Karangmojo.
Empat puluh menit waktu telah berlalu. Meninggalkan rumah yang jauh disana. Tak lama lagi kami akan tiba di daerah Karangmojo, tempat dimana Pondok Pesantren Al Hikmah berdiri kokoh di atasnya.
Lampu merah menyala, membuat kami terhenti di bawahnya. Syukurlah, matahari telah melewati waktu teriknya. Sehingga kini tinggalah cahaya oranye kemerah-merahan milik senja yang terlukis di atas sana.
Tak lama, kini lampu merah telah padam. Berganti dengan cahaya hijau yang mulai menyala. Memberi kesempatan pada kami untuk melanjutkan perjalanan.
Udara kini makin terasa dingin. Hati berdetak lebih kencang dari biasanya. Kini kami sudah berada di ujung jalan, mulai berbelok lalu memasuki gang. Gerak motor kami kini kian melambat, menyesuaikan kondisi jalan yang sedang dilalui.
"Kamu umat yang terbaik, Selamat datang kekasih Allah di Pesantren Al Hikmah. " Kalimat pertama yang selalu menyambut siapapun yang datang memasuki wilayah Pondok Pesantren.
Kini kami sudah sampai pada tujuan. Tak lama orang tua kami beranjak pulang. Mengejar waktu sebelum matahari benar-benar menghilang di ufuk barat.
Kutatap kepergian mereka hingga benar-benar menghilang di ujung jalan sana. Menyisakan sunyi yang sedang bersama kami.
Kami mulai menyusuri jalan menuju asrama putri. Membuka pintu gerbang yang masih tertutup. Syukurlah, pintu ini tak dikunci. Menunjukkan adanya santri di dalam sana.
Sepi, hanya itu yang menemani kami bertiga saat ini.
"Eh... asrama kita masih dikunci lah," ujar Santi yang sedang mencoba membuka pintu asrama Sulthoni 4.
"Iyakah?" tanyaku pada Santi.
Kulihat sekeliling, benar-benar sunyi. Hanya ada kami bertiga di depan asrama Sulthoni.
Kemana Santriwati yang lainnya?
Akankah mereka tidak datang hari ini?
Tapi mereka adalah panitia, mengapa tidak datang?
Beberapa pertanyaan mulai muncul dibenakku. Membuatku sontan menggelengkan kepala. "positif thinking dulu. " Gumamku dalam hati.
"Coba ke Masjid yuk, siapa tahu ada Kakak-kakak pengurus. Dan barangkali juga ada yang membawa kunci asrama, " ajak Isma.
"Iya, siapa tahu mereka di sana, " sahut Santi.
Aku hanya mengangguk. Isyarat bahwa aku juga menyetujuinya.
Kami tinggalkan beberapa barang bawaan kami di depan pintu asrama. Lalu kami mulai berjalan menuju Masjid akhwat. Mencari pengurus, lebih khususnya mencari kunci asrama.
***
"Bu mereka udah sampai di Pondok belum ya? " tanya Fia pada ibunya yang sedang menonton TV.
"Udahlah paling, " ucap Ibu Fia yang sedang menduga-duga.
"Kasihan deh, paling mereka merasa sepi. Cuma ada 11 panitia yang terpilih dari Angkatan kami. Banyak juga yang izin gak bisa dateng hari ini," ujar Fia
"Aku juga gak bisa dateng hari ini..." Sambung Fia yang kini menunduk malu.
"Weh, kamu kan diberikan amanah buat ngurusin Syawalan disini. Gapapa ya, kamu juga udah Izin sama Ustadz Taqi kan? " tanya ibunya.
"Udah Bu," jawab Fia. " Tapi aku tetep ngerasa gak enak aja, " ujar Fia menjelaskan.
"Udah gapapa. Besok Rabu yang penting kesana, " balas ibunya.
Fia hanya mengangguk, lalu pergi memasukki kamar. Meninggalkan ibunya di depan TV.
***
Benar dugaan Isma, mereka berada di masjid.
Entahlah apa yang mereka lakukanlakukan. Mereka hanya duduk di dalam masjid, lalu sesekali tertawa satu sama lain.
"Assalamu'alaikum Kak, " ucapku menyapa Kak Diva yang sedang menyapu di bagian depan Masjid.
"Wa'alaikumussalam..." Balas Kak Diva sambil menoleh. "Eh Putri, Santi, sama Isma yaa, kalian kapan sampai sini? " sambung pertanyaan Kak Diva seraya berhenti menyapu.
"Baru aja sampai sini Kak." Jawabku sambil tersenyum.
"Oalah... Bertiga bareng yak? " tanyanya kembali.
"Iya Kak... Kita bareng Alhamdulillah, " sahut Santi.
"Kak, disini ada yang bawa kunci asrama engga ya? " tanya Isma to the point pada Kak Diva.
"Kunci asrama kalian?" Kak Diva kembali bertanya.
"Iya Kak. Soalnya asrama kita masih dikunci, " jawab Santi.
"Bentar yaa, coba aku tanyain dulu sama teman-teman yang di dalam, " ucapnya sambil menyandarkan sapu di dinding masjid, kemudian ia berjalan memasuki Masjid.
Tak lama Kak Diva keluar kembali.
"Engga ada yang bawa kuncinya, " ujar Kak Diva.
"Coba ke rumah Ustadz Heru. Mungkin beliau bawa kunci asrama, " ucapnya pada kami yang masih berdiri di depan Masjid.
"Ouh, iya Kak gapapa. Kami langsung kesana aja. Mumpung belum maghrib. Makasih ya Kak, " ucapku pada Kak Diva.
"Iya sama-sama." Balasnya sambil tersenyum.
"Yaudah Kak, Assalamu'alaikum, " ucap kami bertiga dengan kompaknya.
"Wa'alaikumussalam, " balas Kak diva.
***
Saat itu juga, kami langsung bergegas menuju rumah Ustadz Heru. Yang rumahnya terletak di ujung barat bagian pondok ini.
Menyusuri jalan utama, sambil melihat sekeliling. Dan ternyata banyak yang berubah disini selama kita liburan. Mulai dari jalan depan rumah Bu Marni, salah satu pemilik kantin di Pondok ini. Yang tanah depan rumahnya kini telah terlapisi dengan cor blok, mungkin mengantisipasi barangkali hujan turun, agar tak membuat tanah depan rumahnya becek nantinya. Lalu rumah Ustadz pimpinan utama kami yang dindingnya berganti warna alias dicat lagi. Dan masih banyak lagi yang berubah.
"Huhh... Baru dateng, capek, harusnya istirahat, malah nyari kunci, " keluh Santi.
"Gapapa, kan jalan-jalan sore. Ya kan Put, " ucap Isma yang menoleh padaku seraya tertawa.
"Wkwk iyak. kita lama gak lihat-lihat pondok, lama juga kita gak jalan kaki, " jawabku.
Memang, pada saat itu aku juga merasakan capek. Tapi ya gimana lagi, mau tidur dimana kita kalo gak dapet kunci asrama.
Saat itu juga kami sibuk memperhatikan hal-hal yang mengalihkan perhatian kami. Sesekali kami bercanda, lalu tertawa untuk menghilangkan rasa sepi disini.
Tak perlu waktu yang lama, akhirnya kita sampai di rumah Ustadz Heru.
***
"Maaf ya Mba, tapi saya tidak membawa kunci asrama. Coba kalian cari Pak Anton, kalau beliau sudah pasti membawa kuncinya." Jelas Ustadz Heru.
Dan ternyata, hari itu bukanlah hari yang baik bagi kami. Kami harus mencari kunci di rumah Pak Anton. Salah satu bagian perlengkapan di pondok ini. Yang rumahnya lebih jauh dari tempat ini, bahkan kami keluar Pesantren, untuk menuju rumahnya. Sykurulah, Ustadz Heru telah mengizinkan kami untuk pergi ke rumah Pak Anton.
Saat itu juga kami berpamitan dan langsung menuju rumah Pak Anton. Waktu benar-benar mengejar kami. Senja mulai meninggalkan warna merah di atas sana.
"Beneran aku nih disuruh kurus, jalan mulu dari tadi. " Keluh Isma yang kini mulai merasa kesal juga.
"Gapapa... Biar sehat. " Jawab Santi sambil tertawa.
Kami tertawa kembali, lalu mulai mengamati pemandangan sekitar. Sibuk dengan hal-hal menarik di sekitar kami. Lalu mulai bercanda dan mengobrol kecil lainnya demi menghilangkan rasa penat yang kini kami rasa.
Tujuh menit telah berlalu, entah karena jalan ini yang memang jauh, atau karena kami yang berjalan seperti siput.
Tak lama, akhirnya kami telah tiba di rumah Pak Anton.
Kami mencoba untuk mengatur nafas kami yang terengah-engah, bahkan sampai ditawari untuk minum dahulu.
Mungkin mereka merasa kasihan setelah melihat kami seperti orang-orang yang melakukan Safar (perjalanan jauh).
Kami pun menjelaskan maksud dan tujuan datang kesini. Lalu tak lama beliau memberikan kunci asrama kami. Beliau tidak tahu bahwasanya akan ada kelas 11 yang ikut datang dihari ini. Karena itulah, beliau membiarkan pintu asrama kami tetap terkunci.
Tak lama kami disana, dan kami memutuskan untuk langsung kembali ke Pondok sebelum hari benar-benar gelap.
Setelah berpamitan, kami berjalan menuju pondok. Tak banyak bercanda kali ini, mengingat waktu yang semakin mengejar. Dan melihat sekeliling kami yang mulai gelap. Kami hanya diam, membiarkan sepi dan sunyi ikut bersama kami.
Lima menit telah kita lewati, kami berjalan lebih cepat dari awalnya.
Kini kami sudah sampai di Pondok. Menelusuri jalan ini lagi, kemudian memasuki gerbang asrama akhwat. Dan akhirnya, sampai di depan pintu asrama Sulthoni 4.
Aku pun mengambil kunci yang berada di dalam saku gamis. Lalu memasukan kunci tersebut ke dalam lubang gembok yang terikat disana. Kemudian memutarnya sedikit, dan "ceklikk" Gembok itu akhirnya telah terbuka.
Kubuka pintu asrama...
"Woooww" Gumam Santi setelah melihat asrama kami yang banyak debu disana. Di atas ubin, di atas almari, bahkan di atas kasur yang tertumpuk tak terlepas dari debu. Untung saja aku menata kasurku di bagian tengah. Jadi, kemungkinan kasur itu tidak terlalu kotor terkena debu.
"Kita bersihkan dulu ya. Kita sapu, pel , nanti kalau udah bersih kita menata bagian kita sendiri. " Ucapku pada Santi dan Isma yang sedang memasukan barang-barang ke dalam asrama.
Asrama kami memang luas, namun juga sebanding dengan isinya. Yaitu 40 santriwati kelas 11.
Aku mulai membersihkan debu-debu diatas almari. Dibantu Santi, lalu Isma pun bergegas mengambil sapu.
Adzan telah berkumandang, namun kami baru setengahnya membersihkan asrama ini. Tak apalah, yang penting sudah berkurang kotornya dan bisa untuk kita tidur malam ini.
"Sholat di asrama aja ya, " ucap Santi setelah meletakan pel di luar sana.
Kami duduk sebentar, untuk meluruskan kaki. Penat sekali kami setelah berjalan-jalan mencari kunci. diltanjutkan membersihkan asrama seluas ini.
"Hooh, aku capek sekali. Pengurusnya juga gak akan hukum kita kalau sholat disini. " Balas Isma.
Memang, biasanya seluruh santri wajib sholat Fardhu di Masjid. Namun kali ini masih ada dispensasi. Sehingga kami akan sholat di asrama terlebih dahulu.
