Share

Bertemu Si Brengsek

"Kenapa sangat mendadak, Pak?" tanya Sandra lemas.

Pria itu mengangguk pelan. "Bukankah lebih baik jika bekerja di kota itu? Jenjang karier yang lebih baik, gaji pun sangat lebih baik jika ditempatkan di kantor utama."

Sandra menelan ludahnya kasar. Otaknya perlu waktu lebih lama untuk mencerna keputusan bosnya yang mendadak ini. Apalagi dia harus kelabakan sendiri dengan memulai segalanya dari nol lagi.

"Saya harap kamu menyetujuinya," pinta si manager.

Sandra melipat kembali dan memasukkan secarik kertas itu ke amplop dan pamit keluar dari ruangan bosnya. Tiba di meja kerjanya, Sandra menumpu lengan di atas kubikelnya. Keningnya berkerut, berpikir amat keras dan tertekan. Akhirnya ia meloloskan napas panjang dan memutuskan untuk duduk.

"Shit!" umpat Sandra kesal.

Bagaimana bisa dia harus kembali ke kota Surabaya, kota yang selama ini dia hindari. Selama bertahun-tahun pun dia tak pernah menjadikan kota Surabaya menjadi kota pijakannya kembali.

Setelah berpikir cukup lama selama seharian penuh sampai tidak konsentrasi bekerja. Dia pun pulang dengan rasa cemas yang berlebihan. Setibanya di kamar, dia mengambil gawainya hendak menghubungi seseorang.

Sandra nampak menimbang-nimbang, kemudian bergumam. "Harga diriku pasti sudah anjlok."

Tanpa berpikir panjang, ia lalu menghubungi nomor yang sudah sedari tadi terpampang nyata di hadapannya. Jantung Sandra berdegup kencang sebelum akhirnya sambungan telpon itu tersambung oleh suara lelaki.

"Do you miss me?" tanya seorang lelaki di seberang sana.

Sandra menggigit bibir bawahnya gugup. Ia menggeleng dengan cepat. "Si-siapa yang bilang begitu!"

Lelaki di seberang sana terkekeh. "Aku sudah lama menantimu menghubungiku dulu, karena dari awal nomorku sudah diblokir."

Sandra terdiam. Pernyataan lelaki itu tidak sepenuhnya salah dan tidak juga benar. Beribu kali dia berpikir untuk membuka nomor lelaki yang diblokirnya tersebut. Hanya gara-gara ingin dicarikan tempat tinggal untuknya di kota Surabaya nanti. Tapi, yang ada di benak Sandra hanya nama lelaki brengsek itu. Bodoh, batin Sandra.

"Kamu masih di sana, sayang?" tanya lelaki itu penasaran.

Senyum tipis mengembang di pipi kanan dan kiri Sandra. Tapi, buru-buru ia tepis. "A-aku ... Aku mau pindah ke Surabaya."

Hening. Tak ada respon dari seberang sana. Entah lelaki itu mendengar kalimat Sandra atau tidak. Tapi, bagi Sandra tidak mengapa lelaki itu tidak mendengar. Itu malah jauh lebih bagus.

"Gimana, apanya yang di Surabaya?" Lelaki itu malah dengan bodohnya bertanya.

Sandra menghela napas berat. "Aku mau ketemu Kiara minggu depan."

Sandra beralasan, lebih baik dia berbohong. Harga diri Sandra terlalu tinggi saat ini.

Lelaki itu tertawa. "Cuma gara-gara mau ketemu sama Kiara, kamu telpon aku? Jangan konyol."

"Bu-bukan gitu, maksud—"

Lelaki itu memotong kalimat Sandra. "Dari awal emang cuma kamu yang nggak serius, marah, baik, blokir nomor, marah lagi, gitu terus!"

Hati Sandra menciut mendengar kata-kata itu. "Oke, ini kali terakhir aku hubungi kamu."

Klik!

Sandra seperti biasa memutus sambungan telpon sepihaknya. Tak berapa lama ia memblokir nomor itu lagi dan lagi. Sejujurnya, Sandra juga tidak ingin berakhir lagi seperti ini. Tapi, hati kecilnya tidak bisa menolak.

***

Setelah menyetujui mutasinya, Sandra berusaha menghubungi sahabatnya, Kiara di Surabaya. Hanya dia yang selama ini dia andalkan. Kiara meminjaminya sebuah unit apartment miliknya yang sudah lama tidak dia pakai untuk Sandra.

"Jadi, Tyo nggak tahu kalau kamu pindah ke sini?" tanya Kiara dengan mata melotot.

Sandra mengedikkan kedua bahunya. "Aku udah ngasih tahu, tapi ... kayaknya sih dia nggak denger."

"Dia tuli atau pura-pura bego sampai nggak dengar. Lagian kenapa sih kamu telpon dia duluan, kamu 'kan bisa telpon aku?" cecar Kiara tiada henti.

"Aku pikir dia pasti seneng kalo aku pindah ke sini," tukasnya.

Kiara mencebik. "Bodoh! Udah jelas dia pura-pura nggak dengar, aku doain dia benar-benar tuli! Dasar brengsek!"

Sandra terkekeh, dia sudah terbiasa mendengarkan Kiara mengumpat seperti itu, bahkan itu bukanlah hal baru bagi dirinya.

Cekrek!

Tiba-tiba saja Kiara mengarahkan kamera selfie kearah dirinya dan Sandra. Saat itu, Sandra sedang menoleh ke arah lain. Sementara Kiara berpose dengan bibir manyun.

"Cantik," gumam Kiara. "Done!" serunya.

Sandra langsung menoleh. "Jangan bilang kamu upload foto tadi di i* mu?"

Kiara mengangguk cepat. " Yes, of course!"

Sandra menggeram. "Sial! Gimana kalo si brengsek itu lihat? Mikir dong, Ki!"

"Bukannya kamu malah seneng. San, come on, kamu masih cinta mati 'kan sama dia?"

Bukannya Sandra ingin mengelak. Namun, yang pasti Sandra benar-benar tidak bisa lepas dari jeratan si brengsek yang telah menguasai hatinya itu. Setelah kejadian dua bulan yang lalu, Sandra sering menangis menyesal karena telah tega dengan janinnya sendiri. Seminggu sebelum dia melakukan perbuatan keji itu, dia bertemu dengan Tyo. Tyo dengan tanpa beban dan tanpa dosanya menciumi perut Sandra dengan sayang.

Tapi, apa yang ia inginkan selama ini? Ia ingin anak itu digugurkan. Sandra mau tidak mau harus menurut. Karena, Tyo tidak mau menanggung segala resikonya sendirian.

"San?" panggil Kiara membuyarkan lamunan Sandra.

"I-iya."

"Aku antar pulang, udah malam."

Malam itu, mereka berdua sedang berada di sebuah cafe di pusat kota. Mereka hanya berjalan kaki untuk pergi ke cafe tersebut, karena tidak jauh dari apartement Kiara. Sepuluh menit berjalan mereka sudah sampai di lobby apartement.

"Aku pulang dulu ya, San. Hati-hati ya," ucap Kiara lalu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah Sandra.

Sandra mengangguk dan membalas lambaian tangan Kiara tak kalah semangat. Senyum Sandra perlahan memudar sebelum akhirnya dia melihat sesosok lelaki yang baru masuk dari pintu lobby. Lelaki itu berjalan angkuh menghampiri Sandra yang masih membeku di tempatnya berdiri. Senyumannya masih tetap sama, senyuman tipis namun memabukkan para wanita.

Mata Sandra membulat. Tak ada pilihan untuk berlari ataupun kabur. Wanita itu memilih untuk menyelesaikan apa yang akan baru saja dimulai malam itu.

"K-kok bisa—" tanya Sandra dengan suara terputus-putus.

Sebelum Sandra bertanya lebih jauh, lelaki bertubuh tegap itu memeluk Sandra dengan satu gerakan cepat. Sandra bisa merasakan degup jantung lelaki itu dengan nyata, mulai terasa terhanyut dalam dekapan hangat yang penuh dengan kerinduan. Tak peduli dengan tanggapan orang, tangan Tyo mencengkeram pinggul Sandra kuat-kuat.

"Mau ketemu Kiara atau ketemu aku, hm?" tanya Tyo dengan suara berat.

Sandra terpaku sejenak. Sadar banyak sepasang mata yang melihatnya, Sandra mendorong tubuh Tyo ke belakang. "Lepasin! Aku mau pergi!"

"Siapa bilang kamu bisa pergi dari aku, hah?" Tyo memegang tangan Sandra yang akan segera kabur darinya.

Sandra meronta-ronta. Namun, Tyo buru-buru mengangkat tubuh Sandra ala bridal style menuju lift. "Maaf, istri saya sedang marah, saya biasanya merayunya dengan cara seperti ini."

Tyo mencoba menjelaskan kepada beberapa orang yang seperti bertanya-tanya mengapa mereka ribut-ribut seperti itu.

Sandra menatap Tyo dengan tatapan tajam. "Lepas!" ucapnya, lirih.

Tyo membalas tatapan Sandra dengan tak kalah tajamnya. "Nurut atau aku cium!"

Sandra langsung melotot tatkala mendengar kata-kata bodoh itu dari Tyo. Tak ingin menunda-nunda lagi. Langsung saja dia turun dari gendongan Tyo lalu berbalik arah memunggunginya. Sepertinya Sandra punya ide cemerlang untuk membuat kapok si brengsek ini agar tak kembali ke sini lagi.

"Sayang, kenapa malah hadap situ? Aku di sini," tanya si brengsek itu.

Sandra pun tertawa licik. Sambil berbalik menatapnya, dia sedikit mengangkat kaki sebelah kanan, dengan gerakan cepat Sandra menendang ...

Dug!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status