"Iis pasti selamat, kan? Iya, kan?" tanya Tania yang sangat khawatir. Melihat kacau situasi saat ini. Panitia yang pria pun mengamankan acara dan para tamu. "Harus, ada Ujang dan teman-temanku yang ikut. Aku percaya sama mereka. Kamu dan semua keluargamu untuk sekarang dan ke depannya. Jangan keluar sendirian kalau mau pun temani satu orang pria. Paham?" Asep mengingatkan hal itu. Uun dan Gema menghampiri panggung yang terkejut ada perkelahian di depan tenda. "Aku baru selesai makan. Ada apa ini? Itu Pak Aan." Gema menenangkan Tania yang sangat ketakutan sekali. "Kalian aman? Tidak ada yang menyerang kalian? Aku makan bareng sama Gema. Ibu sama yang lain, kan? Ucup?" cecar Uun yang panik dan syok dengan mencari istri dan calon besan itu. "Mereka aman kok. Tadi, aku lihat bersama para ibu-ibu di dapur. Ucup bersama kakak dan bapak Pak Uun," jelas Gema yang membuat Asep dan Uun tenang. "Oh, syukurlah." Uun mengelus dadanya. "
Tania perlahan membuka mata, mengedipkan mata berkali-kali. Dia merasakan sakit luar biasa di bahunya. Dia mendongak melihat kantong infus dan darah yang menggelantung. Wanita yang sudah menganti pakaian dengan baju pasien berwarna biru. Tania mencari seseorang yang sangat dirindukannya, ingin bangun tapi seluruh tubuh kaku. Terdengar suara pintu dibuka, dia memfokuskan penglihatannya. Tania tersenyum manis, saat Asep melihatnya terpaku lalu menangis. Tania melambaikan tangan, Asep langsung memeluk dan menciumi kening, pipi, dan bibir Tania. Mereka pun larut dalam tangisan pilu dan rasa rindu yang terobati. Suara Tania masih serak dan perlahan, Asep menggelengkan kepala untuk tidak memaksakan bicara. Asep mengambil botol minum dan menuangkan air ke gelas lalu menuangkan air panas dari termos. Asep memberi kabar orang rumah bahwa Tania sudah sadarkan diri. Wanita itu tidak sadarkan diri selama dua hari, Tania yang mendengar itu pun syok. "Oh, aku dua hari tidur? Gimana di r
Keesokan harinya, keluarga inti dan dituakan Asep datang. Orang tua Asep menengok calon mantu yang sangat mencemaskannya. Mereka membawa berbagai makanan dan buahan untuk Tania. Tania sangat senang dan terharu, betapa keluarga besar Asep sangat menyayanginya. Endah memeluk dan mengelus punggung Tania. Dua wanita itu menangis sejadi-jadinya, Endah paham dan merasakan apa yang diderita calon mantunya itu. Uun mengelus kepala Tania dengan menunduk menahan tangis. Kakek dan Nenek Asep saling menguatkan semuanya. Asep yang baru masuk bersama dokter saling tukar pandang dan dokter pun mengerti. Asep menepuk bahu semuanya agar dokter bisa memeriksa dan membersihkan lukanya. Dokter yang disusul perawat telah membawa peralatan dan obat. Uun dan Endah hanya mengamati dari kejauhan, Denny dan Asri yang menggendong anaknya pun menutup mata. Kekasih Tania tanpa gentar terus menemani dan menggenggam tangan. Tania menahan sakit dan terus memeluk Asep. "Kang, Alhamdulillah lukanya sudah m
"Aku harus tanya ke Tania langsung. Aku enggak bisa prasangka buruk terus. Hanya karena hal kecil ini." Asep ke kamar mandi dan cuci muka dulu. Dia berjalan ke kolam dengan jalan cepat. "Doni, jangan sampai bentak dia lagi. Kendalikan emosimu, oke. Jangan kaya waktu di rumahku," batin Asep yang menghela napas panjang. Dia mencari Tania yang sedang duduk di pinggir kolam dan bermain air. "Honey! Jangan lama-lama di kolamnya. Dingin lagi nanti." Asep menghampiri dan memasang handuk ke punggungnya. Dia langsung menarik ke tempat duduk untuk berjemur. "Iya-iya, sabar. Kenapa enggak lanjutin tidurnya? Hottie?" tanya Tania yang melihat wajah masam dari kekasihnya itu. Tania langsung tahu kalau Asep sedang marah. "Enggak bisa. Ada yang ganggu aku. Aku minta password ponselmu, boleh?" pinta Asep yang menatap dalam Tania yang kebingungan. "Boleh, ada apa sih Aa? Aku jadi bingung dan takut. Kalau Aa kaya gini tuh. Marah sama aku?" lirih Tania
