"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Ki Kampar memandang penuh selidik.
"Namaku Manggala, aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini," sahut Manggala.
"Hm, kau sudah membuat kerusuhan di desa ini, Anak Muda," kata Ki Kampar dingin. "Kau harus ikut aku."
"Tunggu!" sentak Ki Kabul.
"Tenang, Ki. Ini urusanku," kata Manggala menenangkan laki-laki tua itu.
"Tidak! Kau datang untuk menyelamatkan nyawaku. Aku yang bertanggung jawab dengan kerusuhan ini!" tegas kata-kata Ki Kabul.
"Ki Kabul, bisa kau jelaskan?" pinta Ki Pancur bijaksana.
"Anak muda ini telah menyelamatkan nyawaku, Ki. Siang tadi aku tidak sengaja telah memasuki daerah terlarang di Puncak Bukit Menjangan. Akibatnya, tadi Nini Ratih datang untuk mencabut nyawaku. Untung saja pemuda ini telah menyelamatkanku dari cengkeramannya," Ki Kabul mencoba menjelaskan singkat.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Ki Kabul?" Ki Kampar tidak percaya begitu saja.
"Aku berani sumpah!
"Mampus kau! Hiyaaa...!""Uts!"Manggala merundukkan kepalanya sedikit ketika golok Ki Kampar menebas ke arah kepalanya. Tebasannya begitu cepat dan tiba-tiba, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Manggala merasakan angin tebasan itu demikian dahsyat, ketika lewat di atas kepalanya. Dengan cepat, Manggala menarik kakinya ke belakang. Dengan tubuh setengah membungkuk miring, Manggala kembali meraih tongkat pusakannya dan dikibaskan ke arah golok Ki Kampar yang sudah berada diudara kembali. Kali ini Manggala menambah tenaga dalamnya.Trang!"Akh!" Ki Kampar memekik tertahan. Laki-laki tua itu tidak bisa lagi mempertahankan goloknya yang kini terpental cukup jauh. Saat itu juga Ki Kampar menarik dan memegangi tangannya dengan bibir meringis. Jari-jari tangannya terasa kaku, dan tulang-tulangnya nyeri.Manggala kembali meletakkan tongkat pusakanya ke balik punggung.. Si Buta dari Sungai Ular itu berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Se
SEMENTARA ITU, di Puncak Bukit Menjangan, Prawata masih tetap terbaring tanpa daya di atas ranjang besar dan indah. Sudah beberapa hari ini dia menjadi tawanan Nini Ratih tanpa mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya sudah tidak lagi terlihat tegap. Wajahnya pun pucat tanpa semangat hidup.Prawata hanya melirik saja ketika Nini Ratih datang menghampiri. Wanita cantik itu langsung naik ke atas pembaringan. Dipandanginya lekat-lekat wajah Prawata yang sudah tanpa gairah lagi. Nini Ratih menggerak-gerakkan ujung jarinya ke beberapa bagian tubuh pemuda itu.Sebentar saja, Prawata merasakan tubuhnya dapat digerakkan lagi. Tapi dia segera beringsut menjauh. Pemuda itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya terasa lemah. Dia hanya mampu duduk lesu. Entah sudah berapa hari ini perutnya tidak terisi makanan. Sedangkan setiap saat harus melayani keinginan wanita itu. Seluruh daya yang dimilikinya benar-benar terkuras habis. Sudah beberapa kali Prawata terpaksa melayani dalam kesadaran penuh. N
Kuda berwarna coklat kehitaman berlari cepat bagaikan terbang saja. Debu mengepul membumbung tinggi ke udara. Kuda itu meringkik keras setiap kali digebah agar berlari lebih cepat lagi. Kecepatan larinya tidak berkurang, meskipun sudah memasuki hutan di Lereng Bukit Menjangan."Hiya...! Hiya...!"Tiba-tiba kuda coklat kehitaman itu berhenti, lalu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya. Kuda itu terus bertingkah laku demikian. Ki Pancur jadi kewalahan juga. Dia melompat turun sebelum kuda itu melemparkannya. Sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba kuda itu tidak bisa dikendalikan. Merasa bebannya sudah tidak ada, kuda itu berbalik dan langsung berlari cepat menuruni lereng bukit itu."Hey, kembali...!" teriak Ki Pancur.Namun kuda coklat kehitaman itu sudah jauh meninggalkannya. Ki Pancur tidak mengejar. Dia hanya berdiri memandangi sebentar, lalu membalikkan tubuhnya memandang ke arah Puncak Bukit Menjangan. Hatinya agak heran juga, karena kudanya jad
"Ikh!" Nini Ratih memekik tertahan. Buru-buru tangannya ditarik kembali, sehingga tebasan pedang Ki Pancur mengenai angin. Wanita cantik itu cepat melentingkan tubuh ke atas sebelum Ki Pancur dapat menarik kembali pedangnya. Pada saat itu, Nini Ratih melontarkan satu tendangan keras ke arah kepala."Hap! Yaaa...!" Cepat sekali Ki Pancur mendoyongkan tubuhnya ke belakang sambil membabatkan pedangnya ke atas.Tentu saja Nini Ratih jadi terkesiap. Buru-buru diputar tubuhnya. Segera tubuhnya itu meluruk ke bawah setelah pedang laki-laki setengah baya itu lewat. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat Nini Ratih melontarkan pukulan keras ke arah dada lawannya. Ki Pancur yang tubuhnya masih dalam keadaan doyong ke belakang, tidak mungkin lagi berkelit. Dengan telak pukulan Nini Ratih bersarang di dadanya."Akh!" Ki Pancur memekik tertahan. Tubuh laki-laki setengah baya itu terpental ke belakang, dan dengan keras membentur pohon. Namun dia segera melompat dan menye
Dalam kepulan debu, terlihat beberapa orang berkuda mendaki Bukit Menjangan ini. Tampak paling depan, Ki Kampar memacu cepat kudanya. Sekitar dua puluh orang mengikutinya dari belakang. Manggala bergegas melompat turun, dan mendarat ringan di depan Ki Kabul yang sudah berdiri memandanginya."Ada apa?" tanya Ki Kabul"Ki Kampar dan orang-orangnya tengah menuju ke sini," sahut Manggala menjelaskan."Celaka! Dia pasti akan menangkapmu, Manggala," kata Ki Kabul kontan pucat wajahnya."Tenang saja, Ki. Biar kutunggu mereka di sini," kata Manggala tenang."Tapi...."Belum sempat Ki Kabul melanjutkan kata katanya, dari balik pepohonan muncul Ki Kampar dan dua puluh orang muridnya. Laki laki setengah baya itu segera melompat turun dari punggung kudanya. Dua puluh orang muridnya pun ikut melompat turun dari kudanya masing-masing.Ki Kampar melangkah maju beberapa tindak, dan berhenti di depan Si Buta dari Sungai Ular dengan jarak sekitar lima
Nini Ratih terbeliak matanya melihat batu kehidupan dan kematiannya berada di tangan pemuda berpakaian kulit ular itu. "Berikan benda itu padaku, Anak Muda. Kau akan bebas pergi ke mana saja yang kau suka," kata Nini Ratih."Sayang sekali, aku tidak bisa percaya begitu saja dengan kata-katamu," dingin suara Manggala."Aku berjanji! Kau bebas pergi ke mana saja, dan aku tidak akan mengganggumu selamanya," janji Nini Ratih."Ambillah kalau kau bisa."Merah padam wajah Nini Ratih. Kata-kata yang tenang dan bernada tantangan itu membuatnya berang. Tanpa berkata apa-apa lagi, wanita siluman itu langsung melompat menyerang. Manggala berkelit melompat ke samping. Namun sungguh di luar dugaan, tangan Nini Ratih dapat berputar, dan menyodok iganya."Ugh...!" Manggala mengeluh tertahan. Tubuh Si Buta dari Sungai Ular itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Dan pada saat Nini Ratih kembali menyerang, Manggala sudah siap menyambut serangan itu. Dengan cepa
SORAK SORAI yang diselingi tepuk tangan dan mulut-mulut usil terdengar riuh dari orang yang memadati halaman besar sebuah bangunan batu menyerupai puri. Di tengah tengah lingkaran bergaris putih, terlihat dua orang bertubuh tinggi kekar dengan otot-otot bersembulan sedang berlaga. Tubuh mereka yang hanya mengenakan cawat dari kulit binatang, telah kotor oleh tanah berlumpur.Tampak pada bagian atas undakan bangunan puri itu, duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun di atas kursi berukir. Dia dikawal empat orang bersenjata tombak dan pedang. Di sampingnya duduk seorang wanita muda yang wajahnya terlindung cadar tipis dari sutra. Dalam bayang-bayang cadar tipis itu, masih terlihat seraut wajah cantik yang memiliki mata bening bercahaya. Namun nampak jelas kalau wanita itu tidak menyenangi acara adu kekuatan. Dari sikapnya yang selalu gelisah, mencerminkan ketidaktahannya berlama-lama di situ.Sementara itu dua orang yang berlaga sudah mencapai puncaknya.
"Modar! Hiyaaat...!" tiba-tiba Gagak Codet berteriak keras menggelegar.Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya cepat, mengarah ke dada Singo Barong. Namun laki-laki bertubuh tinggi besar penuh lumpur itu malah menurunkan tangannya, lalu membuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, tebasan pedang Gagak Codet kontan menghantam dada Singo Barong. Namun yang terjadi sungguh mengejutkan!"Akh...!" Gagak Codet malah terpekik, dan langsung melompat mundur."Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak."Setan...!" geram Gagak Codet sambil meringis. Semua jari-jari tangannya jadi terasa kaku berdenyut. Sungguh luar biasa sekali tubuh Singo Barong. Padahal tepat sekali pedang Gagak Codet membelah dadanya. Dan pemuda codet itu malah merasakan seperti menghantam sebongkah baja yang kuat sekali. Bahkan pedangnya sampai terpental balik, dan seluruh persendian tangannya bergetar nyeri.Semua orang yang memadati sekitar arena pertarungan itu bersorak
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana