"Kenapa sangat mendadak, Pak?" tanya Sandra lemas.
Pria itu mengangguk pelan. "Bukankah lebih baik jika bekerja di kota itu? Jenjang karier yang lebih baik, gaji pun sangat lebih baik jika ditempatkan di kantor utama."Sandra menelan ludahnya kasar. Otaknya perlu waktu lebih lama untuk mencerna keputusan bosnya yang mendadak ini. Apalagi dia harus kelabakan sendiri dengan memulai segalanya dari nol lagi."Saya harap kamu menyetujuinya," pinta si manager.Sandra melipat kembali dan memasukkan secarik kertas itu ke amplop dan pamit keluar dari ruangan bosnya. Tiba di meja kerjanya, Sandra menumpu lengan di atas kubikelnya. Keningnya berkerut, berpikir amat keras dan tertekan. Akhirnya ia meloloskan napas panjang dan memutuskan untuk duduk."Shit!" umpat Sandra kesal.Bagaimana bisa dia harus kembali ke kota Surabaya, kota yang selama ini dia hindari. Selama bertahun-tahun pun dia tak pernah menjadikan kota Surabaya menjadi kota pijakannya kembali.Setelah berpikir cukup lama selama seharian penuh sampai tidak konsentrasi bekerja. Dia pun pulang dengan rasa cemas yang berlebihan. Setibanya di kamar, dia mengambil gawainya hendak menghubungi seseorang.Sandra nampak menimbang-nimbang, kemudian bergumam. "Harga diriku pasti sudah anjlok."Tanpa berpikir panjang, ia lalu menghubungi nomor yang sudah sedari tadi terpampang nyata di hadapannya. Jantung Sandra berdegup kencang sebelum akhirnya sambungan telpon itu tersambung oleh suara lelaki."Do you miss me?" tanya seorang lelaki di seberang sana.Sandra menggigit bibir bawahnya gugup. Ia menggeleng dengan cepat. "Si-siapa yang bilang begitu!"Lelaki di seberang sana terkekeh. "Aku sudah lama menantimu menghubungiku dulu, karena dari awal nomorku sudah diblokir."Sandra terdiam. Pernyataan lelaki itu tidak sepenuhnya salah dan tidak juga benar. Beribu kali dia berpikir untuk membuka nomor lelaki yang diblokirnya tersebut. Hanya gara-gara ingin dicarikan tempat tinggal untuknya di kota Surabaya nanti. Tapi, yang ada di benak Sandra hanya nama lelaki brengsek itu. Bodoh, batin Sandra."Kamu masih di sana, sayang?" tanya lelaki itu penasaran.Senyum tipis mengembang di pipi kanan dan kiri Sandra. Tapi, buru-buru ia tepis. "A-aku ... Aku mau pindah ke Surabaya."Hening. Tak ada respon dari seberang sana. Entah lelaki itu mendengar kalimat Sandra atau tidak. Tapi, bagi Sandra tidak mengapa lelaki itu tidak mendengar. Itu malah jauh lebih bagus."Gimana, apanya yang di Surabaya?" Lelaki itu malah dengan bodohnya bertanya.Sandra menghela napas berat. "Aku mau ketemu Kiara minggu depan."Sandra beralasan, lebih baik dia berbohong. Harga diri Sandra terlalu tinggi saat ini.Lelaki itu tertawa. "Cuma gara-gara mau ketemu sama Kiara, kamu telpon aku? Jangan konyol.""Bu-bukan gitu, maksud—"Lelaki itu memotong kalimat Sandra. "Dari awal emang cuma kamu yang nggak serius, marah, baik, blokir nomor, marah lagi, gitu terus!"Hati Sandra menciut mendengar kata-kata itu. "Oke, ini kali terakhir aku hubungi kamu."Klik!Sandra seperti biasa memutus sambungan telpon sepihaknya. Tak berapa lama ia memblokir nomor itu lagi dan lagi. Sejujurnya, Sandra juga tidak ingin berakhir lagi seperti ini. Tapi, hati kecilnya tidak bisa menolak.