Pernahkah kau merasa hampa? Seperti boneka yang dikendalikan.
Semua menjadi semu.
Pernahkan kau berjalan di tengah keramaian kota, tetapi tak mendengar suara kebisingan?
Semua menjadi hening.
Pernahkan kau ingin menangis? Namun, air mata telah habis terkuras.
Semua terasa melelahkan.
Pernahkan kau merasa seakan mati? Ketika masih bernapas.
Semua terasa bagai ilusi.
Saat semua rasa menjadi hilang, hanya kebas yang tersisa.
Yang kuingat lamat-lamat hanyalah ucapan Madam Gie, dia akan mengurus semuanya, aku bahkan tak perlu melihat mayat mereka.
Tubuhku menubruk pejalan kaki, mereka memandang risih dan menghujatku sambil berjalan pergi.
Kenangan bersama Axel membuat lututku terasa goyah, aku menyandar pada dinding kaca sebuah toko. Memukul dadaku kuat-kuat, merasa sesak.
Senyumnya, tangisannya, aroma tubuhnya, semua bagai hologram di pelupuk mataku.
Aku mendengar suaraku tertawa pelan, sPria bertubuh besar itu menepuk bahu temannya, si pemuda tak menghiraukannya, menatap pesawat yang sedang melintas di udara, meninggalkan lintasan awan memanjang. "Dia sudah pergi, kau baik-baik saja?" tanya wanita paruh baya di sampingnya. Pemuda tampan itu menghela napas. "Ya," jawabnya kemudian. "Ingat ... janjimu, sepuluh misi ... ke depan kau ... yang ambil ... alih." Sang pria bertubuh besar mengingatkan. "Tak pernah terpikirkan olehku, kau akan memakai cara ini untuk melepaskannya," timpal si wanita. "Dia tidak akan terima perpisahan biasa, kau tahu bagaimana dirinya," jawab pemuda itu. "Otakmu ... memang luar ... biasa, merancang ... pembunuhan dirimu sendiri, tapi ... pertarungan ... kita memang tidak ... sia-sia, setidaknya ... latihan untuk ... memperkuat diri." Pria besar itu terkekeh senang, menampilkan gigi runcingnya. Sang pemuda membuang wajah, gurat kesedihan tergambar di romannya. Ia menengadah, menahan cairan
Namaku Eli, yang berarti tumbuh. Aku akan tumbuh kuat, berjuang dalam kerasnya hidup ini. Tidak! Aku bukanlah si Manis yang kalian kenal dulu. Si Manis yang lemah, kosong, dan tak sanggup berbuat banyak.Dia telah mati, bersama Axel.Kakiku menendang sisi tubuhnya, sementara ia menahan dengan samping lengan kiri. Aku bersalto kembali, menghindari sapuan bawahnya. Pria itu terhuyung ke belakang. Meludah sejenak lalu kembali melompat dengan tinjuan amarah ke bagian perutku.Ok! Aku memantau melalui sudut mata, melihat arah tendangannya datang. Tubuhku berjumpalitan ke arah pria itu, menyarangkan tendangan berputar. Sang pria menjadikan lengan sebagai tameng, tapi ia tak menyadari sikuku yang mencapai sisi kepalanya. Hantaman terdengar keras, tepat mengenai telinga kirinya. Ia terjungkal ke belakang sambil berteriak kesakitan."Cukup! Ms. Gregory menang!" Wasit mengangkat tangan, menyuruh kami kembali ke temp
Tok ... tak!Gema sepatu hak tinggi bergaung di lantai licin bandara ini. Aku melenggang bak model papan atas. Tak pernah menyangka akan menggunakan high heels lagi setelah selama lima tahun ini berkutat dengan sneakers dan flat shoes.Kubuka kacamata hitam yang menutupi mata sembapku, menatap tajamnya sinar matahari siang.Ah ... sesuatu yang basah meluncur menuruni pipi. Waktu seakan tak berlaku bagiku, luka ini tak kunjung sembuh. Masih menganga, seakan kejadian itu baru terjadi kemarin.Axel ... Axelku.Setiap napas yang kuhela selalu melantunkan namanya. Aku ... tidak akan pernah bisa jatuh cinta lagi. Tidak ada makna berlebihan di dalamnya. Ejekan yang kalian lontarkan tidak akan bisa merubah hatiku. Kalian hanya tidak pernah merasa kehilangan, sakitnya, kesepiannya. Setiap tarikan napas terasa menyesakkan. Bayang
"Kau siap?" tanya Eve, ia mematutku dari atas hingga ke sepatu kets hitam yang kukenakan. Aku mengangguk, berharap ia tak melihat lingkar hitam di bawah mata karena semalaman aku hampir tak bisa menutup mata. Lagi dan lagi, membaca data diri anak bernama Owen. "Hei, Mama, pagi!" sapa Boni, ia tergelak melihat penampilan Eve pagi ini. Wanita itu mengenakan gaun selutut dengan jepit di rambut pendeknya dan kacamata yang menambah kesan usia matang. "Jangan! Tutup mulutmu!" Eve memperingatkan dengan menggoyangkan jari telunjuknya. "Pagi, Sayang," sapa Jodi, mengecup lembut pipi Eve. Dia sangat menghayati peran ini, lain dengan Eve yang langsung mendelik tak senang. Aku hampir tertawa melihat interaksi ketiganya. Hampir, demi menjaga kesopanan supaya mama tidak marah. George telah siap di balik kemudi, melambai tak sabaran pada kami. "Cepatlah, ini hari pertama Ellena!" t
Aku meneguk ludah gugup. Alis tebal Owen menurun tajam, matanya menyipit tak senang."Kau mata-mata?" bisiknya.Aku mengedip lambat, pura-pura mencerna kalimatnya. "Apa maksudmu?""Jangan berpura-pura. Perlihatkan telingamu.""Telinga, kenapa?" Sengaja mengulur waktu, aku berbicara cukup keras untuk mengundang perhatian murid lain."Perhatian!" Bu Yuanita memukul papan tulis.Aku menoleh terkejut, menarik cepat earpiece kepala peluru dan melemparkannya ke bawah meja."Maaf Bu, aku bertanya pada Owen tentang soal ini." Aku menunjuk asal ke soal yang baru kusalin.Bu Yuanita berdeham. "Ya sudah, lanjutkan lagi, jangan ribut," pesannya.Aku mengangguk antusias.Setelah Bu Yuanita kembali fokus, jemari Owen mencolek bahuku meminta perhatian. Aku bersikukuh tak menoleh, pura-pura sibuk. Bahkan menjatuh
Mereka tahu, apa yang terjadi antara aku dan si anak ingusan bermata biru.Well, kekacauan besar terjadi di rumah. Hari pertama yang hangat berubah menjadi sedingin es setelah hari kedua. Great!Sialnya mereka baru menyadari merekrut agen yang tak bisa merayu dan hanya bisa melemparkan kalimat sarkastis. Too late.Entahlah, aku merasa memang bukanlah diriku yang dulu, si penakut, si pengecut, si lemah dan si penurut. Si manis sudah mati lima tahun lalu.Eve mengomeliku hampir satu jam. Sementara Boni dan Jodi keluar untuk mengawasi si anak ingusan menggunakan tablet dengan sinyal dari pelacak kecil yang kupasang."Maaf," ucapku tanpa perasaan bersalah.Eve memijit pelipisnya. "Aku tidak akan melaporkan kekacauan yang kau buat hari ini, besok mulailah mendekati Owen lagi."Aku mengangguk pelan. "Kau tidak ikut dengan mere
Sejak kesan pertama yang kacau berganti pertemanan yang aneh bin ajaib, si anak ingusan tak henti-hentinya menggangguku dengan segala cara. Setiap pelajaran dimulai dia akan bertanya padaku seolah aku anak paling pintar di kelas ini. Apa dia lupa? Aku ini anak pindahan.Mulai dari mencolek bahu, melempar penghapus, hingga memilin rambutku menjadi jalinan kepang kecil-kecil.El, lena, ellena, Ms. Hopkins hingga Gadis Sarkas. Semua disebutkan Owen agar mendapat perhatianku. Ok! Sebenarnya aku cukup simpati padanya karena tak seorang pun di kelas ingin berteman dengan si pemarah Owen. Mungkin itulah sebabnya dia menjadikanku sasaran empuk."El, rambutmu bau hari ini, kau yakin sudah mandi?" Ia mencolek bahu dan memainkan helaian rambut hitamku."El, makan siang ke kafetaria yuk, aku yang traktir."Tak mendapat tanggapan bukannya menyerah si anak ingusan memakai cara kekerasan. Ia menendang ku
Aku berdiri di gerbang depan rumah Keluarga Riley dan mendesah berat. Telunjukku memencet bel."Ellena di sini," seruku pada speaker di samping bel."Aku datang!" seru si anak ingusan dari balik alat penghubung itu.Owen Riley telah mengganti baju sekolahnya dengan pakaian kasual. Kaos oblong gambar Spiderman dan celana kain enam per delapan. Ia membuka pintu gerbang dengan senyum semringah, tanpa tedeng aling-aling menggandeng jemariku seolah kami adalah sepasang kekasih. Gila.Aku memicing melihat tautan tangan kami. "Kau mau dibanting?" tanyaku, masih dengan suara datar. Aku tak suka disentuh oleh pria mana pun, kecuali tentu saja hanya Axel yang boleh melakukannya."Maaf, maaf." Owen melepaskan tanganku. Bukannya marah atau tersinggung, anak ini justru menampilkan cengiran jail. Dasar maso!"Ayo, ikut!" Ia berjalan di sampingku, mengiringi langkah memasuki hal