Ayu Wulan yang sebenarnya sejak tiba di tempat itu sudah ingin menemui pemuda yang diam-diam dicintainya, segera melompat mundur dan mendekat begitu dilihatnya pemuda itu muncul di dekatnya. Di tangan kanan si gadis tergenggam sebuah cambuk yang dipergunakan untuk menyerang Iblis Mara Kayangan tadi.
"Kang Manggala!" serunya dengan wajah yang mendadak memerah. Manggala cuma tersenyum dingin saja.
"Apa kabarmu, Ayu?"
"Aku... Baik, baik-baik saja!"
"Syukurlah."
Wajah Ayu Wulan semakin memerah. "Apakah dengan kata-katanya itu Kang Manggala sebenarnya perhatian dan mencintai ku? Oh! Apakah dia masih ingat kata-kata Guru yang menginginkan aku berjodoh dengannya? Tetapi, aku telah berjanji pada Dewa Bumi untuk tidak terlalu tenggelam dalam perasaan cinta."
Di depan sana, Dewa Pemarah yang sebenarnya sudah terkuras tenaganya membentak, "Pemuda kebluk! Mengapa kau diam saja, hah? Ke mana tadi kau
pergi? Kulihat kau dicaplok ular raksasa. Bikin pSementara itu, ketika mendengar lolongan keras Iblis Mara Kayangan dan mendapati tubuh Iblis Mara Kayangan ambruk bergulingan tak berkutik, perempuan berbaju hijau tipis dengan rambut keperakan itu menegang wajahnya."Celaka! Seluruh rencanaku untuk meminta bantuan Iblis Mara Kayangan gagal! Dan aku sendiri tak sanggup untuk menghadapinya lebih lama lagi! Ilmu 'Pengendali Mata' ku seakan tak banyak membawa arti. Raja Siluman Ular Putih yang sudah tahu kelemahan ilmu 'Pengendali Mata' ku tak mempergunakan tenaga dalamnya. Benar-benar sialan! Kitab Pembangkit Mayat tak bisa kuambil kembali! Lebih baik minggat daripada nyawa putus!"Raja Siluman Ular Putih sejak tadi sebenarnya tidak menyerang sepenuh hati. Padahal bila dia menginginkannya sejak tadi Dewi Samudera Biru yang sudah kehilangan bentuk penyerangannya bisa dilumpuhkan!"Tidakkah kau mau menyadari 'kalau tindakanmu selama ini salah, Dewi Samudera Biru?" tanya Raja Siluman Ular Putih sambil menghindari ter
Lalu... Wuuuttt!Dalam sekali berkelebat saja, tubuh si Pembawa Mayat sudah berlalu dari sana. Manggala menarik napas panjang. "Seharusnya aku memberi pelajaran pada si Pembawa Mayat. Akan tetapi, aku bukanlah orang kejam yang menurunkan tangan pada orang yang sudah tak berdaya."Ketika Manggala membalikkan tubuhnya untuk menyaksikan pertarungan antara Dewi Pedang menghadapi Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewa Kematian, di sana sudah berdiri Raja Siluman Ular Putih tetap dengan senyum bijaksananya. Di sebelah kanan berdiri Dewa Pemarah yang mementangkan kedua kaki dengan tatapan melotot gusar. Di sebelahnya, hanya setinggi ketiak si Dewa Pemarah, berdiri Dewa Bumi dengan tubuhnya yang buntal seperti bola, asyik menghisap cangklong besarnya."Guru! Mengapa kau masih bertindak ayal? Apakah karena sudah tua kau jadi tidak bisa bergerak cepat!” seru Manggala sambil menyatukan kedua tangan di depan mulut. Dewi Pedang menoleh sambil terus menyerang."Bocah
BUKIT Bojong tampak anggun berselimut kabut tipis. Puncaknya yang menjulang tinggi, bagai menantang langit biru dengan awan tipis berarak terbawa angin. Seluruh permukaan bukit itu tampak hijau, indah dipandang mata. Namun di balik keindahan itu, tersimpan suatu misteri yang dalam dan sukar untuk ditembus. Tidak seperti kebanyakan bukit-bukit lainnya, Bukit Bojong tampak sepi, tak ada sebuah desa pun berada di sekitar kaki bukit itu. Sepanjang mata memandang, hanya kehijauan yang terhampar. Bukit itu seperti tidak pernah terjamah oleh tangan-tangan manusia. Bahkan binatang pun sepertinya enggan untuk menginjakkan kakinya di sana.Namun kesunyian dan keindahan Bukit Bojong, suatu ketika pecah oleh suara ledakan dahsyat dari arah Barat. Tampak debu mengepul ke udara disertai dengan pecahan-pecahan batu dan cahaya kilat. Diantara kepulan debu dan bebatuan itu, terlihat sesosok bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Sesosok bayangan itu kemudian hinggap diatas dahan sebatang poho
