Tak hanya sirine ambulans yang terdengar dari kejauhan, tapi juga suara sirine polisi. Bara langsung tahu kalau kebebasannya terancam. Dia diam-diam kabur melalui pintu belakang saat semuanya sibuk melakukan sidang pada Bu Retno. Tetangga serta Pak RT di lingkungan itu sedang fokus pada Bu Retno."Tangkap mereka, Pak!" ucap Bumi. Kata-kata itu ditujukan untuk ibu dan kakaknya. Namun kemana, Bara? Bumi baru menyadarinya."Mas Bara kabur."Bumi ikut melakukan pencarian dengan anggota kepolisian. Belum ditemukan. Kakaknya sungguh lihai dalam hal melarikan diri. Di sisi lain, Embun ikut mengawal Lidya dan bayinya menuju ke rumah sakit. Mereka harus melakukan pemeriksaan kesehatan. Terlebih Lidya. Saat petugas medis datang, dia seolah-olah lemah dan tak sadarkan diri. Sampai saat ini, Lidya belum tersadar dari pingsannya. Bahkan dia memerlukan bantuan pernapasan."Maaf, Mbak. Tolong jaga anak-anakku!" Itulah kata-kata terakhir Lidya untuk Embun.Takdir berkata lain. Tak berselang lama sej
"Sudah dua tahun aku di sini. Persembunyianku masih aman. Sepertinya sudah tak ada yang mencariku lagi, Paman."Bayu bercerita sembari menyesap rokok di teras rumah Pak Sukarsa."Ini kopinya, Mas … Pak." Mirah datang membawa nampan berisi dua gelas kopi. Minuman itu dia taruh di meja yang terletak diantara Bayu dan Pak Sukarsa.Suasana sore yang dingin, membuat kopi dan rokok menjadi perpaduan yang pas untuk penghangat tubuh."Tapi kamu masih masuk DPO, Mas. Walaupun sudah tak ada petugas yang mencari ke sini, kamu masih belum aman jika berkeliaran di luar sana.""Benar kata Mirah, Yu. Di sini kamu aman. Kamu juga mendapat identitas baru dariku. Jika semuanya aman di tempat ini, untuk apa kamu ingin pergi?" tanya Pak Sukarsa."Aku hanya ingin melihat dunia luar sebentar saja. Mencari informasi dari orang-orang tentang diriku. Apakah pemberitaannya masih hangat atau tidak. Lagipula, wajahku juga sedikit berubah, Paman. Kumis dan jenggot serta luka jahitan di pipi, tentu membuat wajahku
"Mas, sudah pulang, ya? Sini aku bantu ke rumah." Mutia sigap menuntun Bastian keluar dari taksi."Gak usah dianter juga gak apa-apa, Mut. Aku sudah bisa sendiri, he he." Bastian sudah mengenali suara Mutia. Karena wanita itu tetap memaksa untuk mengantarkan Bastian ke rumahnya, akhirnya penyanyi itu pun tak sanggup menolaknya."Toko belum tutup, Mut? Bukannya sudah malem, ya?" tanya Bastian di tengah-tengah perjalanan menuju rumah orang tua Embun.Mutia merupakan salah seorang pegawai di toko sembako milik Pak Salim. Toko itu semakin besar sejak Bastian ikut menyumbangkan dana renovasi dan pembelian barang untuk dijual. Sementara itu, rumah keluarga Embun juga direnovasi oleh Bastian. Tentu semua ini berkat kerja kerasnya sebagai penyanyi.Walaupun Bastian bisa dikategorikan sebagai penyanyi terkenal, tapi dia tetap sederhana dan memilih tetap tinggal di rumah orang tua Embun. Pak Salim dan Bu Nadine juga enggan berpisah rumah dengan anak angkatnya itu. Kecuali jika Bastian sudah ber
"Bayu … sini!"Baru saja ingin pergi ke ladang, langkah kaki Bayu terhenti oleh panggilan dari sang mertua."Iya, Paman.""Panggil Bapak, dong! Kamu kan sudah resmi menjadi menantuku.""Eh … i … iya, Pak. Ada apa?""Benar semalam kamu tak tidur seranjang dengan Mirah?"Muka Bayu berubah menjadi masam. Dia sangat kesal dengan istrinya yang membocorkan rahasia mereka semalam. Mirah benar-benar licik. Begitu lah isi pikiran Bayu saat ini."Jangan kau kecewakan anakku! Kamu bisa hidup enak dan nyaman di sini karena siapa kalau bukan karena aku dan Mirah. Camkan itu! Jangan coba-coba membuat anakku bersedih!"Ancaman di pagi hari ini membuat Bayu tak bersemangat. Baru saja ingin melaksanakan tugas sebagai mandor untuk pertama kalinya, dirinya harus dibuat kesal oleh pengaduan istrinya ke Pak Sukarsa.Selepas mertuanya pergi ke kantor desa, Bayu lantas menghampiri istrinya di kamar. Dia harus memberi pelajaran pada wanita itu.Jeder!Pintu kamar dibanting cukup keras. Hingga membuat Rina da
