lesu dari biasanya, dan kini tampilannya lebih parah dari biasanya. Baskoro yang lebih mengenal Evelyn hanya bisa tersenyum. Bagaimana Evelyn selalu berusaha menutupi tubuh fisiknya membuat Baskoro semakin menyukainya. Baskoro juga tidak ingin mata pria lapar jelalatan memandang tubuh Evelyn, dan dia membenci hal itu. Bukan hanya benci tetapi sangat membencinya.
Evelyn ingin dihargai sebagai seorang wanita yang memiliki kemampuan bukan sebagai wanita dengan tampilan fisiknya. Rambutnya dia gulung ke atas secara tidak karuan, anak rambutnya berserakan membingkai wajahnya, kaca mata besarnya melorot dibatang hidungnya yang mancung. Baju yang merupakan ciri khasnya tetap dia pakai, kemeja longgar berlengan panjang warna coklat dengan bawahan rok panjang sampai ke mata kaki. Evelyn benar – benar nyaman memakainya.
Baskoro semakin jatuh cinta dengan Evelyn, biarlah setelah menjadi pasangan yang sah baru dia dapat memilkinya. Baskoro malah semakin menyetujui pola pikir Evelyn yang memakai pakaian tertutup, malah lebih bagus bukan? jadi kucing – kucing lapar ngak berubah jadi garong. Baskoro menggeram membayangkan bagaimana kurang ajarnya Bimo, senior mereka terdahulu yang telah merusak bahkan meninggalkan trauma bagi jiwa Evelyn. Kalau kulihat dia lagi, kuremukkan wajahnya sekali lagi, Baskoro masih saja mendendam kepada Bimo. Walaupun Bimo telah dipecat dari Universitas secara tidak terhormat tetapi Baskoro masih saja merasa Bimo belum cukup menerima hukumannya.
“Laki – Laki baji****,” bisiknya dengan marah.
“Bas Kamu ngomong apa barusan?” Evelyn memandang heran kearah Baskoro, rupanya desisan suara Baskoro tanpa sengaja terdengar oleh Evelyn.
“Ngak, Aku ngak omong apa – apa koq Eve,” katanya dengan santai, padahal hatinya masih belum bisa menerima perlakuan Bimo terhadap Evelyn, walaupun sudah lama berlalu tetapi Baskoro sama seperti Evelyn masih belum bisa melupakannya, apalagi Baskoro sekarang mencintai Evelyn, kejadian itu masih saja membuat luka di hatinya.
Evelyn kini memandang Baskoro dengan heran, dia melihat sekilas amarah dikedua manik matanya.
“Ada apa Bas, koq Kamu sepertinya sedang kesal. Lagi marah sama siapa?” Evelyn kini memandang wajah Baskoro yang dengan perasaan sayang.
“Eve seandainya Kamu mencintaiku, tapi mengapa hanya perasaan sayang saja?”
Baskoro mengacak poni rambut Evelyn yang memang sudah acak – acakan. Evelyn hanya tersenyum melihat tingkah Baskoro.
“Sudah ah, untuk apa membahas Aku? Lho wong mata Kamu yang mata panda, bukan mataku kan? Jadi Kamu yang seharusnya menceritakan masalah Kamu. Bukannya Aku,”
“Iya Bas, semalam Aku ke rumah Calon Mertuaku. Aku ngak nyaman Bas, sifatku kalau ketemu mereka berubah jadi aneh,”
“Aneh gimana?” Kening Baskoro berkerut heran. Setahunya Sikap Evelyn ngak pernah ada yang aneh koq.
“Iya, mereka sering kali memprovokasiku. Kamu tahu kan Aku gampang terpancing,” kedua matanya kini menatap Baskoro dengan sendu.
“Mereka siapa Eve?” tanya Baskoro heran. Kalau Calon suami tentu hanya satu orang saja kan?