Mereka kemudian menata kayu-kayu tersebut menjadi bentuk sebuah rumah kecil. Setelah rapi semuanya, mereka membakarnya dengan bibir terkatup rapat. Api berkobar cepat melahap kayu-kayu kering berbentuk rumah, dengan mayat seorang laki-laki tua berjubah putih di dalamnya. Kedua manusia berlainan jenis itu memandanginya dengan mata tidak berkedip dari jarak yang cukup jauh.Letupan-letupan kecil terdengar, disertai percikan bunga api yang membumbung tinggi ke angkasa. Api terus berkobar semakin besar. Sebentar saja udara disekitar Lereng Bukit Bojong sebelah Barat itu jadi terasa panas menyengat. Asap hitam mengepul menghalangi cahaya matahari yang siang itu bersinar terik.“Selamat jalan, Eyang...,” desis Narita lirih.“Ayo, Narita,” ajak pemuda itu seraya berbalik. Narita tidak menyahut. Dia tetap berdiri memandang api yang masih berkobar besar.“Narita...,” pemuda itu menepuk pundak Narita.“Ke mana lagi k
“Hiyaaat...!” Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak nyaring, dan tubuhnya melesat ke depan seraya mengebutkan senjatanya ke arah perut dan dada Seta.Langsung saja pemuda itu melompat mundur sambil mengibaskan senjatanya menyampok senjata lawan. Baru saja terlepas dari serangan pertama, menyusul serangan berikutnya. Pemuda itu terpaksa membagi perhatiannya dalam empat jurusan. Serangan lawan-lawannya terus datang secara bergantian dengan cepat dari empat jurusan. Sebentar saja teriakan-teriakan pertempuran kembali terdengar, ditingkahi dengan denting senjata beradu! Seta terpaksa mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Dia sadar, kalau empat lawannya memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.Pertarungan empat lawan satu, terus berlangsung semakin sengit. Sudah beberapa kali Seta berhasil menyarangkan tendangan dan pukulan ke tubuh lawannya. Tapi sesekali dia juga tidak bisa menghindar dari pukulan dan tendangan lawan. Seluruh tubuhnya t
“Kau telah terkena jarum hitam yang mengandung racun dahsyat dan mematikan,” kata wanita tua itu lembut.“Jarum hitam...?!” gadis itu kembali menggumam pelan.“Apakah kau bertarung dengan Perempuan Iblis Topeng Mayat?” tanya seorang laki-laki berjubah kuning.Gadis itu tidak langsung menjawab. Pelahan-lahan ingatannya kembali pada saat sebelum dia berada di tempat suci ini. Pada saat itu dia memang tengah bertarung melawan empat orang wanita berbaju hijau, dan mengenakan topeng pucat bagai mayat. Dia tidak tahu kalau salah seorang lawannya berhasil melontarkan jarum hitam yang mengandung racun.Gadis itu hanya ingat, kalau badannya tiba-tiba saja terasa panas, dan satu pukulan keras telah menghantam dadanya. Dia juga sempat melihat, ketika salah seorang lawannya hampir membunuh dengan senjatanya. Tapi pada saat itu, tubuhnya seperti melayang cepat, dan langsung tidak ingat apa-apa lagi. Rasa panas yang menyelimuti tubuh
Sepasang mata bening itu ternyata milik seorang laki-laki tua berjubah putih. Tentu saja Nyai Resi Puspita Rani terkejut, ketika laki-laki tua berjubah putih itu menghadang langkahnya. “Aku lihat kau murung setelah keluar dari kamar itu,” kata laki-laki berjubah putih itu, seraya melirik kearah pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Nyai Resi Puspita Rani tidak segera menyahuti. Dia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Sementara laki-laki tua yang bernama Resi Wanakara, terus memperhatikannya dalam-dalam. “Ada yang menyusahkanmu, Nyai?” tanya Resi Wanakara lembut. “Kau ingat dengan peristiwa di Gunung Jati Sewu?” Nyai Resi Puspita Rani malah balik bertanya. “Ya,” sahut Resi Wanakara. Kembali Nyai Resi Puspita Rani menarik napas panjang. Dia kembali mengayunkan langkahnya pelan-pelan. Sementara Resi Wanakara mengikutinya dengan benak yang diliputi berbagai macam pertanyaan. “Aku rasa kita telah melupakan
Gadis itu kembali melangkah pelan-pelan mendekati pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Sebentar dia memandangi pagar tembok itu, seolah-olah sedang mengukur ketinggiannya.“Maafkan aku Eyang Resi, Nyai Resi. Aku pergi tanpa pamit...,” bisik Narita lagi.Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Narita segera melompat melenting tinggi. Tubuhnya melayang ringan bagaikan kapas tertiup angin. Dua kali dia salto di udara, melewati pagar tembok yang tinggi itu. Lalu meluruk turun, dan hinggap di tanah dengan manisnya. Gadis itu langsung berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.Narita memang tidak tahu, kalau sepasang mata memperhatikannya sejak tadi. Sepasang mata milik seorang perempuan tua itu baru keluar dari balik dinding rumah besar, setelah gadis itu hilang di luar pagar tembok. Saat dia menarik napas panjang, muncul seorang laki-laki tua berjubah putih.“Kau tidak berusaha mencegahnya?”“Oh!” perem
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana