SORAK SORAI yang diselingi tepuk tangan dan mulut-mulut usil terdengar riuh dari orang yang memadati halaman besar sebuah bangunan batu menyerupai puri. Di tengah tengah lingkaran bergaris putih, terlihat dua orang bertubuh tinggi kekar dengan otot-otot bersembulan sedang berlaga. Tubuh mereka yang hanya mengenakan cawat dari kulit binatang, telah kotor oleh tanah berlumpur.
Tampak pada bagian atas undakan bangunan puri itu, duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun di atas kursi berukir. Dia dikawal empat orang bersenjata tombak dan pedang. Di sampingnya duduk seorang wanita muda yang wajahnya terlindung cadar tipis dari sutra. Dalam bayang-bayang cadar tipis itu, masih terlihat seraut wajah cantik yang memiliki mata bening bercahaya. Namun nampak jelas kalau wanita itu tidak menyenangi acara adu kekuatan. Dari sikapnya yang selalu gelisah, mencerminkan ketidaktahannya berlama-lama di situ.
Sementara itu dua orang yang berlaga sudah mencapai puncaknya.
"Modar! Hiyaaat...!" tiba-tiba Gagak Codet berteriak keras menggelegar.Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya cepat, mengarah ke dada Singo Barong. Namun laki-laki bertubuh tinggi besar penuh lumpur itu malah menurunkan tangannya, lalu membuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, tebasan pedang Gagak Codet kontan menghantam dada Singo Barong. Namun yang terjadi sungguh mengejutkan!"Akh...!" Gagak Codet malah terpekik, dan langsung melompat mundur."Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak."Setan...!" geram Gagak Codet sambil meringis. Semua jari-jari tangannya jadi terasa kaku berdenyut. Sungguh luar biasa sekali tubuh Singo Barong. Padahal tepat sekali pedang Gagak Codet membelah dadanya. Dan pemuda codet itu malah merasakan seperti menghantam sebongkah baja yang kuat sekali. Bahkan pedangnya sampai terpental balik, dan seluruh persendian tangannya bergetar nyeri.Semua orang yang memadati sekitar arena pertarungan itu bersorak
"Kalau kalian ingin pesta, silakan. Biarkan aku sendirian di sini," sergah Putri Dewi Mustika seraya menoleh menatap kedua embannya."Ah! Tidak kok, Den Ayu.""Aku tidak apa-apa. Memang sebaiknya kalian ikut bersenang-senang. Pergilah kalian.""Tidak ah, Den Ayu. Wong tadi hanya becanda saja kok," kata wanita gemuk itu.Putri Dewi Mustika hanya tersenyum saja. Sungguh manis dan memikat sekali senyumnya itu. Kakinya melangkah gemulai mendekati pembaringan besar beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Lembut sekali dia membaringkan tubuhnya. Bola matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. Sedangkan dua embannya hanya bersimpuh saja di lantai. Mereka tidak berbicara lagi.Sementara di luar sana, keramaian masih terus berlangsung. Semakin larut, suasana pesta itu semakin meriah. Para nayaga terus menabuh gamelan dengan irama yang semakin hangat, menambah kesemarakan suasana pesta. Tampak di dalam ruangan lain yang sangat besar dan inda
"Macan Gadak! Perintahkan semuanya mundur!" perintah Sura Antaka."Baik Yang Mulia," sahut Macan Gadak.Sura Antaka melompat naik ke punggung kuda, lalu menggebahnya kencang menuju Utara, diikuti Pendeta Ajisaka dan Singo Barong. Sedangkan Macan Gadak bergegas menuruni bukit mempergunakan ilmu meringankan tubuh."Mundur...!" seru Macan Gadak keras. Suara teriakannya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.Seketika itu juga orang-orang berbaju merah bergambar seekor naga pada dadanya, berlompatan mundur. Sementara yang terlambat, langsung tewas terkena sambaran senjata para prajurit. Cepat sekali mereka bergerak, sebentar saja sudah lenyap ke dalam hutan. Seorang yang berpangkat panglima, memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk tidak mengejar.Macan Gadak mengumpulkan anak buahnya yang tersebar di lerang bukit sebelah Utara, kemudian sama-sama bergerak kembali ke daerah Utara, tempat mereka menetap. Sementara itu rombongan prajurit itu melanj
"Di mana kau waktu itu?" tanya Pendeta Ajisaka lagi."Di balik pohon kenanga itu, Gusti," Belung menunjuk sebatang pohon kenanga yang tidak begitu jauh dari jendela ruangan ini. "Hamba waktu itu bersama dengan....""Ya, sudah. Kau cukup jelas memberi keterangan," potong Sura Antaka."Terima kasih, Gusti," ucap Belung seraya memberi hormat.“Paman, beri dia hadiah. Keterangannya sangat berharga sekali," kata Sura Antaka."Baik, Yang Mulia.""Oh, terima kasih.... Terima kasih, Gusti.""Ya, sudah. Pergi sana!"Pemuda kurus kerempeng itu berdiri, lalu membungkuk beberapa kali sebelum melangkah pergi. Pendeta Ajisaka memberinya sekantung uang sebelum pemuda perambah hutan itu pergi. Tentu saja Belung jadi berbinar matanya, dan langsung membungkuk beberapa kali memberi hormat sambil mengucapkan puluhan terima kasih. Pendeta Ajisaka mengantarkannya sampai ke pintu.-o0o-Sementara itu di tepi sebuah danau yang bera
Pemuda itu menoleh menatap wanita cantik yang berlindung padanya. Dan belum lagi membuka mulut akan bertanya, dari jauh terdengar teriakan dua orang wanita. Yang satu gemuk, dan satunya lagi kurus kerempeng. Mereka berlari-lari sambil memanggil-manggil Dewi Mustika."Gusti..., Gusti Ayu...!""Oh! Itu kedua emban pengasuhku. Kau bisa tanyakan pada mereka, Kisanak." Ada pengharapan pada nada suara Dewi Mustika melihat kedua emban pengasuhnya berlari-lari menghampiri."Monyet buntung!" geram Gagak Codet kesal melihat dua orang emban itu sudah sadar dari pingsannya. Dan sebelum emban itu dekat, Gagak Codet sudah melompat hendak menerjang pemuda berpakaian kulit ular itu. Namun hanya sedikit saja mengegoskan tubuhnya, terjangan Gagak Codet luput dari sasaran. Pemuda berpakaian kulit ular itu melompat ke samping sambil mendorong tubuh Dewi Mustika, sehingga gadis itu terdorong jatuh. Untung kedua emban pengasuhnya sudah cepat menghampiri, sehingga cepat-cepat menolong
"Gusti Ayu, siapa laki-laki ini?" tanya salah seorang menunjuk pada Manggala."Dia..., eh, dia...," Dewi Mustika tergagap."Hei, bangsat! Ke sini!" bentak orang yang bertanya tadi.Sedangkan Manggala hanya diam saja, meskipun jari telunjuk itu mengarah padanya. Si Buta dari Sungai Ular itu diam, pura-pura tidak dengar atau tidak tahu. Manggala memainkan perannya sebagai orang buta."O.... Kau tuli atau menantang, heh?!""Kisanak, kenapa datang-datang langsung marah? Apakah wanita ini milikmu?" agak ditekan nada suara Manggala."Keparat! Kau berani kurang ajar pada Gusti Ayu Mustika!" geram orang itu seraya mencabut goloknya.Tiga orang yang berada di belakangnya juga langsung mencabut golok. Mereka menggeser ke samping dengan golok melintang di depan dada. Sedangkan Manggala masih tetap diam, berdiri dengan tenang."Heran..., kenapa orang-orang di sini begitu galak? Apakah biasa makan daging mentah?" Manggala bergumam seperti b
"Jika kau tidak mengundangnya, itu berarti tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Kau mengerti, Mustika?!""Mengerti, Ayah.""Kapan kau akan menemuinya lagi?" tanya Sura Antaka."Aku tidak tahu. Dia muncul tiba-tiba.""Hm..., kalau begitu pergilah besok ke danau. Paman Ajisaka akan mendampingimu."Dewi Mustika tidak bisa berkata apa-apa lagi. Keputusan ayahnya sukar untuk dicabut kembali. Gadis itu hanya bisa diam sambil menundukkan kepalanya. Sementara Sura Antaka bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamar putrinya ini. Seorang emban yang bertubuh gemuk, bergegas mendahului dan membukakan pintu. Tanpa melirik sedikit pun, Sura Antaka melangkah keluar. Emban bertubuh gemuk itu bergegas menutup kembali pintunya, dan menghampiri Dewi Mustika yang sudah terisak sesunggukkan."Sudahlah, Gusti Ayu. Mudah-mudahan saja Den Manggala tidak muncul besok," ujar emban gemuk itu mencoba menghibur."Tapi dia sendiri yang akan ke sini, Bi Emba
Gadis itu langsung menggerinjang bangkit. Wajahnya seketika terasa panas, bersemu merah bagai kepiting rebus. Buru-buru dibalikkan tubuhnya, menyembunyikan rona merah yang menjalar hangat di seluruh wajahnya. Seolah-olah malu, dan tidak ingin kedua emban pengasuhnya itu tahu, apa yang baru dirasakannya tadi.-o0o-MATAHARI sudah berada di atas kepala. Sinarnya yang terik membakar kulit seorang pemuda yang berdiri tegak di tepi danau. Pandangannya tidak terlepas ke arah jalan tanah berbatu kerikil tidak jauh di depannya. Pemuda itu memakai pakaian kulit ular dengan sebatang tongkat di punggungnya."Hm..., datang juga akhirnya," gumam pemuda yang tidak lain dari Manggala si Si Buta dari Sungai Ular.Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum melihat kedatangan Dewi Mustika didampingi dua orang emban pengasuh dan seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul. Laki-laki tua itu memegang sebuah untaian kalung dari
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana