Dewi Topeng Perak menyahut, "Aku paham akan kata-katamu."
"Menyenangkan. Dan kau bersedia untuk menghajar Maung Kumayang?"
"Bahkan tanpa bantuanmu, akan kuhajar lelaki keparat itu!"
"Begitu pula denganku! Aku tak membutuhkan pula bantuanmu untuk membunuh lelaki sial itu!"
Dewi Topeng Perak menahan napas. Setelah menghembuskannya dengan suara menggembor, dia berkata, "Kita tak perlu saling mengukur ketinggian ilmu yang kita punyai! Setelah membunuh Si Buta dari Sungai Ular, kita bunuh Maung Kumayang! Dan urusan kita bila hendak dilanjutkan silakan, tetapi bila diputus setelah kematian Maung Kumayang pun tak jadi masalah."
"Aku memutuskan yang kedua!"
"Bagus! Berarti kita sudah sepakat! Dan kuharap, kita tak saling mencoba mengkhianati!"
Dewi Topeng Perak berkata seperti menggeram, "Kita lihat saja nanti!"
"Keputusan yang tepat! Berarti, tak ada yang perlu dibicarakan lagi!"
"Itu pun kusetujui!"
Habis kata-katanya,
Si kakek tertawa, tetap hanya membuka mulut sedikit. "Sudah tentu aku begitu tulus mencintaimu, Sunarsasi! Kau tak perlu menyangsikan lagi akan cintaku itu! Bahkan... kuharapkan kau akan melahirkan anak-anakku yang tentunya akan tumbuh menjadi pemuda gagah seperti ayahnya dan gadis manis jelita seperti ibunya!""Sinting! Siapa sudi menyerahkan tubuh kepada orang sepertimu!" maki Dewi Topeng Perak dalam hati. Sambil memasang senyum dia berkata, "Mungkin... aku pun bisa memulai untuk mencintaimu....""Haya! Bagus sekali! Bagus itu! Dan apakah kau sudah bersedia tidur denganku?""Jahanam! Kata-katanya benar-benar membuat telingaku panas dan dadaku seakan meledak!" geram Dewi Topeng Perak dalam hati.Dan lagi-lagi sambil menindih kegeramannya dia berkata, "Untuk saat ini aku belum mau melakukannya."Si kakek memutus tawanya sendiri. Dengan pandangan lurus dia menatap ke depan. Mulutnya berkemak-kemik tanpa keluarkan suara. Masih memandang pada Dewi Top
"Jadi harus kukatakan kalau dia bukan hanya mendepakmu, tetapi juga meludahimu? Kalau memang begitu, kau tak perlu mengatakannya! Karena, aku sudah tahu, kan!" ejek Manggala yang sebenarnya sama sekali tak menyangka akan berjumpa dengan Iblis Lembah Ular. Setelah meninggalkan Dayang-dayang Dasar Neraka yang sepertinya menginginkan kematiannya, Si Buta dari Sungai Ular terus memutuskan melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Watu Hatur. Namun pemuda ini segera hentikan kelebatannya tatkala mendapati satu sosok tubuh yang tak lain Iblis Lembah Ular menuju ke arahnya.Dari penjelasan Pendekar Bijaksana, Si Buta dari Sungai Ular tahu kalau Trisula Mata Empat berada di tangan Nenek Cabul. Dan dia tahu pula kalau Iblis Lembah Ular selalu bersama dengan Nenek Cabul. Makanya dia memutuskan untuk menghentikan langkah menuju ke Bukit Watu Hatur, dan menunggu kedatangan lelaki itu kendati dia cukup heran karena tak mendapati Nenek Cabul bersama lelaki itu.Mendengar ejekan Si Buta
"Waduh! Yang ditanya lain, kok malah menyuruh lain! Kau ini aneh-aneh saja!""Jahanam!" maki Iblis Lembah Ular seraya berdiri perlahan-lahan. Kedua kakinya agak goyah saat tegak. Lalu dikumpulkan segenap tenaga dalamnya. Kejap lain, kepalanya tengadah dengan mata terpentang. "Terimalah kematianmu!"Habis bentakannya, sosok berpakaian hitam bergaris merah itu sudah mencelat ke muka. Kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah.Manggala terdiam dengan pandangan tak berkedip. Berjarak dua tindak dari sosok Iblis Lembah Ular yang makin mendekat, kedua tangannya cepat digerakkan.Plak! Plakk!Menyusul kaki kanannya dicuatkan ke atas.Des!Telak menghantam dagu Iblis Lembah Ular. Bila saja Manggala melakukannya sepenuh tenaga, sudah bisa dipastikan tulang dagu hingga kepala Iblis Lembah Ular akan patah-patah. Tetapi lagi-lagi pemuda dari sungai ular ini tak bertindak keras. Kendati demikian, sosok Iblis Lembah Ular terjengkang ke belakang
Selagi Peri Gelang Rantai membatin. Raja Dewa berkata, "Bila kau memang tetap berkeinginan untuk membunuhnya, rasanya aku sulit mencegah, karena mencegah keinginanmu sama dengan memasukkan sebelah kaki ke kawah merapi! Aku akan tetap menuju ke Bukit Watu Hatur!""Kau belum mendapatkan Trisula Mata Empat milikmu itu. Raja Dewa!" seru Peri Gelang Rantai."Mencari Nenek Cabul yang tak kuketahui di mana dia berada sekarang, berarti hanya membuang waktu cukup banyak! Berarti, aku bisa jadi akan terlambat tiba di Bukit Watu Hatur," sahut Raja Dewa setelah terdiam sejenak."Lantas... apakah kau akan mempergunakan Anting Mustika Ratu yang berada di tanganmu untuk menghadapi manusia sesat berjuluk Raja Setan Seruling Maut itu?"Lelaki tua yang kedua tangannya selalu berada di belakang pinggul itu menggelengkan kepala. "Seperti kataku semula, aku tidak akan mempergunakan senjata yang bukan milikku, kendati senjata itu memiliki kesaktian yang tinggi.""Kalau
Kali ini Iblis Lembah Ular yang telah putus nyalinya tak menjawab. Tangan kanannya menepak-nepak tanah hingga debu mengepul tanda dia meminta ampun dan berharap agar Peri Gelang Rantai melepaskan dirinya dari injakan.Tetapi si nenek yang tengah geram justru memperkuat injakannya. Kali ini dari hidung lelaki berpakaian gombrang warna hitam bergaris merah sudah keluarkan darah. Saat dia kembali menjerit, darah pun keluar dari mulutnya.Raja Dewa berkata, "Peri Gelang Rantai... urusan ini boleh dikatakan menjadi urusanmu. Bolehkan aku turut memberi sumbang saran?""Tidak!" suara Peri Gelang Rantai menggembor. "Lebih baik kau tutup mulut, dan lihat apa yang hendak kulakukan!"Lalu dengan suara bertambah dingin, si nenek yang di sepanjang kedua lengannya terdapat gelang-gelang hitam ini berkata pada Iblis Lembah Ular, "Katakan kepadaku... di mana Nenek Cabul berada!"Karena berharap Peri Gelang Rantai akan membebaskannya setelah pertanyaannya dijawab,
Seketika si nenek berdagu lancip ini memutar tubuh. Pandangannya diarahkan pad: sebuah pohon yang diyakininya suara tadi berasal dari sana. Berarti orang yang bersyair itu berada di sana.Pandangan Siluman Kawah Api seketika menyipit dalam. "Keparat! Siapa orang ini? Syair yang diucapkannya barusan begitu mengena pada diriku!""Bila hanya buktikan satu dugaan, lebih baik kujawab keinginan!" terdengar lagi suara orang itu. Nada suaranya begitu bijaksana sekali.Siluman Kawah Api menggeser kaki kanannya ke samping. Pandangannya lurus menatap pada batang pohon di mana diyakininya orang yang berkata-kata itu ada di sana."Orang tak dikenal! Lebih baik tampakkan diri ketimbang kau berkata-kata pengecut!""Siluman Kawah Api... kau hanya datang untuk membuktikan dugaan?""Itu urusanku!" menggembor suara perempuan tua berdagu lancip ini. Kendati demikian, entah mengapa perasaannya mendadak menjadi tidak enak."Bila hanya ingin membuktikan sat
"Jangan memancing kemarahanku dengan permainan busuk yang kau tunjukkan! Ucapanmu terlalu lancang dan berlaku laksana orang bijaksana! Lebih baik perlihatkan diri hingga kau sadar betapa bodoh dirimu dengan apa yang kau lakukan! Tampakkan batang hidungmu!"Jangankan mengharapkan orang itu muncul, suaranya pun tak terdengar sama sekali. Lamat kemarahan semakin kuat merajai tubuh Siluman Kawah Api. Pelipisnya bergerak-gerak dengan rambut yang semakin acak-acakan.Tak kuasa menahan amarahnya, kedua tangan si nenek mengembang dan digerakkan ke sana kemari, berulangkali. Kalau tadi hanya hawa panas yang menebar dan menghanguskan ranggasan semak, kali ini api bergulung-gulung dahsyat menyebar. Sementara tanah yang terseret gelombang api yang dilakukannya, rengkah dan menaburkan debu-debu di udara. Tetapi sampai beberapa saat si nenek melakukannya, tak seorang pun yang muncul. Yang nampak hanyalah jilatan api yang membakar.Dada rata Siluman Kawah Api naik turun. Kemar
"Rayi! Aku tidak tahu mengapa semua ini terjadi! Lebih baik kita biarkan diri kita dibawa oleh Ular ini!!" seru Wulung Seta kembali."Kakang! Apakah Ular ini akan mencelakakan kita!" seru Sri Kunting keras. Sungguh, wajah gadis jelita ini memerah karena menahan angin laksana tamparan dan mencoba menindih rasa ngeri yang menjalari tubuhnya."Jangan berpikir yang tidak-tidak! Kita hanya bisa berharap agar kita selamat!" sahut murid mendiang Ki Alam Gempita ini. Kendati mulutnya bersuara demikian, namun kata-kata yang diucapkan oleh Sri Kunting tadi cukup menyentak perasaannya. Bagaimana bila hal itu benar terjadi? Apa yang akan mereka lakukan? Nekat melompat? berarti hanya mencari mati!"Aku harus menenangkannya," desis Wulung Seta dalam hati. "Kendati Sri Kunting memiliki ilmu yang cukup tinggi, tetapi dia tetaplah manusia yang memiliki rasa ngeri. Tak jauh berbeda sebenarnya denganku. Hanya saja, aku coba kendalikan semua ini bukan dengan emosi!"Memikir