***Setelah menyetujui mutasinya, Sandra berusaha menghubungi sahabatnya, Kiara di Surabaya. Hanya dia yang selama ini dia andalkan. Kiara meminjaminya sebuah unit apartment miliknya yang sudah lama tidak dia pakai untuk Sandra."Jadi, Tyo nggak tahu kalau kamu pindah ke sini?" tanya Kiara dengan mata melotot.Sandra mengedikkan kedua bahunya. "Aku udah ngasih tahu, tapi ... kayaknya sih dia nggak denger.""Dia tuli atau pura-pura bego sampai nggak dengar. Lagian kenapa sih kamu telpon dia duluan, kamu 'kan bisa telpon aku?" cecar Kiara tiada henti."Aku pikir dia pasti seneng kalo aku pindah ke sini," tukasnya.Kiara mencebik. "Bodoh! Udah jelas dia pura-pura nggak dengar, aku doain dia benar-benar tuli! Dasar brengsek!"Sandra terkekeh, dia sudah terbiasa mendengarkan Kiara mengumpat seperti itu, bahkan itu bukanlah hal baru bagi dirinya.Cekrek!Tiba-tiba saja Kiara mengarahkan kamera selfie kearah dirinya dan Sandra. Saat itu, Sandra sedang menoleh ke arah lain. Sementara Kiara berpose dengan bibir manyun."Cantik," gumam Kiara. "Done!" serunya.Sandra langsung menoleh. "Jangan bilang kamu upload foto tadi di i* mu?"Kiara mengangguk cepat. " Yes, of course!"Sandra menggeram. "Sial! Gimana kalo si brengsek itu lihat? Mikir dong, Ki!""Bukannya kamu malah seneng. San, come on, kamu masih cinta mati 'kan sama dia?"Bukannya Sandra ingin mengelak. Namun, yang pasti Sandra benar-benar tidak bisa lepas dari jeratan si brengsek yang telah menguasai hatinya itu. Setelah kejadian dua bulan yang lalu, Sandra sering menangis menyesal karena telah tega dengan janinnya sendiri. Seminggu sebelum dia melakukan perbuatan keji itu, dia bertemu dengan Tyo. Tyo dengan tanpa beban dan tanpa dosanya menciumi perut Sandra dengan sayang.Tapi, apa yang ia inginkan selama ini? Ia ingin anak itu digugurkan. Sandra mau tidak mau harus menurut. Karena, Tyo tidak mau menanggung segala resikonya sendirian."San?" panggil Kiara membuyarkan lamunan Sandra."I-iya.""Aku antar pulang, udah malam."Malam itu, mereka berdua sedang berada di sebuah cafe di pusat kota. Mereka hanya berjalan kaki untuk pergi ke cafe tersebut, karena tidak jauh dari apartement Kiara. Sepuluh menit berjalan mereka sudah sampai di lobby apartement."Aku pulang dulu ya, San. Hati-hati ya," ucap Kiara lalu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah Sandra.Sandra mengangguk dan membalas lambaian tangan Kiara tak kalah semangat. Senyum Sandra perlahan memudar sebelum akhirnya dia melihat sesosok lelaki yang baru masuk dari pintu lobby. Lelaki itu berjalan angkuh menghampiri Sandra yang masih membeku di tempatnya berdiri. Senyumannya masih tetap sama, senyuman tipis namun memabukkan para wanita.Mata Sandra membulat. Tak ada pilihan untuk berlari ataupun kabur. Wanita itu memilih untuk menyelesaikan apa yang akan baru saja dimulai malam itu."K-kok bisa—" tanya Sandra dengan suara terputus-putus.Sebelum Sandra bertanya lebih jauh, lelaki bertubuh