“Putra- putranya Mama Sarah,”
Baskoro terperangah mendengar Eve memanggil calan mertuanya dengan mama. Sejak kapan Eve memanggil mama, padahal kemaren masih tante dech.
Wah, Baskoro semakin frustasi karena Evelyn semakin jauh jaraknya dan dia semakin tidak bisaku gapai, pikir Baskoro lagi.
“Mereka melakukan apa? dan mengapa sikap Kamu jadi aneh?”
Baskoro kini menuntut jawaban dari Evelyn.
“Mereka mengejekku dengan penampilanku sekarang Bas, mereka mencurigaiku matre karena Aku berasal dari keluarga sederhana, jika dibandingkan status mereka aku ini ngak ada apa – apanya, tapi koq ya Mama menyetujuinya.”
“Sudah Eve ngak usah dipikirkan. Mereka belum mengenal Kamu itu saja. Kalau Kamu ngak jadi menikah, sama Aku saja Eve, Aku masih bisa dijadikan cadangan,” kelakar Baskoro.
Mendengar perkataan Baskoro Evelyn tersenyum dan bersyukur bahwa dia memilki teman – teman yang baik dan selalu melindungi dia.
“Aku serius loh Eve, ngak bercanda!” tegas Baskoro kembali.
“Bas, Bas. Sudah ya tidak usah bahas masalah ini lagi. Sebaiknya kita masuk ke perpus saja yuk, masih banyak yang ingin kukerjakan. Bagaimana dengan Kamu?”
Baskoro segera bangkit dan mengikuti Evelyn yang terlebih dahulu berdiri dan tanpa sengaja seseorang mendekati Evelyn dan menarik tangannya dengan kasar.
Evelyn segera menepiskan tangan yang menarik dirinya dengan tidak nyaman, Baskoro membantu Evelyn melepaskan dirinya. Matanya melotot kearah orang yang berani menyentuh lengan Evelyn, walaupun Evelyn memakai lengan panjang tetapi traumanya membuat dia merasakan ketidaknyamanan.
“Siapa Kamu, berani -beraninya memegang tangannya!” bentak Baskoro tidak senang.
Evelyn melongo melihat siapa yang datang, untuk apa coba dia datang menemuiku?
“Apa urusanmu? dan siapa Kamu?” tanyanya dengan datar.
“Lho ditanya malah balik nanya, memang kamu orang yang tidak tahu sopan santun ya,” tandas Baskoro.
Baskoro memperhatikan laki – laki yang berada di hadapannya. Tampilannya sangat menawan, memakai dasi dengan kemeja yang rapi. Sementara jasnya disampirkan di lengannya. Baskoro memandangnya dengan perasaan tidak suka.
“Siapa laki – laki ini? Wah tampan sekali?”desisnya cemburu.
“Untuk apa dia menarik lengan Eve tadi? Kalau dia tidak mengenal Eve tidak mungkin dia berani menyentuh Eve seperti tadi,”pikir Baskoro lagi.
Evelyn yang berada di antara mereka berdua kini termangu melihat tindakan mereka, masing – masing melotot tidak mau mengalah. Ibarat seperti ayam jago yang akan bertanding.
Mahasiswa yang ramai lalu - lalang di jalan khusus untuk pejalan kaki yang mengarah ke Perpus, kini mulai melihat berhenti dan menonton kejadian di hadapan mereka. Mereka memandang keheranan dan terlihat wajah – wajah yang mereka mencemoohkan serta memandang Eve sebagai biang keladi perselisihan tersebut.
Apa tidak ada cewek lain yang di perebutkan? sehingga mereka harus saling bersitegang urat? mereka memandang Evelyn dengan pandangan menghina. Mereka memang tidak salah sungguh menggelikan melihat dua orang pemuda tampan memperebutkan seorang wanita yang memiliki penampilan bisa dikatakan jauh dari kata modis, dengan rambut awut – awutan tidak rapi. Evelyn semakin malu. Pipinya merona merah menahan malu. Dia tidak ingin membuat semua mata tertuju kearahnya seperti spotlight.
Evelyn merasa sial karena harus terus – terusan menjadi pusat perhatian orang lain.
🌹 🌹 🌹 🌹 🌹 🌹 🌹 🌹 Thanks buat Readers , Author ucapkan karena telah membaca cerita ini, jangan lupa tekan love, berlangganan dengan memasukkannya ke dalam pustaka kalian ya, kemudian tinggalkan komennya 💕 💕 💕 💕 💕 💕 💕 💕
Evelyn kini menatap kedua pria dihadapannya yang terus saja saling menatap tajam dan bersiap adu jotos jika diperlukan, dibandingkan dengan kedua tubuh pria itu tubuh Evelyn lebih kecil sehingga kalau benar saja terjadi adu jotos sudah pasti Evelyn tidak sanggup melerainya. “Berhenti jangan sampai ada pertumpahan darah disini!” bentak Evelyn dengan marah. Tetapi kedua makhluk itu tidak memperdulikannya. Mereka saling menatap dengan rasa permusuhan. Satu dengan tatapan kemarahan dan satu lagi menatap dengan dingin. Yang jelas mereka berdua tidak memperdulikan Evelyn. “Apa maksud Kamu menyentuh Eve seperti itu?” tanya Baskoro dengan jengkel. Kini kedua tangannya terkepal marah dan siap – siap melayangkan tinjunya jika diperlukan. “kamu siapanya Evelyn, Kamu tidak berhak menegur saya. Dasar bocah tidak tahu sopan santun!” bentaknya
Evelyn terperanjat memandang Gio, lamunannya terputus secara tiba – tiba. Dia tertangkap basah sedang memperhatikan Gio. Mulutnya yang mangap karena secara tidak sadar langsung tertutup kembali. Rona merah menjalar di pipinya yang mulus. Evelyn langsung membuang arah pandangannya keluar perasaan malu kini mulai dia rasakan. Wah, aku tertangkap basah memperhatikannya, bisa – bisa dia besar kepala. Gio yang memperhatikan wajah Evelyn mulai menyadari tampilan Evelyn sepertinya menutupi sesuatu, tetapi Gio masih belum paham dan belum bisa menebak apa sebenarnya yang ditutupi Evelyn. Wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu karena matanya menyipit menatap tajam kearah Evelyn. Evelyn yang membuang pandangan matanya sadar kini dia telah menarik minat Gio karena Gio tidak lagi menatap tabletnya, tetapi Gio kini sedang menatapnya dengan pandangan menyelidik. Pandangan seperti itu
Evelyn segera meninggalkan cafe itu sebelum air matanya keluar karena tekanan yang dia terima. Evelyn menghentikan taksi yang lewat di depan cafe untuk segera berlalu dari tempat ini, untunglah cafe ini berada di jalan yang cukup ramai jadi tidak perlu menunggu lama, karena kalau memakai taksi online dia harus menunggu dan dia tidak tahan lagi jika berjumpa kembali dengan Gio Taner. Didalam taksi Evelyn terisak sedih karena himpitan didadanya tidak sanggup lagi dia tahan, Evelyn terus saja terisak sampai supir taksi itu keheranan. “Nona, mau diantar kemana?” Supir itu kini menatap Evelyn dengan rasa penasaran. “Antar Saya ke taman di pusat kota saja pak,” katanya lagi. Evelyn mengusap air matanya dengan kasar, karena bagaimanapun dia tidak mungkin pulang ke rumah dengan kondisi seperti ini bukan? “Putus cinta ya Non, nga
Evelin menatap Gio kembali dengan rasa penasaran, setidaknya dia ingin mendengar penjelasan Gio, mengapa sikapnya bisa berubah. “Kamu masih penasaran?” Gio sengaja ingin melihat sebatas mana rasa ingin tahu Evelyn, tetapi Evelyn pura – pura tidak mengetahuinya. “Untuk apa Aku harus marah Kepada kamu lagi?” senyum Gio kembali. “Kamu sudah di genggamanku bukan? ingat surat perjanjian Kita?” tanya lagi. Suara Gio terdengar sangat licik. Evelyn melengos tidak senang, setidaknya Gio telah membuat dia terusik kembali. “Mengapa Kamu tidak senang?” Evelyn hanya membuang mukanya dan diam membisu, karena kalau dia menanggapinya sudah pasti bakalan muncul masalah baru dan yang pasti perdebatan baru. Evelyn mendengar perkataan Gio merasa sepertinya dia telah masuk dalam perangkap Gio, Evelyn sadar itu.
“Halo Eve, bisa jumpai Mama sore ini tidak?” tanya Sarah melalui telpon selulernya. Evelyn yang melirik jamnya teringat dia masih mengikuti mata kuliah dari Pak Alex, seorang dosen muda yang sangat tampan. Semua bangku di ruang kuliah akan terisi penuh. Pesona Pak Alex telah membius semua mahasiswi untuk mengikuti kuliahnya, termasuk Evelyn dan Lara. Mereka tidak akan pernah meninggalkan mata kuliah yang diampunya. “Tapi Ma, Eve sekarang lagi ada mata kuliah.Mungkin sekitar jam 3 sich Ma. Ini dosennya sudah datang. Kalau sempat Eve akan telepon Mama lagi ya,” pinta Eve dengan sopan. “Baiklah kalau sudah selesai segera hubungi Mama ya.” “Baik Ma.” Alex Wihardjo seorang dosen muda yang banyak digilai Mahasiswinya, selain otaknya yang encer juga sangat pandai membawakan mata kuliah. Tak heran kursi di ruang kuliah semuanya terisi penuh. Semuan
Evelyn yang telah menerima tugas yang akan dibagikan kepada teman – temannya karena untuk mata kuliah itu Alex lebih menyukai Evelyn yang membagikan tugasnya karena Evelyn Mahasiswi yang dapat diandalkan, walaupun mereka memiliki komting pada jurusan itu, komting seperti ketua kelas pada jaman SMU dulu. Evelyn segera pamitan. “Saya pulang dulu ya Pak, Saya akan membagikan tugas ini kepada teman – teman saya. Permisi ya Pak,” pamit Evelyn dengan sopan. “Evelyn, tunggu sebentar Bapak juga akan pulang Bapak antarkan sekalian saja. Mau ya?” tanya Alex. Evelyn ragu menerima tawaran Alex, karena Evelyn tidak mau merepotkan dosennya itu. “Tidak usah ragu, karena tokh Bapak akan pulang juga. Sekalian Bapak menebus kesalahan Bapak karena gara – gara Saya Kamu jadi diganggu Sita cs.” Evelyn sadar jika Alex ternyata mengetahui latar belakang perkelahiannya dengan Si
Evelyn tidak tersinggung sama sekali dengan pelayan toko tersebut, karena sudah pasti dia akan menganggap Evelyn hanyalah seorang Mahasiswi yang sedang mencari sumbangan atau sponsor untuk mendanai sebuah even. “Maaf Mbak, Kita tidak meladeni sumbangan Mbak. Semua Mahasiswa yang datang Kita tolak Mbak,” Evelyn hanya tersenyum dan mencoba meluruskan salah pengertian diantara mereka. Dia melihat bed namanya, ternyata nama gadis itu adalah Luna. “Maaf juga Mbak Luna, Saya kesini tidak untuk mencari sumbangan,” “Oh tidak mau minta sumbangan, kalau gitu mau shopping disini ya?” Matanya kini menatap Evelyn dengan khawatir karena penampilan Evelyn tidak meyakinkan. “Sebaiknya tidak dech Mbak. Maaf ya soalnya harganya sepertinya tidak sesuai dengan isi kantong Mbak,” Dia melihat penampilan Evelyn memaka
Evelyn masih memandang gaun biru tua yang berada dalam genggaman Sarah, dia melihat gaun itu terbuat dari bahan beludru halus yang indah. Potongan lehernya membentuk kerah sabrina dengan ukuran midi. Kalau Eve memakainya maka dia akan memperlihatkan bahunya yang telanjang. Sarah juga mempersiapkan sepasang sepatu high heels bertali warna biru dengan tas yang senada. Evelyn yang melihatnya serba salah mau memakainya atau tidak. “Kalau Saya tidak memakainya Ma, bagaimana?” tanya Evelyn dengan lirih. Evelyn menatap Sarah dengan kebingungan bukan karena dia menolak karena modelnya tetapi Evelyn tidak ingin memakainya. “Sayang apa Kamu tidak menyukainya?” tanyanya lagi. “Tapi Eve tidak dapat memakainya,” “Apa Karena trauma itu?” Eve menganggukkan kepalanya dengan sedih. “kam
Beberapa bulan kemudian, Lidia yang sudah mengetahui bahwa Gio sebenarnya adalah cucunya sendiri, merasa mau sekaligus menyesal karena dia telah menyakiti bahkan membuat permusuhan di antara kedua cucunya. Dia melihat Gio sedang duduk di gazebo yang ada di taman samping kediaman keluarga Taner. Gio bersama dengan Evelyn. “Ya, Tuhan apa yang telah kulakukan. Mengapa aku begitu bodoh dan keras kepala. Aku tidak meyadari ternyata Gio adalah cucuku sendiri. Bahkan aku membuat permusuhan di antara kedua cucuku. Aku bahkan membuat kedua cucuku bukan hanya bermusuhan tetapi saling membenci satu sama lain. Lebih parahnya lagi aku malah membuat Key bersekongkol denganku untuk menyakiti Gio. Hatiku sekarang sangat menyesal membuat keputusan seprti itu. Otakku yang keras kepala membuat keluarga ini tidak harmonis dan entah apa yang ada di otakku hingga aku membencinya,” pikir Lidia. Dia memperhatikan Gio dari kejauhan dan sama sekali tidak tahu bagaimana keadaannya mengapa menjadi seperti i
Gio memandang Lidia yang tidak bergeming sama sekali, matanya tiba-tiba membelalak membaca hasil tes DNA yang ada di tangannya. Gio melihat semua itu tanpa ekspresi sama sekali. “Aku ingin sekali melihat bagaimana detik-detik Oma mengetahui aku ini sebenarnya adalah cucunya sendiri. Oma harus tahu yang sebenarnya, tetapi setelah Oma tahu dan meminta maaf, akankah aku memaafkannya begitu saja? Aku tahu aku tidak pantas melakukannya namun rasa sakit yang ditorehkan Oma sejak aku kanak-kanak sangat besar sekali. Oma bahkan tidak menyadari bahwa dia bahkan sudah menghancurkan rasa kepercayaan diriku terhadap dirinya sendiri. Karena kebenciannya kepadaku menjadikan aku beranggapan bahwa Oma bukanlah Omaku, aku hanya memiliki orang tua saja. Papa dan Mama, minus kehadiran Oma. Aku bahkan tidak tahu apakah Oma memang membenciku karena aku dianggapnya bukan keturunan Taner atau dia menganggap Mama telah menghianati Papa. Aku sendiri tidak tahu jawabannya, karena Oma sangat pandai menutupi rah
Gio kemudian melihat ke arah mereka. “Gio, mengapa kamu keluar dari ruang perawatanmu?” tanya Sarah dengan cemas. “Sebaiknya kita semua masuk ke ruangan perawatanku! Tidak ada yang pelu lagi disembunyikan dari diriku! Aku berhak tahu karena ini menyangkut hidupku,” katanya kembali. Setelah Gio sadar dia memaksa Dokter mengijinkannya untuk berdiri dan menjumpai keluarganya, tidak dia sangka dia mendengar semua perbincangan yang membuat dia hidup di dalam kebencian Lidia. Awalnya Dokter keberatan karena Gio dibawa ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri, tetapi siapa yang bisa melawan kehendak Gio Taner? Akhirnya Dokter mengalah setelah Gio menenangkannya dan mengatakan dia tidak apa-apa. “Gio untuk apa kamu berdiri?” tanya Sarah dengan cemas. “Mama, kalau Mama ingin melihatku tidak lelah sebaiknya Mama dan yang lainnya mengikutiku ke ruang perawatannku, sekarang juga,” katanya dengan dingin. Hatinya dingin mendengar pengakuan Lidia yang meragukan dia sebagai putra keluarga Taner
Sarah yang masih marah kepada Lidia, kini menatapnya dengan tatapan permusuhan. “Kalau Mama mau menyakitiku, maka aku akan menerimanya. Tetapi kalau Mama menyakiti kedua anakku maka aku tidak akan menerimanya. Aku bahkan tidak akan bisa memaafkan Mama kalau Mama mengadu domba kedua anakku, jangan menyebarkan kabar yang tidak benar Mama, aku sangat kecewa kepada Mama,” kata Sarah dengan jengkel. Sarah kemudian menatap Lidia dengan tatapan kesal, karena Lidia telah menghancurkan keharmonisan rumah tangganya. “Untuk apa kamu marah? Seharusnya kamu bersyukur aku mau menerimamu jadi menantuku. Kalau saja dulu aku menolakmu maka tidak akan mungkin terjadi hal seperti ini. Aku bahkan tidak tahu kamu itu bisa sangat menjengkelkan seperti itu,” katanya kembali. “Mama! Cukup, aku mohon jangan lagi berdebat Ma! Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kesembuhan Gio, bukan malah sesama kita terjadi perang!” kata Hasan sambil menegur Lidia. Lidia melotot memandang Hasan. “Kalian b
Sarah yang masuk ke kamar Gio terkejut mendengar perkataan Key putranya. Setelah Sarah menelepon Gio, perasaannya tidak nyaman. Sarah akhirnya kembali pulang, karena sebenarnya jarak dari butik ke rumahnya tidak terlalu jauh. Sarah sama sekali tidak memahami perkataan key yang menyinggung perasaannya. Hatinya sangat terluka. Sarah melihat Gio yang terkulai lemas karena pingsan. Sarah kemudian menelepon ambulans. Sarah kemudian menelepon suaminya. Kini dia menatap Key dengan pandangan yang sangat terluka. “Apa maksud semua ini? Mengapa kamu mengatakan hal demikian Key? “ tanyanya dengan marah. Key kemudian menatap Sarah dengan wajah tidak dapat dibaca sama sekali, wajah datarnya sama sekali tampak tidak bersalah. “Jawab MAMA!” bentak Sarah dengan gusar. Asisten rumah tangga keluarga Taner masuk dengan membawa petugas ambulans, karena Sarah sudah meminta kepada mereka jika mobil ambulans datang maka mereka harus membawanya ke kamar Gio dari lantai dua. Mereka membawa tandu, dan bebe
Evelyn menatap Lara. Dia masih bimbang dengan keputusannya sendiri. Sementara itu Gio yang sedang berada di kamarnya di kediaman Taner bimbang, apakah dia akan menelepon Evelyn atau tidak. Sudah beberapa hari ini kesehatannya menurun karena dia tidak memiliki nafsu untuk makan. Untuk melupakan rasa rindunya kepada Evelyn bahkan Gio harus bekerja melebihi jam kerja normalnya dan melupakan makan siang bahkan makan malamnya. Setelah berhari-hari dia melakukannya akhirnya Gio tumbang. Dokter menyarankan kepada Sarah agar Gio beristirahat di rumah kalau tidak Gio harus dirawat di rumah sakit. Akhirnya Gio harus mengalah dengan keinginan Sarah agar dia segera beristirahat dirumah. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, sesaat dia merasa bahagia karena dia mengira Evelynlah yang meneleponnya. Gio kecewa ternyata bukan, dia melirik notifikasi yang ada di ponsel tersebut. Ternyata Sarah ibunya yang meneleponnya. “Halo Gio apa kamu sudah makan siang? Obat dari Dokter apa kamu sudah makan?” tanya Sarah
Evelyn dan Lara yang masih saja berbaring malas mulai memakan kudapan yang di antarkan Mama ke kamar ini. Mereka menelungkup di lantai dengan karpet yang tebal, bantal besar menjadi sasaran tubuh mereka yang terus saja berganti posisi untuk mencari kenyamanan. Lara akhirnya duduk ketika dia membaca salah satu komentar yang dibuat oleh sebuah akun. “Eve coba kamu baca kolom komentar ini, di sini tertulis komentar yang sangat bagus. Coba kamu dengarkan apa yang aku baca ya,” kata Lara kemudian. “Dear, itik yang berubah jadi angsa. Hanya satu pesan dari burung bangau kamu itu harus menentukan pilihanmu dengan bijak. Utamakan kebahagiaanmu, jangan pernah kamu mengambil keputusan yang membuat kamu nestapa. Kadang kala keputusan yang terbaik untuk kita belum tentu terbaik juga untuk orang lain. Tidak bisa semua manusia kita puaskan tetapi hanya satu, carilah kebahagiaanmu sendiri. Kalau seandainya burung bangau jadi angsa maka aku akan memilih angsa yang telah menerimaku apa adanya karena
Sarah memandang ponselnya dan dia melihat postingan Itik Buruk Rupa menjadi Angsa dan dia sedikit terkejut karena dia melihat cerita itu mirip dengan cerita hidup Evelyn. Sara kemudian membaca sampai tuntas isi postingan tersebut dan dia mencari tahu nama akun yang mempostingnya. “Siapa yang memposting ini? Nama akunnya Bintang Kejora,” pikir Sarah kembali. Sarah kemudian membaca kembali postingan itu dan terkejut karena ternyata dia melihat campur tangan Lidia di sana. Dia kemudian membacanya sekali lagi. “Kalau benar ini adalah postingan Evelyn maka Mama sudah ikut campur dan bahkan membuat ancaman terhadap Evelyn dengan memakai namaku, Mama aku berharap Mama jangan mencampuri kebahagiaan anak-anakku, aku tidak rela Mama! Apalagi Mama sepertinya berat sebelah, Mama membantu Key dan menyudutkan Gio. Aku memang tidak suka kedua anakku bertengkar Mama tetapi aku harus bersikap adil. Aku juga menginginkan kebahagiaan mereka termasuk Evelyn. Biarlah Cinta yang menang dan jangan sampai
Lara melihat Evelyn penasaran dengan ide yang akan dia kemukakan. “Eve kamu masih ingat mata kuliah yang diajarkan Pak Alex?” tanya Lara. “Maksudnya bagaimana Lara? Apa hubungan mata kuliah Pak Alex dengan kedua bersaudara Taner?” tanya Evelyn dengan bingung. “Kamu ingat tidak ketika Kyra kebingungan dengan judul tugas yang akan dia kerjakan, dia mempunyai dua makalah kedua-duanya bagus. Jadi apa saran Pak Alex pada saat itu?” tanya Lara kembali. “Poling?” tanya Evelyn dengan ragu. “Yup, benar. Poling!” kata Lara kemudian. “Apa kamu sudah gila Lara? Kamu mau mengumbar identitasku dan kedua saudara Taner? Aku tidak mau mempermalukan mereka! Aku tidak akan melakukannya,” kata Evelyn dengan mantap. Evelyn kemudian menatap Lara dengan perasaan aneh. “Ya pemikiranmu salah Eve. Aku tidak menyuruhmu mengatakan siapa dirimu, dan identitasnya kamu harus tutupi dong. Kamu buat seolah-olah kita akan membuat sebuha cerita kemudian kita lemparkan kepada pembaca, bagaimana pemikiran mereka.