"Dimana Rina?" tanya Pak Sukarsa, setibanya ia di rumah. Kedatangannya ke rumah ini hanya disambut oleh tiga orang yakni Mirah, Bayu, dan Agus. Sedangkan si kecil Rina tak terlihat batang hidungnya. Padahal anak itu biasanya tak pernah absen menyambutnya di rumah."E … e, Rina ada di kamar, Pak. Dia agak demam," ucap Mirah gugup.Tak perlu menunggu lama, Pak Sukarsa lantas mencari Rina ke kamarnya. Ia diikuti oleh Agus kecil."Astaga. Panas sekali. Kita ke puskesmas ya, Nak," ucap Pak Sukarsa pada cucu sambungnya. Ia benar-benar tak tega melihat gadis kecil ini meringkuk kesakitan di kegelapan kamar.Cetek!Lampu kamar dihidupkan oleh Pak Sukarsa. Betapa terkejutnya ia ketika melihat tubuh mungil Rina memiliki luka lebam."Ya, ampun. Ini kenapa? Mirah … Bayu. Sini!"Pak Sukarsa memanggil anak dan menantunya untuk datang ke kamar Rina. Pasangan suami istri itu terlihat gugup."Kenapa ini? Kenapa Rina bisa seperti ini?" tanya pria tua itu—meminta penjelasan pada anak dan menantunya."Ja
Bab ini masih membahas tentang keluarga Bayu di desa. "Tadi saya lihat wajah Pak Sukarsa pucat, Mbak. Jawab sapaan saya pun hanya dengan anggukan pelan.""Benar, Mbak. Sebelum ditemukan jatuh ke jurang, saya sempat berpapasan dengan Bapak. Beliau terlihat menguap beberapa kali seperti orang yang mengantuk."Mirah duduk di teras depan sembari terus memikirkan mendiang sang ayah. Sudah seminggu ayahnya dikebumikan. Tapi Mirah masih belum percaya ayahnya sudah tiada. Saksi-saksi yang sempat melihat ayahnya sebelum kecelakaan, membuat dia yakin kalau penyebab Pak Sukarsa jatuh ke jurang diakibatkan mengantuk."Padahal Bapak belum tahu kalau aku sedang mengandung cucunya," gumam Mirah dengan tatapan kosong.Mirah seolah lemas dan tak memiliki semangat hidup lagi. Bahkan anak dan suaminya tak diurus olehnya. Bayu marah namun tak digubris oleh istrinya. Mirah benar-benar kehilangan semangat hidup."Heh … diem di rumah! Aku mau keluar dulu.""Mas, Bapak baru saja dikebumikan. Diam lah dulu d
Tiga bulan berlalu begitu cepat. Selama itu pula Rina mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari ayah dan ibunya. Gadis kecil itu didewasakan oleh waktu. Usianya yang belum genap empat tahun sudah diberi tanggung jawab beberes rumah, seperti menyapu ataupun membantu ibunya memasak. Tangan mungilnya yang belum mampu melaksanakan tanggung jawab itu dengan baik, kerap membuat emosi orang tuanya. Alhasil kekerasan fisik seperti cubitan dan pukulan, dilayangkan pada gadis kecil itu. Sebenarnya baik mengenalkan tanggung jawab pada anak sedini mungkin, namun tidak dengan paksaan apalagi kekerasan fisik. Sang anak justru akan mengalami sakit tak hanya pada fisiknya namun juga mentalnya.Laras yang merupakan tetangga Mirah, kerap meminta izin untuk menjaga Rina maupun Agus. Hal ini dikarenakan gadis cantik itu tak tega melihat Rina kecil terus disiksa oleh orang tuanya. Ditambah lagi kondisi kesehatan Mirah yang sedang mengandung, semakin memburuk. Wanita itu stress karena tak mendapat dukung
"Itu fitnah. Berani sekali kalian mengatakan hal yang tidak benar tentangku. Dasar kampungan."Bayu meludah di depan Laras dan ibunya. Dia tak terima akan pengaduan gadis itu pada istrinya."Kamu bener melakukan itu, Mas? Bener mau melecehkan Laras?" tanya Mirah. Dadanya terasa sesak karena sesuatu yang baru dia dengar saat ini. Baru saja tiba di rumah ini, dia harus dihadapkan dengan pengaduan pahit seperti ini."Kamu budeg? Sudah kubilang dari tadi. A … ku … di … fit … nah." Bayu mengeja setiap kata yang dia ucapkan dengan penuh penekanan."Gadis ini yang mengincarku dari dulu. Aku sering memergokinya memandangku dengan penuh nafsu. Sekarang dia berani memfitnahku. Cuiiih." Bayu menunjuk wajah Laras. Yang ditunjuk itu pun merasa geram karena Bayu berbalik memfitnahnya."Memang lelaki tak punya hati kamu, Bayu. Gak ada akhlak. Sekarang kamu malah memfitnah anakku. Berani berbuat, berani mengakui, dong! Jangan sampai aku sebarkan berita ini ke warga desa," ancam Bi Yati."Bilang saja