tegap itu memeluk Sandra dengan satu gerakan cepat. Sandra bisa merasakan degup jantung lelaki itu dengan nyata, mulai terasa terhanyut dalam dekapan hangat yang penuh dengan kerinduan. Tak peduli dengan tanggapan orang, tangan Tyo mencengkeram pinggul Sandra kuat-kuat."Mau ketemu Kiara atau ketemu aku, hm?" tanya Tyo dengan suara berat.Sandra terpaku sejenak. Sadar banyak sepasang mata yang melihatnya, Sandra mendorong tubuh Tyo ke belakang. "Lepasin! Aku mau pergi!""Siapa bilang kamu bisa pergi dari aku, hah?" Tyo memegang tangan Sandra yang akan segera kabur darinya.Sandra meronta-ronta. Namun, Tyo buru-buru mengangkat tubuh Sandra ala bridal style menuju lift. "Maaf, istri saya sedang marah, saya biasanya merayunya dengan cara seperti ini."Tyo mencoba menjelaskan kepada beberapa orang yang seperti bertanya-tanya mengapa mereka ribut-ribut seperti itu.Sandra menatap Tyo dengan tatapan tajam. "Lepas!" ucapnya, lirih.Tyo membalas tatapan Sandra dengan tak kalah tajamnya. "Nurut atau aku cium!"Sandra langsung melotot tatkala mendengar kata-kata bodoh itu dari Tyo. Tak ingin menunda-nunda lagi. Langsung saja dia turun dari gendongan Tyo lalu berbalik arah memunggunginya. Sepertinya Sandra punya ide cemerlang untuk membuat kapok si brengsek ini agar tak kembali ke sini lagi."Sayang, kenapa malah hadap situ? Aku di sini," tanya si brengsek itu.Sandra pun tertawa licik. Sambil berbalik menatapnya, dia sedikit mengangkat kaki sebelah kanan, dengan gerakan cepat Sandra menendang ...Dug!Dug! "Awhs!" Tyo merintih kesakitan akibat aset berharganya ditendang dengan lutut Sandra. Mereka berdua sudah sampai di lantai tiga, di mana unit Sandra berada. Saat Tyo merintih kesakitan karena ulah Sandra, wanita itu buru-buru melangkahkan kaki seribu meninggalkan Tyo. "Sandra!" teriak Tyo. "Tunggu! Ah ... Sialan!" rintih Tyo sembari memegangi perutnya yang sedikit ngilu. Sandra buru-buru memencet tombol password unitnya, namun, lagi-lagi gerakannya tidak cukup cepat dan Tyo-pun mendapatkan Sandra kembali. Dengan cekatan, Tyo meraih pergelangan tangan Sandra dengan sedikit menekannya. "Aku akan memberimu hukuman, lihat saja nanti."Sandra tersenyum remeh. "Memang kamu siapa berani berkata seperti itu!""Kenapa kamu tidak bilang jika pindah ke Surabaya?" tanya Tyo terus terang. Sandra menghela napas berat. Kemudian memicingkan matanya. "Memang apa pedulimu jika aku pindah ke sini. Apa itu bisa merubah segalanya?"Tyo terdiam menatap ke arah Sandra lekat. Senyumnya tipis namu
David mengernyitkan dahinya. "Kamu sudah kenal Pak Tyo?" tanya David.Sandra pun hanya menggeleng cepat. Mampus! Jika bosnya tahu, Sandra telah mengenal Tyo sebelumnya pasti akan jadi masalah. Sandrapun langsung beralasan seadanya, dari pada terkena akibat buruk gara-gara si brengsek ini. "Oh, saya tidak kenal, Pak," jawab Sandra singkat sembari menggelengkan kepala. Sandra tersenyum tipis sembari mengulurkan tangannya ke arah Tyo yang sudah siap menyambut dengan tatapan berbinar. Benar saja tatapannya siap menerkam Sandra kapanpun dia mau. "Tyo Bagaskara."Sandra tersenyum sekilas. "Sandra."Tyo nampak menyengir karena Sandra hanya berkenalan secara singkat saja. Untungnya, bosnya terlihat tidak peduli dengan interaksi mereka yang sedikit menimbulkan tanda tanya. Beberapa waktu kemudian, saat di dalam ruangan Tyo, Sandra terasa sangat canggung. Namun, dia berusaha mengubur perasaan kacaunya itu dengan sikap profesional. Sesekali dia tersenyum dan melihat ekspresi Tyo yang seolah-o
David tiba-tiba tertawa. "Situasi macam apa ini. Zivana, hentikan omong kosongmu!" "Tapi, Kak wajahnya nggak asing. Aku emang pernah lihat dia di ponsel Mas Tyo," tukasnya kepada David. Hati Sandra terasa berdenyut nyeri saat mendengar wanita yang bernama Zivana itu memanggil Tyo dengan sebutan "mas". Sandra bertanya-tanya sebenarnya apa hubungan Tyo dengan wanita itu. "Kami pulang dulu, Tuan, dan Nona freak!" ejek Kiara ditujukan untuk Zivana. Zivana mengerutkan dahinya bersiap menyerang Kiara dengan sejuta umpatannya. "Heh! Kamu ngatain saya freak?!"Kiara menggulung lengan kemejanya sampai ke atas dan berkecak pinggang menantang Zivana. "Kalau iya emangnya kenapa. Datang-datang menuduh yang tidak-tidak, sok kenal lagi."Zivana maju satu langkah, namun, ditahan oleh David dan Tyo. "Sudahlah Zivana, ayo kita pergi. Maaf ya Sandra, dan Mbak Kiara." Bukan Tyo yang meminta maaf, tapi, David. Tyo hanya membisu di depan Sandra dan Kiara. Seperti kehilangan nyali untuk meredam amarah
"Maksud kalian apa?" cecar lelaki itu penuh tanda tanya. Sandra dan Tyo reflek menoleh ke sumber suara. Di sana sudah berdiri David dengan wajah garang. Sandra nyaris tak mengenali wajah asli atasannya tersebut. "Jelaskan sama saya, kalian punya hubungan apa. Dan kenapa kamu harus membenci dia?!" David menunjuk-nunjuk ke arah wajah Tyo dengan emosi. Tyo pucat pasi. Dia terlalu kagok untuk menjelaskan yang sejujurnya kepada David. Entah alasan apa yang harus dia pakai untuk menutupi hubungannya dengan Sandra. Namun, bak mendapat angin segar, Sandra maju satu langkah menghadapi David. "Saya dan Pak Tyo memang sudah mengenal satu sama lain, dia ... Dia kakak senior saya," jelas Sandra secara lugas. David menatap Tyo penuh kebencian. "Berarti benar apa yang dikatakan Zivana, aku mau tanya sama si brengsek ini, bukan kamu, Sandra."Sandra terperangah. Kepalanya menoleh ke kanan ke arah Tyo. Sungguh pertanyaan yang besar, David tidak marah padanya sama sekali? Di situlah Sandra melihat
Kaki Sandra melangkah keluar dari gerbong kereta, ia menyeret koper berwarna hijau tua dan membawa satu tas selempang kesayangannya. Langkah kakinya terhenti tatkala ia melihat sekelebat bayangan seseorang. Orang itu tidak asing, Sandra mengenal orang itu dengan baik. Namun, saat Sandra hendak mengejar, ia dikagetkan dengan teriakan Kiara. "San, bengong terus!" seru Kiara sambil menepuk lengan sahabatnya supaya tersadar. Sandra menoleh dengan senyuman lebar. "Sorry, Ki. Tadi tuh kayak ada Pak David di situ."Kiara melongo. "Siapa Pak David?" Tangan Sandra langsung menggandeng Kiara menuju pintu keluar tanpa harus menjawab pertanyaan Kiara. "Laper nih, makan dulu di situ, Ki."Sandra menunjuk beberapa kedai yang menyediakan berbagai masakan mulai dari fast food, tradisional yang berjejer di sekitar stasiun. Kiara mengangguk mengiyakan, kemudian mereka bergegas mengisi perutnya yang kosong. "Ntar deh, Pak David tuh bos kamu?" celetuk Kiara masih penasaran dengan nama Pak David yang
"Aku nggak ngajak dia, Ma!" sanggah Sandra berteriak, memekik memandangi mamanya. Mama Sandra hanya tersenyum tipis. "Iya, iya, masuk dulu, nak Tyo juga. Mari masuk."Ah sepertinya Sandra melupakan sesuatu. Sebelum dia menginjakkan kaki ke dalam halaman rumahnya, ia lalu berbalik arah menuju mobil Tyo yang masih terparkir di depan gerbang. "Ma, Mama beneran mau ngajakin dia masuk ke rumah?" Sandra bertanya kepada mamanya yang sudah berjalan duluan ke arah rumah. Dari kejauhan, Sandra bisa melihat raut wajah wanita paruh baya itu dengan jelas. Mamanya terlihat bahagia, sedangkan Tyo sudah jelas menang di waktu ini. Sejak berhubungan dengan Tyo selama hampir lima tahun, Sandra tak pernah mengajak Tyo ke rumahnya. Tyopun juga tak pernah menyinggung tentang keluarga Sandra. Padahal, Sandra memang sengaja melakukan hal itu supaya melihat kegigihan dari Tyo. Tapi, setelah sekian lama Tyo tak pernah berniat menemui kedua orang tuanya. Beberapa tahun yang lalu, ketika papa Tyo meninggal,
Sandra mendelik saat pagutannya dilepas begitu saja oleh Tyo. Dagu Tyo diangkat agar supaya Sandra tahu ada seseorang yang sedari tadi mengetuk-ketuk jendela mobilnya. Sandra lalu menoleh. "Mike? Kenapa nggak bilang dari tadi!" protesnya. "Dia pasti salah paham." Sebelum Sandra membuka pintu untuk keluar, Tyo lebih dulu menarik tangan wanitu itu. "Dia nggak akan salah paham. Jelasin ke dia lah."Sandra tersenyum getir. "Maksud kamu aku harus jelasin hubungan kita ini ke dia?" Tak peduli dengan bujuk rayu Tyo, Sandra lalu beranjak keluar dari kursi penumpang. Di luar, Mike sudah memasang tampang tidak ramah kepada Sandra. Selang beberapa detik, Tyo juga ikut keluar untuk menampakkan batang hidungya kepada Mike. "Kamu udah dari tadi?" tanya Sandra basa-basi sambil memaksakan senyum. Dia benar-benar seperti tepergok berbuat mesum dan merasa dihakimi oleh Mike. Mike melengos. "Aku mau pulang sendiri, tanpa dia!"Jari telunjuk Mike dengan mudahnya menunjuk ke arah pria yang sedari tad
"Mi ... Ke?" Mike berdiri di belakang seorang lelaki dengan paras tampan, badan tinggi, dan wajah lelaki itu banyak ditumbuhi kumis tipis. Lelaki itu menatap Sandra dengan wajah tidak ramah. Ia lalu berjalan menuju Sandra, disusul dengan Mike berjalan di belakang lelaki itu. Lelaki itu tersenyum miring. "Mike bilang, kamu jemput sama bajingan itu. Apa itu bener?""Mike, Mama mau cari kamu tadi di pantai. Sini Mama kangen banget." Sandra tak menanggapi pertanyaan lelaki itu. Ia malah menghampiri Mike, sebelum ia dicegah oleh lelaki itu. "Mas! Aku punya hak, dan ... Kamu nggak ada hak berbuat seperti ini."Lelaki itu menarik tangan Sandra hingga tubuh Sandra menghimpit tubuhnya. Ia mendesis memperingati Sandra. "Kamu tuh ibu yang nggak becus didik anak sendiri. Disuruh jemput, malah enak-enakan pacaran sama seorang bajingan.""Kamu nggak ada hak buat ngatur-ngatur aku lagi."Sandra melotot, urat-urat di lehernya terlihat jelas karena sangat marah ketika privasinya dicampuri oleh mant
"Itu surat cinta," jawab David seraya tertawa dengan terpaksa. Sandra menatap David dengan tatapan yang sulit diartikan. Sudah jauh-jauh hari Sandra menyiapkan dokumen itu untuk ditanda tangani oleh Tyo. Sekarang kemenangan sudah hampir di depan mata, tapi tidak sampai sedetik Bosnya menghancurkan harapan Sandra dengan mudahnya. "Saya mau pulang."Sandra berdiri kemudian meremat kedua jari-jemarinya, ia menggigit bibir bawahnya. Sungguh, dia merasa dipermalukan oleh David. Terlebih di depan Tyo. Wajah David berubah masam saat Sandra meminta untuk pulang. Ia lalu berdiri memegang lengan Sandra yang sedikit bergetar. David tahu jika Sandra sangat kecewa dengannya. Tapi, sungguh David tidak bermaksud mengecewakannya. Kepala Sandra mendongak menatap David sambil berurai air mata. "Bapak tahu, saya mengerjakan semua itu sampai lupa tidur. Kenapa sekarang Anda mempermalukan saya di depan klien Bapak sendiri?"Sandra melirik Tyo sedikit. "Pak Tyo juga pasti kecewa jauh-jauh datang kemari
Galen menumpu kedua tangannya di atas lutut. Ia melihat betapa Tyo ternyata tidak berdaya. Apalagi Galen sangat menganggap remeh Tyo karena, ketidaktegasannya sebagai lelaki. Hal itu sangat menggelikan. Tyo mengaduh lalu sedikit memposisikan badannya menjadi duduk bersandar tembok. Sedangkan Galen berdiri tegak lalu mengambil sebuah sesuatu di dalam laci nakas. Setelah itu, Galen melemparnya di depan Tyo. "Jauhi Sandra, atau aku bilang ke David sekarang."Tangan Tyo meraih amplop putih yang masih terbungkus rapi. Tyo lalu membuka perlahan, lalu dia sedikit memijat pelipisnya sedikit. "Nggak perlu gini lah, Bro!"Galen tersenyum dingin sambil duduk di tepi ranjang. "Sandra nggak perlu lelaki lembek kayak kamu gini."Tyo mencengkeram foto itu lalu merobeknya. Dia tahu percuma merobek foto itu sebab, Galen pasti punya file-nya. Galen bisa mencetak foto itu kapanpun dia mau. Tyo pikir dia bisa lepas dari Galen karena Galen adalah masa lalu kelam Sandra dulunya. Galen juga sudah menikah
Sandra buru-buru menutup pintu hotel dengan kasar setelah tahu siapa yang datang. Pria itu memang sengaja mengikutinya, tapi pertanyaannya sejak kapan? Sebenarnya apa tujuan Gilang. Keringat Sandra bercucuran di pelipisnya. Untungnya, Sandra punya tenaga dalam untuk segera menutup pintu dengan cepat. Jika tidak, mungkin Sandra akan terjebak bersama lelaki itu. Pria itu masih tetap menggedor-gedor pintu. Namun, Sandra masih tetap bergeming di tempatnya dan menutupi kedua telinganya. Satu jam kemudian, Sandra sudah tak mendengar suara berisik dari luar. Sandra berharap dia bisa keluar dari tempat itu. "Kenapa aku jadi kayak di sandera gini?" gumamnya pada dirinya sendiri. Sebelum Sandra melangkah menuju kamar, ia mendengar pintunya diketuk kembali. Kali ini terdengar sedikit beraturan. Terdengar lirih samar-samar bukan suara lelaki tadi. Namun, dia tampaknya tahu siapa yang datang. Satu tangan Sandra menarik handle pintu itu lalu tersenyum lebar melihat lelaki yang berbeda dengan t
Siang itu, Sandra akhirnya pergi bersama sekretaris David dan juga supir kantornya. Perjalanan dari kantor menuju rumah Tyo memakan waktu kurang lebih tiga jam. Sandra berpikir ini adalah ide yang sangat gila demi selembar dokumen dia rela melakukan hal gila ini. "Pak David kenapa perginya buru-buru, Pak?" tanya Sandra kepada sekretaris David. Ya pikir Sandra daripada sepi di dalam mobil, ia memutuskan untuk memulai ngobrol dengan Pak Gilang-sekretaris David-. Gilang tak melihat wajah Sandra saat menjawab, pandangannya lurus ke depan. "Tidak tahu."Bibir Sandra mencebik. Terkejut dengan jawaban Gilang padanya. Sangat misterius. Sandra hanya ber-oh ria. Ia juga tidak jadi meneruskan niatnya untuk mengobrol terlalu jauh dengan Gilang. Lebih baik dia tidur saja mengingat masih dua jam lagi perjalanannya. Beberapa jam kemudian, pundak Sandra terasa ditepuk beberapa kali oleh seseorang. Kedua matanya mengerjap. "Sudah sampai, Bu." Gilang berkata dengan suara datar. Lalu beranjak pergi
"Mau apa?" tanya sang Mama terlihat penasaran sampai melepas pelukannya. Sementara sang kakak-Sintia- menukikkan sebelah alisnya mencoba mengancam jika Tyo berani berbicara hal-hal yang membuat Mamanya drop. Tyo tampak kikuk lalu tersenyum kaku. "Mau merid 'kan, Ma. "Mama Tyo tersenyum puas. Lalu menyuruh Tyo masuk ke dalam rumah. Sintia pun turut serta duduk sebelum dia kembali ke kantornya. Kebetulan sekali sewaktu dia pulang, Tyo berdiri di ambang pintu rumahnya. "Loh kamu nggak berangkat kerja, Sin?" tanya Mama Tyo mengalihkan pandangannya. Sintia menggeleng pelan. Lalu menatap Tyo penuh tatapan intimidasi. "Ya 'kan adik Sintia tersayang pulang, ya diajak ngobrol bentar lah, Ma."Tyo memutar bola mata malas. Lalu tanpa peduli dengan kakaknya, ia menatap sendu mamanya. Mulutnya sedari tadi ingin berbicara hal yang penting tapi, kakaknya malah tanpa merasa bersalah ikut campur masalahnya. "Ma, gimana kabar Mama?"Wanita paruh baya itu mengangguk kecil, ia mengusap punggung tan
Beberapa waktu kemudian, Kiara melihat wajah Sandra sangat pucat, seperti mayat hidup! Suhu badannya juga sangat tinggi. Sandra benar-benar menderita. Kiara menyeka keringat Sandra yang mengalir dari pelipisnya. "Kasian banget sih ni anak."Saat itu bel unitnya berbunyi nyaring. Kiara menyunggingkan senyum sedikit. Lalu dengan cepat beranjak mengayunkan langkah untuk membukakan pintu. Dari balik pintu, nampak seorang pria berdiri dengan wajah gelisah dan cemas. Masih jelas di mana luka di sekitar pinggir bibirnya belum mengering. "Ck, kenapa ke sini!" Kiara memutar bola matanya malas. Galen tentu terkejut ketika bukan Sandra yang muncul, tapi Kiara. Wajahnya berubah masam. "Kamu tinggal di sini sama Sandra?"Mata Kiara melotot. "Kalo iya emang kenapa?"Galen menunduk sebentar sembari mengusap darah di bibirnya akibat ulah wanita di depannya ini. "Sandra, ada?"Kiara mencengkeram kedua tangannya ingin menghajar Galen lagi. Tapi, dia harus tenang setenang air. Dia akan bertindak jik
"Sandra ... "Tiba-tiba saja bulu kuduk Sandra merinding. Suara itu ... "Hai!" seru Sandra memaksakan senyum. Galen berdiri sambil kedua tangannya merogoh sakunya. Lelaki itu menatap Sandra penuh dengan intimidasi. "Kamu tinggal di sini?" tanyanya. Sandra hampir saja mengangguk mengiyakan. Namun buru-buru dia menggeleng. "Engh ... Enggak. Ini aku tinggal sama temenku."Galen mengangkat alisnya satu. "Cowok apa cewek?"Sandra memutar bola mata malas. "Berisik deh." Segera dia membuka pintu lobby namun, suara Galen menginterupsi. "Kenapa kamu nggak aja Mike tinggal di sini. Malah kamu tinggal sama temen kamu."Kepala Sandra memutar mendongak menatap getir Galen. "What?! Trus kamu ngapain di sini nggak ngajak Mike tinggal sama kamu? Oh ya, aku lupa kamu 'kan tinggal di sini sama istrimu."Galen terdiam sesaat. Kemudian mengangkat kepalanya menatap Sandra. "Kita lagi proses cerai." Mata Sandra membola, hampir saja mau copot. Ia menelan ludahnya kasar. "Ko-kok bisa, bukannya kalian b
Sandra mencebik ketika sosok itu kembali ke hadapannya sekarang. Bahkan lelaki itu tidak lebihnya seorang pria brengsek yang tidak ada bedanya dengan Tyo. Senyum pria itu memancar seolah bahagia. Tapi, mata Sandra terpaku pada kaki Galen yang sepertinya sedikit pincang. Serta bajunya terlihat lusuh seperti orang habis berkelahi. Ah, Sandra tak mau tahu urusan Galen lagi. Kini, Galen sudah duduk di depan mereka berdua—Sandra dan David—. David menyimpan penasaran terhadap baju Galen yang terlihat lusuh. "Habis ngapain, Bro?"Galen memperhatikan penampilannya sendiri. "Oh, tadi aku sedikit jatuh pas mau ke sini."Sandra memutar bola matanya jengah. Jelas saja bohong. Galen tidak mungkin jujur. Lihat itu, wajahnya sedikit memar. "Abis berantem?" David langsung menatap dalam ke arah Sandra. "Mana mungkin—""Mungkin sekali, Pak. Dia 'kan tukang berantem." Sandra berbicara cuek. Persetan jika Galen marah kepadanya. David diselimuti atmosfer permusuhan yang kentara di antara Galen dan San
"Ma-Mas Tyo!" seru Zivana kegirangan dengan cepat ia memeluk lelaki itu. Namun, ada kedua mata yang saling menatap dengan tatapan penuh dendam. Tyo dan Galen. "Ah, sorry aku telat." Matanya menatap ke arah Galen tanpa teralihkan sedikitpun. Zivana yang semula cemberut, mood-nya kini berubah bahagia. Ia pun lalu mendongak melihat sorot mata Tyo yang tak seperti biasanya. "Mas? Itu Pak Galen. Dia—"Tyo menjauhkan diri dari Zivana lalu segera menjabat tangan Galen. Galen tentu merasa sangat tersanjung saat dirinya langsung disambut dengan baik oleh sang calon pengantin. Beberapa hari yang lalu, Galen gagal menemui Tyo di rumah Sandra. Tapi, lihat kini Galen bertemu dengan Tyo tepat di depan matanya. "Saya Tyo."Galen tersenyum miring. "Saya Galen, yang bertugas mengurus acara pernikahan kalian nanti."Tyo membalas jabatan tangan Galen dengan sedikit kasar. Begitu pula Galen. Jika tidak ada Zivana mungkin Tyo akan babak belur di tangannya sekarang. Tatapan mereka penuh dengan kebenc