Asep memeluk erat tubuh calon istrinya itu, pria itu perlahan menarik tubuh Tania ke balik tembok yang cahayanya remang-remang. Asep bercumbu penuh nafsu dan napas mereka terengah-engah. Tangan mereka saling bermain liar menyusuri semua area sensitif. Tania dan Asep pun mendesah penuh gairah. Mereka merasakan sensasi yang berbeda, rasa ingin terus memiliki yang terikat kuat. Rasa yang baru dan rasa yang segar, mereka terus meningkatkan intensitas dari berbagai hal. Tania yang biasanya menolak pun menjadi mau, Asep yang terus menahan hasrat pun terus meluncurkan keinginannya. Rasa yang bisa diukur dari 0-50%, sekarang menjadi 60%-75% sungguh perkembangan yang nyata. Rasa membutuhkan pun semakin besar, mereka tidak mau terpisahkan. Asep terus melancarkan tangan yang tidak bisa dikendalikan itu. Tania sudah menikmati hal yang aneh penuh gairah yang tidak terkendali lagi. Mereka saling berpelukan dan berpagutan mesra. Suasana sepi dan sejuk membuat keinginan lain yang lebih sensual. Namu
"Lepas! Sakit!" jerit Cindy yang terus berontak dari ajudan yang menggendongnya seperti karung beras. "Kalau seperti ini terus! Aku akan muntah, Bodoh!" teriak Cindy yang benar saja langsung memuntahkan isi perut sepanjang koridor menuju kamar mewah di Villa itu. "Kamu! Bersihkan itu semua!" Pria berkulit sawo matang itu menunjuk pelayan yang sedang diam di samping pintu. Saat ajudan satunya lagi membuka pintu, kepulan asap rokok yang tebal keluar dan menyebar. "Nah, terus menari! Bagus-bagus wanita di sini, ya." Fadh yang memberi uang ke dalam bra wanita penghibur yang disewa kakaknya. Dua wanita itu meliuk-liuk dengan indah di tiang pole dance. "Setuju, Bos. Aku suka sekali sama tubuh seksi ini. DJ AF ganti musik dong," perintah Jack yang terus menggoyangkan tubuhnya bersama penari pole dance itu. Meliuk-liuk sesuai irama dan tempo musik genre EDM dan R&B. "Rose! Masuk ke ruanganku! Jelaskan semuanya," perintah Abdullah yang melepa
"Kita harus lebih tegas, Kang. Biar Rose berpikir dua kali untuk mencelakai keluarga kalian." Ujang terus menahan sakit luar biasa. Dia melirik Tania yang memikirkan hal itu. "Betul, Aa. Pasti Rose ingin menghancurkanku dan Aa. Soalnya, rencana dia sudah berantakan sekarang. Kita harus bagaimana?" tanya Tania yang gemetar hebat. Rasa takut yang lebih menekan dari biasanya. "Rencana terus menjodohkanmu sama pria berduit, ya? Kita harus saling melindungi." Asep menghela napas panjang. "Aku sebenarnya sudah melaporkan Rose. Tapi, karena kurang bukti prosesnya berhenti. Sebelumnya, maaf aku belum cerita." Asep menahan Ujang yang berontak. Iis mengoleskan salep dan sedikit menekan langsung di tempel perban dengan plester. "Hah, sudah aku duga sih. Waktu di rumah sakit pernah bahas ini. Aku kira hanya wacana saja." Tania menyenderkan tubuhnya ke kursi dan berpikir. "Apa Kang Gema enggak akan marah?" tanya Tania yang menatap langit-langit
"Apa? Kenapa kamu ingin membocorkan rahasia bosmu? Jangan macam-macam denganku!" gertak Asep yang mencengkeram kerah baju Argha. "Hah! Suka-suka akulah. Oh, aku mau menawarkan diri jadi mata-mata untukmu. Bagaimana? Mau atau enggak?" tawar Argha yang membuat Asep termenung dan Denny berbisik-bisik untuk waspada. "Jangan! Bisa saja dia jadi pisau bermata dua, Asep. Kalau pun kamu mau dia enggak bisa di percaya! Diskusi dulu sama komandan Restu," bisik Denny yang sangat tidak suka dengan sifat arogan dari Argha. Asep pun setuju. "Lihat saja nanti di kantor. Aku ingin menginterogasimu lebih dalam." Asep yang meminjam borgol dari rekan yang terluka tadi, langsung memasangkannya di tangan pria besar itu. "Tawaranku enggak akan merugikan kalian. Ingat itu!" ucap Argha yang menatap Denny dengan dalam. "Kamu menodai istriku? Jawab!" bentak Denny sambil mencengkeram jaket pria sawo matang itu. "Tenang, aku hanya membantu menghisap