***
"Mau kemana Bu? " Tanya seorang remaja kepada seorang wanita tua yang tengah berjalan di depannya. Ia merasa belum pernah melihat wanita ini sebelumnya. Wajahnya begitu asing, menompang jalan dengan tongkatnya, ditambah lagi ia membawa ransel, entah apa isinya. Wajahnya begitu misterius, mungkin jika ada anak-anak disini, mereka akan merasa sedikit takut karena wanita ini tak menampakkan aura ramahnya.
"Saya mah jalan-jalan aja Dik. " Balasnya tanpa mengeluarkan senyuman.
"Masa jalan-jalan? Ini udah maghrib, sedangkan dia sudah tua, mau tidur dimana?" gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba, wanita itu menoleh seraya tersenyum, Seolah-olah mengetahui isi benak remaja ini.
Kemudian remaja ini memasuki rumah, entahlah, ia memiliki rasa belas kasihan namun ia juga merasa takut.
***
"Kau mandi dulu gih. Aku mau menata almariku dulu," ujar Isma padaku.
"Eh...Aku bentar lagi. Nanggung nih." Jawabku pada Isma yang juga sedang menata almarinya di sampingku.
"Okelah bareng aja ntar. Eh btw kasihan Santi ya di kamar mandi sendiri, apa gak takut dia nih ?" ucap Isma sambil tertawa.
"Gak lah. Santi kan gadis NTT yang berani. " Balasku sambil tertawa.
***
Pukul 20:00
"Sepi banget gila," ucap Santi sambil melihat sekeliling.
"Iya ya, banyak juga teman kita yang jadi pengurus namun gak bisa dateng hari ini, " balasku.
"Hmm.. Biarlah gapapa, " balas Isma.
Waktu itu, asrama terasa sangat sepi.
Bagaimana tidak? Biasanya kita ramai. Hingga saking ramainya, ada Ustadzah yang mematikan lampu kami agar kami diam. Setelah lampu mati,kami merasa bersalah dan kemudian berbicara sambil berbisik-bisik. Namun, tak lama setelah lampu kembali di hidupkan, kebiasaan ramai pun terdengar kembali. Memanglah wajar jika perempuan ramai ketika di asrama.
Kali ini benar-benar sunyi tempat yang biasanya ramai. Tak harus larut malam, akhirnya kami memutuskan untuk tidur.
Bersambung...
***
Quotes ;
"Sepi mengajarkan pada kita tentang arti kebersamaan. Bersama mengajarkan pada kita tentang arti saling menghargai"
-ShalaffTheMagicOfPrayer-
"Maulana Abbas Dhiaulhaq... Hmm, namanya bagus ya Kak. " Ucapku pada Kak Umi yang masih fokus dengan layar laptop. "Nama siapa? " jawabnya singkat. "Santri baru. Nih coba lihat, Maulana Abbas Dhiaulhaq. Bagus ya. " Balasku sambil tersenyum. "Terserah kau lah Put. " Jawab Kak Umi yang tak ingin terlalu menanggapi, ia masih sibuk dengan pekerjaan di depannya. Aku hanya tersenyum sebagai balasannya. Kuraih kembali buku yang sempat aku perlihatkan pada Kak Umi beberapa menit yang lalu. Aku mulai menyalin kembali biodata santri baru. Beberapa jam yang lalu, kami mengadakan kumpul panitia, bersama Ustadz dan Ustadzah. Sejauh ini semua berjalan lancar. Selepas kegiatan tersebut, kami mulai merekap data santri baru tahun ini, karena ini memanglah tugas kami sebagai Sekretaris. Empat hari lagi santri baru akan datang ke sini, sedangkan besok pagi adalah kedatanga
"Putriiiiii." Teriak seorang wanita yang sedang berlari ke arahku. "Fatimah? " ucapku sesaat setelah melihat wajahnya. Ia menghampiri lalu memelukku. "Huhu, maaf ya aku ga bisa dateng awal kemarin. " ucap Fatimah sambil melepas pelukannya. "Hehe iya gapapa, "balasku. " Kamu udah daritadi kah? " tanyaku pada Fatimah. "Enggak, baru aja. " Jawabnya "Eh tau gak, tadi aku nyariin kalian. Di asrama ga ada orang. Terus aku mikir, pasti kalian di Masjid. Nah bener kan, kalian ada disini. " Jelasnya sambil tertawa. "Iya, bosan di sana. Kamu di anterin?" tanya Santi yang sedang duduk tak jauh dariku. "Naik bus lah, makanya aku bisa dateng pagi." Balas Fatimah seraya ikut duduk di samping Santi. Fatimah lalu menceritakan perjalanannya tadi, saat ia kesini menaiki Bu
Adzan dhuhur telah berkumandang, menutup acara pelepasan santri baru pada hari ini. Setelah acara ini selesai, para orangtua harus segera beranjak pergi dari Pondok ini. Meninggalkan anak-anaknya dengan sejuta harapannya.Beberapa dari mereka masih berpelukan, beberapa juga sudah pergi dan melambaikan tangan. Membuatku yang menyaksikan pemandangan ini, ikut terhanyut dalam suasana. Teringat 1 tahun yang lalu, aku pernah berada di posisi itu.Flashback"Ibu pamit pulang ya, yang betah disini. " Ibuku berkata sambil melepas jabatan tangan kami.Aku hanya diam, menahan air mata saat melihatnya akan pergi. Begitu cengengnya aku saat itu."Jangan nangis loh ya. " Ibuku kembali berkata seraya melambaikan tangan. Ia berjalan mundur menjauhiku."Kakak pulang ya. Jangan nangis, katanya mau jadi wanita sholehah yang kuat, " ucap kakakku. S
Riuh suara tepuk tangan terdengar memenuhi halaman ini, mengakhiri sebuah penampilan dari beberapa santri yang baru saja turun dari panggung. Hari ke-enam di masa ta'aruf bagi santri baru. Kami mengadakan sebuah pentas seni. Dimana beberapa santri baru dan santri lama akan tampil di atas panggung, menunjukkan bakat dan kreatifitas yang dimiliki dan menjadi perwakilan dari setiap asrama. Acara pentas seni kali ini, kami menggabungkan antara santri putra dan santri putri. Oleh karena itu, hanya santri putra saja yang di izinkan untuk menampilkan kreatifitasnya di atas panggung. Sementara untuk santri putri, kami akan menjadi penonton setia di bawah panggung. Tak apalah, kami tak keberatan. Lagian, nanti kalau disuruh tampil juga paling malu. Acara ini kami adakan agar santri lama dan santri baru semakin akrab, khususnya untuk santri baru, agar mereka semakin betah berada di pondok. Ternyata di pondok
"Put, kok ga ada santri putra lewat ya? Pada kemana sih! " Ujar Fatimah yang terus berjalan mondar-mandir sejak tadi."Ditelan bumi. " Balasku singkat seraya tertawa pada Fatimah.Dia hanya menunjukkan raut wajah kesalnya. Kemudian berjalan meninggalkanku, melihat lapangan basket dari samping kantor MA. Biasanya, di waktu sore banyak santri yang sedang bermain basket disana, barangkali kali ini mereka sedang disana.Aku hanya melihatnya berjalan menjauhiku. Memperhatikan gerak-geriknya yang sedang mengamati lapangan basket.Tak lama, aku melihat seseorang keluar dari pintu utama Masjid Putra. Ia masih menggunakan jubah putihnya, di tambah lagi dengan sajadah yang tersampir rapi di pundaknya. Menambah kesan rapi bagi yang melihatnya."Astaga orang itu! " Gumamku dalam hati saat orang itu melihatku.Aku selalu kesal saat melihatnya. "Mengapa dia yang keluar?
" Enam orang Kak. " Ucapku seraya menyodorkan nampan berwarna oranye ke atas termos nasi."Nih! Aku kasih bonus. " Ujar Kak Rina saat memberikan secentong nasi terakhir di atas nampan."Ih, Kak Rina emang suka gitu ya?! " Sahutku membuat Kak Rina tersenyum kecil di depanku. Kemudian aku bergeser 2 langkah ke kanan, saat itu juga petugas logistik langsung menuangkan beberapa centong sayur di atasnya."Makasih Kak. " Ucapku seraya melangkahkan kaki keluar barisan."Sama-sama." Jawabnya.Ku langkahkan kaki keluar dari barisan antri, kemudian berjalan menuju serambi Masjid.Menyusul beberapa temanku yang sedang duduk seraya berbincang-bincang di sana. Belum juga aku sampai di sana, Wida datang dengan langkah tergesa-gesa."Fia sama Isma dijenguk! Bapak Ibu kalian sekarang di depan kantin Bu Pia. Sana di tem
"Allahu Akbar... " Suara imam Masjid terdengar saat kami baru saja sampai di serambi, diikuti dengan gerakan rukuk oleh para jama'ah sholat maghrib di malam hari ini. Rupanya, aku dan Zahra sudah telat sholat berjamaah maghrib. "Dimana Zah takmirnya? " Bisikku pelan pada Zahra. Ia mulai mengenakan mukenahnya. "Stttt..." Dia menyuruhku untuk memelankan suaraku, " Dah, ayo sholat aja dulu. " Sambungnya. Aku mengangguk pelan seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan takmir. Jangan-jangan ia sedang berdiri mengamati kami yang datang terlambat lalu siap meminta denda pada kami. Alasan apa yang akan aku persiapkan? Tak ada. Aku memang telat karena mencuci sore kali ini. Outbound santri baru kali ini telah selesai pada pukul 1 siang. Kulanjutkan dengan membersihkan diri. Penat, itulah yang aku rasakan, namun mengingat
Dinginnya udara , kini lebih terasa pada malam hari ini, menemani dalam sunyi, aku mulai meratapi, mengapa waktu cepat sekali berlalu?Besok pagi adalah hari dimana aku harus kembali ke Pondok Pesantren. Hampir 1 bulan aku di rumah untuk menghabiskan waktu semasa liburan Idul Fitri. Namun, semuanya berlalu begitu cepat seperti 1 minggu saja aku di rumah.Memang begitu, terkadang kita merasa bahwa waktu berjalan begitu cepat saat kita ingin menikmati hari-hari bersama orang yang kita rindukan. Dan sebaliknya, waktu berjalan lebih lambat saat kita mencoba untuk menjalaninya, saat kita mencoba bertahan .Andai aku bisa, Ingin rasanya aku memutar kembali masa-masa saat di Pondok. Aku menunggu, bahkan menghitung hari-H kepulangan. Rasanya 'tak sabar bertemu dengan semua orang yang ada di rumah, berkumpul dengan mereka."Put? Kok belum tidur? " Tanya ibuku yang sedang berdiri di ambang pi
"Allahu Akbar... " Suara imam Masjid terdengar saat kami baru saja sampai di serambi, diikuti dengan gerakan rukuk oleh para jama'ah sholat maghrib di malam hari ini. Rupanya, aku dan Zahra sudah telat sholat berjamaah maghrib. "Dimana Zah takmirnya? " Bisikku pelan pada Zahra. Ia mulai mengenakan mukenahnya. "Stttt..." Dia menyuruhku untuk memelankan suaraku, " Dah, ayo sholat aja dulu. " Sambungnya. Aku mengangguk pelan seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan takmir. Jangan-jangan ia sedang berdiri mengamati kami yang datang terlambat lalu siap meminta denda pada kami. Alasan apa yang akan aku persiapkan? Tak ada. Aku memang telat karena mencuci sore kali ini. Outbound santri baru kali ini telah selesai pada pukul 1 siang. Kulanjutkan dengan membersihkan diri. Penat, itulah yang aku rasakan, namun mengingat
" Enam orang Kak. " Ucapku seraya menyodorkan nampan berwarna oranye ke atas termos nasi."Nih! Aku kasih bonus. " Ujar Kak Rina saat memberikan secentong nasi terakhir di atas nampan."Ih, Kak Rina emang suka gitu ya?! " Sahutku membuat Kak Rina tersenyum kecil di depanku. Kemudian aku bergeser 2 langkah ke kanan, saat itu juga petugas logistik langsung menuangkan beberapa centong sayur di atasnya."Makasih Kak. " Ucapku seraya melangkahkan kaki keluar barisan."Sama-sama." Jawabnya.Ku langkahkan kaki keluar dari barisan antri, kemudian berjalan menuju serambi Masjid.Menyusul beberapa temanku yang sedang duduk seraya berbincang-bincang di sana. Belum juga aku sampai di sana, Wida datang dengan langkah tergesa-gesa."Fia sama Isma dijenguk! Bapak Ibu kalian sekarang di depan kantin Bu Pia. Sana di tem
"Put, kok ga ada santri putra lewat ya? Pada kemana sih! " Ujar Fatimah yang terus berjalan mondar-mandir sejak tadi."Ditelan bumi. " Balasku singkat seraya tertawa pada Fatimah.Dia hanya menunjukkan raut wajah kesalnya. Kemudian berjalan meninggalkanku, melihat lapangan basket dari samping kantor MA. Biasanya, di waktu sore banyak santri yang sedang bermain basket disana, barangkali kali ini mereka sedang disana.Aku hanya melihatnya berjalan menjauhiku. Memperhatikan gerak-geriknya yang sedang mengamati lapangan basket.Tak lama, aku melihat seseorang keluar dari pintu utama Masjid Putra. Ia masih menggunakan jubah putihnya, di tambah lagi dengan sajadah yang tersampir rapi di pundaknya. Menambah kesan rapi bagi yang melihatnya."Astaga orang itu! " Gumamku dalam hati saat orang itu melihatku.Aku selalu kesal saat melihatnya. "Mengapa dia yang keluar?
Riuh suara tepuk tangan terdengar memenuhi halaman ini, mengakhiri sebuah penampilan dari beberapa santri yang baru saja turun dari panggung. Hari ke-enam di masa ta'aruf bagi santri baru. Kami mengadakan sebuah pentas seni. Dimana beberapa santri baru dan santri lama akan tampil di atas panggung, menunjukkan bakat dan kreatifitas yang dimiliki dan menjadi perwakilan dari setiap asrama. Acara pentas seni kali ini, kami menggabungkan antara santri putra dan santri putri. Oleh karena itu, hanya santri putra saja yang di izinkan untuk menampilkan kreatifitasnya di atas panggung. Sementara untuk santri putri, kami akan menjadi penonton setia di bawah panggung. Tak apalah, kami tak keberatan. Lagian, nanti kalau disuruh tampil juga paling malu. Acara ini kami adakan agar santri lama dan santri baru semakin akrab, khususnya untuk santri baru, agar mereka semakin betah berada di pondok. Ternyata di pondok
Adzan dhuhur telah berkumandang, menutup acara pelepasan santri baru pada hari ini. Setelah acara ini selesai, para orangtua harus segera beranjak pergi dari Pondok ini. Meninggalkan anak-anaknya dengan sejuta harapannya.Beberapa dari mereka masih berpelukan, beberapa juga sudah pergi dan melambaikan tangan. Membuatku yang menyaksikan pemandangan ini, ikut terhanyut dalam suasana. Teringat 1 tahun yang lalu, aku pernah berada di posisi itu.Flashback"Ibu pamit pulang ya, yang betah disini. " Ibuku berkata sambil melepas jabatan tangan kami.Aku hanya diam, menahan air mata saat melihatnya akan pergi. Begitu cengengnya aku saat itu."Jangan nangis loh ya. " Ibuku kembali berkata seraya melambaikan tangan. Ia berjalan mundur menjauhiku."Kakak pulang ya. Jangan nangis, katanya mau jadi wanita sholehah yang kuat, " ucap kakakku. S
"Putriiiiii." Teriak seorang wanita yang sedang berlari ke arahku. "Fatimah? " ucapku sesaat setelah melihat wajahnya. Ia menghampiri lalu memelukku. "Huhu, maaf ya aku ga bisa dateng awal kemarin. " ucap Fatimah sambil melepas pelukannya. "Hehe iya gapapa, "balasku. " Kamu udah daritadi kah? " tanyaku pada Fatimah. "Enggak, baru aja. " Jawabnya "Eh tau gak, tadi aku nyariin kalian. Di asrama ga ada orang. Terus aku mikir, pasti kalian di Masjid. Nah bener kan, kalian ada disini. " Jelasnya sambil tertawa. "Iya, bosan di sana. Kamu di anterin?" tanya Santi yang sedang duduk tak jauh dariku. "Naik bus lah, makanya aku bisa dateng pagi." Balas Fatimah seraya ikut duduk di samping Santi. Fatimah lalu menceritakan perjalanannya tadi, saat ia kesini menaiki Bu
"Maulana Abbas Dhiaulhaq... Hmm, namanya bagus ya Kak. " Ucapku pada Kak Umi yang masih fokus dengan layar laptop. "Nama siapa? " jawabnya singkat. "Santri baru. Nih coba lihat, Maulana Abbas Dhiaulhaq. Bagus ya. " Balasku sambil tersenyum. "Terserah kau lah Put. " Jawab Kak Umi yang tak ingin terlalu menanggapi, ia masih sibuk dengan pekerjaan di depannya. Aku hanya tersenyum sebagai balasannya. Kuraih kembali buku yang sempat aku perlihatkan pada Kak Umi beberapa menit yang lalu. Aku mulai menyalin kembali biodata santri baru. Beberapa jam yang lalu, kami mengadakan kumpul panitia, bersama Ustadz dan Ustadzah. Sejauh ini semua berjalan lancar. Selepas kegiatan tersebut, kami mulai merekap data santri baru tahun ini, karena ini memanglah tugas kami sebagai Sekretaris. Empat hari lagi santri baru akan datang ke sini, sedangkan besok pagi adalah kedatanga
Karangmojo. Empat puluh menit waktu telah berlalu. Meninggalkan rumah yang jauh disana. Tak lama lagi kami akan tiba di daerah Karangmojo, tempat dimana Pondok Pesantren Al Hikmah berdiri kokoh di atasnya. Lampu merah menyala, membuat kami terhenti di bawahnya. Syukurlah, matahari telah melewati waktu teriknya. Sehingga kini tinggalah cahaya oranye kemerah-merahan milik senja yang terlukis di atas sana. Tak lama, kini lampu merah telah padam. Berganti dengan cahaya hijau yang mulai menyala. Memberi kesempatan pada kami untuk melanjutkan perjalanan. Udara kini makin terasa dingin. Hati berdetak lebih kencang dari biasanya. Kini kami sudah berada di ujung jalan, mulai berbelok lalu memasuki gang. Gerak motor kami kini kian melambat, menyesuaikan kondisi jalan yang sedang dilalui. "Kamu umat yang terbaik, Selamat datang kekasih Allah di Pesant
Dinginnya udara , kini lebih terasa pada malam hari ini, menemani dalam sunyi, aku mulai meratapi, mengapa waktu cepat sekali berlalu?Besok pagi adalah hari dimana aku harus kembali ke Pondok Pesantren. Hampir 1 bulan aku di rumah untuk menghabiskan waktu semasa liburan Idul Fitri. Namun, semuanya berlalu begitu cepat seperti 1 minggu saja aku di rumah.Memang begitu, terkadang kita merasa bahwa waktu berjalan begitu cepat saat kita ingin menikmati hari-hari bersama orang yang kita rindukan. Dan sebaliknya, waktu berjalan lebih lambat saat kita mencoba untuk menjalaninya, saat kita mencoba bertahan .Andai aku bisa, Ingin rasanya aku memutar kembali masa-masa saat di Pondok. Aku menunggu, bahkan menghitung hari-H kepulangan. Rasanya 'tak sabar bertemu dengan semua orang yang ada di rumah, berkumpul dengan mereka."Put? Kok belum tidur? " Tanya ibuku yang sedang berdiri di ambang pi